hak pilih bagi perempuan untuk menerima pernikahan atau menolaknya, tidak bagi wali, karena perempuan sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi
wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh, berpenyakit lepra, atau gila.
Demikianlah pendapat-pendapat sekitar kafaah dari para ulama mazhab dalam Islam. Ringkasnya ada tiga pendapat; pendapat yang ekstrim, longgar dan
moderat. Pendapat pertama, dikemukakan oleh Ibnu Hazm. Beliau mengatakan
bahwa kafaah itu tidak ada. Pendapat yang kedua, dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya,
Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka mengatakan bahwa kafaah itu tidak hanya soal agama tetapi juga menyangkut hal-hal lain seperti yang dijelaskan dimuka. Di
antara mereka bahkan ada yang berlebih-lebihan sampai ada yang menuntut fasakh
meskipun perempuan ridha. Pendapat ketiga adalah pendapat yang moderat, lebih adil dan sesuai
dengan Islam sebagai agama fitrah, yaitu bahwa kafaah itu hanya pada soal agama dan akhlak bukan pada soal lainnya.
99
C. Kafaah dalam Pernikahan
Kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang perempuan tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya.
Rasulullah SAW bersabda,
99
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 109.
5 6 - 7 8 4
= 7 ? 7 5 5 6
4 N
P -
T ی
Q C
M ;
4 ﺕ
M ;
4 M
i =
M ﺕ
M C
P +
J = ; f k T
L
100
Artinya: “Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya dengan
pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua
pahala
”. HR Al-Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW merupakan sosok yang tidak ada seorang pun yang setara
dengannya, tetapi beliau menikahi perempuan bukan Arab, diantaranya Shafiyah binti Huyay yang awalnya beragama Yahudi tetapi kemudian masuk Islam.
Pada umumnya, seorang perempuan yang tinggi derajatnya akan dijadikan bahan pembicaraan jika dinikahi oleh laki-laki yang derajatnya lebih rendah.
Tetapi tidak sebaliknya. Jika ada seorang laki-laki yang tinggi derajatnya kemudian menikahi perempuan yang lebih rendah derajatnya, maka tidak akan
ada yang membicarakannya.
101
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi perempuan dan para wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang perempuan dengan
laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan perempuan itu sendiri dan juga para wali yang lainnya.
102
Jika seorang perempuan dinikahkan dengan laki- laki yang tidak sekufu, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama
100
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, juz- 6, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987, h. 899
101
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 151.
102
Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris as-Syafi’I, al-Umm, juz-5, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, h.16.
mengatakan bahwa pernikahan itu bathil tidak sah. Pendapat kedua mengatakan bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi perempuan itu kemudian boleh memilih
antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai. Yang paling tepat ialah pendapat yang mengatakan bahwa kafaah tidak
termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga keduanya bisa saja menggugurkannya tidak
mengambilnya. Kafaah dinilai pada waktu terjadinya akad nikah. Jika pada saat akad
nikah, seorang laki-laki sudah sekufu tetapi sesudah itu kehilangan sifat-sifat kafaah nya maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya, istri ataupun
walinya tidak boleh menuntut cerai suaminya dengan alasan tidak sekufu. Karena sesungguhnya masa itu berputar, dan manusia itu tidak bisa dijamin selalu dalam
keadaan yang sama. Dalam hal ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan, bersabar, dan bertaqwa, karena yang demikian itu termasuk keutamaan.
103
Masalah kafaah dalam hukum positif Indonesia tidak dibahas secara eksplisit. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
menyinggung masalah kafaah ini, sedangkan Kompilasi Hukum Islam KHI menyebut kafaah hanya dalam masalah agama saja. Sebagaimana pasal 61 KHI:
“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.”
103
Ibid., h. 152.
Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak membahas masalah kafaah secara tegas, namun
secara umum ada 2 hal yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu: perbedaan agama dan usia pernikahan.
1. Perbedaan Agama
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama –Islam dengan selain Islam- ke dalam bab larangan perkawinan.
Pasal 40 point c Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita
karena keadaan tertentu: c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam Juga pasal 44:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Di dalam kitab-kitab fiqh umumnya, perkawinan antar pemeluk agama ini masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita
kitabiyah, yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam pasal 40 c dan 44 Kompilasi Hukum Islam, bahwa realitasnya perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda, lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsipil yang berbeda. Memang ada, pasangan perkawinan yang berbeda
agama dapat rukun dan dapat mempertahankan ikatan perkawinannya. Yang sedikit terakhir ini tentu saja dalam pembinaan hukum belum cukup dijadikan
acuan, kecuali hanya merupakan eksepsi atau pengecualian.
104
Para ulama di Indonesia, termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia, tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama. Firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 21 menyatakan:
5b
, F Ll3y z
Y{| }
=
• €=;X
• y J
S C=Ll3y z•
9 ‚
5b
,7 Bƒ l3y z
Y{| ,
Yc C
7
• y J
S C…3y z•
9 ‚
C‡k ˆ ‰
c A v34
?0, uV0
c A v34
=X ‚
; J
D3_3 B3 ƒ C
0X 1k
7 JKlLo
MNNOP
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-
wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
104
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.VI, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, h. 345.
surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat- ayat-Nya perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. ” QS. Al-Baqarah, 2:221
Dalam melihat pasal 40 c dan 44 Kompilasi Hukum Islam yang perlu diperhatikan adalah bunyi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 2 ayat 1 bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Jadi
kalau Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan al-Qur’an, yang bersifat kolektif, ia
merupakan hukum yang harus dipedomi bagi umat Islam Indonesia. Walhasil, perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan secara hukum, karena
termasuk suatu bentuk halangan perkawinan.
105
2. Usia Pernikahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 15 ayat 1 didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang
diletakkan Undang-Undang Perkawinan, bahwa calon suami-istri harus telah matang jiwa-raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
105
Ibid., h. 348.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur.
Masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha
pembaharuan pemikiran fiqh masa lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam
surat al-Nisa’ ayat 9:
W• ² o q›Œ KV0
l J \31
R S
,=© h?7D 0e
7 O 7R
312 ™
4© oR
R KV0
4 o ,b
‡c c
n MtP
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.
” QS. Al-Nisa’, 4:9 Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda –di bawah ketentuan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan- akan
menghasilkan keturunan
yang dikhawatirkan
kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan
dengan misi dan tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit
terwujud, apabila masing-masing mempelai belum matang jiwa dan raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di
dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi liku- liku dan badai rumah tangga.
Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahah mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady,
yang kebenarannya yang relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang
usianya di bawah 21 tahun –atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita- Undang-undang tetap memberi jalan keluar.
106
Pasal 7 ayat 2 menegaskan: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi
pria maupun wanita.
107
Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan nomor 4 huruf d
Pertimbangan problem kependudukan, seperti diungkapkan dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan, turut mempengaruhi perumusan
106
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan Keluarga Sakinah
, cet.II, Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006, h. 66
107
Ibid., h. 74.
batas umur calon mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat sejalan dengan tujuan hukum Islam itu
sendiri. Pada prinsipnya, perkawinan di bawah umur itu juga tidak dibenarkan
oleh ajaran agama Islam karena sangat dikhawatirkan akan menyia-nyiakan tanggung jawab yang cukup besar yaitu masalah rumah tangga, di mana
seorang suami atau istri akan ditanya kelak di hari akhir.
108
Sedangkan hubungan usia pernikahan ini dengan masalah kafaah adalah bahwa kafaah disyaratkan bagi laki-laki, artinya seorang laki-laki harus
sama umurnya atau lebih daripada calon istrinya. Sedangkan dalam hukum positif diatur batasan minimal usia pernikahan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki
dan 16 tahun untuk perempuan, sehingga bisa bisa dikiaskan sebagai unsur kafaah.
108
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.I, Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993, h. 15.
BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA