merupakan faktor terpenting yang mendorong sebagian besar dari mereka memilih cara hidup yang penuh noda dan dosa, terbenam di dalam
kekejian dan kehinaan.
116
Sebaliknya, bagi para pemuda yang mempunyai perasaan dan semangat beragama keimanan yang mendalam, maka tentulah mereka
tidak akan mendekati perbuatan-perbuatan maksiat itu. Dan mereka akan senantiasa muraqabah yang berhubungan dengan Allah SWT, dan karena
itulah mereka terdinding dari perbuatan-perbuatan yang merusak dan menghancurkan.
Inilah faktor yang menyekat para pemuda untuk memiliki perempuan yang halal di dalam hidup mereka, sebagai penenang jiwanya,
menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan yang akan menyelamatkan akhlaknya. Tetapi bagi para pemuda yang beriman, maka faktor yang
paling berpengaruh dan penghalang baginya untuk melaksanakan pernikahan adalah karena tingginya mahar, dan biaya pernikahan,
disamping kurang siapnya jiwa mereka yang tidak meyakini akan kemampuan membimbing sebuah keluarga di dalam rumah tangga.
2. Krisis Rumah Tangga
116
Abu Muhammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 386.
Banyak rumah tangga yang dibangun kaum muslimin tidak mampu mempertahankan keharmonisannya. Rumah tangga tak ubahnya seperti
neraka, tempat yang paling tidak menyenangkan bagi penghuninya. Di antara krisis yang terjadi dalam rumah tangga adalah ketegangan
hubungan atau konflik suami-istri, konflik orang tua dengan anak, atau konflik dengan mertua, dan bahkan konflik sesama anak. Ketegangan suami-
istri merupakan krisis yang sangat mendasar dan harus segera mendapat penyelesaian, dan mengupayakan pencegahan sebelum terjadinya konflik.
Adakalanya, suami terlalu sibuk dengan berbagai urusannya di luar rumah dan tidak mau memberikan empati perhatian terhadap kesibukan istri.
Ia hanya ingin memberikan hak-hak istri berupa pemenuhan materi dan kebutuhan seksual. Ia lupa bahwa yang diperlukan istri lebih dari itu. Bukan
hanya sekedar terpenuhinya materi dan tersalurkannya kebutuhan biologis, namun lebih dari itu, istri memerlukan perhatian, kasih sayang, dan kemesraan
hubungan. Adakalanya istri terlalu banyak menuntut. Berbagai pemenuhan
material dimintanya pada suami, sampai di luar batas kemampuan suami untuk menanggungnya. Istri menjadi uring-uringan dan bersikap tidak hormat
lagi kepada suami. Tak sedikit yang kemudian memiliki sikap “permusuhan” secara diam-diam atau terang-terangan.
117
117
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat
, cet.I, Solo: Intermedia, 1997, h. 184.
Permasalahan lain yang bisa terjadi dalam sebuah keluarga adalah konflik antara suami-istri di satu pihak dengan mertua di pihak yang lain.
Kejadian ini lazim terjadi pada keluarga yang tinggal di rumah mertua. Hal ini memberi peluang munculnya ketidakcocokan dalam berbagai bidang
kehidupan, dari masalah kecil hingga masalah prinsip.
118
Sebuah kapal memang tidak bisa dipimpin oleh dua orang nahkoda. Sebuah rumah tangga seharusnya dikepalai oleh seorang suami. Dalam
kondisi seperti di atas, tentulah mau tidak mau terdapat lebih dari satu kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya mekanisme kerja rumah
tangga. Ayah mertua merasa mempunyai hak mengatur seluruh anggota rumah tangga, demikian pun sang menantu merasa mempunyai kebebasan dan
otoritas. Konflik yang sering terjadi adalah masalah ekonomi keluarga,
pendidikan anak-anak, pemanfaatan fasilitas, dan bahkan masalah urusan dapur. Jika tidak segera diselesaikan dengan bijak, ketegangan akan bisa
memuncak menjadi perasaan saling membenci dan memusuhi. Untuk itu, pilihan tinggal di rumah mertua harus dipertimbangkan dengan masak dan
memperhatikan banyak aspek.
119
Modal saling pengertian pada awalnya memang bisa menjauhkan konflik. Akan tetapi, ini tidak akan bisa diandalkan untuk jangka panjang.
Suami-istri pada sebuah rumah tangga Islami perlu “mengenalkan diri” secara
118
Ibid., h. 185.
119
Ibid., h. 187.
arif pada mertua, meliputi standar hidup, tolok ukur keberhasilan, pola hidup dan sebagainya. Selain itu, kesepakatan dalam hal-hal yang prinsip perlu
dilakukan sejak awal. Perlu juga adanya pembatasan wilayah kewenangan yang jelas dan tegas antara dua keluarga tersebut.
120
Apabila benih-benih konflik mulai kelihatan, rumah tangga Islami harus segera mengambil jalan keluar dan langkah antisipatif. Permasalahan
tidak akan selesai dengan dibiarkan bergulir. Lebih baik mengantisipasi dari awal daripada membiarkan permasalahannya menjadi besar baru diupayakan
penyelesaian. Pengambil inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan bisa datang dari pihak mana pun, baik dari keluarga mertua maupun dari anak dan
menantu. Lebih cepat permasalahan diselesaikan, akan lebih baik hasilnya.
121
Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam rumah tangga harus ditanggapi dengan bijaksana sambil terus berusaha mencari jalan keluar
yang terbaik untuk menyelesaikannya.
B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga