Pendapat Ulama tentang Kafaah

di atas dan mempersamakannya dengan perempuan dalam segala amal kebajikan. 74 Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada riwayat dari Aisyah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, Q j 4 R 6 M- 7 = 7 ? 7 5 5 6 ﺕ k - B . = ﻥ . 2 N ﻥ . 2 M = + J T L 75 Artinya: “Dari ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pilih- pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian maksudnya isteri, dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu ”. HR. Ahmad Perihal kafaah sebanding atau sepadan ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk ke-sah-annya. Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafaah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami-istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Dengan arti lain, keduanya boleh membatalkan akad nikah pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya. 76

B. Pendapat Ulama tentang Kafaah

Islam adalah agama fitrah yang condong kepada kebenaran, Islam tidak membuat aturan tentang kafaah tetapi manusialah yang menetapkannya. Karena itulah terdapat perbedaan pendapat tentang hukum kafaah dan pelaksanaannya. 74 M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-Qur’an, vol.11, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 270. 75 Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th., h. 394. 76 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Fiqh Mazhab Syafi’I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 261. Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh al-Jaziriy sebagai berikut: Menurut ulama mazhab Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah: 1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. 2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. 3. Hirfah, yaitu status sosial dan profesi dalam kehidupan. 4. Huriyah atau kemerdekaan diri. 5. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam. 6. Kekayaan. 77 Menurut ulama Malikiyah kriteria kafaah hanyalah dua hal, yaitu: 1. Diyanah atau kualitas keberagamaan. 2. Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik. 78 Menurut ulama Syafi’iyyah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah: 1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. 2. Din atau kualitas keberagamaan. 3. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan 4. Hirfah atau status sosial dan profesi dalam kehidupan. 79 Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah: 77 Abdur Rahman Ibn Muhammad ‘Audh al-Jaziriy, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah, Jil.I, Juz 1-5, Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th., h. 842. 78 Ibid., h. 844. 79 Ibid., h. 845. 1. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam; 2. Shana’ah, yaitu usaha atau profesi; 3. Kekayaan; 4. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan 5. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. 80 Adapun mengenai hukum kafaah dalam pernikahan, maka para ulama berbeda pendapat, diantaranya: Ibnu Hazm berpendapat 81 bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan dalam pernikahan. Beliau mengatakan, “Setiap muslim -sepanjang bukan seorang pezina- berhak untuk menikahi perempuan muslimah yang manapun juga - sepanjang perempuan itu bukan seorang pezina-“. Beliau melanjutkan, “Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-laki yang nasabnya tidak terpandang tidaklah dilarang menikahi puteri seorang khalifah dari Bani Hasyim. Dan seorang muslim yang fasiq -sepanjang bukan pezina- adalah sekufu dengan perempuan muslimah yang juga fasiq -sepanjang perempuan itu bukan pezina-“. Argumentasinya berdasarkan firman Allah SWT; +++  00 R ST0 U S V0W X +++ Artinya: “…maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi…” QS. An-Nisaa, 4:3 80 Ibid., h. 846. 81 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jil.II, Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, t.th., h. 143. Rasulullah SAW pernah mengawinkan Zainab -Ummul Mukminin- dengan Zaid bin Haritsah, bekas pelayan Rasul. Beliau juga pernah mengawinkan al-Miqdad dengan Dhibaah binti Zubair bin Abdul Muthalib. 