Bab IV Pada Bab ini penulis akan membahas tentang Suksesi
Kepemimpinan dalam Pandangan Partai Keadilan Sejahtera, Suksesi Kepemimpinan di Partai Keadilan Sejahtera dalam
Perspektif Islam dan Demokratisasi Pemilihan Kepemimpinan dalam Partai Keadilan Sejahtera.
Bab V Pada Bab ini penulis akan menjelaskan dan menguraikan
kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan juga berisi saran-saran.
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUKSESI DAN KEPEMIMPINAN
Adanya pergantian kepemimpinan dalam suatu negara, maka terdapat istilah mengenai suksesi, yang biasa diartikan sebagai suatu proses perubahan
yang berlangsung atu arah secara teratur yang terjadi di dalam suatu negara dalam jangka waktu tertentu hingga terbentuk negara baru yang berbeda dengan negara
semula. Secara gamblang, suksesi adalah pergantian kepemimpinan dari suatu negara. Sedangkan seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai
wewenang untuk memerintah orang lain, yang di dalam pekerjaannya untuk mencapai tujuan organisasi memerlukan bantuan orang lain.
A. Pengertian Suksesi Kepemimpinan
Istilah suksesi diambil dari kata bahasa Inggris succession, atau bahasa Latin succeio, yang berarti penggantian, urutan, pewarisan.
1
Dalam suatu kehidupan bermasyarakat yang mengenal peradaban, membentuk suatu komunitas
yang di dalamnya terdapat pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan ini sering menimbulkan sebuah permasalahan tersendiri terutama pada proses alih
kepemimpinan yang biasa dikenal dengan Suksesi Kepemimpinan. Titik kritis dalam suksesi kepemimpinan ini diantaranya adalah bagaimana mendapatkan
seorang calon pemimpin yang sadar akan posisinya sebagai pemimpin yang
1
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h. 553., Arieeff.S,ed, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, tth, hal. 404., Peter.
memiliki makna bahwa pemimpin itu pelayan.
2
Suksesi menjadi hal yang mutlak dalam sebuah organisasi. Dewasa ini, suksesi hanyalah dimaknai sebagai ajang
perebutan kekuasaan saja. Padahal dibalik itu, tersirat makna akan kehadiran setitik sinar yang akan membawa pada benderangnya lautan gulita. Langkah dan
sikap yang bijak diperlukan dengan tujuan mengkonstruk organisasi ke arah yang lebih baik. Egoisitas hendaknya dikesampingkan demi kepentingan bersama.
Maka, mari kita senantiasa merajut kebersamaan dalam setiap nuansa, terkhusus dalam setiap suksesi di organisasi dan lembaga manapun. Kebersamaan dan
kedamaian dinantikan oleh setiap khalayak dalam kelompok atau organisasi tersebut.
3
Suksesi yang biasa diartikan sebagai suatu proses perubahan yang berlangsung satu arah secara teratur yang terjadi didalam suatu negara dalam
jangka waktu tertentu hingga terbentuk negara baru yang berbeda dengan negara semula. Secara gamblang, suksesi adalah penggantian kepemimpinan dari suatu
negara. Sangat natural hal ini terjadi di dalam sebuah negara, suksesi adalah bentuk dari sebuah dinamika kepemimpinan. Perjalanan sebuah negara yang harus
memiliki pemimpin, namun bukan berarti sang pemimpin adalah sosok yang abadi, sebab sesuai dengan Sunatullah, tidak ada yang abadi di dunia ini. Begitu
juga dengan kepemimpinan, tidak ada yang harus terus dipertahankan sampai
2
Artikel diakses pada tanggal 2 Maret 2011 pukul
10.30 wib dari http:andreysubiantoro.viviti.comentriesrekibliksuksesi-kepemimpinan.
3
Artikel diakses
pada tanggal
2 Maret
2011 pukul
11.00 wib
dari.http:azheiv.blog.friendster.com200807suksesi-kelembagaan-menanti-pemimpin-merajut- kebersamaan.
sang pemimpin menemui ajalnya, mungkin itu sebuah pemaksaan, dan pemaksaan adalah hal yang sangat buruk buat siapa saja. Kecuali ditengah-tengah
kepemimpinannya terhenti karena Kuasa Illahi yaitu kematian dan ini tidak bisa ditolak.
Persepsi sebuah suksesi selalu ditanggapi dengan sebuah kontroversi, hal ini sangatlah wajar sebagai sebuah dinamika kehidupan yang selalu ada dua sisi
bertolak belakang. Ada yang menanggapi dengan dukungan dan sudah pasti ada banyak yang menolak terjadinya suksesi ini, rasio nya bisa berat sebelah, tidak
seimbang. Sebuah suksesi yang memang benar-benar mendapat dukungan positip, biasanya dikarenakan sang pemimpin sudah menemui ajal dan kondisi negara saat
beliau tinggalkan dalam keadaan yang sangat baik. Tidak semua suksesi berakhir seperti itu, kebanyakan suksesi terjadi
dikarenakan ada sebuah sistem yang mengharuskan itu terjadi, seperti periode jangka waktu kepemimpinan. Hal ini yang selalu menjadi sebuah polemik, ada
banyak pertentangan untuk suksesi yang sudah mencapai waktunya untuk berakhir. Ada yang bisa menerima namun banyak pula yang menolaknya mentah-
mentah, biasanya ditunjukkan dengan ekspresi yang berlebihan bahkan sampai kepada tindakan-tindakan anarkis. Ini yang tidak kita inginkan, siapapun anggota
negara itu harus bisa ber-apresiasi secara positip pada setiap sebuah suksesi yang terjadi, pertentangan adalah suatu hal yang wajar, namun jangan sampai
menimbulkan hal-hal buruk yang bisa mengarah kepada sebuah provokasi yang mengakibatkan proses suksesi itu terganggu. Maka haruslah bisa menerima
suksesi ini dengan lapang dada, meskipun ada semacam intrik-intrik yang melandasi terjadinya suksesi itu. Jika merasa ada sebuah konspirasi yang menjadi
penyebab suksesi, terima itu semua dengan “legowo“, apapun komponen- komponen suksesi itu yang diketahui tidak sesuai dengan keinginan kita. Itu
semua dinamika hidup, dinamika negara, dinamika kepemimpinan, jangan terlalu khawatir dengan apa yang akan terjadi jika pemimpin itu diganti. Setiap individu
yang memimpin tentulah sudah cukup layak untuk menduduki kursi jabatan kepemimpinannya.
4
Jadi, apapun yang akan terjadi pada saat berlangsungnya suksesi kepemimpinan, maka harus diterima apa adanya tanpa harus berbuat anarkis.
Proses suksesi kepemimpinana dalam suatu negara merupakan suatu hal yang pasti terjadi yang tidak mungkin dapat dihindari.
B. Kepemimpinan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Kepemimpinan merupakan bagian terpenting dari organisasi lembaga pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada kenyataannya ketika seorang pemimpin
telah menjalankan tugasnya dalam mengolah organisasinya dengan baik maka organisasi tersebut akan menjadi baik pula. Dalam Islam sendiri, kepemimpinan
mendapatkan porsi bahasan yang tidak sedikit. Tidak sedikit ayat al-Qur’an dan Hadits yang membincang akan pentingnya kepemimpinan dalam sebuah
komunitas. Beberapa istilah al-Quran yang terkait dengan kepemimpinan antara
4
Artikel diakses pada tanggal 3 Maret 2011 pukul
08.00 wib dari http:hasmisusanto.web.id?p=308.
lain, khalifah khilafah, imam imamah dan uli al-Amri. Disamping itu disebutkan juga prinsip-prinsip kepemimpinan, yang mana prinsip tersebut harus
dimilki oleh seorang pemimpin walaupun tidak secara totalitas.
5
1. Prinsip – prinsip Kepemimpinan
Dalam Al-Qur’an prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain; amanah, adil, syura musyawarah dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al- munkar.
a Amanah
Dalam Kamus Kontemporer al-Ashr Amanah diartikan dengan kejujuran, kepercayaan hal dapat dipercaya.
