54 orang teller, 1 orang operator komputer dan 1 orang collector, praktis membuat
pelayanan kepada bakul pasar belum optimal. Golongan Partisipan Kegiatan ini adalah :
1. Lurah Pasar Bantul Berperan sebagai pihak yang memberikan rekomendasi kepada institusi
penyalur kredit mengenai status pemohon kredit apakah benar-benar bakul pasar Bantul dengan status kepemilikan tempat usaha sebagai pemilik kios,
los, tlasaran atau sekedar bakul pasar ideran tidak tetap di pasar Bantul. 2. Ketua Paguyuban bakul pasar
Adalah pihak yang memberikan keterangan lisan perihal reputasi dan informasi mengenai pemohon kredit.
3. Bakul Pasar Adalah subyek yang menjadi sasaran program, bakul pasar yang tergabung
dalam satu paguyuban berperan pula dalam memberikan “jaminan” bagi turunnya suatu nominal kredit bagi anggota paguyuban tersebut.
Rekomendasi yang diberikan sesama bakul pasar adalah rujukan yang paling diakui baik oleh bank maupun institusi finansial formal yang lain. Ini bisa
dipahami karena begitu kentalnya kekerabatan dan keterikatan emosional sesama bakul pasar.
6.2. Mekanisme Kerja “Bank Plecit”
Sebelum memulai kariernya, seorang “bank plecit” biasanya telah memiliki latar belakang profesi, pada umumnya adalah bakul pasar. Dari
sembilan orang responden yang berhasil ditemui, enam orang diantaranya berlatarbelakang sebagai bakul pasar, satu orang pensiunan militer, satu orang
pensiunan PNS dan satu orang mantan kolektor dari BPR swasta. Mereka yang profesi sebelumny a bukan pedagang memiliki kecenderungan lebih tinggi
mengalami kebangkrutan karena memulai profesinya dengan mengandalkan intuisi dan trial and error. Hambatan-hambatan yang mereka temui antara lain
adalah kesulitan memperoleh modal, peta tentang arus kredit bakul pasar dan masalah-masalah dalam memahami perilaku nasabah. Beberapa orang “bank
plecit” mengemukakan penyebab kebangkrutan sebagian diantara mereka adalah karena adanya kredit yang macet dan ini mengindikasikan
55 ketidakmampuan mereka dalam membangun hubungan-hubungan pribadi
dengan nasabah. Sebagaimana diceritakan oleh Ibu I, sosok “bank plecit” yang paling
senior di komunitas bakul pasar. Ia menceritakan seorang “bank plecit” yang bangkrut karena nasabah bakul pasar yang tidak mau membayar cicilan lagi
ngemplang sehingga menyebabkan bisnisnya jatuh. Ia kehabisan akal dan tidak tahu lagi bagaimana membuat nasabahnya mau melunasi pinjamannya. Kasus
ini menunjukkan bahwa ia telah gagal membangun hubungan-hubungan dengan nasabahnya baik secara kultura l maupun personal. Cicilan yang terhenti ini
menyebabkan sirkulasi modal menjadi terganggu. Padahal modal yang digunakan adalah berasal dari pinjaman dari “bank plecit” lain yang lebih kuat
secara modal yang tentunya juga harus dilunasi. Situasi ini menyebabkan teman- teman seprofesinya enggan memberikan lagi pinjaman kepadanya, karena cepat
atau lambat bisnisnya akan segera jatuh.
Gambar 13 “Bank Plecit” Sedang Mengambil Cicilan
Berdasarkan wawancara dengan responden, terungkap ada beberapa pola akumulasi modal yang dibangun oleh “bank plecit”. Pola pertama, modal
berasal dari akumulasi profit yang diperoleh dari berdagang. Sebagian responden yang berlatarbelakang sebagai bakul pasar memiliki beberapa
keunggulan diantaranya adalah memahami kondisi pribadi dari masing-masing
56 bakul pasar, mengetahui informasi mengenai arus kredit dan kebutuhan kredit
bakul pasar, dapat mengakumulasi keuntungan berdagang dan selanjutnya akan menginvestasikannya kembali dalam bisnis potang pinjam meminjam uang.
Ada pendapat diantara mereka bahwa tabungan yang tidak diputar lagi ke dalam usaha-usaha yang lain mempresentasikan hilangnya peluang-peluang yang
dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Atau dengan kata lain uang adalah sebuah komoditi yang harus dapat menciptakan profit.
Pola yang kedua, “bank plecit” yang tidak bekerja sebagai bakul pasar menyimpan sebagian pendapatan yang mereka peroleh dari profesi sebelumnya.
Dan setelah dirasa cukup jumlahnya, tabungan tersebut menjadi modal awal untuk terjun sebagai “bank plecit”. Motivasi mereka pada awalnya adalah untuk
mendapatkan penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan. Namun setelah mencapai
kesuksesan sebagai “bank plecit”, orientasi mulai bergeser menjadi profit oriented.
Pola ketiga, untuk mengawali profesi sebagai “bank plecit” mereka berusaha mendapatkan modal awal dari institusi formal seperti bank atau dari
“bank plecit” lain yang sudah kuat secara modal. Untuk memperoleh fasilitas kredit ini dari bank tentu saja mereka harus memenuhi beberapa persyaratan
administratif dan apabila mereka mendapatkan modal tersebut dari “bank plecit” lain maka kesepakatan mengenai profit sharing harus disepakati bersama-sama
di awal kerjasama. Ada satu kasus “bank plecit” yang cukup spesifik dalam mengembangkan
bisnisnya. Ibu G adalah mantan karyawan sebuah BPR swasta. Selama bekerja sekitar empat tahun sebagai kolektor kredit ia telah menjalin hubungan dengan
nasabah-nasabah di pasar Bantul. Dengan bermodal hubungan baik dan pengetahuan-pengetahuan yang mendalam seputar karakter bakul pasar dan
pasar kredit mikro di pasar Bantul, ia mulai berpikir untuk mengembangkan bisnisnya sendiri sebagai “bank plecit”. Keputusan ini tentu saja mempunyai
alasan yang kuat diantaranya adalah ibu G tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhan keluarganya hanya dengan bekerja sebagai kolektor kredit BPR
swasta.
57
6.3. Perbandingan Kelembagaan Keuangan “Bank Plecit” dan Bank