Pengertian Piagam Madinah GAMBARAN UMUM PIAGAM MADINAH

Muslim. Piagam ini telah membuktikan salah satu esensi dalam Islam adalah perdamaian dan persaudaraan. Bagi sebagian umat Islam, piagam ini merupakan inspirasi untuk memperjuangkan hak-haknya dalam jalur politik. Bahkan mereka menganggapnya sebagai prototip dari politik Islma yang bersifat adihulung. Sebab piagam tersebut meneguhkan posisi Islam sebagai agama yang menerima perbedaan dan menjadikan kebhinekaan sebagai kekuatan untuk membangun sebuah komunitas yang kuat, bermartabat, dan menjunjung tinggi keadaban. Fakta sejarah Piagam Madinah telah menegaskan perbedaan yang sangat mendasar dengan pandangan dan sikap politik sebagian kelompok yang selama ini mengampanyekan penegakan Syariat Islam dalam ranah politik, terutama dalam konteks penegakkan hukum pidana Islam. Piagam Madinah secara eksplisit tidak merekomendasikan penegakkan hukum Islam di tengah kemajuan kelompok. Maka dari itu, mereka yang selama ini mengusung penegakkan Syariat Islam dalam ranah politik bukanlah sebuah manigestasi dari Piagam Madinah. Mereka hakikatnya mengembangkan politik ala kerajaan Arab Saudi. Dalam pengalaman periode Nabi hingga Dinasiti Ottoman, penegakan Syariat Islam dalam ranah politik hampir tidak pernah terdengar. 77 Mula-mula Nabi mengajarkan Islma di Mekkah dengan cara sembunyi-sembunyi. Ketika itu orang-orang Islam yang jumlahnya sedikit, 77 Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009, h. 293-294. kalau hendak shalat bersama-sama mereka keluar dari kota dan berkumpul di salah satu daerah perbukitan di sekitar Mekkah. Baru pada akhir tahun ketiga dari awal kenabian, Nabi mulai menyiarkan agama yang dibawanya dengan terang-terangan, yang kemudian berakibat makin meningkatnya tindakan permusuhan dan penganiayaan oleh orang-orang kafir Mekkah terhadap orang-orang Islam. Belum cukup dua tahun sejak Nabi menyebarkan Islam secara terbuka, tindakan permusuhan dan penganiayaan itu sedemikian memuncak, sampai banyak diantara para pengikut Nabi yang seakan-akan tidak tahan lagi menanggung deritanya. Maka atas anjuran Nabi mereka mengungsi ke Abesenia. Mereka berada di negeri Afrika itu selama tiga bulan, kemudian pulang kembali ke Mekkah karena mendengar berita bahwa suku Quraisy telah menerima baik agama yang diajarkan oelh Nabi. Tapi terndaryata berita itu tidak benar dan bahkan mereka makin kejam terhadap pengikut-pengikut Nabi yang lemah, banyak umat Islam yang mengungsi lagi ke Abesenia dalam jumlah yang lebih besar dari pada waktu pengungsian yang pertama. Sementara itu Nabi tetap bertahan di Mekkah. Kemudian pada tahun kesebelas dari permulaan kenabian, terjadilah suatu peristiwa yang tampaknya sederhana tetapi yang kemudian ternyata merupaka titik kecil awal lahirnya satu era baru lagi bagi Islam dan juga bagi dunia. Peristiwa tersebut adalah perjumpaan Nabi di Aqabah, Mina, dengan enam orang dari suku Khazraj dan Yastrid yang datang ke Mekkah untuk haji. Sebagai hasil perjumpaan, enam tamu dari Yastrid itu masuk Islam dengan memberikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sementara itu kepada Nabi mereka menyatakan bahwa kehidupan mereka di Yastrid selalu dicekam oleh permusuhan antar golongan dan antar suku, khususnya antara suku Khazraj dan suku Aus. Mereka mengharapkan semoga Allah mempersatukandan merukunkan golongan-golongan dan suku-suku yang selalu bermusuhan itu melalui Nabi. Mereka berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk Yastrid untuk masuk Islam. Pada musim haji berikutnya, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas laki-laki orang penduduk Yastrid menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi serta masuk Islam juga berbaiat atau berjanji tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan membohong dan tidak akan menghiyanati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah sebagai Baiat Aqabah Pertama 621 M. 78 Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yastrid yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi utnuk hijrah ke Yastrid dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu ditempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu meraka mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan bahwa mereka akan membela 78 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara Jakarta: UI Press, 1993, cet ke-5, h.8-9.