Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan penduduk di kota-kota besar yang relatif tinggi dengan penyebarannya yang tidak merata menimbulkan sejumlah permasalahan. Hal ini bertambah rumit dengan adanya sistem perpindahan penduduk dari desa untuk menetap di kota-kota besar tersebut. Penyediaan fasilitas yang wajar, bagi pertambahan penduduk secara alamiah belum berimbang, ditambah dengan pertambahan penduduk akibat urbanisasi tersebut. Salah satu peran pemerintah untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat adalah melaksanakan pembangunan di bidang perumahan dan pemukiman. Pembangunan perumahan di Indonesia pada dasarnya menghadapi 4 empat kendala. Pertama, tingkat keterjangkauan masyarakat yang relatif rendah. Kedua, pertumbuhan penduduk yang tinggi. Ketiga, keterbatasan lahan, baik pengadaan maupun harganya yang terus melonjak. Keempat, keterbatasan kemampuan pemerintah dalam membangun sarana dan prasarana perumahan, baik listrik, air, jalan, telepon maupun yang lainnya. 1 1 Tati Suhartati Yusron, “Analisis Penawaran Kredit Pemilikan Rumah di PT. Papan Sejahtera dan Bank-Bank Swasta di Kodya Bandung,” Laporan penelitian Universitas Padjajaran Bandung, 1990, h.1. 1 2 Dua kendala yang pertama menyangkut sisi permintaan perumahan. Dilihat dari keterjangkauan masyarakat, terjadi penurunan yang sangat besar. Memang, penghasilan masyarakat meningkat, namun lajunya tidak secepat peningkatan harga rumah. Akibatnya, masyarakat menjadi tidak mampu membeli rumah. Dari sisi penawaran dijumpai kendala keterbatasan lahan dan keterbatasan pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana pemukiman. Keterbatasan lahan membawa konsekuensi pada tingginya harga tanah. Kondisi ini semakin berat dengan meluasnya kegiatan spekulasi, yang membuat harga tanah semakin sulit dikendalikan. Pemenuhan kebutuhan rumah merupakan hak individu yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab masing-masing individu. Dalam konteks ini, Pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator dalam pemenuhan kebutuhan rumah. Masalah paling utama yang dihadapi pemerintah adalah pengadaan perumahan bagi masyarakat yang berpenghasilan relatif rendah, utamanya di perkotaan. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya tingkat penghasilan dan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia. Data Biro Pusat Statistik BPS tahun 2006 menunjukan bahwa kurang lebih 81 penduduk perkotaan di Indonesia merupakan kelompok masyarakat 3 berpenghasilan rendah MBR yakni yang berpendapatan s.d. Rp. 2.000.000 per bulan. 2 Willy mengungkapkan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2004 mencapai 224 juta jiwa dengan angka pertambahan penduduk rata-rata 1,68 persen atau 3,7 juta jiwa per tahun. Dengan asumsi penghuni sebuah rumah rata-rata 4,6 orang maka dibutuhkan rumah baru 800 ribu unit per tahun. 3 Sejalan dengan program Pembangunan Nasional 2001-2004 serta Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman, Pemerintah terus berusaha membantu pemenuhan kebutuhan rumah bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang salah satunya melalui bantuan pembiayaan pemilikan perumahan. Bantuan pembiayaan ini disalurkan melalui kredit pemilikan rumah KPR bersubsidi yang penyelenggaraanya melibatkan bank- bank yang sanggup menyalurkan KPR bersubsidi tersebut. Ada dua hal penting dalam pengelolaan penyaluran KPR bersubsidi, yaitu menyangkut masalah skim pembiayaan dan delivery program yang melibatkan banyak pihak khususnya Bank Pelaksana. Dalam hal ini BTN Syariah sebagai bank pelaksana. Pemerintah saat ini tengah mengembangkan skim bantuan pemilikan rumah melalui KPR syariah. Untuk mendukung berjalannya skim ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat akan mengembangkan subsidi uang 2 Tito Murbaintoro, ed., Kebijakan Pembiayaan Perumahan Jatinagor: Kementerian Negara Perumahan Rakyat, 2006, h.18. 3 “KPR Syariah Bisa Memperoleh Subsidi”, Republika, 2 Juni 2005, h.24 4 muka atau urbun dengan besar bantuan antara Rp. 3 juta - 5 juta sesuai dengan kelompok penghasilan masyarakat. Dengan demikian diharapkan keinginan masyarakat luas untuk dapat memenuhi kebutuhan perumahan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah secara luas dapat terpenuhi. Dengan diterapkannya skim KPR syariah diharapkan konsumen yang merupakan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dapat dihindarkan dari kerugian akibat turun naiknya suku bunga, sehingga konsumen tidak di dzalimi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Perkembangan dari perbankan dan ekonomi syariah belakangan ini cukup pesat. Maka, dalam pencarian alternatif pembiayaan rumah bagi golongan MBR, salah satu skema yang harus didorong adalah KPRKPRS Syariah Bersubsidi. Untuk memenuhi target pembangunan perumahan bagi MBR, pemerintah mulai memberikan subsidi kepada KPR syariah. Jumat 21 Oktober 2005, Menteri Perumahan Rakyat Menpera Muhammad Yusuf Asyari meluncurkan kebijakan tersebut. Untuk merealisasikan itu, Menpera telah menanda tangani nota kesepahaman dengan Bank Syariah Mandiri BSM dan BTN Syariah. 