6
Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi Rasul. Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus
dilaksanakan dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menurut Said Agil Husin Al- Munawwar, menyiratkan dua hal.
Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah
SWT. delegation of authority karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah
yang bersifat relative, yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kedua,karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun
5
Artikel diakses
pada tanggal
23 Mei
2011 pukul
13.30 wib
dari http:alumnigontor.blogspot.com200804teori-kepemimpinan-dalam-perspektif-al.html
6
Atabik Ali Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta, tt, hal. 215
memerlukan amanah.
Amanah dalam
hal ini
adalah sikap
penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti ini
sebagai prinsip atau nilai.
7
Mengenai Amanah ini Allah berfirman:
ِإ ﱠﻧ َﻋ ﺎ
َ ﺮ ْﺿ
َﻨ َْ ﻷا ﺎ
َﻣ َﻧﺎ
َﺔ َﻋ
َﻠ ﱠﺴﻟا ﻰ
َ ﻤ َ وﺎ
ِتا َ و
َْﻷا ْ ر
ِض َ و
ِ ْﳉا َﺒ
ِلﺎ َﻓ
َﺄ َـﺑ َْ ﲔ
َأ ْن َْﳛ
ِﻤ ْﻠ ِﻨ
َﻬ َ و ﺎ
َأ ْﺷ
َﻔ ْﻘ
َ ﻦ ِﻣ
ْـﻨ َﻬ
َ و ﺎ ََﲪ
َﻠ َﻬ
ِْ ﻹا ﺎ ْﻧ
َ ﺴ ُنﺎ
ِإ ، ﱠﻧ ٌﻪ
َﻛ َنﺎ
َﻇ ُﻠ ْﻮ
َﻣ َ ﺟ ﺎ
ُﻬ ْ ﻮ
ًﻻ ﴿
باﺰﺣﻷا
: ٧٢
﴾
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Menurut Hamka, ayat tersebut bermaksud menggambarkan secara majaz atau dengan ungkapan, betapa berat amanah itu, sehingga gunung-gunung, bumi
dan langitpun tidak bersedia memikulnya. Dalam tafsir ini dikatakan bahwa hanya manusia yang mampu mengemban amanah, karena manusia diberi kemampuan itu
oleh Allah, walaupun mereka ternyata kemudian berbuat dzalim, terhadap dirinya sendiri, maupun orang lain serta bertindak bodoh, dengan mengkhianati amanah
itu.
8
7
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hal. 200
8
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II, hal. 195
ِإ ﱠن
َﷲا َﻳ
ْﺄ ُﻣ ُ ﺮ
ُﻛ ْ ﻢ
َأ ْن ُـﺗ
َﺆ ُد
ْ و َْﻷا ا
َﻣ َﻧﺎ
ِتﺎ ِإ
َﱃ َأ
ْﻫ ِﻠ
َﻬ َ و ﺎ
ِإ َذ
َ ﺣ ا َﻜ
ْ ﻤ ُﺘ
ْ ﻢ َـﺑ
َْ ﲔ ﱠﻨﻟا
ِسﺎ َأ ْن
َْﲢ ُﻜ
ُ ﻤ ْ ﻮ
ا ِﺑ
ْﻟﺎ َﻌ
ْﺪ ِل
ِإ ، ﱠن
َﷲا ِﻧ
ِﻌ ﱠﻤ
َﻳ ﺎ ِﻌ
ُﻈ ُﻜ
ْ ﻢ ِﺑ
ِﻪ ِإ ،
ﱠن َﷲا
َﻛ َنﺎ
ِ َﲰ ْـﻴ
َﻌ َﺑ ﺎ
ِﺼ ْـﻴ
ً ﺮ ا
﴿ ءﺎﺴﻨﻟا
: ٥٨
﴾
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu”. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Dua ayat di atas jelas menunjukkan perintah Allah mengenai harus dilaksanakannya sebuah amanah. Manusia dalam melaksanakan
amanah yang dikaitkan dengan tugas kepemimpinannya memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan dan hidayah dari Allah. Hal ini dapat dilihat dalam firman
Allah “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu”, pengajarannya bisa lewat hidayah yang merupakan anugrah dari
Allah, bisa juga melalui ilmu pengetahuan.
b Adil
Kata Adil ini merupakan serapan dari bahasa arab ‘adl. Dalam Al-Qur’an istilah adil menggunakan tiga term yaitu ‘adl, qisth dan haqq.
9
Adapun ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan antara lain:
ُﻗ ْ ﻞ
َأ َﻣ َ ﺮ
َ ر ﱢﰊ
ِﺑ ْﻟﺎ
ِﻘ ْ ﺴ
ِﻂ َ و ،
َأ ِﻗ ْﻴ
ُ ﻤ ْ ﻮ
ُ و ا ُﺟ
ْ ﻮ َﻫ
ُﻜ ْ ﻢ
ِﻋ ْﻨ
َﺪ ُﻛ
ﱢﻞ َﻣ
ْ ﺴ ِﺠ
ٍﺪ َ و
ْدا ُﻋ
ْ ﻮ ُﻩ
ُْﳐ ِﻠ
ِﺼ َْ ﲔ
َﻟ ُﻪ ﱢﺪﻟا
ْﻳ َ ﻦ
َﻛ ، َ ﻤ
َﺑ ﺎ َﺪ
َأ ُﻛ
ْ ﻢ َـﺗ
ُﻌ ْ ﻮ
ُد ْ و
َن ﴿
فاﺮﻋﻷا :
٢٩ ﴾
Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Dan katakanlah: Luruskanlah muka dirimu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadailan. Secara konkret, yang disebut keadilan qisth itu adalah:
amengkonsentrasikan perhatian
dalam shalat
kepada Allah
dan bmengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.
10
Dari uraian tersebut dapat ditarik kepada aspek kepemimpinan, yaitu seorang pemimpin harus benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan juga
orientasinya semata-mata karena Allah. Sehingga ketika dua hal tersebut sudah tertanam maka akan melahirkan suatu tingkah laku yang baik.
9
M. Dawam Raharjo,. Op.Cit., hal 369
10
Ibid.., h.370
Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-
perintah-Nya. Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa kebajikan seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun dalam hal itu
lebih disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.
ُل ْ ﻮُﻘ َـﻳ َ ﻢﱠﻠ َ ﺳ َ و ِﻪْﻴَﻠ َﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠ َﺻ ِﷲا ُل ْ ﻮ ُ ﺳَ ر ﱠنَأ ﺎ َ ﻤ ُﻬْـﻨ َﻋ ُﷲا َ ﻲِﺿَ ر َ ﺮ َ ﻤُﻋ ﻦْﺑا ْ ﻦَﻋ ا ِﻪِﺘﱠﻴ ِﻋ َ ر ْ ﻦَﻋ ٌل ْ ﻮُـﺌ ْ ﺴ َﻣ ْ ﻢُﻜﱡﻠُﻛ َ و ٍعا َ ر ْ ﻢُﻜﱡﻠُﻛ
ِﻹ ﺊ ْ ﺴ َﻣ َ و ٍعَار ُمﺎ َﻣ
’ ٌل ْ و
ُ ﻞ ُﺟﱠﺮﻟا َ و ِﻪِﺘﱠﻴ ِﻋَ ر ْ ﻦَﻋ ِﺖْﻴ َـﺑ ْ ِ ﰲ ﺔِﺘﱠﻴ ِﻋا َ ر ُةَأ ْ ﺮ َ ﻤْﻟا َ و ِﻪِﺘﱠﻴ ِﻋ َ ر ْ ﻦَﻋ ٌل ْ ﻮُـﺌ ْ ﺴَﻣ َ ﻮُﻫ َ و ِﻪِﻠ ْﻫَأ ْ ِ ﰲ ٍعا َ ر
ْ ﻦَﻋ ﺔَﻟ ْ ﻮُـﺌ ْ ﺴَﻣ َ و ﺎ َﻬ ِ ﺟْ وَز ٍلﺎ َﻣ ْ ِ ﰲ ٍعا َ ر ُمِدﺎَْﳋا َ و َﺎﻬِﺘﱠﻴ ِﻋ َ ر
ِﺘﱠﻴ ِﻋَ ر ْ ﻦَﻋ ٌل ْ ﻮُـﺌ ْ ﺴَﻣ َ و ِﻩ ِﺪِﻴ َ ﺳ ْ ﻦَﻋ ٌل ْ ﻮُـﺌ ْ ﺴَﻣ َ و ٍعا َ ر ْ ﻢُﻜﱡﻠُﻛَ و ِﻪ
ِﻪِﺘﱠﻴ ِﻋ َ ر .
Artinya : Dari Ibn Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah saw. Berkata : “Kalian adalah
pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah
pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.pelayan adalah pemimpin dalam mengelolah harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya tentang
kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis di atas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya
sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap orang adalah pemimpin ketika ia harus
berhadapan untuk menciptakan solusi hidup dimana kemampuan, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai
bagian dari komunitas.
َﻋ َلﺎَﻗ ُﻪﱠﻧَأ َ ﻢﱠﻠ َ ﺳ َ و ِﻪ ْﻴَﻠ َﻋ ﷲا ﻰﱠﻠ َﺻ ﱠ ِ ﱯﱠﻨﻟا ْ ﻦَﻋ َ ﺮ َ ﻤُﻋ ِﻦْﺑا ْ ﻦَﻋ ِﻢِﻠ ْ ﺴ ُ ﻤْﻟا ء ْ ﺮ َ ﻤْﻟا ﻰَﻠ
َأ ﺎ َ ﻤْﻴ ِﻓ ﺔَﻋﺎّﻄﻟا َ و ُ ﻊ ْ ﻤﱢﺴﻟا َﻩِﺮَﻛَ و ّ ﺐَﺣ
ِﺇ ْنَأ ﻻ
َ ﻊَْﲰ َﻼَﻓ ٍﺔ َﻴ ِﺼْﻌ َﻣ ِ َ ﺮ ِﻣُأ ْنِﺎَﻓ ٍﺔ َﻴ ِﺼْﻌَ ِﲟ َ ﺮ َﻣ ْﺆُـﻳ َﺔَﻋَﺎﻃ َﻻَ و
.
Artinya : Dari Ibn Umar r.a., dari Nabi Saw., sesungguhnya beliau bersabda :”Seorang
Muslim wajib mendengan dan taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak disukainya. Kecuali bila diperintahkan mengerjakan kemaksiatan, mka ia tidak
wajib mendengar dan taat.”
Secara kontekstual hadis diatas dapat diartikan dalam berbagai dimensi. Dalam sebuah komunitas, masyarakat dan agama setiap manusia memiliki sistem
yang mengatur mereka. Maka wajar sebagian dari sistem tersebut untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Namun ketaatan tersebut tidak serta merta menjadi
sikap yang selalu taklid terhadap pemimpin. Dalam Islam diajarkan tidak diperbolehkan taat atau mematuhi pemimpin kecuali dalam batas-batas yang telah
dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an dan Hadits bahwa tidak wajib mematuhi seorang pemimpin melainkan karena Allah.
C. Suksesi Kepemimpinan dalam Sejarah Islam
Dengan wafatnya Nabi maka berakhirnya situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas
spiritual dan temporal duniawi yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan Wahyu Illahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut
kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara
para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al- Qur’an maupun Hadist Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara
menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus
diselenggarakan.
11
Proses Pengangkatan Empat Al-Khulafa Al-Rasyidin
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dan sebelum
jenazah beliau dimakamkan.
