5. Hukum dan Prinsip Pernikahan
Hukum pernikahan menurut para ulama bermacam-macam, yaitu berdasarkan situasi dan kondisi. Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan
umatnya yang sudah mampu untuk menikah karena banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Hukum pernikahan berdasarkan situasi dan kondisi
ini terbagi menjadi lima, yaitu:
18
a. Sunah,
19
artinya nikah itu sunah bagi orang yang telah mampu dan berkehendak untuk menikah.
b. Wajib,
20
artinya nikah itu wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah mampu menikah dan jika tidak menikah ia akan terjatuh ke dalam
perzinaan. c.
Mubah,
21
artinya nikah itu mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh hal- hal yang mengharuskan atau mengharamkan nikah.
d. Makruh,
22
artinya nikah itu makruh bagi orang yang tidak mampu untuk nikah, yakni tidak mampu baik biaya maupun mental.
18
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.II, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1983, h. 12-14.
19
Pernikahan yang hukumnya sunnat berarti pernikahan itu lebih baik dilakukan daripada ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
20
Pernikahan yang hukumnya wajib berarti pernikahan itu harus dilakukan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.
21
Pernikahan yang hukumnya mubah boleh berarti pernikahan itu boleh dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan
tidak berdosa.
22
Pernikahan yang hukumnya makruh berarti pernikahan itu lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa.
e. Haram,
23
artinya nikah itu haram hukumnya bagi orang yang berkeinginan nikah dengan niat menyakiti atau berbuat aniaya.
Prinsip-prinsip hukum pernikahan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu
saling membantu
dan melengkapi
agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual
dan material. b.
Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan pernikahan, dan harus dicatat
oleh petugas yang berwenang. c.
Asas monogami
24
terbuka. d.
Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa dan raganya dapat melangsungkan pernikahan, agar mewujudkan tujuan pernikahan secara
baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
23
Pernikahan yang hukumnya haram berarti pernikahan itu dilarang keras dilakukan, jika dilakukan berdosa dan jika tidak dilakukan mendapat pahala.
24
Perkawinan diartikan seorang perempuan hanya memiliki seorang suami dan seorang laki- laki hanya memiliki seorang istri. KUH Perdata ps. 27
e. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan
diputuskan bersama oleh suami-istri. g.
Asas pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan mempermudah mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan
perkawinan.
25
6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan