Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L).

(1)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)

Oleh:

MULATSIH TRI ATMINI F34052997

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MULATSIH TRI ATMINI F34052997

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : PENDUGAAN UMUR SIMPAN PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)

Nama : Mulatsih Tri Atmini

NIM : F34052997

Menyetujui ,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Endang Warsiki S.TP, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA) NIP : 19710305 199702 2 001 NIP : 19581026 198303 2 003

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001


(4)

MULATSIH TRI ATMINI. F34052997. Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L). Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Ani Suryani. 2010.

RINGKASAN

Pepaya (Carica papaya L) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang tergolong ke dalam famili Caricaceae. Buah ini merupakan buah tahunan, sehingga keberadaannya terus ada sepanjang tahun. Perlu dilakukan beberapa upaya untuk memanfaatkan buah pepaya, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buah pepaya tersebut. Salah satunya adalah dengan mengolah pepaya menjadi produk olahan pepaya. Alternatif produk olahan pepaya yang mungkin dapat dikembangkan adalah permen jellypepaya.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menghasilkan produk permen jelly pepaya. Tujuan khususnya adalah mengetahui perubahan mutu permen jelly pepaya selama penyimpanan, menduga umur simpan permen jelly pepaya, dan mengetahui kemasan terbaik untuk permen jelly pepaya. Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pendugaan umur simpan perlu dilakukan untuk mengetahui umur simpan permen jelly pepaya pada kondisi tertentu. Penentuan umur simpan produk dengan metode accelerated storage studies (ASS) dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan. Pengemasan dan penyimpanan yang tepat diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan menekan laju kerusakan permen jelly pepaya. Pada penelitian ini, permen jelly pepaya dikemas dalam tiga kemasan yang berbeda, yaitu plastik polipropilen (PP), alumunium foil, dan kemasan gelas. Penyimpanan dilakukan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan bahan dan pembuatan permen jelly pepaya, pengemasan dan penyimpanan pada berbagai jenis kemasan dan suhu penyimpanan, analisa mutu produk. Karakterisasi awal bahan adalah proksimat yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, pH, aw, dan kadar karbohidrat (by difference). Uji mikrobial yg dilakukan adalah uji total kapang. Selain itu, selama penyimpanan produk diuji mutunya, yaitu kadar air, vitamin C, total asam tertitrasi (TAT), tekstur, warna, dan organoleptik.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perubahan kadar air permen jelly pepaya meningkat di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Peningkatan kadar air permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut adalah 0,11, 0,13, 0,16, dan 0,17% per hari, sedangkan kadar air produk kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,08, 0,10, 0,13, dan 0,14% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,12, 0,15, 0,15 dan 0,19% per hari. Vitamin C dan Total Asam Tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya menurun 0,01% per hari di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan.

Nilai tekstur permen jelly pepaya mengalami peningkatan di setiap kemasan dan suhu penyimpanan. Hal ini berarti permen jelly pepaya menjadi lebih lunak. Peningkatan nilai tekstur permen jelly pepaya kemasan plastik PP


(5)

suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut adalah 0,06, 0,07, 0,07, dan 0,07% per hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,05, 0,05, 0,06, dan 0,07% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,05, 0,07, 0,08, dan 0,09% per hari.

Penurunan kualitas warna permen jelly pepaya ditandai dengan menurunnya nilai L (tingkat kecerahan). Penurunan nilai L permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5, 15, 25, dan 35 berturut-turut turun 0,20, 0,21, 0,21, dan 0,22% per hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut turun 0,15, 0,18, 0,18, dan 0,19% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut turun 0,15, 0,16, 0,18, dan 0,18% per hari.

Hasil uji organoleptik permen jelly pepaya pada semua perlakuan selama penyimpanan mengalami penurunan. Tidak ada penolakan panelis terhadap atribut penerimaan umum. Secara keseluruhan, penurunan mutu yang terjadi pada ke dua belas perlakuan masih dapat diterima oleh konsumen hingga hari ke-42. Berdasar parameter kadar air dengan titik kritis 20%, umur simpan permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5˚C adalah 116 hari, suhu 15˚C adalah 102 hari, suhu 25˚C adalah 91 hari, dan suhu 35˚C adalah 82 hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5˚C adalah 156 hari, suhu 15˚C adalah 133 hari, suhu 25˚C adalah 116 hari, dan suhu 35˚C adalah 101 hari, sedangkan pada kemasan gelas suhu 5˚C adalah 103 hari, suhu 15˚C adalah 93 hari, suhu 25˚C adalah 84 hari, dan suhu 35˚C adalah 77 hari. Dengan demikian, kemasan yang baik untuk produk permen jelly pepaya adalah alumunium foil.


(6)

MULATSIH TRI ATMINI. F34052997. Shelf Life Prediction of Papaya (Carica papaya L) Jelly Candy. Supervised by Endang Warsiki and Ani Suryani. 2010.

SUMMARY

Papaya (Carica papaya L) is a kind of fruits which is concluded in

Caricaceae family. This fruit is a yearly fruit so it exists for a whole year. It is needed to make some efforts in order to utilize papaya, then it will increase the economic value of papaya. One of them is by making processed product from papaya, for example papaya jelly candy.

The general aim of this research was to produce papaya jelly candy. The special aim of this research was to know the quality changing during storage, also predict shelf-life of the product, and to know the best packaging for the product of papaya jelly candy. Shelf life is time that is needed for a product in a certain storage condition to get into a certain level of quality. Shelf life is determinated by using accelerated storage studies (ASS) method. It was done by using such condition that could accelerate the degradation process of quality of the product. The packaging and storage condition is assumed could lengthen product’s shelf life and suppress degradation rate of papaya jelly candy. In this research, papaya jelly candy was packed in three different packaging. Those were polypropylene (PP) plastic, aluminum foil and glass packaging. Storage was held at 5, 15, 25, and 35˚C.

This research consists of three stages. Firsting, the material preparation and making of papaya jelly candy. Second, packing and storage papaya jelly candy in different packaging and storage temperature. Third, analysis quality product. Material characterized before treatment, with proximate and microbial analysis. Proximate analysis consisted of water, ash, protein, fat, high fiber content, carbohydrate, pH, and aw. Microbial analysis included mold analysis of

papaya jelly candy. Besides that, there was another analysis to know material characterization during storage. Those are water content, total titrated acid, vitamin C content, texture, color analysis, and sensory evaluation test.

Based on the research result, it was known that quality of papaya jelly candy was changing during storage. Water content of papaya jelly candy was increasing in every packaging and at every temperature of storage. Water content increased in PP plastic packaging at 5, 15, 25, and 35°C, were 0,11, 0,13, 0,16, and 0,17% respectively per day. Water content increasing of papaya jelly candy in aluminum foil packaging at 5, 15, 25, and 35°C were 0,08, 0,10, 0,13, and 0,14% per day. While water content increasing of papaya jelly candy in glass packaging the same temperature were 0,12, 0,15, 0,15 and 0,19% per day. Vitamin C content and Total Titrated Acid of papaya jelly candy decreased 0,01% per day in all of packaging and all storage temperature.

Texture of papaya jelly candy increased in every kind of packaging. This sign indicated that papaya jelly candy became softer than before. The increasing texture value of papaya jelly candy in PP plastic packaging at 5, 15, 25, and 35°C were 0,06, 0,07, 0,07, and 0,07% respectively per day. The increasing texture value of papaya jelly candy in aluminum foil packaging and at 5, 15, 25, and 35°were 0,05, 0,05, 0,06, and 0,07% per day. The increasing texture value of


(7)

papaya jelly candy in glass packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,05, 0,07, 0,08 and 0,09% per day.

