arif pada mertua, meliputi standar hidup, tolok ukur keberhasilan, pola hidup dan sebagainya. Selain itu, kesepakatan dalam hal-hal yang prinsip perlu
dilakukan sejak awal. Perlu juga adanya pembatasan wilayah kewenangan yang jelas dan tegas antara dua keluarga tersebut.
120
Apabila benih-benih konflik mulai kelihatan, rumah tangga Islami harus segera mengambil jalan keluar dan langkah antisipatif. Permasalahan
tidak akan selesai dengan dibiarkan bergulir. Lebih baik mengantisipasi dari awal daripada membiarkan permasalahannya menjadi besar baru diupayakan
penyelesaian. Pengambil inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan bisa datang dari pihak mana pun, baik dari keluarga mertua maupun dari anak dan
menantu. Lebih cepat permasalahan diselesaikan, akan lebih baik hasilnya.
121
Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam rumah tangga harus ditanggapi dengan bijaksana sambil terus berusaha mencari jalan keluar
yang terbaik untuk menyelesaikannya.
B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga
Hampir tidak didapati sebuah keluarga yang terbebas dari segala macam permasalahan dan perselisihan. Namun, setiap keluarga berbeda-beda persoalan
dan permasalahan yang dihadapi. Islam sangat menganjurkan suami-istri untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang mendera mereka berdua dan
120
Ibid., h. 190.
121
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga. Penerjemah M. Abdul Ghoffar, cet.V, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, h. 177.
memecahkan segala aral melintang yang menghadang bahtera mereka, dan Islam juga membimbing masing-masing dari suami-istri agar menempuh solusi terbaik,
sebagaimana juga menganjurkan agar sesegera mungkin menempuh solusi terbaik bila muncul benih-benih perpecahan dan perbedaan persepsi.
122
Berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, bisa jadi memang termasuk bagian dari bumbu kehidupan keluarga. Akan tetapi, bila bumbu itu
berlebihan maka masakan pun tak enak dan bisa jadi malah mengancam keutuhan keluarga. Oleh karena itu, sekalipun pada beberapa kondisi tertentu ketegangan
masih bisa dinilai sebagai sesuatu yang wajar, tetap harus diwaspadai. Pengabaian atas sikap memperhatikan masalah-masalah ketegangan
suami-istri semacam itu pada hakekatnya hanyalah menunda klimaks dari konflik yang terus terbangun. Klimaks dari konflik yang berkepanjangan seringkali tidak
mengenakkan. Ia akan membawa rasa sakit dan trauma pada seluruh pihak: suami, istri serta anak-anak.
Untuk mencegah munculnya konflik yang berkepanjangan dan mengatasi berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, beberapa hal berikut layak
diperhatikan: 1.
Mengembalikan seluruh masalah pada aturan Allah dan Rasul-Nya Di sinilah letak pentingnya memulai kehidupan keluarga dengan niat
ibadah, berangkat karena perintah serta tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika ada masalah, maka kembalinya kepada pihak yang memberi perintah dan
tuntunan. Berbeda dengan mereka yang tidak meniatkan pernikahan sebagai
122
Abdul Azhim, al-Wajiz, h. 607.
ibadah, tetapi sekedar pemuasan nafsu atau sekedar tuntutan kewajaran hidup belaka. Mereka ini sulit kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena
berangkatnya tidak dari keduanya. Allah SWT telah berfirman:
0=‹qc ˆk BŒ KV0
X 7o U
KV0 7o U
pnsJ Avˆ ‰
´ µ. 0 \
, 3_ R
| ¶ i ,
A3B YL¤
2J R
A v34 ¤V0
ŽpnsJ 34
| ¶X l ,
7 ¤V003
I o gJ S.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah dan taatilah Rasul Muhammad, dan ulil amri pemegang kekuasaan di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah Al-qur’an dan Rasul sunnahnya,
jika kamu beriman pada Allah dan hari kemudian...”
QS. An-Nisa’, 4:59 Hendaknya keluarga muslim menyadari bahwa permasalahan tidak
bisa selesai hanya dengan pertengkaran dan kekerasan. Cara-cara semacam itu hanya akan memperuncing dan memanaskan situasi saja. Hanya dengan cara
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, segala permasalahan bisa diselesaikan secara proporsional.
123
2. Mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak
Salah satu penyebab ketegangan adalah apabila suami dan istri berlomba menuntut hak masing-masing dengan melalaikan kewajibannya.
123
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami, h. 185.
Padahal, saling menuntut hak itu sesungguhnya perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Sikap menuntut hak semacam itu kadang justru semakin memperuncing permasalahan suami-istri. Apalagi ketika diberi bumbu-bumbu
egoistis sikap ingin menang sendiri dan tak mau bersikap empati pada pihak lain, maka yang terjadi hanyalah menambah sakit hati dan rasa dendam.
Islam telah menetapkan batas-batas hak serta kewajiban dengan adil dan bijaksana. Jika semua pihak menetapi kewajiban-kewajibannya, tentu
akan tertunaikan pula hak dengan sendirinya. Apabila suami telah menunaikan kewajiban terhadap istri dengan sebaik-baiknya, maka hak istri
telah tertunaikan. Demikian juga apabila istri telah menunaikan kewajiban terhadap suami, maka hak suami pun telah tertunaikan. Suasana harmonis
akan lebih mudah dibangun dalam kondisi seperti ini.
124
3. Memperhatikan masalah-masalah yang dianggap kecil
Salah satu bagian kemesraan dalam keluarga, ia dibangun di atas verbalitas
kata-kata. Istri memerlukan ungkapan verbal atas kasih sayang dan perhatian suami terhadapnya. Hal semacam ini sering terbaikan oleh para
suami. Suami merasa menunaikan kewajiban dengan baik apabila telah memberikan kecukupan materi.
Ungkapan kecil, seperti “terima kasih”, “jazakallah”, atau “thank you” memang sebuah verbalitas dari keinginan menyampaikan penghargaan.
124
Ibid., h. 186.
Tetapi, walaupun verbal kalimat itu penting diucapkan oleh suami maupun istri. Demikian juga ucapan “maaf”, “afwan”, atau “sorry” dan sejenisnya,
telah dianggap remeh oleh suami-istri. Sebaiknya, suami maupun istri meringankan lisan untuk mengungkapkan penghargaan terhadap penunaian
kewajiban masing-masing pihak. Hal ini, insyaAllah akan menambah kadar keinginan untuk berbuat baik lagi.
125
Hal kecil lainnya adalah saling memberi hadiah secara berkala, pada moment-moment tertentu, atau membawakan istri oleh-oleh saat suami datang
dari bepergian jauh. Peristiwa semacam itu sangat menyenangkan istri yang merasa mendapat perhatian istimewa dari suami.
126
4. Berduaan, mengasingkan diri dari rutinitas
Rutinitas pekerjaan sering membuat jenuh. Istri yang banyak berada di rumah merasa jenuh oleh dunia sempit yang mengurungnya, dari satu ruang
ke ruang yang lain. Demikian juga suami, ia jenuh oleh rutinitas bekerja mencari kehidupan, sehingga kurang memperhatikan urusan rumah tangga.
Sesekali, suami-istri perlu pergi dari rumah berdua saja, meninggalkan anak-anak bersama pembantu rumah tangga atau anggota keluarga yang lain
di rumah. Suami-istri bisa saling melakukan evaluasi berduaan terhadap perjalanan rumah tangga selama ini, tanpa diganggu keributan anak-anak.
Perlu suasana-suasana baru yang sejuk dan nyaman, terbebas dari suasana
125
Ibid., h. 187.
126
Depag RI, Pedoman Konselor, h. 246.
rutinitas yang membosankan. Semua perasaan bisa diungkapkan. Dengan cara itu diharapkan pula akan terbentuk ingatan masa lalu waktu pengantin baru.
Indahnya malam pertama, masa-masa perkenalan di hari-hari pertama pernikahan yang mengesankan, ataupun bersama mengingat peristiwa-
peristiwa masa lalu yang membangkitkan kecintaan dan kesenangan.
127
Dalam suasana seperti itu, suami-istri akan lebih dingin dalam menyelesaikan masalah, sehingga jika ada konflik tak akan berkepanjangan.
5. Jangan senantiasa berpikir hitam-putih
Setiap masalah bisa didudukkan secara proporsional. Ada pihak yang salah dan ada pula pihak yang benar. Akan tetapi, untuk menyelesaikan
perselisihan suami-istri, tidak mesti dilihat dalam konteks benar-salah semacam itu.
Saling mendahului minta maaf merupakan langkah yang terbaik untuk meredakan ketegangan, daripada memulai dengan berpikir siapa yang
bersalah. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan akibat tudingan kesalahan tersebut maka akan memperparah sakit hati yang bersangkutan.
Memang, dalam masalah tertentu yang berkaitan dengan hukum perlu kejelasan yang benar dan yang salah, untuk mendapatkan penyelesaikan
secara tegas. Namun, dalam berbagai masalah keseharian dalam hidup rumah tangga, tidak terlalu penting mencari siapa benar dan siapa salah. Saling
127
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami, h. 188.
mendahului meminta maaf jauh lebih utama, untuk menjaga keharmonisan hubungan suami-istri.
128
6. Berbohong, jika memang diperlukan untuk ishlah
Pada dasarnya, berbohong adalah perbuatan dosa dan terlarang. Sikap dasar setiap muslim adalah jujur, terpercaya, dan tidak berdusta. Akan tetapi,
Islam memberikan “peluang” untuk menyimpang dari aturan dasar itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
R 6 ی ی R- o 4 =
7 ? 7 5 5 6 C pq A]. 12یp
9mri M
ﺕo m, 2ی
s A 2 C A].
s 4 Z G A].
h - +
J f] T
L
129
Artinya : “Dari Asma’ binti Yazid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak halal berdusta kecuali dalam tiga perkara yaitu seorang
bercerita kepada istrinya untuk menyenangkannya, berdusta dalam peperangan dan berdusta untuk mendamaikan antara orang yang
bertikai.
” HR. at-Tirmizi Sekalipun berbohong antara suami dan istri diperbolehkan, tentu saja
itu adalah sikap pengecualian. Nilai kejujuran dan saling percaya harus tetap dipegang teguh. Bohong hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, untuk
melakukan ishlah perbaikan dan membuat suasana harmonis dalam rumah tangga, tetapi tidak untuk saling menipu, mendustai, dan mengkhianati.
130
7. Mendatangkan pihak ketiga yang dipercaya keduanya
128
Ibid., h. 189.
129
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Termizi, Sunan al-Termizi, Penerjemah Moh. Zuhri, Jil.III, Semarang : CV Asy Syifa’, 1992, h. 464.
130
Ibid., h. 189.
Apabila ketegangan tak terselesaikan dengan cara-cara persuasif, bahkan semakin meningkat, maka bisa ditempuh cara menghadirkan
seseorang yang dipercaya. Bahkan jika perlu, suami-istri datang kepada seseorang yang dipercaya keduanya. Bisa jadi seorang ustadz yang dikenal
kearifannya, atau seorang shalih yang lebih tua dari mereka berdua, yang dipercaya bisa menyimpan rahasia.
Suami istri mengadukan masalah dan perasaan hatinya masing- masing, untuk didengarkan dan diselesaikan oleh pihak ketiga tersebut.
Dengan izin Allah, pihak ketiga akan memberikan saran, pandangan, atau alternatif pemecahan masalah. Sekalipun pihak ketiga ini tidak mampu
menyelesiakan masalah dengan tuntas, tetapi aspek pengaduan amat diperlukan untuk menumpahkan perasaan hati.
131
Demikianlah, beberapa upaya preventif dan sekaligus solusi ringan dari konflik suami-istri. Namun, dalam kasus nusyuz, di mana pihak istri tidak
berfungsi sebagai istri, tidak patuh atau melawan kebenaran, suami berhak bertindak dalam tiga tahapan, sebagaimana penjelasan Allah SWT:
YŽ| K 7R0
˜“7• m7—
˜“7•¸ 7 R } 7• J‚ •0
A3B “] 805t
} 7• 3y 0
3_ R 9 , 7 U
5L R C
} ‹ y
eLo39 n
34 KV0
qrLl 0b23
,yJ395’
MgP
131
Ibid., h. 191.
Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka
di tempat tidur pisah ranjang, dan kalau perlu pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
” QS. An-Nisa’, 4:34 Ketika istri sudah mulai membandel dan tidak taat, maka suami harus
menempuh kiat-kiat penyelesaian yang telah ditawarkan oleh Islam
132
, yaitu: a.
Menasehati istri dengan cara yang baik b.
Berpisah ranjang dengannya c.
Memukulnya dengan tangan atau benda ringan sebagai pelajaran baginya d.
Jika semua ini tidak memberi hasil, maka solusi terakhir adalah melakukan tahkim, yaitu mengangkat juru damai.
Sebagaimana firman Allah SWT :
34 \.
S º0 4 K
0 ¥‹P[ : 7Z
7 00 R
0• 3
• 0•
V0 13
• 34
V c gJ
š34 P
R uV0
V0 ‘‹ [2
34 KV0
Ll 0e23
,yJ3C
S Mg3P
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
QS. An-Nisa’, 4: 35
132
Muhammad Ali al-Shabuni, Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri. Penerjemah: Muhammad Nurdin, cet.I, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000, h. 153-154.
Ayat di atas telah mengingatkan suami agar menasehatinya dengan baik-baik. Kalau istrinya tidak bisa dinasehati, suami disuruh berpisah
ranjang dengan istrinya- maksudnya, tidak berhubungan intim. Kalau cara kedua ini tidak membawa hasil, maka suami boleh memukul istrinya
dengan pukulan ringan supaya istri sadar akan kekhilafannya lalu mengusir godaan dan rayuan setan yang sedang mempermainkannya.
Apabila cara ketiga ini juga tidak berhasil, maka hakim harus meminta dari masing-masing pihak untuk mengirimkan juru damai atau penengah
yang adil untuk menyelesaikan konflik dan mencari solusi terbaik bagi pasangan suami-istri itu.
133
C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga