tersebut dilakukan ulas vagina untuk mendeteksi adanya perkawinan. Indikator terjadi perkawinan adalah ditemukannya sperma pada preparat
ulas vagina. Bila pada preparat ulas vagina yang diamati tersebut ditemukan sperma, pada umumnya tikus betina dinyatakan bunting H1. Tikus betina
yang telah dinyatakan bunting dikandangkan secara individu.
3.3.2. Fitoestrogen
Fitoestrogen yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari olahan kacang kedelai yaitu susu kedelai yang telah difermentasi menggunakan
Lactobacilus plantarum dan didapat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia LIPI. Setiap 100 gram susu kedelai fermentasi mengandung kadar isoflavon sebanyak 70.61 mg yang terdiri dari 66.81 mg daidzein dan
3.80 mg genestein hasil analisis Laboratorium Pengujian-Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian-Kementrian
Pertanian.
3.4. Metode Penelitian
3.4.1. Pengelompokan Hewan Coba
Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam empat kelompok percobaan yang masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor
tikus betina. Kelompok-kelompok tersebut terdiri dari: 1.
Kelompok K yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui atau sebagai kontrol.
2. Kelompok A yang diberi susu kedelai fermentasi pada usia awal
kebuntingan H2-H11. 3.
Kelompok B yang diberi susu kedelai fermentasi pada akhir kebuntingan sampai dengan partus H12-H21.
4. Kelompok C yang diberi susu kedelai fermentasi pada masa laktasi
P2-P11. Pemberian susu kedelai fermentasi dilakukan secara peroral dengan
dosis sebanyak 4.99 grkg BBhari dalam volume 4 ml dan dilakukan setiap sore hari. Tikus-tikus tersebut dibiarkan tidak terusik sampai proses
melahirkan secara alami. Anak tikus tersebut dibiarkan menyusu pada induknya sampai usia 21 hari. Anak tikus yang dilahirkan inilah merupakan
subjek penelitian.
3.4.2. Pelaksanaan
Tikus-tikus betina dihitung lama kebuntingannya dan dibiarkan melahirkan secara alami. Pada hari pertama kelahiran dilakukan
penghitungan jumlah anak sekelahiran. Penghitungan rataan bobot badan anak dilakukan pada hari kedua setelah kelahiran. Pengamatan jarak celah
anogenital dilakukan untuk menentukan jenis kelamin tikus. Tikus betina memiliki jarak celah anogenital yang lebih pendek dibandingkan dengan
tikus jantan Suckow et al. 2006. Setelah diketahui jenis kelamin anak, anak yang berjenis kelamin jantan diambil sebagai objek penelitian. Anak
tikus jantan yang telah berusia 15 dan 21 hari dari masing-masing kelompok dilakukan pengukuran celah anogenital. Anak tikus jantan dipisahkan
dengan induk pada hari ke-28 dan dikandangkan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Pada usia 28 hari prapubertas dan usia 42
hari menjelang pubertas satu anak tikus jantan dari setiap kelompok perlakuan dinekropsi untuk diambil data tampilan reproduksi. Data yang
diambil berupa bobot badan, bobot organ reproduksi testis, dan jumlah sperma. Selain itu, sampel darah juga diambil untuk menentukan kadar
hormon hewan jantan testosteron. Segera setelah pembiusan dengan menggunakan eter, sebanyak 1 ml darah diambil dari jantung dengan
menggunakan jarum suntik tuberculin. Darah ditempatkan dalam tabung darah dan dibiarkan selama kira-kira 1 jam, disentrifuse dengan kecepatan
2500 rpm selama 15 menit. Serum yang terbentuk dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan disimpan di dalam freezer sampai pengujian. Diagram
bagan penelitian disajikan pada Gambar 6.
3.5. Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya