2.4 Kerangka Berpikir
Perkembangan pekerja seks komersial di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pelakunya pun tidak hanya wanita dewasa, melainkan gadis
di bawah umur, yang masih bersekolah juga melakukan praktik prostitusi. Statistik menunjukkan bahwa kurang lebih 75 dari jumlah pelacur adalah
wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka itu pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia yang muda, yaitu 13-24 tahun dan yang
paling banyak ialah usia 17-21 tahun. Kartono, 2007. Sedangkan menurut Deputi Perlindungan Anak pada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan,
Dr Surjadi Soeparman MPH, diperkirakan 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial PSK di Indonesia dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di
bawah usia 18 tahun.
Di Indonesia, UNICEF melaporkan bahwa sekitar 30 persen 40-70 ribu anak terjerumus ke prostitusi berusia di bawah 18 tahun. Mereka tersebar di
beberapa daerah seperti Batam, Bali, serta beberapa kota lain yang memiliki fasilitas wisata. Selain karena ditipu, kemiskinan menjadi alasan utama banyak
anak terjerumus ke prostitusi. Berdasarkan data yang dilakukan di wilayah Jakarta dan Jawa Barat; wanita pekerja seks komersial dewasa di Jakarta
sebanyak 10.041 80 dan sebanyak 5.644 80 di Jawa Barat. Sedangkan jumlah pekerja seks komersial yang berusia di bawah umur adalah 1.020 20
di Jakarta dan sebanyak 1.224 20 di Jawa Barat. http:indonesiabreakingnewsonline.blogspot.com20080730-psk-indonesia-
anak-di bawah -umur.html
Aksi para pekerja seks dalam praktek prostitusi ini tidak terlepas dari pengawasan dan penindaklanjutan yang dilakukan oleh pihak keamanan dan
petugas satpol PP setempat. Setelah itu, para pekerja seks komersial yang terkena razia oleh petugas tramtib segera dibawa ke dinas sosial untuk selanjutnya
diproses dan ditempatkan ke panti rehabilitas. Salah satu panti rehabilitas yang berada di Jakarta yaitu Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya.
PSKW Mulya Jaya merupakan unit pelaksana teknis Departemen Sosial RI yang memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada wanita tuna susila
pekerja seks komersil, antara lain: pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan, resosialisasi dan pembinaan
lanjut kepada penyandang masalah tuna susila agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. PSKW Mulya Jaya ini
telah berdiri sejak tahun 1959 dan memiliki daya tampung sebanyak Secara umum, pembinaan mental rohani dan pelatihan keterampilan yang dilakukan
PSKW Mulya Jaya bertujuan untuk meningkatkan self esteem dan kesadaran religius siswa binaannya agar mereka memiliki keinginan untuk berhenti menjadi
wanita tuna susila.
Coopersmith dalam Burn, 1993 menjelaskan bahwa self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dibuat individu mengenai keberhargaan
dirinya, yang ditampilkan dalam sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan keyakinan individu kepada diri sendiri bahwa ia mampu, berarti,
berhasil, dan berharga. Minchinton 1995 juga mendefinisikan self esteem adalah penilaian dari keberhargaan diri sebagai manusia terkait dengan
perasaannya mengenai diri sendiri, perasaannya terhadap hidup, dan perasaannya dalam kaitannya dengan orang lain. Seorang wanita tuna susila atau pekerja seks
komersil cenderung memiliki self esteem yang rendah, oleh karena itu ia memilih dan mau menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial. Ia merasa tidak
mampu untuk melakukan pekerjaan halal yang lain dan menganggap dirinya tidak berharga. Ia merasa tidak aman dalam dirinya sendiri sehingga ia sulit
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coopersmith dalam Burn, 1993 mengenai karakteristik
individu yang memiliki self esteem yang rendah ialah salah satunya sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dengan adanya pembinaan mental dan kegiatan keterampilan yang diberikan pihak PSKW Mulya Jaya selama 6 bulan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan self esteem pada diri warga binaan sehingga mereka mampu menampilkan sikap penerimaan dan menunjukkan keyakinan atas diri mereka
bahwa mereka mampu, berarti, berhasil, dan berharga. Karena self esteem
merupakan salah satu aspek yang diduga dapat menentukan keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Individu yang
menilai tinggi keberhargaan dirinya merasa puas atas kemampuan diri dan merasa menerima penghargaan positif dari lingkungan. Hal ini akan
menimbulkan perasaan aman dalam diri individu sehingga ia mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Selain itu, diharapkan para siswa PSKW Mulya Jaya tidak lagi menunjukkan perilaku prostitusi, baik ketika masih berada di lingkungan panti
rehabilitasi, maupun setelah mereka keluar dari panti rehabilitasi dan mereka memiliki intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Fishben dan Ajzen 1975 bahwa intensi seseorang terhadap suatu objek ditentukan oleh sikap terhadap tingkah laku tersebut dan timbulnya
sikap terhadap tingkah laku dipengaruhi oleh belief atau sejumlah belief yang dimilikinya. Peneliti berasumsi bahwa belief yang dimiliki individu berkaitan
dengan penilaian yang diberikan individu terhadap dirinya sendiri atau yang disebut dengan self esteem. Seperti yang telah dijelaskan dalam Journal of
Chinese Clinical Medicine vol 2 no.1 yang berjudul Effect of self esteem on substance-abuse, theft, and prostitution
bahwa self esteem seseorang memiliki pengaruh terhadap perilaku kekerasan, pencurian, dan prostitusi yang mereka
lakukan. Jadi, perilaku prostitusi yang dilakukan oleh wanita tuna susila dipengaruhi oleh self esteem yang mereka miliki sehingga seorang warga binaan
yang memiliki self esteem yang tinggi tidak akan menampilkan perilaku prostitusi lagi dan memiliki intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Selain pembinaan keterampilan dan self esteem, para siswa PSKW Mulya Jaya juga diberikan pembinaan rohani yang bertujuan untuk meningkatkan
religiusitas dalam diri mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Fetzer 1999 bahwa religiusitas seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek yang dimiliki,
yaitu : daily spiritual experiences, values, beliefs, forgiveness, private religious practices, religiousspiritual coping, religious support, religiousspiritual
history, commitment, organizational religiousness, dan religious preference. Menurut asumsi peneliti, religiusitas yang dimiliki seseorang juga dipengaruhi
oleh belief atau keyakinan individu terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Belief tersebut dapat berkaitan dengan tiga determinan pembentuk
intensi, yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control, yang kemudian akan membentuk intensi siswa PSKW Mulya Jaya untuk berhenti
menjadi wanita tuna susila.
Menurut Fishben dan Ajzen 1975, intensi mempengaruhi individu untuk bertingkah laku. Intensi adalah kecenderungan subjektif seseorang di mana ia
akan menampilkan beberapa tingkah laku. Beberapa penelitian mengenai peran intensi terhadap perilaku telah dilakukan, yaitu dalam Jurnal Psikologi Sosial
volume 13 no.1 mengenai Relationship between intention to obey traffic signs
and disobeying traffic signs behavior on bus driver in Jakarta 2008, Hubungan
attitude, subjective norm , dan perceived behavioral control dengan intensi untuk
bertingkah Abdullah, 2002, dalam Jurnal Psikologi. Vol. 8, No. 2 mengenai Hubungan antara prasangka terhadap kelompok dan intensi untuk bertingkah
laku agresi pada pelajar sebuah SMK di Jakarta yang terlibat tawuran Sheila, 2001, serta Hubungan antara adversity quotient AQ dengan intensi sembuh
pada pengguna narkoba di panti rehabilitas Wulandari, 2009. Dari beberapa penelitian tersebut diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara konstruk yang digunakan sebagai independent variabel maupun dependent variabel dengan intensi terhadap suatu perilaku.
Selain itu, terdapat beberapa penelitian mengenai keterkaitan antara self esteem
dengan intensi, yaitu penelitian dalam Jurnal Psikologi. Vol. 9, No. 1 mengenai hubungan antara nilai sosial obat dan self esteem dengan intensi
penyalahgunaan obat pada remaja Prasetya, 2002 dan penelitian yang dilakukan oleh Sujana Y.E Ratna Wulan 1994 dalam Jurnal Psikologi 1994
No.2, 1-8 mengenai hubungan antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek. Hasil kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara self esteem dan intensi terhadap suatu perilaku.
Adapun hasil penelitian mengenai keterkaitan antara religiusitas dengan intensi, yaitu pada penelitian pengaruh perilaku beragama dan nilai sosial obat
terhadap intensi penyalahagunaan obat pada remaja Nuzullia, 2005, hubungan komitmen beragama dengan intensi berhenti menyalahgunakan narkoba pasca
program rehabilitasi Handoyo, 2009, dan hubungan religiusitas dengan intensi untuk menabung di Bank Syariah Zulhairi, 2005. Dari beberapa penelitian
tersebut diperoleh hasil yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan intensi terhadap suatu perilaku.
Selanjutnya, hasil penelitian mengenai hubungan antara pendapat tentang perkawinan dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila diperoleh
hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kedua konstruk tersebut dan sebanyak 65 dari 40 orang siswa PSKW Mulya Jaya memiliki
intensi yang tinggi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila Rachmawati, 1993. Selain itu, pada penelitian mengenai hubungan antara persepsi mengenai
penolakan lingkungan sosial dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
kedua konstruk tersebut dan sebanyak 61,7 dari 34 siswa rehabilitas memiliki intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai keterkaitan antara self esteem dengan intensi serta religiusitas dengan intensi yang telah
dipaparkan di atas, diduga bahwa self esteem dan religiusitas berhubungan positif yang signifikan dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Artinya, semakin tinggi self esteem dan religiusitas, maka akan semakin tinggi pula intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila pada warga binaan PSKW
Mulya Jaya.
Bagan Kerangka Berpikir
Warga Binaan PSKW Mulya jaya
Self Esteem
Religiusitas Daily Spiritual Experiences
Value Belief
Forgiveness Private religious practice
ReligiousSpiritual Coping Commitment
Intensi untuk berhenti menjadi
wanita tuna susila Pembinaan mental
Pembinaan rohani
2.7 HIPOTESIS PENELITIAN