4 Perkembangan dan potensi pasar perbankan syariah mendorong BTN untuk turut serta dalam meningkatkan pelayanan pada nasabah dengan dual banking system sesuai dengan UU Perbankan No. 101998, yaitu perbankan 4 “Pemerintah Beri Subsidi KPR Syariah”, Republika, 26 Oktober 2005 5 konvensional dan perbankan syariah. Sesuai dengan core bisnisnya dalam bidang perumahan yang visi dan misinya saat ini. Yaitu “menjadi bank yang terkemuka dan menguntungkan dalam pembiayaan perumahan” dan “memberikan pelayanan unggul dalam pembiayaan perumahan dan industri ikutannya kepada lapisan masyarakat menengah ke bawah, serta menyediakan produk dan jasa perbankan lainnya”. Dalam perkembangannya KPR tidak hanya dimonopoli oleh bank konvensional saja, tetapi juga sudah dijalankan oleh bank syariah. Produk KPR pertama kali diperkenalkan oleh Bank Tabungan Negara BTN Tbk. yang awalnya menggunakan instrumen bunga sebagai alat untuk memperoleh keuntungan dari produk tersebut. Setelah BTN membuka Unit Usaha Syariah UUS, produk KPR yang dijual disesuaikan dengan konsep syariah, baik mengenai akadnya ataupun mekanisme transaksinya. Produk KPR pada perbankan konvensional difahami sebagai Kredit Perumahan Rakyat yang akadnya didasarkan pada prinsip pinjam-meminjam credit atau qard dengan memanfaatkan bunga sebagai variabelnya. Hubungan yang terjalin antara pihak bank dengan nasabah yang mengambil produk KPR ini adalah hubungan antara pihak kreditor dan pihak debitor. Pihak bank mengucurkan pinjaman bagi nasabah yang dimanfaatkan untuk keperluan KPR. Bank konvensional mengambil keuntungan profit dari bunga pinjaman yang dikenakan kepada nasabah. 6 Di sinilah letak ketidaksesuaian apa yang dipraktekkan perbankan konvensional dengan konsep ekonomi syariah yang prinsip utamanya melarang keras praktek bunga bank. Bunga yang dipraktekkan oleh perbankan konvensional merupakan riba yang ada dalam ajaran Islam, yaitu bagian dari riba nasi’ah. Pada dasarnya, model pinjam-meminjam dengan memakai pinsip qard dibolehkan dalam ajaran Islam dengan catatan tanpa memungut tambahan ziyadah, baik dengan memakai istilah bunga ataupun menggunakan istilah yang lain, yang intinya merupakan tambahan dari yang pokok. Kalau masih tetap mengharuskan adanya tambahan berarti praktek tersebut sudah menyerupai riba yang diharamkan dalam ajaran Islam. Sedangkan KPR yang dikembangkan oleh bank syariah dimaknai sebagai Kepemilikan Perumahan Rakyat yang mekanismenya didasarkan pada akad jual- beli tabadduli. Hubungan yang terjalin antara bank syariah dengan pihak nasabah yang mengambil produk KPR adalah hubungan antara penjual al-ba’iu dan pembeli musytari. Dalam hal ini, bank syariah sebagai pihak penjual yang menjual produk KPR kepada nasabah. Sedang nasabah sebagai pihak pembeli. Karena prinsip yang digunakan dalam model ini adalah jual-beli, maka kelaziman pada akad jual-beli memungkinkan adanya proses tawar menawar antara pihak bank dengan nasabah. Keuntungan bank syariah pada produk KPR ini dalam bentuk margin penjualan yang dikenakan kepada pihak nasabah. Tingkat margin yang ditetapkan oleh bank syariah menjadi obyek pembeda yang memungkinkan antar bank 7 syariah melakukan kompetisi dalam menentukan tingkat marginnya. Bisa jadi, satu bank syariah mengambil margin keuntungannya lebih rendah dibanding dengan tingkat margin yang ada pada bank syariah lainnya, atau jika memungkinkan bisa kompetitif dengan tingkat bunga yang ditetapkan oleh perbankan konvensional. Biasanya, bank syariah dalam menjual produk KPR-nya menggunakan fasilitas pembiayaan murabahah yang memungkinkan nasabah untuk membayar KPRnya secara angsuran. Di sini, ada unsur ta’awun tolong-menolong antara pihak bank syariah dengan nasabah. Nasabah tertolong oleh pihak bank syariah karena diberi keleluasaan membayar dengan melalui angsuran cicilan. Sedang pihak bank tertolong dengan mendapatkan keuntungan margin dari penjualan KPR. Adanya problem yang dirasakan oleh sebagian nasabah bank syariah tentang besaran margin yang diambil oleh bank syariah lebih banyak lebih besar jika dibanding dengan besaran bunga yang digunakan oleh bank konvensional sangat memungkinkan, karena prinsip yang dipakai oleh bank syariah mengacu pada konsep jual-beli yang memungkinkan mengambil keuntungan dalam batas yang proporsional dan saling rela an taradhin. Di sisi lain, belum terjadinya tingkat kompetisi antar bank syariah dalam menentukan margin keuntungan yang diperoleh dari penjualan produk KPR. Dalam hal ini, terlihat bahwa bank syariah mempunyai mandat yang luas dibanding dengan mandat yang dimiliki oleh bank konvensional. Sesuai dengan 8 peraturan yang ada, bank syariah diperbolehkan melakukan transaksi jual-beli. Sedang bank konvensional tidak diberi wewenang untuk melakukan transaksi jual-beli. Realita ini sebagai konsekuensi dari pelaksanaan ayat al-Quran tentang penghalalan jual-beli dan pengharaman riba. 5 Atas dasar pertimbangan uraian masalah yang dijelaskan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai hal tersebut yang dituangkan penulis dalam skripsi dengan judul “Analisis Kebijakan Kepemilikan Rumah Bersubsidi dengan Skim Syariah Studi Kasus BTN Syariah Unit Usaha Harmoni Jakarta”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah