Pemberdayaan Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan

(1)

DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN

YOHANES ARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan

Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2005

YOHANES ARIYANTO NIM. A. 154040225


(3)

YOHANES ARIYANTO, Pemberdayaan Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan. Dibimbing oleh

NURAINI W. PRASODJO sebagai ketua, YUSMAN SYAUKAT sebagai anggota komisi pembimbing.

Pasar Tradisional adalah tempat dimana para petani mendistribusikan surplus hasil-hasil pertaniannya. Potensi ekonomi lokal di tingkat komunitas bakul pasar tradisional desa Bantul merupakan salah satu kelembagaan ekonomi informal yang berbasis pada realitas kekuatan ekonomi rakyat dan terbukti mampu bertahan, serta memberikan peluang kerja dan pendapatan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat desa. Namun demikian komunitas bakul pasar tradisional memiliki banyak keterbatasan, diantaranya: (1) terbatasnya faktor-faktor permodalan; (2) minimnya pengetahuan bakul pasar; (3) kurangya ketrampilan dalam mengelola usaha sehingga memperkecil kemungkinan untuk melakukan diversifikasi usaha dan cenderung bertahan pada rutinitasnya saja.

Permasalahan yang ada pada komunitas bakul pasar yang paling dominan adalah faktor-faktor permodalan dan hadirnya kelembagaan-kelembagaan keuangan baik formal maupun informal (“bank plecit”) yang kurang memihak kepada komunitas bakul pasar. Bahkan kelembagaan keuangan informal “bank plecit” sering mendapat predikat negatif sebagai lintah darat meskipun pada realitanya di lapangan, “bank plecit” tetap eksis dan mampu untuk selalu beradaptasi secara sistemik mulai dari jaman penjajahan, orde baru hingga saat ini. Sedangkan kelembagaan keuangan formal seperti bank pasar cenderung mengandalkan logika-logika efisiensi perbankan yang lebih memilih untuk melayani sedikit nasabah dengan nominal kredit besar daripada banyak nasabah dengan kredit kecil-kecil.

Tujuan kajian ini adalah (1)Menilai mekanisme kerja kelembagaan keuangan bank pasar dan “bank plecit”; (2)menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal kelembagaan keuangan bank pasar, “bank plecit” dan bakul pasar; (3)menyusun program pemberdayaan komunitas bakul pasar tradisional desa Bantul.

Pendekatan kajian yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data kualitatif yang digunakan dalam kajian yaitu pengamatan berperan serta, wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD). FGD dilakukan untuk membahas hasi l analisis SWOT bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar. Sedangkan teknik analisis data kuantitatif digunakan untuk mengolah data hasil kuesioner analisis SWOT, dan merumuskan strategi pemberdayaan bakul pasar.

Penyusunan program pemberdayaan bakul pasar dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar. Selanjutnya ditentukan beberapa alternatif strategi pemberdayaan komunitas bakul pasar sebagai berikut: (1) Pengembangan kelembagaan permodalan dengan mengintegrasi kan kelembagaan permodalan yang ada; (2) Peningkatan kemampuan manajemen usaha komunitas bakul pasar; (3) Pengembangan kerjasama dengan pelaku ekonomi yang lebih kuat; (4) Peningkatan peran organisasi paguyuban bakul pasar.


(4)

@ Hak cipta milik Yohanes Ariyanto, tahun 2005 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengut ip dan memperbanyak t anpa izin t ert ulis dari I nstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bent uk apapun, baik cet ak, f ot ocopy, mikrof ilm dan sebagainya


(5)

DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN

YOHANES ARIYANTO

Kajian Pengembangan Masyarakat Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan

Nama : Yohanes Ariyanto

NIM : A. 154040225

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS K e t u a

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. A n g g o t a

Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(7)

Puji syukur sedalam-dalamnya pengkaji persembahkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga Kajian Penge mbangan Masyarakat ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam Kajian Pengembangan Masyarakat ialah "Pemberdayaan Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan”.

Pada kesempatan ini pengkaji ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas dukungan moral dan material mulai sejak pengkajian sampai penulisan laporan ini, kepada yang terhormat : Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo,MS dan Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku komisi pembimbing, serta Dr. Titik Sumarti selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Departemen Sosial RI yang telah memberikan kesempatan kepada pengkaji untuk menempuh studi pada sekolah pascasarjana. Disamping itu, penghargaan pengkaji sampaikan kepada Bapak dan Ibu Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul, atas kesediaannya untuk memberikan berbagai informasi yang sangat berharga dalam kajian ini. Selanjutnya terimakasih yang tulus juga pengkaji sampaikan untuk keluarga tercinta, Yohana Aris Setyaningsih istriku tercinta serta buah hatiku tersayang, Gregorius Purusatama Ritang Pinandhito, yang senantiasa memberikan semangat, perhatian, curahan kasih sayang dan doa yang tiada henti, sehingga akhirnya pengkaji dapat menyelesaikan pe ndidikan ini.

Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang akan meneliti lebih lanjut dan dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Nopember 2005

Yohanes Ariyanto


(8)

Pengkaji dilahir kan di Kota Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 26 Pebruari 1974 dari pasangan FX. Mugiman dan Y.Sihyem. Pada tahun 2000 pengkaji menikah dengan Yohana Aris Setyaningsih dan telah dikaruniai seorang putr a bernama Gregorius Purusatama Ritang Pinandhito.

Pengkaji menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kanisius pada tahun 19 86 di Kota Bantul. Selanjutnya pada tahun 1989 pengkaji menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 di Kota Bantul. Pada tahun 1992 pengkaji menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bantul. Pada tahun 1993 pengkaji bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di BP-7 Kabupaten Bantul.

Kemudian pada tahun 1995 memutuskan untuk melanjutkan studi dengan mengambil kelas reguler dan atas biaya sendiri dengan fasilitas ijin belajar dari instansi pada jenjang D3 STIE “Yogyakarta” program studi Akuntansi dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengkaji melanjutkan studi pada jenjang S1 pada STIE “Yogyakarta” dan menyelesaikan studi pada tahun 2002.

Setelah adanya Reformasi, instansi pemerintah yang pertama kali dilikuidasi adalah Kantor BP-7 Pusat dan ditindaklanjuti sampai ke daerah. Pada tahun 1999 pengkaji dimutasi ke Sub. Bag. Protokol Bagian Umum Kabupaten Bantul sampai sekaran g.

Pada tahun 2004 pengkaji mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada Sekolah Pascasarjana dengan program studi Pengembangan Masyarakat dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Beasiswa pendidikan pascasarjana ini diperoleh dari Departemen Sosial Republik Indonesia.


(9)

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR ………. xii

DAFTAR LAMPIRAN ………. Xiii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 6

1.3. Tujuan Kajian ……… 8

1.4. Kegunaan Kajian ……….. 9

II. TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka …….……….……… 10

2.2. Analisis SWOT Pengembangan Kelembagaan Keuangan yang Berorientasikan kepada Bakul Pasar …..……..……..… 18

2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis …..……….………...…… 23

2.4. Kerangka Pemikiran Operasional ……..….………...… 23

III. METODE KAJIAN 3.1. Lokasi, Waktu & Komunitas Subyek Kajian …….……… 25

3.2. Data & Metode Pengumpulannya …….……….….. 26

3.3. Tahap-Tahap Penyusunan Program …..……….……….. 28

IV. PE META AN SOSIAL 4.1. Lokasi ………....…….……….………… 30

4.2. Kependudukan ………..………..………. 32

4.3. Sistem Ekonomi …………..……….. 34

4.4. Sumberdaya Lokal ……… 35

4.5. Kondisi Sosial Budaya ………. 35

V. PROFIL USAHA BAKUL PASAR 5.1. Karakteristik Bakul Pasar …………..……… 37

5.2. Tinjauan Modal Sosial dan Gerakan Sosial yang berkembang Di Pasar Bantul ………..……… 43


(10)

VI. PROGRAM KREDIT BANK PASAR DAN “BANK PLECIT” BAGI BAKUL PASAR

6.1. Mekanisme Kerja Bank Pasar ……….…………..……… 52

6.2. Mekanisme Kerja "Bank Plecit" …...……….…….. 54

6.3. Perbandingan Kelembagaan Keuangan “Bank Plecit” dan Bank Pasar ……….……….... 57

VII. HASIL DAN ANALISIS 7.1. Resiprositas antara Bakul Pasar dan “Bank Plecit” ……..… 61

7.2. Resiprositas antara Bakul Pasar dan Bank Pasar .…..…… 69

7.3. Analisis SWOT ………..…….. 69

VIII. STRATEGI PEMBERDAYAAN BAKUL PASAR, 8.1. Perumusan Strategi Pemberdayaan Bakul Pasar …………. 77

8.2. Rancangan Program Tindakan ……….……….…….….. 80

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1. Kesimpulan ………...……… 84

9.2. Rekomendasi Kebijakan ………...……….. 85

Daftar Pustaka ………. 86


(11)

DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN

YOHANES ARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan

Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2005

YOHANES ARIYANTO NIM. A. 154040225


(13)

YOHANES ARIYANTO, Pemberdayaan Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan. Dibimbing oleh

NURAINI W. PRASODJO sebagai ketua, YUSMAN SYAUKAT sebagai anggota komisi pembimbing.

Pasar Tradisional adalah tempat dimana para petani mendistribusikan surplus hasil-hasil pertaniannya. Potensi ekonomi lokal di tingkat komunitas bakul pasar tradisional desa Bantul merupakan salah satu kelembagaan ekonomi informal yang berbasis pada realitas kekuatan ekonomi rakyat dan terbukti mampu bertahan, serta memberikan peluang kerja dan pendapatan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat desa. Namun demikian komunitas bakul pasar tradisional memiliki banyak keterbatasan, diantaranya: (1) terbatasnya faktor-faktor permodalan; (2) minimnya pengetahuan bakul pasar; (3) kurangya ketrampilan dalam mengelola usaha sehingga memperkecil kemungkinan untuk melakukan diversifikasi usaha dan cenderung bertahan pada rutinitasnya saja.

Permasalahan yang ada pada komunitas bakul pasar yang paling dominan adalah faktor-faktor permodalan dan hadirnya kelembagaan-kelembagaan keuangan baik formal maupun informal (“bank plecit”) yang kurang memihak kepada komunitas bakul pasar. Bahkan kelembagaan keuangan informal “bank plecit” sering mendapat predikat negatif sebagai lintah darat meskipun pada realitanya di lapangan, “bank plecit” tetap eksis dan mampu untuk selalu beradaptasi secara sistemik mulai dari jaman penjajahan, orde baru hingga saat ini. Sedangkan kelembagaan keuangan formal seperti bank pasar cenderung mengandalkan logika-logika efisiensi perbankan yang lebih memilih untuk melayani sedikit nasabah dengan nominal kredit besar daripada banyak nasabah dengan kredit kecil-kecil.

Tujuan kajian ini adalah (1)Menilai mekanisme kerja kelembagaan keuangan bank pasar dan “bank plecit”; (2)menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal kelembagaan keuangan bank pasar, “bank plecit” dan bakul pasar; (3)menyusun program pemberdayaan komunitas bakul pasar tradisional desa Bantul.

Pendekatan kajian yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data kualitatif yang digunakan dalam kajian yaitu pengamatan berperan serta, wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD). FGD dilakukan untuk membahas hasi l analisis SWOT bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar. Sedangkan teknik analisis data kuantitatif digunakan untuk mengolah data hasil kuesioner analisis SWOT, dan merumuskan strategi pemberdayaan bakul pasar.

Penyusunan program pemberdayaan bakul pasar dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar. Selanjutnya ditentukan beberapa alternatif strategi pemberdayaan komunitas bakul pasar sebagai berikut: (1) Pengembangan kelembagaan permodalan dengan mengintegrasi kan kelembagaan permodalan yang ada; (2) Peningkatan kemampuan manajemen usaha komunitas bakul pasar; (3) Pengembangan kerjasama dengan pelaku ekonomi yang lebih kuat; (4) Peningkatan peran organisasi paguyuban bakul pasar.


(14)

@ Hak cipta milik Yohanes Ariyanto, tahun 2005 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengut ip dan memperbanyak t anpa izin t ert ulis dari I nstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bent uk apapun, baik cet ak, f ot ocopy, mikrof ilm dan sebagainya


(15)

DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN

YOHANES ARIYANTO

Kajian Pengembangan Masyarakat Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan

Nama : Yohanes Ariyanto

NIM : A. 154040225

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS K e t u a

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. A n g g o t a

Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(17)

Puji syukur sedalam-dalamnya pengkaji persembahkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga Kajian Penge mbangan Masyarakat ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam Kajian Pengembangan Masyarakat ialah "Pemberdayaan Komunitas Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul Melalui Pengembangan Kelembagaan Permodalan”.

Pada kesempatan ini pengkaji ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas dukungan moral dan material mulai sejak pengkajian sampai penulisan laporan ini, kepada yang terhormat : Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo,MS dan Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku komisi pembimbing, serta Dr. Titik Sumarti selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Departemen Sosial RI yang telah memberikan kesempatan kepada pengkaji untuk menempuh studi pada sekolah pascasarjana. Disamping itu, penghargaan pengkaji sampaikan kepada Bapak dan Ibu Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul, atas kesediaannya untuk memberikan berbagai informasi yang sangat berharga dalam kajian ini. Selanjutnya terimakasih yang tulus juga pengkaji sampaikan untuk keluarga tercinta, Yohana Aris Setyaningsih istriku tercinta serta buah hatiku tersayang, Gregorius Purusatama Ritang Pinandhito, yang senantiasa memberikan semangat, perhatian, curahan kasih sayang dan doa yang tiada henti, sehingga akhirnya pengkaji dapat menyelesaikan pe ndidikan ini.

Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang akan meneliti lebih lanjut dan dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Nopember 2005

Yohanes Ariyanto


(18)

Pengkaji dilahir kan di Kota Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 26 Pebruari 1974 dari pasangan FX. Mugiman dan Y.Sihyem. Pada tahun 2000 pengkaji menikah dengan Yohana Aris Setyaningsih dan telah dikaruniai seorang putr a bernama Gregorius Purusatama Ritang Pinandhito.

Pengkaji menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kanisius pada tahun 19 86 di Kota Bantul. Selanjutnya pada tahun 1989 pengkaji menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 di Kota Bantul. Pada tahun 1992 pengkaji menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bantul. Pada tahun 1993 pengkaji bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di BP-7 Kabupaten Bantul.

Kemudian pada tahun 1995 memutuskan untuk melanjutkan studi dengan mengambil kelas reguler dan atas biaya sendiri dengan fasilitas ijin belajar dari instansi pada jenjang D3 STIE “Yogyakarta” program studi Akuntansi dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengkaji melanjutkan studi pada jenjang S1 pada STIE “Yogyakarta” dan menyelesaikan studi pada tahun 2002.

Setelah adanya Reformasi, instansi pemerintah yang pertama kali dilikuidasi adalah Kantor BP-7 Pusat dan ditindaklanjuti sampai ke daerah. Pada tahun 1999 pengkaji dimutasi ke Sub. Bag. Protokol Bagian Umum Kabupaten Bantul sampai sekaran g.

Pada tahun 2004 pengkaji mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada Sekolah Pascasarjana dengan program studi Pengembangan Masyarakat dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Beasiswa pendidikan pascasarjana ini diperoleh dari Departemen Sosial Republik Indonesia.


(19)

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR ………. xii

DAFTAR LAMPIRAN ………. Xiii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 6

1.3. Tujuan Kajian ……… 8

1.4. Kegunaan Kajian ……….. 9

II. TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka …….……….……… 10

2.2. Analisis SWOT Pengembangan Kelembagaan Keuangan yang Berorientasikan kepada Bakul Pasar …..……..……..… 18

2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis …..……….………...…… 23

2.4. Kerangka Pemikiran Operasional ……..….………...… 23

III. METODE KAJIAN 3.1. Lokasi, Waktu & Komunitas Subyek Kajian …….……… 25

3.2. Data & Metode Pengumpulannya …….……….….. 26

3.3. Tahap-Tahap Penyusunan Program …..……….……….. 28

IV. PE META AN SOSIAL 4.1. Lokasi ………....…….……….………… 30

4.2. Kependudukan ………..………..………. 32

4.3. Sistem Ekonomi …………..……….. 34

4.4. Sumberdaya Lokal ……… 35

4.5. Kondisi Sosial Budaya ………. 35

V. PROFIL USAHA BAKUL PASAR 5.1. Karakteristik Bakul Pasar …………..……… 37

5.2. Tinjauan Modal Sosial dan Gerakan Sosial yang berkembang Di Pasar Bantul ………..……… 43


(20)

VI. PROGRAM KREDIT BANK PASAR DAN “BANK PLECIT” BAGI BAKUL PASAR

6.1. Mekanisme Kerja Bank Pasar ……….…………..……… 52

6.2. Mekanisme Kerja "Bank Plecit" …...……….…….. 54

6.3. Perbandingan Kelembagaan Keuangan “Bank Plecit” dan Bank Pasar ……….……….... 57

VII. HASIL DAN ANALISIS 7.1. Resiprositas antara Bakul Pasar dan “Bank Plecit” ……..… 61

7.2. Resiprositas antara Bakul Pasar dan Bank Pasar .…..…… 69

7.3. Analisis SWOT ………..…….. 69

VIII. STRATEGI PEMBERDAYAAN BAKUL PASAR, 8.1. Perumusan Strategi Pemberdayaan Bakul Pasar …………. 77

8.2. Rancangan Program Tindakan ……….……….…….….. 80

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1. Kesimpulan ………...……… 84

9.2. Rekomendasi Kebijakan ………...……….. 85

Daftar Pustaka ………. 86


(21)

Halaman

1. Stakeholder dan ke pentingannya ……….. 19

2. Interaksi SWOT ………. 21

3. Klasifikasi issue ………. 22

4. Klarifikasi issue ……….. 22

5. Tujuan, metode pengumpulan data, data yang diambil dan sumber data ………. 27

6. Tahap-tahap penyusunan program ………. 28

7. Kelembagaan Finansial Formal Yang Ada Di Pasar Bantul ………… 43

8. Tipologi Gerakan Sosial menurut Orientasi Perubahan yg dikehendaki 48 9. Pendapatan per bulan Bakul Pasar ……….. 49

10. Kalkulasi Saldo Rugi-Laba Bakul Pasar Per Hari ... 50

11. Keuntungan dan kerugian “bank plecit” dan bank pasar dari Perspektif Sosial ……….. 51

12. Perbandingan "Bank Plecit" dan Bank Pasar ……….... 58

13. Profil “Bank Plecit” ……….. 62

14. Latar Belakang Pekerjaan “Bank Ple cit” ……….. 63

15. Pendapatan per bulan “Bank Plecit” ……..……….. 64

16. Interaksi SWOT ……….….. 71

17. Matriks SWOT Bakul Pasar ……….. 72

18. Matriks SWOT “Bank Plecit” ……...……….. 73

19. Matriks SWOT Bank Pasar ……….……….. 74

20. Strategi Pemberdayaan Bakul Pasar ……….. 75

21. Rencana Kegiatan dalam Rangka Pemberdayaan Bakul Pasar Tradisi onal Desa Bantul …….………. 83


(22)

Halaman

1. Hubungan antar konsep ……… 5 2. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Bakul Pasar Tradisional Desa

Bantul ……….. 24 3. Prosentase Komposisi Penggunaan Lahan di Desa Bantul ... 30 4. Peta Desa Bantul ... 31 5. Piramida Penduduk Desa Bantul ... 32 6. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 34 7. Komposisi Penduduk Menurut mata pencaharian ... 34 8. Pelapisan Sosial yg ada di pasar Bantul Menurut Jenis Dagangan

Dan Tempat Berjualan ... 38 9. Komposisi Bakul Pasar berdasarkan Tempat berjualan dan

Jumlah Retribusi ... 39 10. Interview dengan Lurah Pasar Bantul Sebagai informan ……….. 40 11. Jejaring Sosial Komunitas Bakul Pasar Bantul ……….. 41 12. Karyawan Bank Pasar Me layani Nasabah ………... 53 13. “Bank Plecit” sedang mengambil cicilan ……….….. 55 14. Bagan alir Mekanisme Pencairan Kredit "Bank Plecit" dan

Bank Pasar ………... 60 15. Wawancara Dengan Salah Satu Responden Bakul Pasar ..…...…… 61 16. Tukang parkir yang menjadi “entry point” dalam mengumpulkan

data “bank plecit” ………..…….. 63 17. Seorang “Bank Plecit” Sedang Bertransaksi Dengan Nasabah

Bakul Pasar ………... 65 18. Wawancara Dengan Ketua Paguyuban Bakul Pasar ………….……... 70 19. Kerangka Alur Pemberdayaan Komunitas Bakul Pasar Tradisional ... 82


(23)

Halaman

1. Panduan Melakukan Analisis SWOT ……… 89 2. Rata-Rata Jawaban Analisis Faktor Internal Bakul Pasar ………….. 95 3. Rata-Rata Jawaban Analisis Faktor Eksternal Bakul Pasar ….…….. 96 4. Rata-Rata Jawaban Analisis Faktor Internal “Bank Plecit” …..…….. 97 5. Rata-Rata Jawaban Analisis Faktor Eksternal “Bank Plecit” ……….. 98 6. Rata-Rata Jawaban Analisis Faktor Internal Karyawan Bank Pasar.. 99 7. Rata-Rata Jawaban Analisis Faktor Eksternal Karyawan Bank Pasar 100

8. Pedoman Pelaksanaan Focus Group Discussion ……… 101

9. Langkah-langkah penerapan FGD ……….. 103 10. Daftar Pertanyaan untuk Bakul Pasar ………. 104 11. Daftar Pertanyaan untuk “Bank Plecit” ……… 108 12. Daftar Pertanyaan untuk Kepala Unit Bank Pasar ……… 113 13. Pedoman Wawancara untuk Informan ……… 118 14. Pedoman untuk Pengamatan Berperanserta ……….… 120


(24)

1

1.1. Latar Belakang

Dalam perspektif sosiologi, pasar tradisional lebih dimaknai sebagai suatu kelembagaan sosial daripada arti sempitnya yang sekedar sebagai tempat bertemu antara penjual dan pembeli seperti arti populer dalam pengertian ekonomi. Pasar tradisional dalam kesehariannya adalah tempat dimana masyarakat lokal melakukan aktivitas jual beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dimana proses jual beli dilakukan dengan proses tawar menawar. Melalui pola interaksi jual beli yang ter jadi setiap hari itulah yang telah melahirkan peraturan dan norma -norma baru yang mengatur antar hubungan dan antar aksi, yakni suatu proses strukturalisasi antar hubungan melalui enkulturasi konsep-konsep kebudayaan baru, misalnya nilai-nilai dan norma-norma baru, proses ini selanjutnya disebut institutionalization atau pelembagaan (Nasdian & Dharmawan, 2004).

Kelembagaan sebagai sosial institution menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koentjaraningrat (1964) mengarti kan social institution sebagai pranata sosial yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Ciri-ciri pokok yang membedakan kelembagaan dengan konsepsi-konsepsi lain seperti grup, asosiasi, organisasi adalah sebagai berikut (Soekanto, 1990): (1) merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya; (2) memiliki kekekalan tertentu: kelembagaan suatu norma memerlukan waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan; (3) mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu; (4) mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan; (5) mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu; dan (6) mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis. Oleh karena itu, di dalam pasar tradisional banyak terdapat kelembagaan formal maupun kelembagaan informal yang hidup berdampingan, saling mengabaikan, saling berinteraksi, atau eksploitatif .

Kelembagaan finansial adalah kelembagaan yang paling banyak dan paling mudah ditemui di komunitas pasar tradisional. Kelembagaan finansial ini tersegmentasi ke dalam kelembagaan finansial formal dan informal.


(25)

Kelembagaan finansial informal sangat populer di dalam komunitas pedesaan, karena fungsi mereka sesuai dengan kebiasaan sosial. Karakteristik utama dari kelembagaan ini meliputi: prosedur-prosedur yang sederhana untuk memperoleh pinjaman tanpa jaminan apapun, berdasarkan pada hubungan interpersonal. Kelembagaan finansial informal yang ditemukan di pasar Bantul meliputi: “bank plecit” 1, pegadaian informal, komisi pinjaman, pinjaman tuan tanah, pinjaman teman dan kerabat, arisan, tabungan berotasi, perkumpulan simpan pinjam, pinjaman toko, “mindrink” 2 atau tukang kredit, dan sebagainya. Kelembagaan finansial yang kedua adalah kelembagaan finansial formal, pada saat ini terdapat tujuh kelembagaan finansial formal, yaitu: Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Pasar Bantul, BRI, Bank Danamon, KUD, Pegadaian Resmi dan BMT Loh Jinawi.

Aktivitas ekonomi lokal di tingkat komunitas bakul pasar tradisional desa Bantul merupakan salah satu kelembagaan ekonomi informal yang berbasis pada realitas kekuatan ekonomi rakyat yang telah terbukti mampu bertahan, serta berpotensi memberikan peluang kerja dan pendapatan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat desa. Namun demikian komunitas bakul pasar tradisional memiliki banyak ke lemahan, diantaranya: (1) terbatasnya

faktor-faktor permodalan, sehingga menghambat para bakul pasar untuk

mengembangkan skala usahanya menjadi lebih besar; (2) minimnya pengetahuan bakul pasar, sehingga semakin membawa mereka pada posisi yang termarginalkan pada situasi perekonomian yang semakin kapitalis; (3) kurangya ketrampilan dalam mengelola usaha sehingga memperkecil kemungkinan untuk melakukan diversivikasi usaha dan cenderung bertahan pada rutinitasnya saja (Nugroho,2001).

Keterbatasan-keterbatasan bakul pasar inilah yang agaknya dimanfaatkan oleh pelaku “bank plecit” yang mempunyai kemampuan analisa sosial-ekonomi dan entrepreneurship jauh lebih baik dari para bakul pasar ini. Dengan segenap kemampuan permodalan yang dimiliki, mereka masuk ke sistem ekonomi bakul pasar dengan menawarkan pinjaman, meskipun tingkat bunga yang ditawarkan cukup tinggi yaitu sekitar 20% sampai dengan 30% per periode namun dengan mengandalkan pendekatan-pendekatan personal,

1

=Rentenir=”Bank Thitil”= Orang yang menawarkan kredit mikro jangka pendek tanpa jaminan dengan bunga cukup tinggi sekitar 20% per periode dan biasanya berupa kredit harian. Mereka juga berusaha menjaga hubungan kredit dengan nasabah-nasabahnya melalui hubungan interpersonal maupun sosio-kultural (Nugroho, 2001).

2


(26)

kekeluargaan dan kultural mereka berhasil membuat para bakul pasar sangat tergantung kepada “bank plecit” untuk memenuhi kebutuhan uang tunai.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Kabupaten Bantul tidak tinggal diam dan berupaya mengurangi praktek-praktek “bank plecit” dengan meluncurkan program kredit murah bagi bakul pasar. Program pengucuran kredit ini pelaksanaannya dilakukan oleh PD BPR B ank Pasar Bantul. Adapun paket kredit anti rentenir yang ditawarkan pemerintah kabupaten Bantul adalah kredit tanpa agunan yang bisa diangsur secara harian, pasaran 3, mingguan atau bulanan dengan maksimal pinjaman sebesar Rp. 10 juta. Disamping itu bunga kredit yang ditawarkan juga sangat kompetitif yaitu sekitar 18 % per tahun (atau 1,5% per bulan). Teknis pembayaran cicilan pokok pinjaman maupun bunganya dirancang sedemikian rupa sehingga kelihatan sederhana dan mudah dimengerti oleh para bakul pasar. Sebagai contoh, apabila seorang bakul pasar hendak meminjam Rp.120.000 selama 1 tahun dan diangsur secara bulanan, maka ia akan dikenakan bunganya di depan yaitu sebesar Rp. 21.600 sehingga uang yang diterima adalah Rp. 98.400, dan selanjutnya setiap bulan mengangsur sebesar Rp. 10.000 selama 12 bulan. Secara matematis bunga tersebut jauh lebih ringan dibandingkan bunga yang ditetapkan oleh bank plecit yaitu sekitar 20% per periode pinjaman.

Pada tahap pertama diluncurkannya program, Pemerintah Kabupaten Bantul melalui APBD nya telah menyiapkan dana Rp. 9 milliar dan telah disalurkan sejak bulan Maret 2002. Pada tahap berikutnya ditingkatkan menjadi Rp. 15 miliar lagi untuk kredit tahap kedua dan ditawarkan mulai bulan Maret 2004. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Bantul ini telah mendorong beberapa bank swasta untuk memberikan pinjaman dana kepada PD BPR Bank Pasar Bantul, seperti Bank Permodalan Mandiri, Bank Mandiri, dan Bank Niaga. Beberapa pinjaman telah diproses bahkan Bank Mandiri menjanjikan pinjaman Rp. 100 miliar untuk program kredit anti rentenir ini4. Setelah kredit turun, Pemerintah Kabupaten Bantul mengklaim telah berhasil menyelamatkan pedagang dari ketergantungan kepada “bank plecit”. Pernyataan ini didasarkan pada penurunan omset “bank plecit” yang sebelumnya mencapai Rp. 27 miliar, setelah adanya program kredit anti rentenir selanjutnya tinggal Rp. 9 milliar5.

3

Penannggalan jawa yang terdiri dari lima hari dalam setiap pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon . Pasar Tradisional di Bantul, sebagian besar mengambil hari pasaran tertentu dalam menentukan puncak aktivitas jual -belinya

4 Aristini Sriyatun, Direktur PD BPR Bank Pasar Bantul. 5


(27)

Pada komunitas pedesaan Jawa, hutang sebenarnya merupakan tindakan sosial yang memiliki konotasi negatif dan cenderung tabu dibicarakan. Hutang bisa menjadi indikasi ketidakmampuan finansial seseorang6, sehingga semakin banyak orang berhutang akan semakin rendah status sosialnya. Oleh karena itu hutang akan dilakukan secara diam-diam, agar tidak diketahui orang lain, khususnya para tetangga. Dalam konteks budaya seperti ini, hutang digambarkan sebagai sebuah kondisi yang dihindari dan sekaligus menjadi kontrol sosial yang menghindarkan orang untuk meminjam uang. Namun dalam realita yang terjadi saat ini, transaksi yang melibatkan peminjaman uang terjadi di komunitas-komunitas pedesa an dan transaksi tersebut dilakukan dalam institusi-institusi finansial informal yang bervariasi seperti “bank plecit” dan mindrink.

Menurut sosiolog James C. Scott (1976), bunga yang tinggi dalam pasar kredit informal di desa-desa Jawa sering diinterpretasikan sebagai ekspresi keterbelakangan. Pada komunitas-komunitas seperti inilah praktek-praktek “bank plecit” tumbuh subur. Situasi yang sengaja diciptakan oleh “bank plecit” adalah dengan cara memelihara ketergantungan nasabah terhadapnya, sehingga ia dapat membawa nasabah pada perangkap hutang. Cara untuk menjamin ketergantungan ini adalah melalui strategi ”Interest forever, Capital never”

(Lipton,1976), berarti bunga diwajibkan dibayar dalam setiap cicilan, pokok kredit dibayar belakangan. Dengan cara demikian, hubungan keduanya bersifat eksploitatif.

Berdasarkan teori-teori tersebut, hubungan antar variabel dan konsep yang ada pada komunitas bakul pasar dapat digambarkan dalam kerangka sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.

6


(28)

Gambar 1 Hubungan antar Konsep

Keterangan Gambar:

: tata hubungan dua arah antar kelembagaan

Dalam Gambar 1 menjelaskan bahwa di pasar Bantul institusi -institusi permodalan tersegmentasi ke dalam dua kategori, yaitu institusi finansial formal yang diwakili Bank Pasar dan institusi finansial informal yang diwakili oleh “bank plecit”. Namun dalam prakteknya kedua kategori tersebut tidak terpisah secara kaku dalam memperebutkan pangsa pasar kredit mikro di pasar Bantul, tetapi ada indikasi mereka memiliki tata hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Bank Pasar memberikan pinjamannya kepada “bank plecit” untuk menambah modal dan selanjutnya dipecah menjadi kredit kecil untuk dipinjamkan secara kredit harian atau pasaran (35 hari) kepada bakul pasar dengan bunga yang lebih tinggi. Dalam hal ini bakul pasar bisa mendapat fasilitas kredit dari dua institusi yang bebeda karakter yaitu bank pasar sebagai institusi finansial formal dan “bank plecit” sebagai institusi finansial informal. Tata hubungan antar institusi inilah yang perlu dilakukan kajian lebih lanjut sampai dimana tata hubungan dan pertukaran yang terjadi apakah bersifat eksploitatif atau tidak ? Hal lain yang juga menarik dan layak menjadi sebuah kajian adalah, adanya indikasi dimana bakul pasar memperoleh bagian keuntungan (profit margin) yang jauh lebih kecil dibandingkan bunga cicilan yang harus dibayarkan kepada pemilik modal “Bank Plecit”.

Kelembagaan keuangan yang efektif dan berorientasi kepada bakul pa sar yang dimaksud adalah kelembagaan keuangan yang berpihak kepada bakul pasar namun tetap memberikan manfaat dan keuntungan bagi “bank plecit” dan

Bank Pasar Bank Plecit


(29)

bank pasar. Bagi “bank plecit” akan memberikan manfaat dalam penyediaan modal, sedangkan bagi bank pasar akan memberikan manfaat dengan berkurangnya biaya transaksi dan adanya jaminan pengembalian kredit dari pemerintah lokal.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, pengkaji tertarik untuk melakukan kajian lebih dalam mengenai fenomena bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar dengan harapan untuk dapat memberikan referensi kerangka pemberdayaan bakul pasar tradisional, maka pertanyaan kajian ini adalah “bagaimanakah mengembangkan kelembagaan keuangan yang efektif dan berpihak kepada bakul pasar ?”

1.2. Perumusan Masalah

Aktivitas pertukaran antara penjual dan pembeli dalam konteks pedesaan tidak hanya dimotivasi oleh tujuan-tujuan ekonomi semata, seperti optimalisasi

profit, tetapi juga oleh nilai-nilai sosial tradisional yang masih dijaga sebagai basis interaksi hingga saat ini. Hal ini tercermin misalnya, negosiasi antara penjual dan pembeli mengenai kesepakatan harga tidak hanya ditentukan oleh kalkulasi ekonomi saja tetapi juga tingkat kedekatan yang menjadi ciri hubungan antara kedua individu. Seringkali seorang pedagang yang secara personal mengenal langganannya akan menyetujui harga yang lebih rendah daripada yang akan ia tawarkan kepada orang lain yang belum pernah dikenal sebelumnya. Hal ini dapat dipahami karena para pedagang secara umum akan menghindari, memperoleh reputasi sebagai “pencari untung yang serakah”. Sebaliknya mereka memilih untuk memberikan kesan, berperilaku dengan cara yang bertanggungjawab secara sosial terhadap pelanggannya. Demikan pula hal yang terjadi pada praktek pelepasan uang oleh “bank plecit” kepada bakul pasar. Seorang nasabah yang belum pernah dikenalnya, harus menerima kondisi-kondisi yang kurang menyenangkan seperti menyediakan jaminan, membayar bunga yang lebih tinggi, dan harus selalu tepat waktu dalam membayar cicilan.

Kontrol sosial masih berfungsi cukup efektif di masyarakat Bantul. Hal ini tidak hanya ditemui dalam pergaulan sehari-hari, tetapi bahkan juga dalam aktivitas ekonomi seperti pinjam meminjam uang. Seorang bakul pasar yang tidak dapat mengembalikan pinjamannya (ngemplang) akan merasa bersalah dan tidak lagi nyaman untuk hidup di lingkungannya. Perasaan ini tidak hanya


(30)

berasal dari fakta bahwa para tetangga akan mulai membicarakannya sebagai orang yang tidak tahu diri. Menurut norma sosial di Bantul, seseorang yang menerima bantuan dari orang lain, seharusnya tahu akan tanggungjawabnya. Begitu pula seorang “bank plecit” juga akan berusaha untuk tidak terlalu keras terhadap nasabahnya, sehingga orang tidak akan menyebutnya sebagai serakah dan tidak peduli terhadap kesulitan orang lain.

Hadirnya “Bank Plecit” dalam komunitas bakul pasar tradisional semakin memberikan kompleksitas permasalahan yang ada pada komunitas bakul pasar disamping sisi -sisi positif yang lain. Untuk mengungkap fenomena empiris yang terjadi dilihat dari aspek produksi maupun interaksi dan untuk menjawab kontroversi apakah “bank plecit” telah mengikat bakul pasar secara eksploitatif atau justru sebagai “penolong” bakul pasar yang mengalami kesulitan mendapatkan uang tunai, maka permasalahan yang akan dibahas adalah: “Bagaimana menilai aktivitas “bank plecit” dalam melepas uang kepada nasabah bakul pasar di pasar Bantul ?”

Berbagai studi tentang keberadaan “bank plecit” dalam masyarakat, menunjukkan praktek mereka tidak pernah surut, hal ini dikarenakan “bank plecit” mampu melakukan adaptasi sistemik dari zaman tradisional, penjajahan, hingga pasar bebas. Ketika Orde Baru melakukan perang melawan “bank plecit” dengan kebijakan kredit bunga murah untuk lapisan bawah, seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Candak Kulak (KCK) untuk pedagang kecil, hingga program IDT (Inpres Desa Tertinggal), “bank plecit” tetap saja beroperasi secara ekspansif. Sejumlah fakta juga menunjukkan bahwa, program ekspansi bank pemerintah dan swasta di pedesaan, seperti pembukaan cabang BRI, BNI, atau bank lain justru memperkuat praktek “bank plecit”. Terdapat indikasi yang menunjukkan, beberapa “bank plecit” ketika menghadapi kekurangan modal meminjam kredit di bank dengan bunga yang rendah. Kredit itu dipecah menjadi kredit kecil untuk dipinjamkan pada nasabahnya dengan bunga yang tinggi. Ini merupakan logika dan sekaligus strategi pembagian risiko (sharing of risk) dari bank pemerintah ke “bank plecit” dan dari “bank plecit” ke nasabah. Pertanyaan penting yang seharusnya dijawab oleh institusi pemerintah adalah “mengapa kredit yang ditawarkan “bank plecit” selalu lebih populer daripada yang ditawarkan bank pemerintah?”. Sebagai sebuah kelembagaan formal dan informal, “Bank Plecit” dan Bank Pasar tentu saja mempunyai mekanisme kerja yang sangat berbeda. Bank Pasar sebagai institusi formal dibatasi oleh peraturan perundang-undangan


(31)

yang berlaku dan mengikuti sebuah sistem yang kuat, teratur dan dikendalikan oleh sistem kelembagaan lain yang lebih tinggi dalam melakukan operasional usahanya. “Bank Plecit” menjalankan usahanya memanfaatkan institusi sosio-kultural bahkan religius untuk menjaring nasabahnya serta melakukan adaptasi-adaptasi sistemik untuk memelihara keterikatan nasabah kepadanya. Untuk mendapatkan informasi lebih dalam tentang kelembagaan formal dan informal ini, masalah kajian berikutnya adalah “Bagaimana mekanisme kerja yang diterapkan oleh bank pasar dan bank plecit dalam memperebutkan market share kredit mikro pada komunitas bakul pasar tradisional?”

Hubungan ketiga kelembagaan bakul pasar, ”bank plecit” dan bank pasar ini memang sangat diperlukan, tentu saja dengan tetap mempertahankan cara kerja informal atau non konvensional dalam menjangkau bakul pasar. Asumsi ini berdasarkan pengalaman bahwa komunitas bakul pasar tidak memiliki akses kredit dari lembaga keuangan formal karena tidak mampu menyediakan agunan, skala kredit yang diperlukan terlalu kecil untuk bank komersial, jarak lembaga keuangan formal tersebut terlalu jauh dengan masyarakat dan mata pencaharian tidak menjamin kepastian pengembalian atau beresiko tinggi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas dari model kelembagaan keuangan yang berorientasi kepada bakul pasar adalah: faktor internal dan faktor eksternal dari masing-masing kelembagaan bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar. Apabila faktor-faktor ini dapat dikembangkan ke arah yang lebih positif, maka diharapkan kelembagaan keuangan yang berorientasi kepada bakul pasar benar-benar efektif dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi bakul pasar. Berdasarkan fenomena empirik mengenai kelebihan dan kekurangan kelembagaan keuangan “bank plecit” dan bank pasar tersebut, permasalahan berikutnya adalah “ Faktor-faktor internal dan eksternal apa saja yang berpengaruh terhadap pemberdayaan komunitas bakul pasar bakul pasar ?”

1.3. Tujuan Kajian

Setelah melalui pembahasan-pembahasan di atas, dapat disimpulkan tujuan umum Kajian ini adalah menyusun program pemberdayaan komunitas bakul pasar tradisional Desa Bantul, sedangkan untuk mencapai tujuan tersebut perlu terlebih dahulu menjawab tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:


(32)

1. Mengidentifikasi pola hubungan pertukaran yang terjadi pada praktek bank plecit dalam melepas uang kepada nasabah khususnya bakul pasar tradisional desa Bantul.

2. Memahami dan menganalisis mekanisme kerja kelembagaan keuangan bank pasar dan “bank plecit” yang berkembang di komunitas bakul pasar.

3. Menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal kelembagaan keuangan bank pasar, “bank plecit” dan bakul pasar.

1.4. Kegunaan Kajian

Setelah selesainya rangkaian praktek lapangan, kajian dan penulisan Kajian ini, diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi :

1.4.1. Komunitas Bakul Pasar Tradisional

1. Membuka wawasan dan pola pikir bakul pasar tradisional agar lebih mandiri yang sebagian besar masih terjebak pola pembinaan dan penyuluhan yang datang dari atas.

2. Mendorong aktivitas di antara anggota komunitas dalam wadah organisasi mandiri yang lebih efektif dengan memberdayakan segala potensi yang ada dalam komunitas

1.4.2. Pemerintah Kabupaten Bantul

1. Memberikan referensi ilmiah berupa Kajian Pengembangan

Masyarakat dan dapat dipergunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan-kebijakan yang akan menyentuh komunitas bakul pasar tradisional.

2. Memberikan input-input mengenai kondisi riil komunitas bakul pasar tradisional yang cukup memprihatinkan dan perlu pemberdayaan dengan intervensi dari pemerintah utamanya dalam me reduksi praktek-praktek “Bank Plecit”.

1.4.3. Pengkaji

1. Memberikan pengalaman “Learning by doing “ diman a penyelesaian penulisan adalah berdasarkan kondisi riil di lapangan dan hasil kajian yang dilakukan sendiri.

2. Mengasah kemampuan analitis pengkaji dalam menyikapi

permasalahan-permasalahan sosial & dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(33)

10

II. TINJAUAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan membawa konotasi pemberian derajat kewenangan yang lebih tinggi kepada komunitas untuk melakukan pilihan-pilihan ekonomi, meningkatkan kapasitas dalam penguasaan sumberdaya ekonomi, memberikan posisi dan kewenangan lebih besar dalam menentukan sesuatu yang pada akhirnya akan mengembangkan hidupnya. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan) dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan (power)

kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged)

"Empowerment aims to increase the power of disadventaged. Dengan demikian pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan kekuasaan politik, melainkan kekuasaan atau penguasaan atas pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup, pendefinisian kebutuhan, ide atau gagasan, lembaga-lembaga, sumber-sumber, aktivitas ekonomi dan reproduksi. Sementara kelompok lemah atau tidak beruntung meliputi kelompok lemah secara struktural, kelompok lemah secara khusus dan kelompok lemah secara personal (Ife, 2002).

Menurut Parsons, pemberdayaan adalah sebuah proses di mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.

Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yakni masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan, atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memilik kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Suharto, 2004).


(34)

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu berhubungan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan demikian, konsep pemberdayaan adalah upaya untuk menempatkan seluruh masyarakat dalam posisi sentral dalam pembangunan

(people centre development) sehingga memiliki kemampuan untuk melaksanakan sendiri berbagai aktivitas pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya yang sudah ada dalam masyarakat itu sendiri (Hikmat, 2001). Hal ini selaras dengan konsep pengembangan masyarakat

(community development) sebagai suatu pendekatan pembangunan yang diartikan sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas (Adi, 2003).

Dari pemahaman di atas dalam pengembangan masyarakat, pemberdayaan menitikberatkan pada pengembangan komunitas sebagai bagian dari perubahan berencana yang dimanifestasikan sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat. Dengan demikian dalam pengembangan komunitas, inisiatif dan partisipasi masyarakat memperoleh ruang yang sang at penting dalam memenuhi kebutuhan komunitasnya (Brokensha dan Hodge, 1970).

Demikian pula konsep pemberdayaan bagi bakul pasar tradisional desa Bantul, menitikberatkan pada pengembangan kelembagaan ekonomi yang lahir dan dikembangkan dengan memberikan derajat kewenangan yang tinggi bagi inisiatif dan partisipasi aktif serta berorientasi pada bakul pasar sendiri.

2.1.2. Pengertian Komunitas

Komunitas (community) dalam perspektif sosiologi adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama ( a community of interest ) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi (an attachment community ). Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs) jika tidak ada kebutuhan bersama maka bukan komunitas (Ife, 1995).


(35)

Makna komunitas menurut Christenson dan Robinson (1989) ada empat komponen utama dalam memahami “komunitas” yaitu: (1) masyarakat; (2) tempat atau wilayah; (3) interaksi sosial; dan (4) adanya ikatan psikologis.

Pemahaman luas tentang “komunitas” ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial (Nasdian & Dharmawan, 2004). Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka dapat disebut komunitas.

2.1.3. Pengertian Bakul Pasar

Bakul pasar (Pedagang Informal) adalah pedagang skala kecil baik dari sisi aset maupun modal kerja, yang mengembangkan pengetahuannya berdagang berdasarkan pengalaman tanpa dibekali ilmu yang memadai. Dalam keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor: 23/MPP/Kep/1/1998, bakul pasar tradisional termasuk dalam kategori pedagang informal, yaitu perorangan yang tidak memiliki badan usaha yang melakukan kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa dalam skala kecil yang dijalankan oleh pengusahanya sendiri berdasarkan azas kekeluargaan.

Dalam ayat (2), pasal 4, dari keputusan menperindag tersebut juga dijelaskan: pedagang informal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. memiliki modal usaha di luar tanah dan bangunan tempat usaha tidak lebih

dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); 2. dikerjakan sendiri atau oleh beberapa orang;

3. jenis kegiatan usaha yang dijalankan umumnya tidak tetap.

Pada komunitas bakul pasar Bantul terdapat stratifikasi berdasarkan jenis dagangan, asset yang dimiliki dan lokasi berjualan. Tempat berdagang di pasar Bantul terbagi dalam empat lapisan. Lapisan teratas adalah para pedagang yang menempati kios-kios di dalam maupun di luar pasar. Lapisan ini menempati posisi teratas dengan asumsi bahwa pedagang yang menempati kios biasanya memiliki omset penjualan yang lebih besar dari pada pedagang lain


(36)

yang tidak menempati kios. Pelapisan kedua adalah bakul pasar yang menempati los, dari sisi jumlah bakul pasa r yang menempati los adalah yang terbesar. Pelapisan di bawahnya adalah bakul pasar yang hanya menempati tlasaran dalam menggelar dagangannya. Pelapisan terakhir adalah bakul ideran8 yaitu bakul pasar yang menjajakan dagangannya dengan berkeliling pasar dan tidak memiliki tempat yang tetap.

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi serta bergulirnya era perdagangan bebas yang ditopang dengan kemajuan teknologi perdagangan, semakin meningkatkan volume dan arus distribusi barang dan jasa. Hal ini menjadi sebuah tantangan baru bagi para pelaku usaha perdagangan di dalam negeri sekaligus menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam dunia perdagangan. Peluang ini menjadikan dunia perdagangan berkembang sangat pesat. Kondisi ini membuat pelaku dunia perdagangan dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: (1) Pelaku bisnis ritel besar yang tercakup dalam kegiatan pasar modern; dan (2) Pedagang kecil dan menengah sebagai unit usaha (pelaku usaha) yang mengembangkan pasar tradisional.

Prospek bisnis ritel besar dalam kegiatan pasar modern dilakukan oleh pemodal-pemodal kuat dan jaringan rantai perdagangan yang kuat pula mulai dari hulu sampai dengan hilir. Kegiatan pasar modern ini pada saat sekarang menunjukkan indikasi yang semakin cerah, sejalan dengan per tumbuhan daya beli masyarakat yang semakin baik juga, sedangkan pedagang kecil yang mempunyai peran sebagai penggerak ekonomi masyarakat kecil, pada umumnya kurang berkembang sebagaimana laju pebisnis ritel besar.

Guna menciptakan sinergi antara pengusaha besar dengan pedagang kecil menengah, koperasi serta pasar tradisional, pemerintah telah menetapkan keputusan bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Menteri Dalam Negeri Nomor: 145/MPP/Kep/S/97 dan Nomor: 57 Tahun 1997 tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melindungi usaha kecil dan menengah serta koperasi dan pengendalian pasar modal. Kegiatannya diwujudkan dalam bentuk: (1) penataan lokasi dan pembangunan pasar dan pertokoan; (2) mengatur, membina dan mengembangkan kegiatan usaha perdagangan di pasar dan pertokoan sekaligus; dan (3) memperkuat kemampuan pedagang kecil dan menengah, dan

8

Bakul Ideran, pedagang tidak tetap yang menjajakan dagangan dengan jalan berkeliling pasar, bila sampai pada waktunya pasar sudah bubar, tidak jarang bakul ideran menjajakan dagangan sampai ke kampung-kampung sekitar pasar.


(37)

koperasi serta pasar tradisional agar dapat berkembang menjadi usaha yang tangguh (Pedoman Pengelo laan Pasar, 2003). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999 maka kewenangan untuk mengatur dan mengendalikan pasar berada sepenuhnya di tangan Pemerintah Daerah.

2.1.4. Pengertian Pasar Tradisional

Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 91 Tahun 1991 tentang Pasar Desa, pengertian pasar adalah tempat bertemunya antara pihak penjual dan pihak pembeli untuk melaksanakan transaksi jual beli. Pengertian pasar tradisional menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda, yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan Menengah, dan Koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar9. Sejalan dengan pengertian tersebut maka kegiatan pasar tradisional sangat erat dengan kehidupan masyarakat kecil. Pasar tradisional merupakan basis perekonomian bagi rakyat kecil. Sisi lain dari pasar tradisional adalah mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran, sebagai tumpuan pencarian nafkah dan penghidupan bagi rakyat kecil.

Dampak positif yang berantai timbul dari pasar terhadap masyarakat adalah adanya sekelompok masyarakat lain yang mendapatkan manfaat nafkah dari pasar. Kelompok ini antara lain tukang sapu, tukang sampah, tukang angkut barang (jawa: engket), juru parkir, tukang becak, dan lain sebagainya. Aspek lain dari adanya kegiatan jual beli di pasar adalah masuknya retribusi bagi pendapatan kas daerah, uang kebersihan, jimpitan uang keamanan ronda, retibusi parkir (mokoginta, 1999). Pasar juga merupakan tempat penampungan bagi pedagang, yaitu tempat bagi para pedagang berkarya dan menghasilkan perputaran uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah per hari. Di tempat inilah rakyat kecil bekerja mencari nafkah dan menggantungkan hidupnya. Dari pasar tradisional ribuan rakyat berhasil mempertahankan hidupnya, bahkan dalam badai krisis ekonomi yang berkepanjangan sekalipun.

9 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan , Nomor: 23/MPP/Kep/1/1998 tentang Lembaga Lembaga Usaha


(38)

2.1.5. Pengertian Kelembagaan Permodalan

Kelembagaan keuangan informal “Bank Plecit”, adalah Badan Usaha Perseorangan yang bergerak di perkreditan tingkat mikro dengan bunga yang cukup tinggi dan biasanya berupa kredit harian. Maraknya operasi “bank plecit” di Pasar Bantul, secara aspek ekonomi sangat membebani perputaran uang bakul pasar. Mereka begitu ekspansif dan memikat, karena telah mengikat bakul pasar dengan iming-iming pinjaman mudah, dan dengan pendekatan kultural meskipun berbunga sangat tinggi yaitu 15% sampai dengan 20% per bulan.

Nugroho (2001) memberikan argumen yang mendasari terjadinya realitas bahwa “bank plecit” selalu lebih populer daripada bank pemerintah adalah: (1)kurang atraktifnya lembaga finansial formal dalam berpraktek mencari nasabah daripada lembaga finansial informal. “Bank Plecit” lebih fleksibel dalam menjalankan prakteknya bahkan mengembangkan hubungan personal dengan nasabahnya sementara bank-bank resmi lebih bersifat “rasional” di mata para nasabah bakul pasar. Fleksibilitas merupakan hal penting dalam rangka menjaga hubungan “bank plecit” dan bakul pasar, misalnya adanya upaya “bank plecit” untuk memahami kondisi keuangan bakul pasar sehingga tidak jarang memberikan kesempatan menunda pembayaran hutang; (2) tidak adanya kepercayaan antara bank formal dan bakul pasar. Bank resmi selalu mengedepankan hal-hal yang formal, sedangkan ”Bank Plecit” menggali berbagai informasi dari orang-orang sekitar untuk mengetahui reputasi bakul pasar yang menjadi calon nasabahnya. Atas dasar ini transaksi hutang piutang dilakukan oleh kedua belah pihak atas dasar kepercayaan.

Strategi lain yang diterapkan “bank plecit” adalah dengan merayu calon nasabah dengan pernyataan “lupakan cicilan yang penting bayar dulu bunganya” atau “bayarlah dengan apa saja apabila ti dak mampu”. Seorang pedagang tempe yang tidak mampu membayar cicilan dapat membayar bunganya saja. Kalau ia tidak mampu membayar cicilan, karena tidak memiliki uang tunai, dapat membayar dengan tempenya sebesar nilai cicilan yang diwajibkan “bank plecit”.

PD BPR Bank Pasar Bantul adalah Badan Usaha Milik Daerah, dimana ketua Badan Pengawas dijabat oleh Sekretaris Kabupaten Bantul. Sejak kepemimpinan Bupati Bantul Drs.HM. Idham Samawi, BUMD ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ini bisa dilihat dari jumlah nasabah yang meningkat tajam maupun dari jumlah modal yang disetor oleh Pemerintah Kabupaten Bantul. Prestasi lain yang perlu dicatat adalah dikembangkannya


(39)

Kantor-kantor unit yang ada di 16 pasar di 17 Kecamatan di seluruh Kabupaten Bantul, sehingga tinggal 1 kecamatan dengan 1 pasar tradisional saja yang belum terlayani secara langsung oleh kantor unit yaitu Kecamatan Sedayu.

Kelembagaan keuangan yang hadir pada komunitas bakul pasar baik bank pasar maupun “bank plecit”, mempunyai strategi yang berbeda dalam memperoleh nasabah. Bank pasar sebagai kelembagaan keuangan formal selalu memakai logika efisiensi dalam menjaring dan melayani nasabahnya. Dalam menjalankan operasinya bank pasar akan lebih memilih melayani sejumlah kecil nasabah dengan nomina l kredit yang tinggi daripada melayani kredit berskala kecil dengan jumlah nasabah yang banyak. Asumsi yang mendasari logika ini adalah bahwa melayani banyak nasabah dengan kredit kecil-kecil akan merepotkan bank atas kontrol terhadap nasabahnya sekaligus membebani administrasinya. Sebaliknya, bagi “bank plecit” melayani kredit berskala kecil dengan jumlah nasabah yang banyak lebih menguntungkan secara ekonomi daripada seperti apa yang dilakukan bank formal. Dengan melakukan hal seperti itu sebenarnya “bank plecit” telah mendistribusikan resiko kredit macet dengan cara yang sangat probabilistik. Kalau nasabah “bank plecit” hanya sedikit, kemudian kreditnya macet maka akan menderita kerugian besar, sedangkan bila nasabahnya banyak dengan kredit kecil sesuai dengan kemampuan finansial lapisan bawah, maka kemungkinan macet akan lebih kecil. Perhitungan “bank plecit” adalah seandainya ada kredit yang macet dan tidak mampu lagi membayar maka kerugian itu masih bisa ditutup oleh kelancaran pembayaran cicilan oleh nasabah yang lain. Ini merupakan strategi distribusi resiko yang dilakukan oleh “bank plecit”.

Gambaran proses transformasi atau perkawinan antara lembaga dan cara kerja keuangan mikro berbentuk formal dan informal bisa dilukiskan melalui tiga pilihan prose s berikut (Bosch, 2002):

1. Upgrading, Kelembagaan Informal yang sudah mulai melaksanakan pelayanan keuangan mikro mengembangkan kapasitas dan kelembagaannya sedemikian rupa sehingga menjadi kelembagaan keuangan.

2. Downgrading, yaitu apabila bank formal meninggalkan pendekatan konvensionalnya sebagai bank komersial dan mulai melayani klien pengusaha mikro kalangan bawah.


(40)

3. Modelling, menciptakan lembaga keuangan baru seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional tertentu di negara lain sesuai dengan keinginan komunitas lokal. Contoh kasus seperti ini dilakukan oleh beberapa lembaga: CARE, CRS, Action Aid, FINCA, PLAN dll.

2.1.6. Teori Pertukaran Barang dan Jasa

Pola pertukaran langsung antara dua pihak seperti “bank plecit” dengan bakul pasar, dimana kedua belah pihak terlibat dalam suatu hubungan timbal balik, cenderung untuk menekankan keseimbangan atau persamaan. Juga sering terdapat keterlibatan emosional yang mendalam pada kedua belah pihak terhadap satu sama lain (Levi -Strauss,1969)

Menurut Sahlin (1974), terdapat tiga macam resiprositas, yaitu : resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity). Dalam resiprositas umum, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian sehingga masing-masing pihak percaya bahwa mereka akan saling memberi dan percaya bahwa barang atau jasa yang diberikan akan dibalas entah kapan waktunya. Resiprositas sebanding adalah pola pertukaran yang menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Resiprositas negatif adalah bentuk transformasi pertukaran yang ditunjukkan dalam masyarakat heterogen yang telah mengenal ekonomi uang atau biasa disebut sebagai pertukaran pasar.

Ukuran keadilan menurut komunitas bakul pasar yang masih berada pada masyarakat petani, terdapat empat tingkatan (Scott,1976): (1) Taraf Hidup, bahwa pandangan penyewa mengenai keadilan dalam hubungan pertukarannya dengan tuan tanah bisa merupakan suatu pencerminan yang langsung dari taraf hidup penyewa itu. Dengan demikian bila suatu sistem sewa yang memungkinkan petani hidup relatif berkecukupan akan dianggap sebagai sistem yang baik sedangkan sistem yang hampir-hampir tak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan minimalnya akan dianggap eksploitatif; (2) Alternatif terbaik berikutnya, cara lain untuk menilai legitimasi tata hubungan penyewa dengan tuan tanah adalah dengan pertanyaan, kerugian apa yang akan diderita oleh penyewa apabila hubungan itu berakhir. Sampai dimana alternatif terbaik


(41)

berikutnya bagi dia akan lebih buruk ?; (3) Resiprositas atau pertukaran yang sepadan, tata hubungan antara penyewa dan tuan tanah akan dinilai eksploitatif atau tidak tergantung kepada soal apakah tata hubungan itu memenuhi norma resiprositas (Gouldner,1960). Pada hakekatnya ide moral yang terkandung di dalamnya adalah bahwa orang harus membalas “kebaikan atas dasar terimakasih sehingga pertukaran yang sepadan mendefinisikan suatu tata hubungan yang layak “. Menurut pandangan ini, hubungan tuan tanah–penyewa yang ditandai oleh resiprositas yang seimbang menimbulkan perasaan-perasaan terimakasih dan legitimasi sedangkan pertukaran yang tidak sepadan dan menguntungkan tuan tanah akan men imbulkan kemarahan moral dan ketidakadilan; (4) Harga yang adil dan Legitimasi (Blau,1961), konsep ini membedakan antara kurs pertukaran yang berlaku dan norma-norma mengenai nilai yang layak. Jarak antara keduanya merupakan kriteria untuk mengukur kelayakan atau ketidakadilan suatu tata hubungan. Suatu surplus di atas nilai yang layak dalam pertukaran menimbulkan respons yang mengabsahkan, suatu defisit mencetuskan perasaan dieksploitasi.

2.2. Analisis SWOT Pengemb angan Kelembagaan Keuangan yang berorientasikan kepada Bakul Pasar

Kelembagaan keuangan yang efektif dan berorientasi kepada bakul pasar yang dimaksud adalah kelembagaan keuangan yang berpihak kepada bakul pasar namun tetap memberikan manfaat dan keuntungan bagi “bank plecit” dan bank pasar. Bagi “bank plecit” akan memberikan manfaat dalam penyediaan modal, sedangkan bagi bank pasar akan memberikan manfaat dengan berkurangnya biaya transaksi dan adanya jaminan pengembalian kredit dari pemerintah lokal.

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor internal maupun eksternal secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan

peluang (opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan (weakness) dan ancaman (threath). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan organisasi. Dengan demikian perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis kelembagaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal inilah yang disebut dengan


(42)

analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT (Rangkuti,1997).

Prosedur untuk melakukan analisis SWOT dengan pendekatan kualitatif meliputi langkah-langkah sebagai berikut (Soesilo, 2002):

1. Identifikasi stakeholder utama

Sebelum menjabarkan analisis SWOT dengan langkah-langkahnya maka yang paling utama harus diputuskan adalah siapakah yang menjadi

stakeholder utama. Penentuan ini sangat penting untuk mencegah adanya konflik kepentingan dari masing-masing stakeholder, karena terdapat lebih dari satu stakeholder. Dalam tabel.1 berikut ini disajikan identifikasi

stakeholder dalam kepentingannya masing -masing (Nugroho,2001).

Tabe l.1 Stakeholder dan kepentingannya

Stakeholder Kepentingan dan Pengaruh

Bakul Pasar Menjalankan aktivitas perdagangan dengan

mengutamakan apa yang dianggap aman (safety first) dan dapat diandalkan daripada keuntungan yang dapat diperoleh dalam jangka pan jang.

Bank Pasar Mendapatkan dan melayani nasabah dengan memakai

logika efisiensi yaitu dalam menjalankan operasinya bank pasar akan lebih memilih melayani sejumlah kecil nasabah dengan nominal kredit yang tinggi daripada melayani kredit berskala kecil dengan jumlah nasabah yang banyak.

“Bank Plecit” Mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya untuk

kepentingan distribusi resiko dan optimalisasi profit.

2. Identifikasi lingkungan eksternal

EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) merupakan faktor-faktor di luar kelembagaan yang merupakan peluang (Opportunities)

dan ancaman (Threats), yang memiliki elemen-elemen yang meliputi (Soesilo, 2002):

§ Lingkungan sosial, yaitu: politik, ekonomi, sosial, teknologi yang merupakan faktor makro dan trend makro yang tidak hanya mengenai organisasi tetapi juga berlaku bagi tiap orang.

§ Lingkungan tugas termasuk faktor/trend yang berkait langsung dengan misi organisasi yaitu: kompetisi, produk baru/ proses, perubahan kekuatan/ kebutuhan stakeholder.


(43)

Proses untuk menganalisa lingkungan eksternal (Soesilo, 2002): a. Memeriksa lingkungan: fokus mengumpulkan investigasi.

b. Perencanaan skenario dalam rangka memfokuskan diri mencari informasi terbaik untuk merumuskan strategi.

Dalam memeriksa lingkungan dapat dicapai beberapa manfaat:

§ Memberikan masukan tentang lingkungan kompetitif yang memberi

informasi strategik dan memberi panduan perumusan strategi. § Menantang asumsi umum tentang lingkungan kompetitif

§ Membuat ramalan perkembangan masa depan dalam lingkungan

kompetitif

§ Mengidentifikasikan dan mengkompensasikan kelemahan kompetitif yang terbuka

§ Menentukan kapan strategi tak dapat dipertahankan atau dilanjutkan

§ Memberi indikasi kapan dan bagaimana strategi harus disesuaikan

terhadap lingkungan kompetitif yang berubah.

Adapun sumber informasi yang dapat dipakai dalam investigasi lingkungan yaitu:

§ Informasi yg telah dikumpulkan oleh orang-orang

§ Koran lokal

§ Informasi dari pemerintah

§ Data Base

§ Informasi pelanggan & pemasok § Informasi tentang pesaing

3. Identifikasi lingkungan internal

IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) merupakan faktor-faktor di dalam kelembagaan yang merupakan kekuatan (Strength)

yang memberikan daya dukung pengembangan kelembagaan maupun kelemahan (Weakness) yang menjadi penghambat (Rangkuti, 1997).

Dalam sektor publik maupun swasta, analisis internal memiliki elemen-elemen yang berhubungan dengan: produk organisasi, pelayanan, struktur, sumberdaya (keuangan, tenaga kerja, teknologi dan informasi), prosedur, budaya, strategi saat ini (Soesilo, 2002). Pada saat membuat analisis internal lazim dipakai pembobotan, yang bermaksud menilai berat tidaknya permasalahan yang dihadapi stakeholder. Makin besar nilai bobot, berarti makin berat permasalahan yang harus diselesaikan. Untuk


(44)

menentukan besarnya nilai bobot dapat dilakukan melalui survey dengan kuesioner atau dengan brainstorming secara terencana. Total bobot analisis internal adalah 1,00 karena dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh dan sudah dilakukan upaya standarisasi. Selain bobot, faktor -faktor internal juga diukur tingkat urgensinya. Hal ini untuk menentukan penting atau tidaknya permasalahan dari segi waktu penanganannya. Makin segera harus ditangani maka tingkat urgensinya semakin besar.

4. Memetakan interaksi SWOT

Setelah analisis faktor internal dan eksternal, langkah selanjutnya adalah memetakannya dengan cara mengawinkan elemen internal dengan eksternal sehingga didadaptkan empat alternatif strategi sepeti ditampilkan tabel berikut:

Tabel.2 Interaksi SWOT

EFAS IFAS

O T

S Strategi SO Strategi ST

W Strategi WO Strategi WT

a. Strategi SO

Strategi ini adalah yang paling murah karena dengan bekal yang paling sedikit dapat didorong kekuatan yang sudah ada untuk maju (mengandalkan kekuatan komparatif). Pertimbangan yang dipakai adalah pendekatan utilitarian yang berupaya memaksimalkan utility atau tingkat institusi dari kekuatan dan kesempatan yang telah ada untuk pertumbuhan.

b. Strategi ST

Strategi ini agak lebih mahal karena dengan bekal yang paling sedikit dapat diatasi ancaman yang ada untuk maju sehingga harus dilakukan mobilisasi. Mobilisasi issue menghadapi 2 pilihan yaitu:

§ Melawan ancaman, memelihara status quo (tak begeming) § Merubah ancaman menjadi kesempatan atau merubah status quo

c. Strategi WO

Adalah strategi investasi (pemerataan) atau divestasi (subsidi) yang lebih sulit karena orientasinya adalah memihak pada kondisi yang paling lemah


(45)

tetapi dimanfaatkan untuk menangkap peluang. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pertumbuhan tetapi dari yang ter lemah. Dalam hal investasi/divestasi memiliki 3 pilihan yaitu :

§ Melakukan investasi di program yang menjadi titik lemah yaitu dengan cara merubahnya menjadi kuat sehingga memiliki keunggulan komparatif.

§ Divestasi (tidak melakukan investasi) sehingga kesempatan tersebut menjadi hilang.

§ Status quo , menunggu sampai situasi membaik. d. Strategi WT

Adalah strategi yang paling sulit, karena orientasinya adalah memihak pada kondisi yang paling lemah atau paling terancam sehingga yang dilakukan adalah mengontrol kerusakan agar tidak semakin parah (defensif). Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pertahanan yaitu bahwa ada upaya institusi untuk meminimalkan sesuatu yang membawa kerugian akibat adanya kelemahan dan ancaman.

5. Klasifikasi issue

Dalam membuat klasifikasi issue terdapat empat strategi umum seperti tampak pada tabel berikut.

Tabel.3 Klasifikasi issue EFAS

IFAS O T

S Keunggulan Komparatif Mobilisasi

W Investasi/ Divestasi Kontrol kerusakan

6. Klarifikasi issue

Setelah berbagai issue diklasifikasikan langkah selanjutnya adalah mengklarifikasikannya seperti disajikan dalam tabel berikut.

Tabel.4 Klarifikasi issue

O

S Paling pasti (menjanjikan) Kurang pasti Kekuatan kini

(amat pasti)

Keunggulan komparatif tertinggi Lebih diperlukan analisa kesempatan

Kekuatan potensial (kurang pasti)

Diperlukan analisis investasi Keunggulan komparatif terendah


(46)

7. Urgensi prioritas issue

Langkah ini perlu dilakukan karena kita tidak bisa mengerjakan semua pekerjaan sekaligus sehingga per lu dianalisis dalam SWOT. Ini penting karena kita harus memilih dengan memakai kriteria apakah memiliki elemen sebagai berikut:

§ Sentral

§ Penting

§ Kemampuan kontrol

§ Biaya

§ Pandangan umum

§ Pervasif

§ Dampak nilai dasar

§ Apa yang dilakukan pesaing

2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis

Hubungan ketiga kelembagaan bakul pasar, ”bank plecit” dan bank pasar ini memang sangat diperlukan, tentu saja dengan tetap mempertahankan cara kerja informal atau non konvensional dalam menjangkau bakul pasar. Asumsi ini berdasarkan pengalaman bahwa komunitas bakul pasar tidak memiliki akses kredit dari lembaga keuangan formal karena tidak mampu menyediakan agunan, skala kredit yang diperlukan terlalu kecil untuk bank komersial, dan jarak lembaga keuangan formal tersebut terlalu jauh dengan masyarakat dan mata pencaharian tidak menjamin kepastian pengembalian atau beresiko tinggi.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas dari model kelembagaan keuangan yang berorientasi kepada bakul pasar adalah: faktor internal dan fakto r eksternal dari masing-masing kelembagaan bakul pasar, “bank plecit” dan bank pasar. Apabila faktor-faktor ini dapat dikembangkan ke arah yang lebih positif, maka diharapkan kelembagaan keuangan yang berorientasi kepada bakul pasar benar-benar efektif dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi bakul pasar.

2.4. Kerangka Pemikiran Operasional

Sebelum melakukan berbagai kegiatan pengembangan bakul pasar, terlebih dahulu akan dilakukan penelitian mengenai praktek “bank plecit” di pasar Bantul. Hubungan sosial ekonomi seperti apa yang begitu kuat terjadi antara bakul pasar dengan “bank plecit” dalam transaksi pinjam meminjam uang? Faktor-faktor sosial budaya apa yang mendukung pelembagaan praktek “bank plecit” di pasar Bantul ? Metode apa yang digunakan oleh para “bank plecit”


(47)

untuk memikat bakul pasar menjadi nasabahnya? Benarkah “bank plecit” berperilaku sebagai lintah darat atau mereka justru sebagai “helpers in need” kebutuhan bakul pasar akan uang tunai secara instan yang tidak bisa dipenuhi oleh institusi finansial formal?

Setelah pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab melalui metode penelitian survey, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi faktor-faktor eksternal dan internal diantara ketiga stakeholder dan selanjutnya dilakukan analisis dengan metode SWOT.

Berdasarkan data dari responden secara individual dan hasil analisis SWOT tersebut, akan dipilih strategi pengembangannya. Penjabaran dari strategi tersebut selanjutnya didiskusikan oleh ketiga stakeholder dengan metode FGD (Focus Group Discussion) untuk merumuskan program pemberdayaan bakul pasar tradisional desa Bantul. Secara skematis kerangka pemikiran teoritis dan operasional seperti disajikan dalam gambar 2.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Bakul Pasar Tradisional Desa Bantul

Keterangan Gambar:

: tata hubungan dua arah antar kelembagaan

: proses kajian : faktor pengaruh

Program Pengembangan Kelembagaan Keuangan

Yang EFEKTIF dan BERORIENTASI kepada

Bakul Pasar

PEMBERDAYAAN BAKUL PASAR

Transformasi

Kelembagaan Keuangan TUJUAN

Bank Pasar “Bank Plecit”

Bakul Pasar

FAKTOR INTERNAL

ANALISIS SWOT

FGD - Profit Sharing

tidak adil - Bunga yg terlalu

tinggi

Tidak Berdaya

Tidak Efektif Tidak Efektif

FAKTOR EKSTERNAL


(48)

25

3.1. Lokasi, Waktu & Komunitas Subyek Kajian 3.1.1. Lokasi

Lokasi kajian dilaksanakan di Pasar Bantul, Desa Bantul, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul. Lokasi ini dipilih karena beberapa alasan sebagai berikut:

1. Maraknya praktek “Bank Plecit” di Pasar Bantul dengan jumlah sekitar 25 pengusaha (300 “Bank Plecit” di pasar-pasar tradisional seluruh Kabupaten Bantul10) dan dana yang berputar sekitar Rp 27 Miliar selama tahun 200211. 2. Pasar Bantul adalah pasar terbesar baik secara kuantitas maupun kualita s

barang yang diperjualbelikan dan Bantul merupakan salah satu penyangga aktivitas sosial, ekonomi dan budaya antara Yogyakarta dan Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten Bantul.

3. Pemerintah Kabupaten Bantul telah menaruh perhatian pada nasib para baku l pasar namun baru sebatas pemberian kredit dengan bunga jauh lebih ringan dari “Bank Plecit” dan belum melakukan kajian-kajian lebih dalam permasalahan bakul pasar tradisional.

Alasan-alasan tersebut diharapkan agar kajian membawa implikasi terhadap hasil kajian agar dapat digeneralisasikan pada lokasi lain yang mempunyai karakteristik lokasi hampir sama.

3.1.2. Waktu

Waktu Penyusunan Kajian Pengembangan Masyarakat dilaksanakan pada Bulan Juni s/d Agustus 2005. Penentuan Waktu didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Pada bulan-bulan tersebut adalah mulai tahun ajaran baru dimana keuangan para bakul pasar pada posisi paling sulit bukan karena sepi pembeli namun karena harus membiayai anak-anak masuk sekolah.

2. Di sisi lain bulan tersebut jug a masa dimana anak-anak sekolah berdarmawisata sehingga biasanya juga akan mendongkrak penjualan bahan

10

Kompas, Jum’at 5 Maret 2004

11


(49)

makan yang menuntut ketersediaan barang dagangan lebih banyak dari biasanya maka diperlukan tambahan modal usaha untuk berjualan.

3.1.3. Komunitas Subyek Kajian Komunitas

Komunitas subyek kajian adalah komunitas bakul pasar tradisional yang menggantungkan hidupnya di pasar Bantul, dengan ka rakteristik sebagai berikut: (1)Pedagang informal skala kecil baik dari sisi aset maupun modal kerja, yang mengembangkan pengetahuannya berdagang berdasarkan pengalaman tanpa dibekali ilmu yang memadai; (2)Tidak memiliki badan usaha dan melakukan kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa dalam skala kecil yang dijalankan oleh pengusahanya sendiri berdasarkan azas keke luargaan; (3)Memiliki modal usaha di luar tanah dan bangunan tempat usaha tidak lebih dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);

3.2. Data & Metode Pengumpulannya 3.2.1. Jenis Data

Kelanjutan dari kegiatan praktek lapangan I (Pemetaan sosial) dan praktek la pangan II (Evaluasi program pengembangan masyarakat) adalah kajian lapangan. Data yang digunakan dalam kajian lapangan merupakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan data yang diperoleh melalui; responden: bakul pasar, bank pasar dan ”bank plecit”, informan: Lurah Pasar dan Lurah Desa Bantul. Data yang diperlukan dari bakul pasar antara lain: profil bakul pasar, ukuran keadilan dan nilai pertukaran, informasi tentang jumlah bakul pasar yang kreditnya macet. Data yang diperlukan dari Bank Pasar antara lain: data tentang program kredit anti rentenir, syarat pemberian kredit, jangkauan program kredit anti rentenir. Data yang diperlukan dari ”bank plecit” antara lain: aturan main pemberian kredit oleh ”bank plecit”, etika yang berlaku antar ”bank plecit” yang beroperasi di pasar Bantul.

Sumber data sekunder seperti dokumen desa diperoleh dari kepala desa, seketaris desa, dan ketua paguyuban bakul pasar. Data yang diperlukan antara lain; peta desa, jumlah penduduk, pendidikan warga, jenis mata pencaharian, statistik tentang bakul pasar. Kegiatan yang dilakukan dalam prose s kajian lapangan antara lain: pengamatan berperanserta merupakan proses mengamati


(50)

perilaku anggota komunitas bakul pasar menunjuk pada kegiatan yang diteliti dan berperan sebagai anggota komunitas.

Tabel 5 Tujuan, Metode Pengumpulan Data, Data yang Diambil, dan Sumber Data.

No. Tujuan Diperlukan Data Yang Sumber Metode Rekaman 1. Mengidentifikasi

pola hubungan pertukaran yg terjadi pd praktek “bank plecit”

§ Profil bakul pasar & “bank plecit” § Ukuran keadilan dan

nilai pertukaran Bakul Pasar “Bank Plecit” Bank Pasar § Wawancara Mendalam § Observasi Catatan harian

2. Memahami & menganalisis mekanisme kerja kelembagaan keuangan bank pasar & “bank plecit”

§ Syarat -syarat untuk mendapatkan kredit § Kelemahan dan

kelebihan fasilitas kredit

§ Toleransi dan kebijaksanaan pembayaran angsuran

§ Bakul Pasar § Pelaku “Bank

Plecit” § Karyawan

Bank Pasar § Lurah Pasar

Wawancara Mendalam (Data Primer)

Catatan harian

3. Menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal kelembagaan keuangan bank pasar, “bank plecit” dan bakul pasar.

§ Hasil wawancara individual mengenai Faktor Internal dan Faktor Eksternal masing-masing stakeholder Bank Pasar “Bank Plecit” Bakul Pasar §Wawancara mendalam §Analisis SWOT Catatan harian

4. Menyusun program pemberdayaan bakul pasar tradisional Desa Bantul § Strategi pengembangan § Solusi dan

penanganan masalah § Kriteria dan cara

kerja penanganan masalah Bank Pasar “Bank Plecit” Bakul Pasar FGD berdasarkan hasil analisis SWOT Catatan harian

3.2.2. Teknik Analisis Data

Dalam menyusun kajian lapangan pengkaji menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis data kuantitatif dilakukan dengan Analisis SWOT dan Focus Group Discussion sedangkan data kualitatif dilakukan dengan cara : 1. Reduksi data merupakan data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam

bentuk uraian atau laporan yang terinci. Laporan tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, disusun lebih si tematis, sehingga mudah dibaca dan diinterpretasikan (Singarimbun, 1995). Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah pengkaji untuk mencari kembali data yang diperlukan.


(51)

2. Penyajian data merupakan sekumpulan data dan informasi, untuk melihat gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari kajian tersebut, maka dibuat matriks, grafik, jaringan dan bagan, dengan demikian pengkaji dapat menguasai data.

3. Kesimpulan merupakan proses menemukan makna data, mencari pola, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya.

Ketiga macam kegiatan analisis yang disebut diatas saling berhubungan dan berlangsung terus selama kajian dilakukan.

3.3. Tahap-Tahap Penyusunan Program

Untuk menjabarkan tahap-tahap pelaksanaan penelitian dan kegiatan pengembangan komunitas bakul pasar mulai dari wawancara individual sampai dengan penyusunan program secara partisipatif maka disusun matriks sebagaimana tabel 6 sebagai berikut.

Tabel 6 Tahap-Tahap Penyusunan Program

NO KEGIATAN & METODE SASARAN KRITERIA

1. Penelitian pola hubungan yg terjadi antara bakul pasar dan “bank plecit”

Metode : wawancara mendalam secara individual

a. Bakul Pasar § Pedagang informal di pasar Bantul dengan keterbatasan aset maupun modal kerja, yang mengembangkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman tanpa dibekali ilmu yang memadai

§ Tidak memiliki badan usaha dijalankan oleh pengusahanya sendiri berdasarkan azas kekeluargaan § Memiliki modal usaha di luar tanah

dan bangunan tempat usaha tidak lebih dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)

§ Jumlah responden 10% dari populasi b. “Bank Plecit” § Orang yang menawarkan kredit mikro

jangka pendek tanpa jaminan dengan bunga sekitar 20% per periode dan biasanya berupa kredit harian kepada bakul pasar

§ Jumlah responden 10% dari populasi c. Bank Pasar Karyawan Bank Pasar yang melayani

nasabah bakul pasar Bantul a. “Ban k Plecit” Sama dengan di atas

b. Bank Pasar Pimpinan unit bank pasar Bantul c. Bakul Pasar Sama dengan di atas

2. Penelitian Mekanisme kerja “bank plecit” dan bank pasar

Metode : wawancara mendalam


(1)

3. PANDANGAN FAKTOR-FAKTOR YG MEMPENGARUHI KELANCARAN PROGRAM

No Pertanyaan

3.1 Apakah faktor yang paling berpengaruh trerhadap kelancaran Program Kredit Anti Rentenir ?

1. Modal______________________ke 3.2 2. Prasarana __________________ke 3.4

3. Lain-lain ___________________ ke 3 .5

3.2 Darimana Bank Pasar mendapatkan tambahan modal untuk usaha ? 1. Pemerintah Kabupaten Bantul

2. Bank Lain 3. Sumber Lain

3.3 Berapa besar Bank Pasar mendapatkan tambahan modal dari pihak lain ?

Milyar Rupiah 3.4 Prasarana apasaja yang mempengaruhi kelancaran usaha

bapak/ibu?

1. Fluktuasi suku bungan kredit 2. Lain-lain


(2)

(3)

4. PANDANGAN DUKUNGAN YANG MENDESAK UNTUK MENDORONG KELANCARAN PROGRAM

No Pertanyaan

4.1 Dukungan seperti apa yang paling mendesak yang diharapkan bapak/ibu untuk mendorong kelancaran PROGRAM ? 1.Kelembagaan ________________ke 2.2 2. Lain-lain ____________________ke 2.3 4.2 Jenis kelembagaan apa yang dimaksud ?

1. Keuangan/ Ekonomi 2. Sektor Publik/ Pemerintah 3. Sektor Private/Swasta

4. Sektor Partisipatory/ NGO/ LSM


(4)

PEDOMAN WAWANCARA UNTUK INFORMAN

A. IDENTITAS INFORMAN

1. Nama, Usia, Status Keluarga dan Perkawinan 2. Pekerjaan :

3. Tempat lahir : 4. Pendidikan : 5. Lama tinggal :

6. Jumlah anggota kelu arga ( r ): jiwa. 7. Kedudukan dalam masyarakat :

B. LURAH PASAR BANTUL

1. Apakah komunitas bakul pasar turut serta dalam perencanaan program kredit anti rentenir? Bagaimana proses perencanaan dilakukan?

2. Apakah masyarakat turut serta dalam pelaksanaan program? Bagaimana proses pelaksanaan program?

3. Apakah manfaat yang diterima masyarakat dari program? Siapa saja yang memperoleh manfaatnya? Siapa saja yang tidak?

4. Bagaimana cara bakul pasar mendapatkan failitas kredit dari bank pasar? Mengapa demikian?

5. Apa peran bapak dalam memotivasi warga untuk memanfaatkan bantuan program? Bagaimana caranya?

6. Apa peran bapak dalam pelaksanaan program kredit antik rentenir ? Bagaimana bapak melakukannya?

7. Apakah program kredit anti rentenir sesuai dengan kebutuhan komunitas bakul pasar? Mengapa demikian?

8. Apa kendala yang bapak temui dalam pelaksanaan program kredit anti rentenir? Apa yang bapak lakukan?

9. Bagaimana keadaan bakul pasar sebelum dan sesudah mendapatkan bantuan kredit? Apa saja harapan mereka?

10. Apa harapan bapak terhadap program kredit anti rentenir di masa yang akan datang? Apa saran bapak terhadap program tersebut?


(5)

C. LURAH DESA BANTUL

1. Bagaimana kegiatan program kredit anti rentenir yang dilakukan di pasar Bantul? Mengapa demikian?

2. Bagaimana bapak memfasilitasi bakul pasar dalam program tersebut?

3. Apa yang bapak lakukan dalam memotivasi warga komunitas untuk berpartisiasi dalam program kredit anti rentenir? Bagaimana caranya?

4. Apa kendala yang ditemui dalam memotivasi warga komunitas? Bagaimana bapak mengatasinya?

5. Bagaimana penerimaan komunitas terhadap kredit yang diberikan? Siapa saja yang menerima? Siapa saja yang tidak menerima?

6. Bagaimana hubungan anggota keluarga dan kerabatnya setelah menerima bantuan kredit? Apa keuntungan dan kerugiannya?

7. Bagaimana pengaruh kredit yang diberikan terhadap usaha masyarakat? Apakah mereka masih terlibat utang piutang dengan institusi informal selain institusi formal ?

8. Apakah warga memanfaatkan bantuan kredit yang diberikan? Mengapa demikian?

9. Bagaimana keadaan bakul pasar sebelum dan sesudah mendapatkan bantuan? 10. Apa harapan bapak terhadap program kredit anti rentenir di masa yang akan


(6)

PEDOMAN UNTUK PENGAMATAN BERPERAN SERTA

1. Mengamati perilaku anggota responden dalam kegiatan berdagang di pasar Bantul. 2. Mengamati perilaku anggota responden melayani pembeli

3. Mengamati kegiatan komunitas bakul pasar dalam lingkungan pasar Bantul 4. Mengamati pola hubungan kekerabatan responden.

5. Mengamati situasi dan kondisi kehidupan komunitas bakul pasar sehari-hari. 6. Mengamati responden dalam berinteraksi dengan bank plecit

7. Mengamati kejadian-kejadian yang terjadi di pasar Bantul dalam kegiatan jual beli dan berinteraksi dengan institusi finansial formal maupun informal