Pengertian dan Ruang Lingkup Piagam Madinah

40

BAB III GAMBARAN UMUM PIAGAM MADINAH

A. Pengertian Piagam Madinah

Piagam Madinah atau dalam bahasa aslinya Ash-Shahifah Al-Madinah adalah sebuah perjanjian yang telah dirumuskan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam untuk mengatur hubungan antara warga masyarakat di Madinah yaitu dari kalangan Muslim, Nasrani dan Yahudi. Tidak lama sesudah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW, membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh beberapa golongan. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup yang baru dibentuk dipimpin oleh Muhammad SAW, sendiri dan menjadi yang berdaulat. Dengan demikian di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tapi juga mempunyai sifat kepala negara. Tidaklah sama pendapat dan penilaian yang diberikan oleh para ahli terdapat naskah penting yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad itu. Tetapi dalam satu hal pendapat mereka bersamaan, ialah naskah itu adalah susatu dokumen politik yang paling lengkap dan paling tua umurnya di dalam sejarah. Menurut W. Montgomery Watt dalam bukunya “Muhammad et Madina”, sebagai lanjutan dari bukunya yang pertama “Muhammad et Mecca” Oxford, 1953 tidak kurang pula jasanya mempopulerkan piagam itu sebagai suatu Konstitusi, yang dinamakannya sebagai “The Constitution of Medina” konstitusi Madinah. dengan membagi Konstitusi itu kepada Mukaddimah dan pasal 47. 72 Sedangkan Dr. Ahmad Ibrahim Syarif mengartikan Piagam Madinah dengan “Shahiefah”, sebagaimana yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “Pembentukan Negara Yastrid”, yang berbunyi: “Nabi Muhammad telah memuat suatu ‘Undang-Undang Dasar’ untuk mengatur kehidupan umum di Madinah dan meletakkan dasar-dasar hubungan antara Madinah dengan tetangga-tetangganya. Undang-undang dasar ini menunjukkan suatu kemampuan yang besar dalam segi perundang- undangan dan suatu keahlian yang dalam tentang keadaan serta memahami betul akan situasi di zaman itu dan undang-undang dasar itu terkenal dengan nama “Shahiefah”. 73 Majid Khadduri mengatakan piagam itu sebagai “treaty” perjanjian yang mengacu pada isi naskah tersebut, dalam bukunya “War and Peace in the Law of Islam” dengan menamakan piagam itu dengan “Tripartile Agreement” perjanjian segi tiga, yaitu perjanjian antara kaum Muhajirin, Anshar, dan kaum Yahudi. 74 Beberapa alasan dikemukakan mengapa para ahli sejarah menamakan Piagam Madinah dengan berbagai macam nama yaitu, disebut piagam charter karena isisnya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan 72 H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 h. 74-75. 73 H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 h. 85. 74 H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 h. 67 kesatuan semua warga. Disebut “Konstitusi” constitution karena di dalamnnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintah sebagai wadah penduduk Madinah yang majemuk. Walaupun disebut dengan nama-nama yang berbeda charter, perjanjian, konstitusi maupun shahifat tapi bentuk dan muatannya itu tidak menyimpang dari pengertian tersebut di atas. 75 Kitab- kitab Islam selalu menanamkan piagam itu dengan “Ahdun Nabi bil Yahudi ” perjanjian Nabi dengan kum Yahudi atau dengan “Ahdun Bainal Muslimin wal Yahudi ” perjanjian antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi. Oleh karena itu padangan mereka bersifat keagaman semata-mata agamis, maka perjanjian itu diartikan sebagai suatu hubungan anatar pemeluk Islam dengan pemeluk-pemeluk agama lain. Sebab piagam tersebut dijadikan bukti adanya sifat kesabaran dan toleransi Islam terhadap pemeluk- pemeluk agam lainnya. 76

B. Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah

Madinah menyimpan pesan, pengalaman, dan sejarah. Ketiga hal tersebut terangkum dalam Piagam Madinah. Piagam ini banyak diperbincangkan orang, baik kalangan Muslim maupun kalangan non- 75 J. Shuyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al- Qur‟an, PT: Raja Grapindo Persada, 1996, cet ke 2, h. 113-114. 76 H. Zainal Abidin Ahmad, Op Cit, h. 66. Muslim. Piagam ini telah membuktikan salah satu esensi dalam Islam adalah perdamaian dan persaudaraan. Bagi sebagian umat Islam, piagam ini merupakan inspirasi untuk memperjuangkan hak-haknya dalam jalur politik. Bahkan mereka menganggapnya sebagai prototip dari politik Islma yang bersifat adihulung. Sebab piagam tersebut meneguhkan posisi Islam sebagai agama yang menerima perbedaan dan menjadikan kebhinekaan sebagai kekuatan untuk membangun sebuah komunitas yang kuat, bermartabat, dan menjunjung tinggi keadaban. Fakta sejarah Piagam Madinah telah menegaskan perbedaan yang sangat mendasar dengan pandangan dan sikap politik sebagian kelompok yang selama ini mengampanyekan penegakan Syariat Islam dalam ranah politik, terutama dalam konteks penegakkan hukum pidana Islam. Piagam Madinah secara eksplisit tidak merekomendasikan penegakkan hukum Islam di tengah kemajuan kelompok. Maka dari itu, mereka yang selama ini mengusung penegakkan Syariat Islam dalam ranah politik bukanlah sebuah manigestasi dari Piagam Madinah. Mereka hakikatnya mengembangkan politik ala kerajaan Arab Saudi. Dalam pengalaman periode Nabi hingga Dinasiti Ottoman, penegakan Syariat Islam dalam ranah politik hampir tidak pernah terdengar. 77 Mula-mula Nabi mengajarkan Islma di Mekkah dengan cara sembunyi-sembunyi. Ketika itu orang-orang Islam yang jumlahnya sedikit, 77 Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009, h. 293-294.