82 Ulama yang lain mengatakan bahwa kafaah harus dipertimbangkan, tetapi hanya dalam hal keistiqamahan tadayyun dan akhlaq. Jadi bukanlah kafaah itu dalam hal nasab, kekayaan, dan sebagainya. Sehingga boleh-boleh saja seorang laki-laki shalih yang nasabnya tidak terpandang menikahi perempuan yang nasabnya terpandang, atau seorang laki-laki miskin tetapi shalih dan bertaqwa menikahi seorang perempuan yang kaya. Dalam hal ini, wali tidak boleh menolak pernikahan tersebut kalau memang perempuan itu sudah rela dengan pernikahan tersebut. Adapun seorang laki-laki yang tidak istiqamah dalam beragama, maka dia tidaklah sekufu dengan seorang perempuan yang shalihah. 83 Allah SWT berfirman, 0=‹qc ˆk 0, 0k34 ;X4 S JLl D Y ”‰ ;XR 7 8 0” 7 K 56–V0 C 7R ?0 7 34 J¦’ cX  ¤V0 4 … Artinya: “Wahai manusia Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. ..” QS. Al-Hujurat, 49:13 82 Alhamdani, Risalah Nikah, h. 17. 83 Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 144. Rasulullah SAW bersabda, 5 6 ,ﻥ 9=ﺕ 4 = 7 ? 7 5 5 6 V ﺕ N = 4 ﺕ P : ی- c C ﻥ . 2 T ﺕ ﺕ . 4 C - Q C l C ; : N 6 ی 5 7 P N P C 6 U 5 V N = 4 ﺕ P : ی- c C ﻥ . 2 T i m 9 + J T f] L 84 Artinya: “Dari Abu Hatim al-Muznny berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan budi pekertinya maka kawinkanlah dia, kalau tidak nanti akan menimbulkan fitnah dan kerusakan di dunia. Mereka menyela, ‘Ya Rasulullah, apakah meskipun…cacat? Rasulullah SAW menjawab, ‘Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridhai agama dan budi pekertinya, maka nikahkanlah dia. Beliau mengucapkan demikian sampai tiga kali.” HR. at-Tirmizi Rasulullah SAW pernah melamar Zainab binti Jahsy untuk beliau nikahkan dengan Zaid ibn Haritsah. Tetapi, Zainab dan juga saudara laki-lakinya, Abdullah, menolak lamaran itu, karena merasa nasabnya jauh lebih tinggi sementara Zaid adalah seorang budak. Maka turunlah firman Allah SWT : Ll  5b T= ,  D34 YWY uV0 j 7Vn ? •J  1 ; ySJ ¢0 •gJ P 7 KV0 j Vn ? c 4 R 6WO ZL WO 0X,:3C• Mg P Artinya: “Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, memiliki pilihan dalam urusan mereka itu. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah sesat sesesat-sesatnya ”. QS. Al-Ahzab, 33:36 Sehingga, Abdullah menyerahkan semuanya kepada Nabi. Maka Nabi pun menikahkan Zainab dengan Zaid. 84 Abu Isa Muhammad Ibn Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmizi, juz-2, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 345 Imam Ali –karramallahu wajhah- pernah ditanya tentang hukum kafaah dalam pernikahan 85 , maka beliau pun berkata, - h X M = N 9F 1 M = Y 1 M = 6 ی 1 M = 1 M = V - + Artinya: “Manusia itu sebagian kufu bagi lainnya, Arab-nya, ‘Ajam-nya, Quraisy-nya, dan Hasyimi-nya, apabila mereka telah masuk Islam dan beriman.” Di antara golongan ini ialah para ulama Malikiyah. Menurut Malikiyah, unsur yang sebaiknya sekufu antara suami dan istri adalah al-din atau al-hal saja. Yang dimaksud dengan al-din adalah ketaatan menjalankan ajaran agama. Artinya, sekalipun kedua suami-istri sama-sama beragama Islam, tetapi jika salah satu di antara mereka orang yang taat menjalankan ajaran agama dan yang satunya lagi orang yang fasiq, maka mereka tidak sekufu. Orang yang shalih hanya sekufu dengan orang yang shalih pula, dan orang yang fasiq hanya sekufu dengan orang yang fasiq pula. Sedangkan yang dimaksud dengan al-hal oleh Malikiyah adalah tidak mempunyai cacat yang menyebabkan masing-masing suami-istri memiliki hak khiyar dalam pernikahan, seperti: gila, lepra, dan penyakit kelamin. Orang yang sehat tidak sekufu dengan orang yang cacat kelamin, orang yang gila maupun orang yang lepra. 86 Imam Al-Syaukani berkata, “Yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din, sehingga seorang muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang perempuan yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa. Al- 85 Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 144. 86 Ibid., h. 145. Qur’an dan Hadis sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang perempuan yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa. Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi perempuan Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi perempuan Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi perempuan yang kaya raya”. 87 Sedangkan sebagian besar fuqaha juga berpendapat sama dengan para ulama Malikiyah dan lain-lainnya sehingga seorang laki-laki fasiq tidaklah sekufu dengan perempuan yang menjaga diri. Hanya saja, mereka tidak mencukupkan kafaah sampai di situ saja, tetapi meluaskan arti dan cakupannya pada hal-hal yang lain, antara lain : Pertama, nasab atau keturunan. Maksudnya, orang Arab sekufu dengan orang Arab yang lainnya. Orang Quraisy sekufu dengan orang Quraisy yang lainnya. Orang Ajam tidak sekufu dengan orang Arab. Orang Arab umum tidak sekufu dengan orang Arab Quraisy. 88 Rasulullah SAW bersabda, 87 Abu Abdillah Muhammad Ibn Abu Bakar Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Zaad al-Ma’ad fi Hadi Khair al-Ibad , juz-4, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1970, h. 28. 88 Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 146. 4 4 5 6 M- 7 = 7 ? 7 5 5 6 A N X M = 9F 6 Q 9Q 9F N =MX I Y j 9 + J T L 89 Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Orang arab satu dengan lainnya sekufu, kabilah satu kufu dengan lainnya, Mawali campuran Arab dengan Ajam sekufu dengan sesama Mawali, laki-laki yang satu sekufu dengan lainnya, kecuali tukang bekam.” HR. Ahmad Atsar yang diriwayatkan oleh Daruquthni, dari Umar ibn Al-Khaththab r.a., beliau berkata, N 4 A ; V ﺕ 4 - + Artinya: “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu ”. Para ulama Syafi’iyah dan juga Hanafiyah mengakui sahnya mempertimbangkan nasab dalam masalah kafaah dalam pengertian sebagaimana tersebut diatas. Hanya saja di antara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang apakah setiap Quraisy sekufu dengan Hasyimi dan Muthallibi. Adapun ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa tidak setiap laki-laki Quraisy sekufu dengan perempuan Hasyimi dan Muthallibi. 90 Tetapi keutamaan ilmu mengalahkan keutamaan nasab dan segenap keutamaan yang selainnya. Sehingga, seorang alim adalah sekufu dengan perempuan yang manapun juga, apapun nasab perempuan itu, meskipun laki-laki alim itu nasabnya tidak terpandang. Dan juga seorang alim sekufu dengan perempuan manapun, meskipun perempuan itu kaya sementara laki-lakinya 89 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 399. 90 Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 146. miskin, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan kekayaan. Sesungguhnya Nabi SAW telah menikahkan kedua puterinya dengan Utsman ibn Affan. Beliau SAW juga telah menikahkan Abu al-Ash ibn al-Rabi’ dengan Zainab, puteri beliau. Padahal Utsman dan Abu al-Ash adalah keturunan Abdul Syams. Beliau SAW juga telah menikahkan Umar dengan puterinya, Ummu Kaltsum, padahal Umar adalah seorang Adawi. 91 Firman Allah SWT, “] R J uV0 BŒ KV0 , , BŒ KV0 7 ‰ S\R 7 EF 8 ? 2 ... Artinya: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu beberapa derajat ”. QS Al-Mujadalah, 58:11 Demikian pula Allah SWT berfirman, 67 6 • iP  ;° BŒ KV0 ± T 7 BŒ KV0 5b  7 Artinya: “Katakan : Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang- orang yang tidak berilmu? ” QS. Az-Zumar, 39:9 Demikianlah pendapat para ulama Syafi’iyah tentang nasab bagi orang- orang Arab. Adapun bagi orang-orang Ajam, di antara mereka ada yang berkata, “Kafaah di antara mereka tidaklah diukur dengan nasab”. Tetapi diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa orang-orang Ajam juga bertingkat-tingkat nasabnya dan hal itu dipertimbangkan dalam masalah kafaah, dikiaskan dengan hal yang serupa di kalangan orang-orang Arab. 92 91 Ibid., h. 147. 92 Ibid., h. 147. Kedua, kemerdekaan. Maksudnya, laki-laki budak tidak sekufu dengan perempuan merdeka. Laki-laki yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan perempuan yang sama sekali tidak pernah menjadi budak. Demikian seterusnya. 93 Ketiga, beragama Islam. Ini hanya berlaku untuk selain orang Arab. Yakni, apakah seseorang memiliki bapak, kakek, dan seterusnya yang beragama Islam atau tidak. Adapun orang Arab maka tidak perlu memperhatikan masalah ini, karena mereka sudah cukup dengan hanya mempertimbangkan masalah nasab. Yang demikian ini karena mereka hanya berbangga-bangga dengan nasab, bukan dengan kenyataan bahwa nenek moyangnya muslim atau bukan. Keempat, profesi atau pekerjaan. Seorang perempuan dari suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak sekufu dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir sama tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. 94 Kelima, kekayaan. Seorang laki-laki yang fakir tidak sekufu dengan perempuan yang kaya. Argumentasi yang dipakai ialah hadits riwayat Samrah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 5 6 9A - 4 4 = 7 ? 7 5 5 6 2 ; n 5 . I f + J 4 T L 95 Artinya: “Dari Samrah Ibnu Jundub berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kedudukan seseorang itu menurut hartanya dan kemuliaan itu tergantung ketaqwaannya.” HR. Ibn Majah 93 Ibid., h. 148. 94 Ibid., h. 149. 95 Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz-1, Beirut: Dar al- Fikr, 1995, h. 1410. Tetapi sebagian ulama menentang dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, dengan alasan bahwa kekayaan itu semu dan sementara, serta bukan sesuatu yang dijadikan standar muru’ah. 96 Adapun sahabat-sahabat Abu Hanifah, mereka mempertimbangkan kekayaan tetapi hanya sebatas kemampuan memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang cukup dan pantas. Jika seorang laki-laki tidak bisa memberikan salah satu dari dua hal itu atau bahkan kedua-duanya, maka ia tidak sekufu dengan perempuan yang ingin dinikahinya. 97 Adapun Abu Yusuf mengartikan kafaah dalam hal kekayaan hanya sebatas kemampuan memberikan nafkah yang cukup dan pantas, tidak termasuk mahar. Sebuah riwayat dari Imam Ahmad menyetujui dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, karena seorang perempuan dari keluarga kaya akan menderita hidup bersama laki-laki yang miskin, dan karena manusia menganggap kemiskinan sebagai kekurangan artinya orang yang kaya dimuliakan sebagaimana dimuliakannya orang yang nasabnya terpandang 98 . Keenam, tidak cacat. Terbebasnya seorang laki-laki dari kekurangan atau cacat fisik tidaklah termasuk dalam pengertian kafaah, karena para ulama sudah sepakat akan sahnya pernikahan laki-laki yang memiliki kekurangan atau cacat fisik. Hanya saja kekurangan atau cacat fisik pada laki-laki menyebabkan adanya 96 Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 149. 97 Ibid., h. 150. 98 Ibid., h. 150. hak pilih bagi perempuan untuk menerima pernikahan atau menolaknya, tidak bagi wali, karena perempuan sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh, berpenyakit lepra, atau gila. Demikianlah pendapat-pendapat sekitar kafaah dari para ulama mazhab dalam Islam. Ringkasnya ada tiga pendapat; pendapat yang ekstrim, longgar dan moderat. Pendapat pertama, dikemukakan oleh Ibnu Hazm. Beliau mengatakan bahwa kafaah itu tidak ada. Pendapat yang kedua, dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya, Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka mengatakan bahwa kafaah itu tidak hanya soal agama tetapi juga menyangkut hal-hal lain seperti yang dijelaskan dimuka. Di antara mereka bahkan ada yang berlebih-lebihan sampai ada yang menuntut fasakh meskipun perempuan ridha. Pendapat ketiga adalah pendapat yang moderat, lebih adil dan sesuai dengan Islam sebagai agama fitrah, yaitu bahwa kafaah itu hanya pada soal agama dan akhlak bukan pada soal lainnya. 99

C. Kafaah dalam Pernikahan