Pemberian Susu Kedelai Fermentasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan

(1)

(Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Susu kedelai fermentasi merupakan produk olahan kedelai yang mengandung sejumlah fitoestrogen. Penelitian dilakukan untuk menganalisa pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja reproduksi anak jantan dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/ hari dalam volume 4 ml pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari (A), 12 sampai dengan 21 hari (B), dan masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari (C). Parameter yang diukur adalah lama kebuntingan induk, jumlah anak sekelahiran, rataan bobot badan lahir anak, celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron, dan jumlah sperma. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisa sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Hasil penelitian pemberian susu kedelai fermentasi pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari, 12 sampai dengan 21 hari, atau masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari menunjukkan bobot testis dan kadar testosteron lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan apapun pada anak jantan usia 42 hari.


(2)

Lactation White Rat (Rattus norvegicus) on Male Offspring Reproductive Performance. Under direction of NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Fermented soy milk are the product of soybean which contain phytoestrogen. This study aims to analyses the effect of fermented soy milk on male offspring reproductive performance using rats as experimental animals. Twelve pregnant female rats were divided into four treatment groups: control (K), the groups was treated by fermented soy milk 4.99 gr/kg BW/day in volume 4 ml at 2nd until 11th day of pregnancy (A), 12th until 21st day of pregnancy (B), and 2nd until 11th day of lactation (C). Parameters observed were pregnant duration, number of pups, anogenital distance, body weight, testicular weight, testosteron level, and total sperm. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and continued by Duncan test with 95% (α=0.05) confidence interval. The result of this study indicated that the treatment of fermented soy milk at 2nd until 11th day of pregnancy, 12th until 21st day of pregnancy, or 2nd until 11th day of lactation showed lower testicular weight and testosteron level than non treatment group at 42th day old male offspring.


(3)

TERHADAP KINERJA REPRODUKSI ANAK JANTAN

OKTIPA SARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pemberian Susu Kedelai Fermentasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

Oktipa Sari B04080010


(5)

(Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Susu kedelai fermentasi merupakan produk olahan kedelai yang mengandung sejumlah fitoestrogen. Penelitian dilakukan untuk menganalisa pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja reproduksi anak jantan dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/ hari dalam volume 4 ml pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari (A), 12 sampai dengan 21 hari (B), dan masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari (C). Parameter yang diukur adalah lama kebuntingan induk, jumlah anak sekelahiran, rataan bobot badan lahir anak, celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron, dan jumlah sperma. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisa sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Hasil penelitian pemberian susu kedelai fermentasi pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari, 12 sampai dengan 21 hari, atau masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari menunjukkan bobot testis dan kadar testosteron lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan apapun pada anak jantan usia 42 hari.


(6)

Lactation White Rat (Rattus norvegicus) on Male Offspring Reproductive Performance. Under direction of NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Fermented soy milk are the product of soybean which contain phytoestrogen. This study aims to analyses the effect of fermented soy milk on male offspring reproductive performance using rats as experimental animals. Twelve pregnant female rats were divided into four treatment groups: control (K), the groups was treated by fermented soy milk 4.99 gr/kg BW/day in volume 4 ml at 2nd until 11th day of pregnancy (A), 12th until 21st day of pregnancy (B), and 2nd until 11th day of lactation (C). Parameters observed were pregnant duration, number of pups, anogenital distance, body weight, testicular weight, testosteron level, and total sperm. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and continued by Duncan test with 95% (α=0.05) confidence interval. The result of this study indicated that the treatment of fermented soy milk at 2nd until 11th day of pregnancy, 12th until 21st day of pregnancy, or 2nd until 11th day of lactation showed lower testicular weight and testosteron level than non treatment group at 42th day old male offspring.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

TERHADAP KINERJA REPRODUKSI ANAK JANTAN

OKTIPA SARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Nama : Oktipa Sari

NIM : B04080010

Disetujui

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Nastiti Kusumorini Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc. NIP. 19621205 198703 2 001 NIP. 19600914 198603 2 001

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D., APVet. NIP. 19630810 198803 1 004


(10)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini berjudul Pemberian Susu Kedelai Fermentasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.

Selama proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Dengan rasa hormat dan setulus hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Mama, Ayah, Ayuk Lusi, Dodo Ana, Abang Idho, dan nenek sebagai keluarga yang penulis cintai, terima kasih atas kasih sayang, doa, motivasi, dan nasihat yang telah diberikan selama ini.

2. Dr. Nastiti Kusumorini dan Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, waktu, dan pemikiran selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Teman sepenelitian Rida Tiffarent atas bantuan, kerjasama, dukungan, dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

4. Dr. drh. Fadjar Satrija,M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik, terima kasih atas bimbingan dan nasihatnya selama penulis berada di FKH.

5. drh. Wandi Himawan atas kesabaran, perhatian, doa, motivasi, dan bantuan yang diberikan kepada penulis hingga penulis dapat tetap semangat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB, Ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerja sama selama penelitian.

7. Sahabat-sahabat penulis Faradisyah, Merista, Melinda, Sumayanti, dan RR Dewi atas motivasi dan dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.


(11)

ii belajar mengajar di Fakultas Kedokteran Hewan.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan dan doanya selama ini. Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu penulis berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012

Oktipa Sari


(12)

Penulis dilahirkan di Manna pada tanggal 28 Oktober 1990 dari ayah Arsam dan ibu Rahijah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bengkulu Selatan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menerima beasiswa dari Bank Indonesia (2010-2012). Penulis juga aktif di organisasi Ikatan Mahasiswa Bumi Rafflesia (IMBR), Gentra Kaheman (2009), Koperasi Mahasiswa IPB (2008-2009) sebagai anggota, dan di Himpunan Minat Profesi (HIMPRO) Ruminansia sebagai kepala divisi pendidikan Himpro Ruminansia (2010-2011).


(13)

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Susu Kedelai ... 3

2.2 Fitoestrogen ... 5

2.3 Klasifikasi Fitoestrogen ... 5

2.4 Struktur Kimia Fitoestrogen ... 7

2.5 Fungsi Fitoestrogen ... 8

2.6 Metabolisme Fitoestrogen ... 8

2.7 Biologi Umum Tikus Putih ... 10

2.8 Reproduksi Tikus Jantan ... 13

2.9 Hormon-Hormon yang Berperan pada Masa Bunting dan Laktasi ... 15

BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Persiapan Penelitian ... 17

3.3.1 Hewan Coba ... 17

3.3.2 Fitoestrogen ... 18

3.4. Metode Penelitian ... 18

3.4.1 Pengelompokkan Hewan Coba ... 18

3.4.2 Pelaksanaan ... 19

3.5 Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya ... 20

Kinerja Induk ... 20

Kinerja Reproduksi Anak Jantan ... 20


(14)

v Kinerja Induk ... 22 4.2 Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap

Kinerja Reproduksi Anak Jantan ... 23 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 29 5.2 Saran ... 29 DAFTAR PUSTAKA ... 30


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi gizi susu kedelai cair dan susu sapi ... 3 2 Komposisi asam amino susu kedelai ... 4 3 Kandungan fitoestrogen dalam kedelai dan produk olahannya ... 5 4 Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk

olahannya ... 7 5 Rataan lama kebuntingan, jumlah anak sekelahiran dan bobot badan

lahir anak ... 22 6 Rataan celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Klasifikasi fitoestrogen ... 6 2 Perbedaan struktur kimia estrogen (17β estradiol) dengan kelompok

fitoestrogen ... 7 3 Absorpsi, metabolisme dan ekskresi isoflavon ... 9 4 Celah anogenital anak jantan dan betina usia 2 minggu dan 6 minggu 13 5 Struktur anatomi alat reproduksi jantan ... 14 6 Diagram bagan penelitian ... 21


(17)

1.1. Latar belakang

Konsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai semakin banyak digemari oleh masyarakat. Susu kedelai selain memiliki rasa yang enak juga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Hasil-hasil penelitian di berbagai bidang kesehatan telah membuktikan bahwa mengonsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai mampu menurunkan risiko terkena penyakit degeneratif. Ini disebabkan adanya senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai ataupun produk olahan kedelai. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam makanan (Rishi 2002). Penelitian mengenai manfaat senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai telah dibuktikan para ahli antara lain berkhasiat dalam menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan kekebalan tubuh, menghambat pertumbuhan kanker payudara, prostat, usus, mencegah osteoporosis, dan menghambat pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen 2003). Selain itu juga, fitoestrogen diketahui memiliki manfaat sebagai anti inflamasi, anti alergi, dan berperan pada kesehatan jantung (Pawiroharsono 2001).

Fitoestrogen mempunyai struktur kimia menyerupai estrogen, sehingga membuat fitoestrogen juga berpengaruh pada organ-organ reproduksi dengan cara menduduki reseptor estrogen. Hal ini tentu memberikan dampak yang positif dan dampak yang negatif. Mengonsumsi susu kedelai yang mengandung fitoestrogen memiliki beberapa dampak positif seperti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, beberapa penelitian menyebutkan mengonsumsi fitoestrogen terlalu banyak mempunyai efek buruk pada jantan yaitu mengurangi kualitas sperma, menyebabkan testis tidak turun (Sheehan 1998), terbentuknya kista di testis, lesio di testis, dan terhambatnya perkembangan vesika seminalis (Santii et al. 1998). Penelitian Whitten dan Naftolin (1992) juga menunjukan


(18)

konsumsi coumestan (kelompok fitoestrogen) pada anak tikus menyebabkan supresi testosteron di testis sehingga menyebabkan gangguan perilaku seksual saat dewasa. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dampak

negatif pemberian fitoestrogen (genestein) dapat menyebabkan

uterocarcinoma pada tikus pada masa neonatal (Newbold et al. 2001). Adanya dampak negatif yang bisa ditimbulkan akibat mengonsumsi kedelai atau produk olahannya harus menjadi perhatian bagi konsumen terutama bagi wanita hamil yang gemar memakan atau meminum produk olahan kedelai. Menurut Hernawati (2007), konsumsi kedelai dan produk olahannya selama kebuntingan diduga dapat terjadi pemaparan fitoestrogen pada fetus dan dapat menyebabkan gangguan pada fetus. Adanya gangguan reproduksi ini mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi, yang selanjutnya akan berpengaruh negatif pada peningkatan jumlah populasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi tentang pemberian bahan yang mengandung fitoestrogen seperti susu kedelai fermentasi pada induk bunting atau menyusui terhadap kinerja reproduksi anak jantan.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi yang mengandung fitoestrogen pada induk tikus bunting atau menyusui terhadap bobot badan, bobot testis, kadar testosteron, jumlah sperma, dan celah anogenital anak jantan.

1.3. Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah memberikan gambaran pengaruh mengonsumsi kedelai bagi individu yang sedang hamil atau menyusui terhadap reproduksi anak.


(19)

2.1. Susu Kedelai

Susu kedelai adalah minuman padat gizi yang diperoleh dari biji kedelai berkualitas yang dibudidayakan secara alami tanpa rekayasa genetik. Sejak abad ke-2 sebelum masehi Cina sudah membuat susu yang berbahan kedelai. Indonesia mulai mengenal susu kedelai setelah perang dunia ke-II (Uransyah 2011). Pembuatan susu kedelai dan konsumsinya setiap tahunnya semakin meningkat. Hal ini dikarenakan banyaknya kandungan yang ada pada susu kedelai yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Kandungan gizi yang terdapat pada susu kedelai ini tidak kalah dengan kandungan gizi yang terdapat pada susu sapi, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi gizi susu kedelai cair dan susu sapi (dalam 100 gram)

Sumber: Budirmawanti (2004)

Kandungan susu kedelai memberikan manfaat yang besar untuk tubuh kita. Protein berguna untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan, penambah imunitas tubuh. Protein pada susu kedelai tersusun oleh sejumlah asam amino, yaitu arginin, lisin, glisin, leusin, isoleusin, treonin, triptofan, fenilalanin, metionin, sistin, valin, histidin, dan alanin. Kandungan asam amino tersebut bisa dilihat pada Tabel 2. Protein yang terkandung dalam kedelai diketahui kaya akan asam amino arginin dan glisin yang merupakan komponen penyusun hormon insulin dan glukagon yang disekresi oleh kelenjar pankreas dalam tubuh kita (Efendi 2008).