The decreasing of color quality of papaya jelly candy was marked by the increasing of value of L. The decreasing of L value of papaya jelly candy in PP plastic packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,20, 0,21, 0,21, and 0,22% per day. The decreasing of L value of papaya jelly candy in aluminum foil packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,15, 0,18, 0,18, and 0,19% per day. The decreasing of L value of papaya jelly candy in glass packaging and at 5, 15, 25, and 35°C were 0,15, 0,16, 0,18 and 0,18% per day.

Results of sensory evaluation test of papaya jelly candy for all of treatments during storage increased. There was no panelist’s denial of general acceptance attributes. Commonly, quality degradation that was happened on 12 treatments could still accepted by consumers until the 42th day. Based on water content parameter with critical point of 20%, shelf life of papaya jelly candy in PP at 5˚C was 116 days, at 15˚C was 102 days, at 25˚C was 91 days and at 35 ˚C was 82 days. Shelf life of papaya jelly candy in aluminum foil at 5˚C was 156 days, at 15˚C was 133 days, at 25˚C was 116 days and at 35˚C was 101 days. Meanwhile, shelf life of papaya jelly candy in glass at 5˚C was 103 days, at 15˚C was 93 days, at 25˚C was 84 days and at 35˚C was 77 days. It is concluded that, the best packaging for papaya jelly candy was aluminum foil.


(8)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Skripsi dengan judul: “Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L.)”

Adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Mei 2010

Yang Membuat Pernyataan,

Mulatsih Tri Atmini


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 24 Juli 1986 dengan nama lengkap Mulatsih Tri Atmini. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Slamet Riyanto dan Siti Juaren Budiastuti. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi Wuryantoro, SDN Wuryantoro II, SLTP Negeri 3 Wonogiri, dan SMA Negeri 1 Wonogiri.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun 2006, penulis masuk Mayor Departemen Teknologi Industri Pertanian dengan

Supporting Course. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjadi anggota Koperasi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, serta aktif menjadi pengurus organisasi di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian Departemen kesekretariatan biro Administrasi dari tahun 2006 s.d. 2008. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Peralatan Industri pada tahun 2009.

Tahun 2008 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Heinz ABC Indonesia dengan kajian Teknologi Proses Produksi, Teknologi Pengemasan, Penyimpanan, dan Transportasi Produk di PT. Heinz ABC Indonesia. Pada tahun 2009, penulis melakukan penelitian akhir dalam rangka memperoleh gelar sarjana dengan judul “Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L.)“.


(10)

i KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa bantuan dari berbagai pihak cukup berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing utama yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan kepada penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan perhatian kepada penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.

3. Drs. Purwoko, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan saran dalam penyempurnaan skripsi.

4. Ibu Syafrida selaku ketua proyek penelitian dari Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika.

5. Kedua orang tua, keempat kakakku, keempat ponakanku, atas doa, dukungan, semangat, dan inspirasi yang telah diberikan.

6. Seluruh staf dan karyawan PKBT : Ibu Sriani, Mas Fatkan, Bapak Ibram, Mbak Aline, Mbak Dede, Mas Ubay, Bapak Kosim, Bapak Heri, Ibu Yuyun yang telah membantu dalam persiapan bahan, ilmu, keramahan, keceriaan, kekeluargaan, persahabatan, canda-tawa serta suka-duka selama penelitian berlangsung.

7. Seluruh laboran dan teknisi, terutama Bapak Sugiardi, Ibu Ega, Bapak Gunawan, Ibu Rini, dan Ibu Sri, terimaksih atas saran, bantuan, dan ilmu yang diberikan

8. Dewi sebagai teman satu tim proyek, terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya.


(11)

ii 9. Marlina Nurul Magribi dan Juanda Sianturi sebagai teman satu bimbingan,

terima kasih atas kebersamaan dan perjuangan kita.

10. Roisah, Rima, Pute, Anas, Amel, Rey, Ipul, Tika, Novi, Nunung, serta seluruh penghuni laboratorium, terima kasih atas bantuan, dukungan, dan perhatiannya, serta pinjaman alat-alat dan aquadesnya.

11. Teman-teman TIN 42, kita telah berjuang bersama hingga akhir, terimakasih atas kebersamaan dan kekeluargaan ini.

12. Penghuni Villa Cempaka dan Harmony 2, terimakasih atas kenyamanan dan canda tawa yang diberikan.

13. Teman, sahabat, dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembacanya. Amin.

Bogor, Mei 2010

Penulis


(12)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN. ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya (Carica papaya L.) ... 3

2.2 Pemanis ... 6

2.3 Karagenan. ... 7

2.4 Permen Jelly ... 9

2.5 Pengemasan dan Penyimpanan... 11

2.6 Kemasan ... 13

2.7 Umur Simpan... 20

III.METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat. ... 26

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.3 Metode Penelitian. ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya. ... 31

4.2 Karakteristik kemasan ... 36

4.3 Kondisi Penyimpanan ... 37

4.4 Perubahan Mutu ... 38

4.5 Penentuan Parameter Kritis dan Titik Kritis Mutu ... 60


(13)

iv V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan. ... 63 5.2 Saran. ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

v DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi pepaya di Indonesia ... 1

Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1 ... 4

Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang per 100 gram buah ... 5

Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial ... 19

Tabel 5. Karakteristik awal produk permen jelly pepaya ... 31

Tabel 6. Persyaratan mutu permen jelly menurut SNI 02-3547-2008... 32

Tabel 7. Hasil uji karakteristik kemasan... 36

Tabel 8. Nilai k dan Ln k parameter kadar air ... 61

Tabel 9. Nilai E, ln k0, k0, dan k tiap suhu penyimpanan parameter kadar air ... 62

Tabel 10. Umur simpan permen jelly pepaya ... 62


(15)

vi DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur umum polipropilen ... 17

Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius ... 23

Gambar 3. Diagram alir pembuatan permen jelly pepaya... 28

Gambar 4. Diagram alir penelitian ... 30

Gambar 5. Kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar yang digunakan untuk mengemas permen jelly pepaya ... 36

Gambar 6. Perubahan kadar air permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 39

Gambar 7. Perubahan vitamin C permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 42

Gambar 8. Perubahan total asam tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 44

Gambar 9. Perubahan tekstur permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 46

Gambar 10.Perubahan warna (L) permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 48

Gambar 11.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut rasa permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 51

Gambar 12.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut aroma permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 53

Gambar 13.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut tekstur permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 55

Gambar 14.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut warna permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 57


(16)

vii Gambar 15.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut

penerimaan umum permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar ... 59


(17)

viii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisa ... 69

Lampiran 2. Persamaan regresi perubahan mutu ... 75

Lampiran 3. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (wet basis) ... 77

Lampiran 4. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (dry basis) ... 78

Lampiran 5. Data nilai vitamin C (mg/100gram) selama penyimpanan (wet basis) ... 79

Lampiran 6. Data nilai vitamin C (mg/100gram) selama penyimpanan (dry basis) ... 80

Lampiran 7. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (wet basis) ... 81

Lampiran 8. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (dry basis) ... 82

Lampiran 9. Data nilai tekstur selama penyimpanan ... 83

Lampiran 10. Data nilai warna (L) selama penyimpanan ... 84

Lampiran 11. Laju perubahan mutu tiap parameter (% per hari) ... 85

Lampiran 12. Data uji lanjut organoleptik selama penyimpanan ... 86


(18)

1 I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang tergolong ke dalam famili Caricaceae. Spesies ini merupakan spesies paling penting di antara dua puluh tiga spesies Carica lainnya. Buah pepaya merupakan salah satu buah yang digemari masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri karena memiliki rasa yang enak dan aroma yang khas. Buah ini merupakan buah tahunan, sehingga terus ada sepanjang tahun. Buah pepaya merupakan salah satu buah eksotik dari negara tropis yang sangat potensial untuk dikembangkan. Menurut Data Biro Pusat Statistik Indonesia, produksi pepaya di Indonesia cukup tinggi dan stabil, mencapai angka enam ratus ton. Angka produksi pepaya di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi pepaya di Indonesia

Tahun Produksi Pepaya (Ton)

2003 2004 2005 2006 2007

626,74 732,61 548,66 643,45 621,52 Sumber: Biro Pusat Statistik (2009)

Seperti jenis hortikultura lainnya, kurang lebih 20-40% hasil panen pepaya mengalami cacat fisik, sehingga ditolak pada pasaran buah segar. Angka ini tentu saja cukup tinggi, oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dan daya guna buah pepaya yang tak terspesifikasi untuk kepentingan buah segar. Salah satunya adalah dengan mengolah pepaya menjadi produk olahan pepaya. Alternatif produk olahan pepaya yang dapat dikembangkan adalah permen jelly pepaya. Permen jelly adalah kembang gula lunak yang terbuat dari komponen-komponen bubur buah, gula atau pemanis lainnya, dan bahan pembentuk gel. Kembang gula ini mempunyai mempunyai tekstur yang khas, yaitu kenyal dan elastis.


(19)

2 Proses pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan diperlukan untuk mendapatkan mutu permen jelly pepaya yang baik. Setelah itu, proses pengemasan dan penyimpanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan untuk mempertahankan mutu produk tersebut. Pengemasan merupakan salah satu cara memberikan kondisi yang tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987). Kemasan kaca, alumunium foil, dan plastik jenis PP (polypropilen) banyak digunakan untuk mengemas permen di pasaran. Belum ada penelitian yang melaporkan pengaruh penggunaan tiga jenis kemasan tersebut pada permen, khususnya permen jelly pepaya. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap mutu permen jelly pepaya selama penyimpanan. Selanjutnya, pendugaan umur simpan permen jelly pepaya dilakukan untuk mengetahui tingkat ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu cara pendugaan umur simpan yang cepat dan cukup akurat adalah melalui metode akselerasi (Accelerated Storage Studies) dengan menggunakan pendekatan metode Arrhenius.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu permen jelly pepaya pada kemasan dan suhu penyimpanan yang berbeda selama jangka waktu tertentu, menentukan umur simpannya, dan mendapatkan kemasan yang lebih baik untuk permen jelly pepaya.


(20)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nicaragua. Menurut Kalie (1999), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan pepaya diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Klas : Dicotyledone (biji berkeping dua)

Ordo : Caricales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Species : Carica papaya L.

Famili Caricaceae termasuk famili kecil dari tanaman dikotiledon yang terdiri dari empat genus yaitu: carica, jarilla, jacaratia yang berasal dari Amerika Tropis dan cylicomorpha dari daerah Afrika ekuatorial. Genus carica adalah genus paling penting dalam famili Caricaceae yang terdiri atas 24 spesies, dan salah satunya adalah Carica papaya L. (Kalie,1999).

Tinggi pohon pepaya dapat mencapai delapan sampai sepuluh meter dengan akar yang kuat dan batang tidak bercabang. Namun, cabang dapat dibentuk dengan melakukan pemotongan pada pucuk. Batang tanaman berbentuk bulat lurus berbuku-buku, berongga di bagian tengahnya, dan tidak berkayu. Daun pepaya tersusun secara melingkar pada batang, lembar daunnya menjari dengan warna permukaan atas berwarna hijau muda. Pepaya memiliki tiga jenis bunga, yaitu bunga jantan (masculus), bunga betina (femineus), dan bunga sempurna atau

hermaprodit (Rukmana, 1995).

Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian seribu meter di atas permukaan air laut dan pada umumnya tumbuh di lokasi yang cukup tersedia air, curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun.


(21)

4 Suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22-26oC, suhu minimum 15oC, dan suhu maksimum 43oC (Kalie,1999).

Varietas pepaya dikenal dari bentuk, ukuran, warna, rasa, dan tekstur buahnya. Varietas pepaya yang banyak ditanam di Indonesia adalah pepaya semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, juga dikenal varietas pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo (Kalie, 1999). Salah satu jenis pepaya yang dikembangkan saat ini adalah pepaya IPB 1 yang ciri-cirinya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1

Parameter Unit Nilai

Warna batang Warna petiole Bentuk sinus daun Bentuk gerigi daun Warna daging buah Warna kulit buah Tipe daun

Warna bunga Bentuk Ukuran buah

Umur petik (hari setelah anthesis) Rasa daging buah

Panjang buah Diameter buah (cm) Bobot per buah (gram) Kadar air (%)

Kadar vitamin C (mg/100g)

cm cm g % mg/100g Coklat keabu-abuan

Hijau sedikit ungu kemerahan Agak tertutup Cembung Jingga Hijau muda 11.00 Putih Buah lonjong Kecil ± 140

Sangat manis (11-12oBrix) 14 ± 1

10 ± 1 654 ± 146 88 ± 2 122 ± 30

Sumber: PKBT (2004)

Buah pepaya secara keseluruhan mirip buah melon, berongga, bentuk buah lonjong, mempunyai aroma yang khas, warna daging kuning, orange sampai merah cerah. Rasanya manis dan menyegarkan karena mengandung banyak air. Nilai gizi buah ini cukup tinggi karena mengandung banyak provitamin A dan


(22)

5 vitamin C, serta kalsium. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah

Komponen Satuan Buah matang Buah mentah

Energi Air Protein Lemak Karbohidrat Vitamin A Vitamin B Vitamin C Kalsium Besi Phospor kalori g g g g IU mg mg mg mg mg 46,0 86,7 0,5 - 12,2 365,0 0,04 78,0 23,0 1,7 12,0 26,0 92,3 2,1 0,1 4,9 50,0 0,02 19,0 50,0 0,4 16,0 Sumber: Kalie (1999)

Dari Tabel 3 dapat dilihat komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah. Buah-buahan umumnya mengandung beberapa macam asam organik, dimana di dalam buah pepaya kandungan gula lebih besar dari asam, sehingga rasa manis lebih dominan. Selama pematangan buah pepaya yang disimpan pada suhu kamar akan mengalami peningkatan kandungan asam tertitrasi. Akan tetapi, setelah buah lewat matang kandungannya akan menurun (Kalie, 1999). Menurut Chan dan Kwok (1971) yang dikutip Kalie (1999), asam-asam yang terkandung dalam pepaya antara lain asam-asam ketoglutarat, sitrat, malat, tertarat, asam askorbat, dan galakturonat. Kandungan vitamin C untuk buah matang lebih tinggi dari buah mentah karena selama masa pematangan terjadi peningkatan persentase karoten dan xantofil, dan akibat adanya metabolisme polisakarida dalam dinding sel yang menyebabkan kadar gula meningkat.

Stabilitas vitamin C (asam askorbat) akan meningkat dengan menurunnya pH. Laju oksidasi asam askorbat sebanding dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam bahan pangan. Oksidasi asam askorbat akan menghasilkan bentuk monoanion dari asam askorbat dan diikuti dengan pembentukan asam


(23)

6 dehidroaskorbat yang masih memiliki aktivitas vitamin C. Apabila terjadi dekomposisi hidrolitik dari asam dehidroaskorbat, maka akan terbentuk asam 2,3- diketoglutanat yang sudah tidak mempunyai aktivitas vitamin C. Reaksi lebih lanjut dari asam 2,3- diketoglutanat tidak memberikan dampak lagi terhadap nilai gizi bahan pangan, tetapi akan menimbulkan perubahan flavor dan warna yang dikaitkan dengan reaksi pencoklatan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, stabilitas vitamin C juga dipengaruhi oleh adanya enzim, konsentrasi gula dan garam, konsentrasi awal asam askorbat, dan rasio antara asam askorbat dengan asam dehidroaskorbat (Winarno dan Aman, 1981).

Karoten merupakan prekusor vitamin A yang banyak terdapat di dalam pepaya. Biasanya perubahan warna pada kulit buah menunjukkan kematangan buah, begitu pula halnya dengan pepaya. Perubahan warna buah pepaya dari hijau menjadi kemerahan disebabkan penurunan klorofil, sehingga warna karotenoid mulai terlihat. Perbedaan warna pada pepaya merah dan kuning adalah adanya likopen, dimana buah pepaya kuning tidak terdapat likopen. Total karoten yang dikandung dalam pepaya mengkal adalah 3,7 mg per 100 gram, sedangkan pada pepaya berwarna matang total karotennya adalah 4,2 mg per 100 gram (Winarno dan Aman, 1981).

Tingkat kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah muda, buah tua, buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah pepaya dipanen pada stadium mendekati matang pohon, yakni setelah buah menunjukkan garis-garis menguning. Untuk pemasaran setempat biasanya buah dipetik pada tingkat kemasakan mengkal, sedangkan untuk pemasaran jarak jauh buah dipetik pada tingkat kemasakan tua. Buah masak mengkal bila kulit buah di bagian ujung tampak mulai menguning, sedangkan daging buah masih tetap keras. Buah pepaya yang masak ditandai dengan kulit dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis, dan aromanya sudah tercium.

2.2 Pemanis

Pemanis merupakan bahan yang umum terdapat pada makanan. Berdasarkan kemampuan metabolismenya, bahan pemanis digolongkan menjadi dua, yaitu nutritive sweetener dan non-nutritive sweetener. Nutritive sweetener


(24)

7 adalah pemanis yang dapat dimetabolis tubuh seperti sukrosa dan glukosa, sedangkan non-nutritive sweetener adalah pemanis yang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh seperti sakarin, siklamat, acesulfame-K, dan sorbitol (Nicole,1979). Sukrosa merupakan senyawa kimia yang memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut dalam air. Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pembentuk cita rasa, bahan pengisi, dan pengawet (Nicole,1979),

Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting, karena dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan, yaitu dapat menutupi cita rasa yang tidak menyenangkan. Rasa manis sukrosa bersifat murni dan tidak memiliki after taste yang meninggalkan rasa pait di lidah. Sukrosa dikatakan mampu membentuk citarasa yang baik, karena kemampuannya menyeimbangkan rasa asam, pahit, dan asin, atau melebihi pembentukan karamelisasi (Nicole,1979). Sukrosa dapat digunakan sebagai pengawet dikarenakan kemampuannya untuk menurunkan nilai keseimbangan kelembaban relatif dan meningkatkan tekanan osmotik dengan cara mengikat air bebas sehingga tidak dapat digunakan mikroba. Sukrosa dapat menghambat daya kerja enzim, yaitu pada konsentrasi 30% akan menghambat aktivitas enzim asam askorbat oksidase dan pada konsentrasi 50% akan menghambat enzim katalase (Nicole,1979).

2.3 Karagenan

Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan ikatan ester (Angka dan Suhartono, 2000). Karagenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30%, iota: 28-35%, dan lambda: 32-39%. Larut dalam air panas (70oC), air dingin, susu, dan larutan gula, sehingga sering digunakan sebagai bahan pengental/penstabil pada minuman atau makanan. Karagenan dapat membentuk gel dengan baik, sehingga banyak digunakan sebagai gelling agent dan pengental (Suptijah, 2002).


(25)

8 Sifat-sifat yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas, viskositas, pembentukan gel, dan reaktivitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam polimer karagenan. Karagenan biasanya mengandung unsur yang berupa garam yodium dan potasium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat karagenan. Tulisan di bawah ini menjelaskan sifat-sifat umum karagenan yaitu: (i) Kelarutan

Semua karagenan larut di dalam air pada suhu di atas 70oC. dalam air dingin, hanya α-karagenan dan garam natrium dari - dan - karagenan yang larut (Glicksman, 1983). Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, pH, dan komponen organik larutan. Dikaitkan molekulnya, kelarutan karagenan terutama dikendalikan oleh derajat hidrofiliknya, yaitu gugus ester sulfat dan unit galaktosa-piranosa yang berlawanan dengan unit 3,6-anhidro-galaktosa yang bersifat hidrofobik (Towle, 1973). Di samping kelarutan dalam air, karagenan juga memiliki sifat kelarutan dalam media cair lainnya, misalnya dalam susu panas, sedangkan dalam susu dingin hanya α-karagenan yang mempunyai kelarutan tinggi. Dalam kelarutan sukrosa panas dengan konsentrasi 65% - dan α-karagenan larut, sedangakan -karagenan sedikit larut dalam kondisi ini (Glicksman, 1983).

(ii) Pembentukan Gel

Karagenan jenis - dan - mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan yang panas dibiarkan menjadi dingin. Proses ini bersifat reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan akan menbentk gel kembali pada saat pendinginan (Glicksman, 1983). Terbentuknya gel ini sebagai akibat pembentuk struktur double helix oleh polimer karagenan. Konsistensi gel karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan tipe karagenan, konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat terbentuknya hidrokoloid (Towle,1973).

Pada proses pembentukan gel dari - dan -karagenan dibutuhkan kation tertentu. Dalam aplikasi pangan ada tiga kation yang paling umum digunakan, yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti amonium, barium, rubidium, dan cecium, (Moirano,19ιι). Adanya ion kalium pada gel


(26)

-9 karagenan dapat menaikkan kekerasan dan suhu pembentukan gel. Ion kalsium dan barium menaikan kekakuan gel karagenan. Ion rubidium dan cesium juga dapat menyebabkan gelasi -karagenan. Ion kalium menyebabkan gel -karagenan elastis dan transparan, sedangkan ion kalsium menyebabkan gel -karagenan rapuh. Penambahan ion natrium pada gel -karagenan membuat gel menjadi pendek dan rapuh.

Letak gugus sulfat pada struktur molekul karagenan sangat berpengaruh terhadap kemampuan karagenan untuk membentuk gel. Demikian pula derajat keteraturan rantai polimer menentukan kemampuan membentuk gel. Suatu modifikasi struktural dapat dilakukan dengan mengubah unit yang mengandung sulfat pada C6 di ikatan (1 → 4) menjadi unit 3,5-anhidro galaktosa akan

meningkatkan kemampuan membentuk gel dan kekuatan gel (Towle,1973). (iii) Stabilitas

Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangkan pH yang lebih rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun khususnya dengan peningkatan suhu (Moirano,1977; Glicksman,1983). Pada pH rendah dari 7, polimer karagenan terhidrolisis sehingga kemampuan untuk membentuk gel menjadi hilang. Namun, pada penerapannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman,1983). Hal ini disebabkan beberapa karagenan mengandung ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang tinggi, sehingga tidak mudah terhidrolisis dan dapat digunakan dalam aplikasi pangan pada pH rendah sebagai pengental, misalnya pH 3,0-4,0. Misalnya, kappa karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai gelling agent pada pH rendah (Moraino,1977).

2.4 Permen Jelly

Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari komponen-komponen air, flavor, gula, dan bahan pembentuk gel. Permen jelly mempunyai penampakan jernih, transparan, serta mempunyai tekstur yang elastis dengan kekenyalan tertentu. Adanya partikel-partikel yang tersuspensi seperti protein, tanin, dan polisakarida (pati) menyebabkan warna permen jelly yang dihasilkan menjadi keruh (Jackson, 1995). Pembuatan permen jelly meliputi pencampuran gula yang


(27)

10 dimasak dengan kandungan padatan yang diperlukan dan penambahan bahan pembentuk gel (gelatin, agar, pektin, atau karagenan) dengan cita rasa dan aroma, serta bentuk yang menarik. Kekerasan dan tekstur permen jelly banyak tergantung pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Permen jelly memerlukan bahan pelapis yang dapat berupa tepung tapioka, tepung gula, atau campuran dari keduanya. Hal ini dikarenakan permen jelly memiliki sifat kencenderungan menjadi lengket satu sama lain karena sifat dari gula pereduksi yang membentuk permen. Adanya bahan pelapis ini akan memudahkan dalam pengemasan dan dapat menambah rasa manis (Jackson, 1995).

Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Jelly gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat seperti karet, sedangkan jelly agar-agar bersifat lunak dan agak rapuh. Pektin menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada pH rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Bukle et al.,1987).

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kerusakan utama pada hasil olahan permen jelly adalah sebagai berikut:

(i) Terbentuknya kristal-kristal karena bahan yang terlarut cukup banyak, sedangkan gula tidak cukup melarut sehingga mengkristal kembali.

(ii) Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah atau karena pembentuk gel yang tidak cukup.

(iii) Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup, karena kadar gula yang terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan kandungan pembentuk gel.

(iv) Pengeluaran air dari gel karena terlalu banyak asam.

Permen jelly termasuk dalam pangan semi basah yang mempunyai kadar air sekitar 10-40% dan nilai aw berkisar 0,6-0,9 (Bukle et al.,1987). Kondisi ini telah

cukup menghambat aktivitas biologis dan biokimia, sehingga tidak mudah terjadi kerusakan. Prinsip pengolahan permen sesuai dengan pengolahan pangan semi basah yaitu menurunkan nilai aw produk pada suatu tingkat tertentu sehingga

mikroba patogen tidak tumbuh. Walaupun demikian, kandungan air produk ini masih cukup tinggi, sehingga dapat dimakan tanpa melakukan rehidrasi terlebih dahulu. Produk ini cukup kering dan stabil selama penyimpanan (Leisner dan


(28)

11 Rodel, 1976). Mutu permen jelly diatur dalam SNI 02-3547-2008 tentang kembang gula lunak.

Muchtadi et al. (1979) menyebutkan bahwa jelly merupakan produk yang dibuat dari sari buah yang dipekatkan, jernih, transparan, bebas dari pulp atau partikel asing, konsistensinya stabil, dan cukup kukuh mempertahankan bentuknya bila dikeluarkan dari wadah. Jelly buah merupakan satu diantara produk makanan yang sudah dikenal dan sangat popular di kalangan masyarakat. Dapat dibuat dari buah yang cacat rupa, berukuran kecil, buah yang kurang matang, kulit buah, hati buah atau buah yang terjatuh oleh angin, sehingga dalam hal ini nilai ekonomis buah lebih meningkat (Woodroof dan Luh, 1975). Jelly merupakan makanan sumber kalori yang tinggi, karena mengandung kadar gula yang tinggi, dimana mudah diabsorpsi oleh usus manusia dan memberikan energi tubuh dengan cepat Muchtadi et al. (1979).

2.5 Pengemasan dan Penyimpanan

Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk serta penunjang bagi kelancaran transportasi dan distribusi yang merupakan bagian terpenting dari suatu usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran produk. Pengemasan yang sempurna dilakukan untuk mempertahankan mutu suatu produk. Tujuan dari proses pengemasan adalah melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya kontaminasi dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan pengemas, termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, perpindahan panas, kontaminasi, dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas,1989).

Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya.


(29)

12 Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Betty, 2007).

Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai produk menuntut kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan suatu bahan merupakan salah satu upaya agar produk dapat dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi kerusakan, sehingga selama penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk tidak mengalami penurunan mutu yang besar. Penyimpanan bahan pangan berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan (Syarief dan Halid, 1993).

Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat jika disimpan dalam ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan tersebut. Kelembaban udara ruang penyimpanan berhubungan dengan aktivitas air suatu bahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme (Syarief dan Halid,1993).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid,1993).

Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu, semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan, dan penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15oC. Pendinginan adalah


(30)

13 penyimpanan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10 oC, sedangkan penyimpanan beku adalah penyimpanan di bawah suhu -2 oC (Winarno dan Jenie,1983).

Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme. Oleh karena itu, penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh keaktifan responsi menurun, tetapi juga terjadinya penghambatan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya mencapai 5-8 oC. Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri (Winarno et al.,1980).

Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di antaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen, dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,1979).

Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu, kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya sinar ultra violet. Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat: (i) respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (ii) penuaan karena pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (iii) kehilangan air; (iv) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur, dan khamir; (v) pertumbuhan yang tak diinginkan; dan (vi) perubahan-perubahan rasa dan bau (Pantastico,1986).

2.6 Kemasan

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. UK Institute of Packaging memberikan tiga definisi kemasan:


(31)

14 (i) sistem terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transportasi, distribusi, penyimpanan, perdagangan eceran, dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk menjamin sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam kondisi yang baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno ekonomi dengan tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan perdagangan (atau dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan dinilai ideal apabila secara kimia inert total dan memungkinkan bahan makanan mempertahankan karakteristik aslinya. Akan tetapi, pada kenyataannya jarang sekali ada bahan pengemas yang benar-benar inert, beberapa reaksi tidak dapat dihindari dan dicegah tergantung dari sifat-sifat bahan pengemas dan tipe makanan yang dikemas (Agoes, 2004).

Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk, dan fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional, sekarang telah berkembang dengan menggunakan bahan modern seperti metal baja, alumunium, kaca, kertas, dan plastik. Berdasarkan konstruksinya, kemasan dapat berupa lapis tunggal, lapis ganda, dan lapis majemuk. Berdasar bentuknya, kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet, botol, gelas, mangkuk, kotak, karton, karung, dan drum (Soekarto dan Nur, 2004).

Berdasarkan fungsinya, kemasan dibagi menjadi dua yaitu kemasan untuk pengangkutan dan distribusi (shiping/delivery package) dan kemasan untuk perdagangan eceran atau supermarket (retail package). Pemakaian material dan pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi akan berbeda dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan untuk pengangkutan atau distribusi akan mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedangkan kemasan untuk eceran diutamakan materi atau material yang dapat memikat konsumen untuk membeli (Peleg,1985).

Beberapa persyaratan kemasan makanan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat menyebabkan penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi, sehingga tidak merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv) tahan panas; (v) mudah dikerjakan; (vi) harganya murah. Kerusakan yang terjadi pada bahan


(32)

15 pangan dapat terjadi secara spontan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan luar. Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al.,1987). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk. Perubahan fisik dan kimia dapat terjadi karena migrasi zat-zat kimia pada bahan kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen (Syarief et al.,1989).

2.6.1 Kemasan Plastik

Plastik merupakan senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung pada jumlah molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi, pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper,1975). Plastik juga mengandung beberapa zat aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik. Bahan yang ditambahkan tersebut disebut komponen non-plastik yang berupa senyawa organik atau anorganik yang memiliki berat molekul rendah. Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar UV, anti lekat, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan migrasi bahan kemasan plastik ke dalam makanan, bahan aditif bukan satu-satunya komponen yang harus diteliti, melainkan juga residu monomer yang masih berada pada matrik polimer plastik. Daya peracunan setiap jenis residu monomer, oligomer dan bahan aditif perlu diselidiki agar keamanan konsumen dapat dijamin (Robertson, 1993).

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya, karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastik, dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2, dan

O2, harganya relatif rendah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa, dan mengurangi

biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, kemasan plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain


(33)

16 (kertas atau alumunium foil). Kelemahan bahan kemasan plastik ini adalah adanya zat-zat monomer dan molekul kecil yang terkandung dalam plastik dapat melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno,1993).

Permeabilitas plastik terhadap udara dan uap air menyebabkan plastik berperan dalam modifikasi ruang kemasan selama penyimpanan. Sifat penting bahan kemasan plastik yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan permukaannya. Permeabilitas gas dan uap air, serta luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang sesuai dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno,1993).

Jenis plastik yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas rendah. Dikembangkan sejak 1950 dengan berbagai nama dagang seperti bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan profax. Polipropilen sangat mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa. Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi, dan cukup mengkilap (Syarief et al.,1989).

Plastik propilen tidak mudah sobek atau retak. Sifat utama polipropilen adalah ringan (densitas 900 kg/m3), permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas gas sedang sehingga tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen, tembus pandang dan jernih sehingga mudah dicetak (printing). Polipropilen dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada monomer propilen di bawah panas dan tekanan (Robertson, 1993). Monomer polipropilen diperoleh dengan pemecahan secara thermal naphtha (distilasi minyak kasar) etilen, propilen dan homologues yang lebih tinggi dipisahkan dengan distilasi pada temperatur rendah. Dengan menggunakan katalis Natta-Ziegler polipropilen dapat diperoleh dari propilen (Brown, 1991). Struktur umum polipropilen dapat dilihat pada Gambar 1.


(34)

17

CH3

CH CH2

Gambar 1. Struktur umum polipropilen (Brown, 1991)

Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989), antara lain: (i) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; (ii) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -300C mudah pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku; (iii) lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi; (iv) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen; (v) tahan terhadap suhu tinggi sampai 1500C, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi; (vi) titik leburnya tinggi sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang-benang plastik pada suhu tinggi; (vii) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl; (viii) pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, silken, toluene, terpentin, dan asam nitrat kuat.

2.6.2 Kemasan Alumunium foil

Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat thermotis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam atau lapisan tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan. Ketebalan dari alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alumunium foil yang tipis dapat diperbaiki dengan memberikan lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989).

Alumunium foil merupakan kemasan logam yang lebih ringan daripada baja dan memiliki daya korosif terhadap atmosfir yang sangat rendah, mudah


(35)

18 dilekuk-lekukkan sehingga dapat dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak beracun. Alumunium foil juga merupakan salah satu jenis kemasan yang kedap terhadap udara, uap air, dan kedap cahaya sehingga dapat mencegah peningkatan aw dan oksidasi. Alumunium foil memiliki sifat tahan

terhadap panas, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan tidak korosif. Kemasan ini juga memiliki pori-pori yang kecil sehingga dapat menghambat kemampuan uap air untuk menembus masuk kedalam kemasan (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003).

Alumunium foil merupakan kemasan yang dapat menghalangi cahaya dan oksigen (penyebab lemak teroksidasi atau menjadi tengik), bau dan aroma, kelembaban, dan bakteri masuk ke dalam makanan yang dikemas. Alumunium foil digunakan pada makanan dan produk-produk farmasi. Bahan ini juga digunakan untuk membuat kemasan pak yang berumur panjang (kemasan aseptik) untuk minuman dan dairy product dengan penyimpanan tanpa pendingin. Laminasi alumunium foil juga digunakan untuk mengemas makanan yang sensitif terhadap oksigen dan uap air, misalnya tembakau (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003).

Alumunium foil memiliki sisi yang mengkilap dan sisi yang buram. Sisi yang mengkilap diproduksi ketika alumunium digulung pada waktu tahap akhir. Pada tahap akhir penggulungan, dua lembar digulung pada waktu yang sama. Keduanya masuk pada mesin penggulung. Ketika lembaran dipisahkan, sisi dalamnya tidak mengkilap, sedangkan sisi luarnya mengkilap. Banyak orang percaya bahwa sisi yang mengkilap mencerminkan bagian yang menjaga panas keluar dan menjaga panas di dalam ketika melapisi bagian luar produk (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003).

2.6.3 Kemasan Gelas

Gelas merupakan salah satu kemasan yang tertua. Gelas mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan sebagai bahan kemasan seperti inert (tidak bereaksi), kuat, tahan terhadap kerusakan, serta sangat baik sebagai barier terhadap benda padat, cair, dan gas. Kelemahan dari kemasan gelas yaitu sifatnya yang mudah


(36)

19 pecah dan kurang baik bagi produk-produk yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet) (Syarief,2002).

Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan peroksida oksida, kalsium, natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur, dan bubuk gelas (yang dimasukkan ke dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti, dan dipanaskan sampai suhu melebihi 2600oF. Setelah gelas melebur dan dibersihkan, wadah gelas dibentuk dengan cara memasukkan gelas cair ke dalam mesin pencetak dimana pembentukkan gelas dimulai. Kemudian dipindahkan de dalam mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan sebentar, dan akhirnya dipisahkan dari mesin (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia wadah gelas komersial dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial

Komposisi kimia Rumus kimia Persentase Silika Soda abu Potasium Oksida Batu kapur Magnesium oksida Alumunium oksida Besi oksida Belerang trioksida SiO2

Na2O

K2O

CaO MgO Al2O3

Fe2O3

SO3 73,000 13,000 0,440 11,700 0,190 1,430 0,049 0,190 Sumber: Syarief (2002)

Wadah gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu: gelas bermulut lebar (wide mouth) dan gelas bermulut sempit (narrow neck). Wadah gelas bermulut lebar kebanyakan digunakan untuk produk makanan bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega, kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar, manisan, mayonais. Sedangkan, wadah gelas berleher sempit kebanyakan digunakan untuk produk-produk cair, seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu cair, saus, cuka (Muchtadi, 1995).


(37)

20 Faktor yang menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada setiap kemasan gelas yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan untuk mengantisipasi terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi. Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada atas kemasan gelas dan apabila terlalu kecil proses penutupan kemasan tidak akan sempurna. Besarnya

head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun, untuk produk-produk yang menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10% (Muchtadi,1995).

Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam penggunaan kemasan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena kontruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara kuat. Tutup yang digunakan untuk menutup kemasan jar dapat terbuat dari logam maupun plastik (Muchtadi,1995). Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas produk confectionery. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu, proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan (Syarief,2002). Menurut Muchtadi (1995), keuntungan menggunakan kemasan gelas meliputi (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau dan bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan dapat diperiksa baik oleh konsumen maupun produsen; (v) mudah dibuka dan ditutup kembali; (vi) dapat dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna.

2.7 Umur Simpan

Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga produk tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya. Umur simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat


(38)

21 fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan (Arpah dan Syarief, 2000). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk pangan. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar. Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedangkan produk yang mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna coklat); (ii) jenis dan karakteristik bahan kemasan. Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen); (iii) kondisi lingkungan. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi warna. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: (i) keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik; (ii) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya; (iii) kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan; (iv) ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.

Proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data mengenai: (i) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; (ii) unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk; (iii) mutu produk dalam kemasan; (iv) bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan; (v) mutu produk pada saat dikemas; (vi) mutu minuman dari produk yang masih dapat diterima; (vii) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan; (viii) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan; (ix) sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk (Hine, 1987).


(39)

22 Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS atau sering disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan dapat ditentukan umur simpan produk. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat (1-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Herawati, 2008).

Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : (i) pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa; (ii) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Herawati, 2008).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan Arrhenius. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk penggunaan model Arrhenius ini misalnya:

(i) Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja (ii) Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu


(40)

23 (iii) Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses

yang terjadi sebelumnya

(iv) Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap

Dalam kinetika perubahan mutu pangan, umumnya dilakukan penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana dengan orde reaksi kenol atau kesatu. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya. Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien determinasi (R2). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan (1) dan ln atas persamaan (1) menjadi persamaan (2), dengan:

………(1)

Dimana :

K = konstanta kecepatan reaksi Ko = konstanta pre-eksponensial Ea = Energi aktivasi (KJ/mol)

R = konstanta gas = 1.986 (kal/mol) T = suhu mutlak (K)

………(2)

Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius Ln K

-Ea/R


(41)

24 Nilai umur simpan dapat dihitung dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.

a. Reaksi Orde Nol

Penurunan mutu orde nol adalah penurunan mutu yang konstan. Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi orde nol adalah kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi. Persamaannya adalah sebagai berikut:

………..………..(3)

Integrasi terhadap persamaan (3) akan menghasilkan persamaan (5) dan umur simpan produk dapat dihitung dengan persamaan (6):

……….(4)

……….……….…….(5)

Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde nol adalah:

………(6) Dimana :

At = nilai A pada awal waktu t

A0 = nilai awal A

K = laju perubahan mutu t = waktu simpan

b. Reaksi Orde Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti reaksi orde satu adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off flavour oleh mikroba pada produk daging, ikan, dan


(42)

25 unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya. Persamaannya adalah sebagai berikut:

...(7)

Integrasi terhadap persamaan (7) akan menghasilkan persamaan (9) dan umur simpan dihitung berdasarkan persamaan (10):

………..(κ)

………..(9)

Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde satu adalah:


(43)

26 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah permen jelly pepaya yang terbuat dari pepaya varietas IPB 1 dengan bahan tambahan sukrosa, ekstrak rumput laut (karagenan), dan bubur nanas. Pepaya yang dipakai adalah pepaya varietas IPB 1 dengan waktu petik 140 hari setelah arthesis dan tidak dapat memenuhi spesifikasi pemasaran buah segar. Pepaya IPB 1 yang digunakan untuk penelitian ini diperoleh dari kebun Balai Pengembangan Keanekaragaman Buah Tropika (PKBT), Tajur. Kemasan yang digunakan meliputi kemasan plastik jenis polipropilen, alumunium foil, dan kemasan gelas bermulut lebar (jar). Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah pelarut n-heksan, asam sulfat (H2SO4) pekat, katalis tembaga (II) sulfat (CuSO4) dan natrium sulfat (Na2SO4),

asam klorida (HCl), indikator mengsel, NaOH 0.02 N, larutan 0.01 N iodium, indikator pati, Indikator phenolphthalein 1%, larutan 0.1 N NaOH, PDA, garam fisiologis, dan aquades.

Alat yang digunakan untuk penelitian terdiri atas alat untuk proses produksi permen jelly, alat penyimpanan, dan alat analisis. Alat yang digunakan dalam proses produksi permen jelly adalah tungku pemasak otomatis, freezer, blender, kompor gas, lemari pendingin, timbangan, pisau bergerigi, dan wadah plastik. Alat untuk penyimpanan berupa lemari pendingin, conditioned room, dan inkubator dengan suhu penyimpanan 25˚C dan 35˚C. Alat analisis terdiri atas neraca analitik, oven, pH meter, soxlet, tanur, penetrometer, colorimeter, buret, otoklaf, pipet, serta peralatan gelas lainnya.

3.2Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2009 sampai dengan November 2009. Pembuatan produk dilakukan di pabrik CV. Kinari Indah Mandiri, Tajur, Bogor. Penyimpanan dan analisa produk dilakukan di Laboratoria Pengemasan, Teknologi Kimia, DIT I dan II, Instrumentasi, dan Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor.


(44)

27 3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap pembuatan produk permen jelly pepaya, pengemasan dan penyimpanan, dan analisis produk permen jelly pepaya. Analisa produk meliputi uji proksimat awal, kadar air, vitamin C, total asam tertitrasi (TAT), warna, kekerasan, dan organoleptik.

3.3.1Pembuatan Produk Permen Jelly Pepaya

Pepaya dikupas dan dibersihkan dari biji dan kotoran. Setelah itu, pepaya dicuci. Setelah pencucian, pepaya segera dihancurkan menggunakan blender tanpa tambahan air sampai halus. Pepaya yang telah halus kemudian ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Sukrosa, karagenan, dan bubur nanas pun ditimbang sesuai komposisi.

Proses pembuatan permen jelly pepaya diawali dengan mencampur bubur pepaya, sukrosa, dan bubur nanas kemudian dipanaskan. Setelah suhu adonan mencapai ± 60ºC, karagenan dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk hingga homogen. Pemanasan dilanjutkan sampai suhu adonan mencapai 80ºC. Pada proses ini, sukrosa dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk hingga homogen. Proses memasak dinyatakan selesai jika suhu adonan mencapai 80ºC. Adonan segera diangkat dan dicetak pada loyang. Adonan didiamkan sampai dingin dan sedikit mengeras pada suhu ruang kemudian disimpan dalam freezer selama 1 hari. Adonan yang telah mengeras dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil (ukuran permen jelly pepaya) sebelum dikeringkan dalam oven yang bersuhu 80oC selama kurang lebih 6 jam. Permen jelly pepaya yang sudah kering didinginkan dan dilumuri dengan gula putih bubuk. Diagram alir pembuatan permen jelly pepaya dapat dilihat pada Gambar 3.


(45)

28 Gambar 3. Diagram alir pembuatan permen jelly pepaya

Bubur nanas

Buah pepaya

Pengupasan

Pencucian

Penghancuran

Bubur pepaya

Pemasakan sampai suhu 60oC

Sukrosa Pemasakan sampai suhu 80oC

Karagenan

Pendinginan pada suhu ruang selama 1 jam

Pendinginan pada freezer selama 1 hari

Pemotongan

Pengovenan pada suhu 80oC selama 6 jam

Permen jelly pepaya Pendinginan

Penaburan gula putih bubuk Pencetakan


(46)

29 3.3.2 Pengemasan dan Penyimpanan

Permen jelly pepaya ditimbang sebanyak 100 gram. Kemudian permen dikemas dan disimpan sesuai perlakuan yang diberikan. Perlakuan yang diberikan untuk Permen jelly pepaya adalah pengemasan dengan tiga jenis kemasan, yaitu kemasan plastik polipropilen, alumunium foil, dan kemasan gelas jar. Suhu penyimpanan yang digunakan adalah 5, 15, 25, dan 35˚C. pada penelitian ini dilakukan dua kali ulangan.

3.3.3 Analisa

Karakterisasi produk permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan uji proksimat. Uji proksimat dan uji mikrobiologis dilakukan untuk mengetahui karakteristik awal bahan sebelum perlakuan penyimpanan. Proksimat yang dilakukan berupa uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, pH, aw, warna, total asam tertitrasi (TAT), vitamin C, kekerasan, dan kadar karbohidrat (by difference). Uji mikrobial dilakukan terhadap produk permen jelly pepaya pada uji kapang khamir. Selain itu, juga dilakukan beberapa uji untuk mendapatkan karakterisasi bahan selama penyimpanan yaitu uji kadar air, warna, total asam tertitrasi (TAT), vitamin C, kekerasan, dan organoleptik. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.


(47)

30 Gambar 4. Diagram alir penelitian

Permen jelly pepaya

Plastik PP Alumunium foil Kemasan Jar

Penyimpanan: 1. Suhu 5oC 2. Suhu 15oC 3. Suhu 25oC 4. Suhu 35oC

Analisis: 1. Proksimat awal 2. Kadar air 3. Vitamin C 4. TAT 5. Warna 6. Kekerasan 7. Uji organoleptik

Pendugaan umur simpan, penentuan kemasan dan suhu penyimpanan terbaik


(1)

66 Gould, W. A. 1974. Tomato Production, Processing, and Quality Evaluation. The

AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.

Harper, W. J. dan C.W. Hall. 1975. Dairy Technology and Engineering. The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.

Harris, R. S. dan E. Karnas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Herawati, H. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4).

Hine, D. J. 1987. Shelf Life Evaluation. Di dalam Modern Processing Packaging and Distribution System for Food. Blackie, London.

Jackson, E. B. 1995. Sugar Confectionary Manufacture, 2nd (ed.). Blackie Academic & Professional, London.

Kalie, M.B. 1999. Bertanam Pepaya. Penebar Swadaya, Jakarta.

Ketaren, Semangat. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.

Labuza, T. P. 1982. Shelf-life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc., USA.

Labuza, T. P. and M. K. Schmild. 1985. Accelerated Shelf Life Testing of Foods. Food Technol. 39 (9): 57-62.

Leisner, L. dan W. Rodel. 1976. The Stability of Intermediate Moistures Foods with Respect to Microorganism. Di dalam Intermediate Moisture Foods. Davis, R., G. G. Birch, dan K. J. Parker (eds.) Applied Science Publ. Ltd., London.

Marsh, K. dan B. Bugusu. 2007. Food Packaging-Roles, Materials, and Evironmental Issues. Journal Food Science Vol 72 : R39-R57.

Moirano, A. L. 1977. Sulfated Seaweed Polysaccharides. Di dalam Food Colloids. AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut.

Muchtadi dan Sugiyono. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, D., Tien R. Muchtadi, dan Endang Gumbira. 1979. Pengolahan Hasil Pertanian II Nabati. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta, IPB, Bogor.


(2)

67 Muchtadi, T. R. 1995. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicole, W. M. 1979. Sucrose and Food Technology. Di dalam Sugar: Science of

Technology. G. G. Birch dan K. J. Parker (eds). Applied Science Publ., London.

Pantastico, Er. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Penerjemah Kamariyani. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Peleg, K. 1985. Procedure Handling, Packaging, and Distribution. The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.

Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2004. Pepaya. Brosur. LP2M-Institut Pertanian Bogor.

Robertson, G. L. 1993. Food Packaging Principles and Practice. Marcel Dekker, Inc.

Rukmana, R. 1995. Pepaya: Budidaya dan Pascapanan. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soekarto, S. T. 1981. Penilaian Organoleptik. Pusat Pengembangan Teknologi

Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soekarto, S. T. dan Nur Wulandari. 2004. Pencemaran Bahan Berbahaya dari Wadah Pangan (Indirect Food Additives). Di dalam Prosiding Lokakarya Wadah Pangan. Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPPOM, Jakarta.

Stuckey, B. N. 1981. Antioxidants As Food Stabilizers. Di dalam CRC Handbook of Food Additives. T. E. Furia (ed.). CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Suptijah, P. 2002. Rumput Laut: Prospek dan Tantangannya. Makalah Pengantar

Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R. dan Y. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan,

Bandung.

Syarief, R., L. Ega dan C. C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press, Bogor.

Syarief, R., S. Santausa dan S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(3)

68 Syarief. 2002. Pengemasan Pangan. Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Towle, A. Gordon. 1973. Carrageenan. Di dalam Industrial Gums. R. Whistler. Academic Press, New York.

Winarno, F. G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. dan Aman, M. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Holtikultura.

M. Brio Press, Bogor.

Winarno, F. G. dan B. S. L. Jenie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan. Gramedia Utama, Jakarta.

Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta.

Winarno, F. G.. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Woodroof, J. G. dan Luh B.S. 1975. Commercial Fruits Processing. The AVI


(4)

87 Lampiran 13. Contoh perhitungan umur simpan permen jelly pepaya

Kemasan plastik PP Y = -983,4x + 1,301

ln k = -983,4 (1/T) + 1,301

Dari persamaan dapat diperoleh nilai E (Energi aktivasi) dan nilai ln k0:

-E/R = -983,4 K

E = (983,4K) x (1.986 kal/mol K) E = 1210467 kal/mol K

Nilai k0 diperoleh : ln k0 = 1,301

k0 = 3,672967800

Dengan demikian laju penurunan kadar air permen jelly pepaya yang dikemas dengan kemasan plastik PP adalah:

k = 3,672967800 / hari

Perhitungan umur simpan berdasarkan orde nol adalah:

Suhu 5˚C = 116,06 = 3 bulan, 26 hari

Suhu 15˚C = 102,64 = 3 bulan, 12 hari

Suhu 25˚C = 91,53 = 3 bulan, 1 hari


(5)

MULATSIH TRI ATMINI. F34052997. Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly Pepaya (Carica papaya L). Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Ani Suryani. 2010.

RINGKASAN

Pepaya (Carica papaya L) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang tergolong ke dalam famili Caricaceae. Buah ini merupakan buah tahunan, sehingga keberadaannya terus ada sepanjang tahun. Perlu dilakukan beberapa upaya untuk memanfaatkan buah pepaya, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buah pepaya tersebut. Salah satunya adalah dengan mengolah pepaya menjadi produk olahan pepaya. Alternatif produk olahan pepaya yang mungkin dapat dikembangkan adalah permen jelly pepaya.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menghasilkan produk permen jelly pepaya. Tujuan khususnya adalah mengetahui perubahan mutu permen jelly pepaya selama penyimpanan, menduga umur simpan permen jelly pepaya, dan mengetahui kemasan terbaik untuk permen jelly pepaya. Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pendugaan umur simpan perlu dilakukan untuk mengetahui umur simpan permen jelly pepaya pada kondisi tertentu. Penentuan umur simpan produk dengan metode accelerated storage studies (ASS) dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan. Pengemasan dan penyimpanan yang tepat diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan menekan laju kerusakan permen jelly pepaya. Pada penelitian ini, permen jelly pepaya dikemas dalam tiga kemasan yang berbeda, yaitu plastik polipropilen (PP), alumunium foil, dan kemasan gelas. Penyimpanan dilakukan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan bahan dan pembuatan permen jelly pepaya, pengemasan dan penyimpanan pada berbagai jenis kemasan dan suhu penyimpanan, analisa mutu produk. Karakterisasi awal bahan adalah proksimat yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, pH, aw, dan kadar karbohidrat (by difference). Uji mikrobial yg dilakukan adalah uji total kapang. Selain itu, selama penyimpanan produk diuji mutunya, yaitu kadar air, vitamin C, total asam tertitrasi (TAT), tekstur, warna, dan organoleptik.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perubahan kadar air permen jelly pepaya meningkat di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Peningkatan kadar air permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut adalah 0,11, 0,13, 0,16, dan 0,17% per hari, sedangkan kadar air produk kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,08, 0,10, 0,13, dan 0,14% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,12, 0,15, 0,15 dan 0,19% per hari. Vitamin C dan Total Asam Tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya menurun 0,01% per hari di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan.

Nilai tekstur permen jelly pepaya mengalami peningkatan di setiap kemasan dan suhu penyimpanan. Hal ini berarti permen jelly pepaya menjadi lebih lunak. Peningkatan nilai tekstur permen jelly pepaya kemasan plastik PP


(6)

suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut adalah 0,06, 0,07, 0,07, dan 0,07% per hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,05, 0,05, 0,06, dan 0,07% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut meningkat 0,05, 0,07, 0,08, dan 0,09% per hari.

Penurunan kualitas warna permen jelly pepaya ditandai dengan menurunnya nilai L (tingkat kecerahan). Penurunan nilai L permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5, 15, 25, dan 35 berturut-turut turun 0,20, 0,21, 0,21, dan 0,22% per hari. Pada kemasan alumunium foil suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut turun 0,15, 0,18, 0,18, dan 0,19% per hari, sedangkan pada kemasan gelas pada suhu 5, 15, 25, dan 35°C berturut-turut turun 0,15, 0,16, 0,18, dan 0,18% per hari.

Hasil uji organoleptik permen jelly pepaya pada semua perlakuan selama penyimpanan mengalami penurunan. Tidak ada penolakan panelis terhadap atribut penerimaan umum. Secara keseluruhan, penurunan mutu yang terjadi pada ke dua belas perlakuan masih dapat diterima oleh konsumen hingga hari ke-42. Berdasar parameter kadar air dengan titik kritis 20%, umur simpan permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5˚C adalah 116 hari, suhu 15˚C adalah 102 hari, suhu

25˚C adalah 91 hari, dan suhu 35˚C adalah 82 hari. Pada kemasan alumunium

foil suhu 5˚C adalah 156 hari, suhu 15˚C adalah 133 hari, suhu 25˚C adalah 116

hari, dan suhu 35˚C adalah 101 hari, sedangkan pada kemasan gelas suhu 5˚C

adalah 103 hari, suhu 15˚C adalah 93 hari, suhu 25˚C adalah 84 hari, dan suhu 35˚C adalah 77 hari. Dengan demikian, kemasan yang baik untuk produk permen