11
Munawir, Syadzali. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1999 h. 21
Pada pagi hari itu Umar bin Khattab mendengar berita bahwa kelompok Anshar sedang melangsungkan pertemuan di Saqifah atau balai pertemuan Bani
Saidah, Madinah, untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj, sebagai khalifah. Dalam keadaan gusar Umar cepat-cepat pergi ke
rumah kediaman Nabi dan menyuruh seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan memintanya supaya keluar. Semula Abu Bakar
menolak dengan alasan sedang sibuk. Tetapi akhirnya dia keluar setelah diberitahu bahwa telah terjadi satu peristiwa penting yang mengharuskan
kehadiran Abu Bakar. Abu bakar dan Umar segera pergi ke balai pertemuan Bani Saidah. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarah, seorang
sahabat senior juga dari kelompok Muhajirin, dan diajaknya ikut. Ketika tiga tokoh tersebut sampai dibalai pertemuan ternyata sudah datang
pula sejumlah orang Muhajirin, dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Anshar dan kelompok Muhajirin. Umar hampir tidak dapat menguasai
diri, tetapi ketika beliau hendak mulai berbicara, dihentikan oleh Abu Bakar. Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara. Kepada kelompok Anshar beliau
mengingatkan, bukankah Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpinan umat Islam itu seyogyanya berada pada tangan suku Quraisy, dan bahwa hanya di bawah
pimpinan suku itulah akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy untuk dipilih
sebagai khalifah, Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang-orang Anshar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar itu, dan Umar tidak
menyia-nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat
duduknya dan menuju ke tempat Abu Bakar untuk berbaiat dan menyatakan kesetiaannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah, seraya menyatakan bahwa
bukanlah Abu Bakar yang selalu diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat
yang paling disayangi oleh Nabi. Umar bin Khattab, berbada dengan pendahulunya, Abu Bakar,
mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat
oleh pendahulunya. Pada tahun ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar mendadak jatuh sakit. Selama lima belas hari dia tidak pergi ke masjid, dan
meminta kepada Umar agar mewakilinya menjadi ima shalat. Makin hari sakit Abu Bakar makin parah dan timbul perasaan padanya bahwa ajalnya sudah dekat.
Sementara itu kenangan tentang pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia khawatir kalau tidak segera menunjuk peganti
dan ajal segara dating, akan timbul pertentangan di kalangan umat Islam yang dapat lebih hebat daripada ketika Nabi wafat dahulu. Bagi Abu Bakar orang yang
paling tepat menggantikannya tidak lain adalah Umar bin Khattab. Maka dia mulai mengadakan permusyawarahan tertutup dengan beberapa sahabat senior
yang kebetulan menengoknya di rumah. Di antara mereka adalah Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kelompok Muhajirin, serta Asid bin Khudair
dari kelompok Anshar. Pada dasarnya semua mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa di antaranya yang menyampaikan catatan.
Sesuai dengan catatan tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu baiat umum dan terbuka di
Masjid Nabawi. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui proses lain lagi,
tidak sama dengan Abu Bakar, tidak serupa pula dengan Umar. Dia dipilih oleh sekelompok orang yang nama-namanya sudah ditentukan oleh Umar sebelum dia
wafat. Seperti telah kita baca dalam buku-buku sejarah, pada pertengahan tahun ke-sebelas sejak Umar menjabat khalifah dia menderita luka-luka berat akibat
enam kali tikaman seorang Persia bernama Fairus, yang lebih terkenal dengan panggilan dengan Abu Luluah. Waktu itu datanglah sejumlah tokoh masyarakat
memohon kepada Umar supaya segera menunjuk pengganti, karena mereka khawatir bahwa akibat luka-lukanya itu Umar tidak akan hidup lebih lama lagi,
dan kalau sampai wafat tanpa terlebih dahulu menunjuk penggantinya, dikhawatirkan akan terjadi pertentangan dan perpecahan di kalangan umat. Tetapi
Umar menolak memenuhi permintaan mereka dengan alasan bahwa orang-orang yang menurut pendapatnya pantas ditunjuk sebagai pengganti sudah lebih dahulu
meninggal. Akhirnya Umar menyerah, tetapi tidak secara langsung menunjuk
pengganti. Dia hanya menyebutkan enam sahabat senior, dan merekalah nanti sepeninggalnya yang harus memilih seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al- Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah
bin Umar, putranya, tetapi “tanpa hak suara”. Menurut Umar, dasar pertimbangan mengapa memilih enam orang tersebut, yang semuanya dari kelompok Muhajirin
atau Quraisy, karena mereka berenam itu dahulu dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga, dan bukan karena mereka masing-masing mewakili
kelompok atau suku tertentu. Pesan Umar, sepeninggalnya nanti mereka berenam segera berunding dan
dalam waktu paling lama tiga hari sudah dapat memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah.
Setelah Umar wafat, lima dari enam orang tersebut segera bertemu untuk merundingkan pengisian jabatan khalifah. Pada waktu itu Thalhah bin Ubaidillah
kebetulan tidak ada di Madinah. Sejak awal jalannya pertemuan itu sangat alot. Abd al-Rahman bin Auf mencoba memperlancarnya dengan imbauan agar
sebaiknya di antara mereka dengan sukarela mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada orang yang betul-betul paling memenuhi syarat untuk dipilh
sebagai khalifah. Tetapi imbauan itu tidak berhasil. Tidak ada satu pun yang mengundurkan
diri. Kemudian
Abd al-Rahman
sendiri menyatakan
mengundurkan diri, tetapi tidak ada seorang pun dari keempat orang lain yang mengikutinya. Kemudian Abd al-Rahman memanggil Ali dan menanyakan
kepadanya, seandainya dia dipilih menjadi khalifah, sanggupkah dia melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan kebijaksanaan
dua khalifah sebelum dia. Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Abd al-Rahman berganti mengundang
Utsman dan mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. Dengan tegas Utsman menjawab: “Ya Saya sanggup.” Berdasarkan jawaban itu Abd al-Rahman
menyatakan Utsman sebagai khalifah ketiga, dan segeralah dilaksanakan baiat. Waktu itu usia Utsman tujuh puluh tahun. Dalam hubungan ini patut dikemukakan
bahwa Ali sangat kecewa atas cara yang dipakai oleh Abd al-Rahman tersebut dan menuduhnya bahwa sejak semula sudah merencanakannya bersama Utsman,
sebab kalau Utsman yang menjadi khalifah, berarti pula kelompok Abd al- Rahman bin Auf berkuasa.
Ali bin Abu Thalib, dua belas tahun kemudian, diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan, yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.
Setelah para pemberontak membunuh Utsman bin Affan, mereka mendesak Ali agar bersedia diangkat menjadi khalifah.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pemilihan terdapat Ali dan pemilihan terdapat Abu Bakar dan Utsman. Dalam dua pemilihan
yang terdahulu meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon-calon itu terpilih dan diputuskan menjadi khalifah, orang-
orang tersebut menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya, termasuk Ali, baik terhadap Abu Bakar maupun terhadap Utsman. Lain halnya
dalam pemilihan terhadap Ali. Penetapannya sebagai khalifah ditolak antara lain oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan, gubernur di Suria yang keluarga Utsman,
dengan alasan: pertama, Ali harus bertanggungjawabkan tentang terbunuhnya Utsman; dan Kedua, berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul
komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru itu, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang
berada di Madinah. Dengan wafatnya Ali bin Abu Thalib maka berakhirlah satu era, era Al-
Khulafa al-Rasyidin, dan berakhir pula tradisi pengisian jabatan kepala negara melalui musyawarah. Mu’awiyah bin Abu Sufyan mendapatkan kedudukan
sebagai khalifah tidak melalui musyawarah lagi atau persetujuan dari tokoh-tokoh masyarakat, tetapi lewat ketajaman pedang dan tipu muslihat. Kemudian
menjelang akhir hayatnyaia menunjuk Yazid, anaknya, sebagai calon penggantinya nanti. Dan itula titik awal dari lahirnya sistem monarki atau
kerajaan, yaitu pengisian jabatan kepala negara yang ditentukan atas dasar keturunan, dan dari situ pulalah dibangun dinasti Umawiyah.
12
D. Pola-pola Suksesi Kepemimpinan
1. Suksesi Dinastik
Yang dimaksud dengan suksesi dinastik yaitu suksesi kepala negara yang dilakukan dengan sistem penunjukan atau pewarisan. Tegasnya, Kepala Negara
itu mendapatkan kedudukannya berdasarkan warisan dari kepala negara yang mendahuluinya.
13
Jadi di dalam suksesi model ini, ada lembaga negara, yaitu kedudukan kepala negara, yang dapat diwariskan. Adapun tentang siapa-siapa
12
Munawir, Syadzali. Islam dan Tata Negara, h. 21-28
13
Ibid.
yang berwenang mendapatkan warisan kepala negara ini, maka negara itu sendirilah yang mengaturnya atau bahkan itu menjadi hak progratif sang raja
sendiri. Suksesi politik semacam ini, akan baik dan cenderung tidak menimbulkan
kekacauan dan bahkan pemberontakan, apabila mengikuti pola garis keturunan yang teratur, dengan pola-pola yang sudah baku dan diketahui oleh semua anggota
kerajaan. Sebagai contoh adalah suksesi pada kerajaan Inggris yang sangat teratur dengan menyiapkan dan menunjuk “putra mahkota” semenjak dini dengan nomor-
nomor urut kebangsawan yang jelas. Namun apabila tidak mengikuti garis keturunan yang teratur. Maka potensi konflik yang sangat besar akan muncul pada
negara tersebut. Contoh suksesi model ini banyak ditemukan pada kerajaan Islam periode klasik dan pertengahan, dimana raja, ketika akan mendekati kematianya,
segera menunjuk siapapun dari anggota kerajaan yang diinginkannya, yang biasanya adalah dipilih diantara anak-anaknya, semisal dinasti Ghazwani, Turki
Ustmani,
14
dan lain sebagainya. Khusus negara kerajaan konstitusional semacam Inggris, ia mempunyai dua
macam suksesi; suksesi untuk memilih Kepala Negara dan suksesi untuk memilih Kepala pemerintah.
15
pada suksesi yang pertama, maka Inggris mengikuti pola suksesi dinastik. Tetapi pada suksesi yang kedua, Inggris menggunakan pola
pemilihan, yaitu dengan diadakannya pemilu. Di Inggris terdapat tiga partai
14
C.H. Dodd, “Suksesi Politik di Kerajaan Ottoman dan Turki Modern”, dalam Peter Calverd, Proses Suksesi Politik, op, cit., h.65
15
Moh. Tolchah Mansoer, “Fungsi Eksekutif”, dalam Padmo Wahyono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, op, cit., h.180
polotik; partai Konservatif, Buruh, dan Liberal. Ketua dari partai yang dominan dalam majelis rendah house of common secara tradisional diangkat oleh Ratu
Raja untuk menjadi Perdana Menteri, dan bersama kabinetnyan menentukan kebijaksanaan politik pemerintah.
16
sistem ini juga terdapat di Jepang. Hanya saja dengan partai yang lebih banyak multi partai.
2. Pemilu
Suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan disini beraneka ragam, mulai dari
presiden, wakil rakyat, diberbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa, pada konteks yang lebih luas. Sistem pemilu yang digunakan di Indonesia adalah asas
langsung, umum, bebas, rahasia luber, serta jujur dan adil jurdil.
17
Adapun yang dimaksud dengan sistem pemilihan yaitu sistem pengangkatan kepala negara dimana ia menduduki kedudukannya sebagai kepala
negara bukan berdasarkan pewarisan tetapi berdasarkan pemilihan. Siapapun dapat menjadi kepala negara, asalkan mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku pada negara tersebut, dan mendapatkan dukungan yang sesuai dengan harapan, sistem ini masih dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa macam, yaitu; sistem pemilihan langsung dan tidak langsung.
16
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia seri Geografi “Eropa”, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990, Cet, ke-1, h.98
17
Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat dengan Pemilu di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009, cet ke-1, h.46