Komponen Susu Kedelai Susu Sapi

Kalori (Kkal) 41.00 61.00

Protein (g) 3.50 3.20

Lemak (g) 2.50 3.50

Karbohidrat (g) 5.00 4.30

Kalsium (mg) 50.00 143.00

Fosfor (g) 45.00 60.00

Besi (g) 0.70 1.70

Vitamin A (SI) 200.00 130.00

Vitamin B1 (mg) 0.08 0.03


(20)

Tabel 2 Komposisi asam amino susu kedelai

Asam Amino Susu Kedelai (mg)

Nitrogen Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenilalanin Treonin Triptofan Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin 0,49 330 470 330 86 46 330 210 85 360 400 140 280 710 1.100 310 Sumber: Budirmawanti (2004)

Kandungan nutrisi susu kedelai yang sangat bermanfaat selain protein adalah karbohidrat yang digunakan sebagai sumber energi, serat yang berguna untuk sistem pencernaan, dan lemak yang berfungsi sebagai sumber energi, pelumas, dan pemberi rasa kenyang (Almatsier 2009). Susu kedelai juga mengandung vitamin A, B1, dan E. Vitamin A berfungsi membantu kelancaran fungsi organ penglihatan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, berperan dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Vitamin B1 berperan sebagai koenzim berbagai reaksi metabolisme, dan vitamin E berperan sebagai antioksidan, melancarkan proses reproduksi dan proses menstruasi, mencegah impotensi, keguguran, penyakit jantung, meningkatkan produksi air susu, dan membantu memperpanjang usia (Efendi 2008). Selain itu, susu kedelai juga mengandung mineral-mineral (Ca, P, dan Fe). Mineral-mineral ini berfungsi dalam proses pembentukan tulang, menambah kekuatan struktur tulang, gigi dan kuku, serta dapat menambah daya tahan tubuh terhadap gangguan penyakit (Almatsier 2009). Selain kandungan di atas yang paling menarik dari susu kedelai adalah kandungan fitoestrogennya. Kadar fitoestrogen dalam kedelai atau produk-produk olahannya dapat dilihat pada Tabel 3. Fitoestrogen diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan diantaranya anti inflamasi, anti


(21)

kanker, anti alergi, anti kolesterol, dan mencegah osteoporosis (Pawiroharsono 2001).

Tabel 3 Kandungan fitoestrogen dalam kedelai dan produk olahannya

Sumber (100 g) Fitoestrogen (µg)

Kacang kedelai 103920.0

Susu kedelai 2957.2

Toge 789.6

Saus kedelai 149.6

Yogurt kedelai 10275.0

Tempe 18307.9

Tahu 27150.1

Sumber: Thompson et al. (2006)

2.2. Fitoestrogen

Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam makanan (Rishi 2002). Fitoestrogen memiliki rumus kimia yang berbeda dengan estrogen. Sifat estrogenik pada fitoestrogen dikarenakan fitoestrogen juga memiliki 2 gugus –OH/ hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A0 pada intinya yang sama dengan estrogen. Para peneliti sepakat jarak 11 A0 dan gugus –OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik sehingga fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen pada organ target (Achadiat 2007).

Target utama fitoestrogen pada jaringan tubuh yang pertama adalah sistem reproduksi karena pada organ tersebut jumlah estrogen reseptor cukup tinggi. Beberapa fungsi tubuh yang dipengaruhi oleh fitoestrogen di antaranya siklus estrus, pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas fisiologis saluran reproduksi betina, pituitary, kelenjar susu dan beberapa organ dan jaringan reproduksi lainnya (Whitten & Patisaul 2001).

2.3. Klasifikasi Fitoestrogen

Fitoestrogen diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu isoflavon, lignan dan coumestan (Rishi 2002). Klasifikasi fitoestrogen ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(22)

Gambar 1 Klasifikasi fitoestrogen (Rishi 2002).

Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesa oleh tanaman. Kandungan isoflavon banyak terdapat pada tanaman kedelai, kentang, buah-buahan, sayuran, dan minuman beralkohol (Whitten & Patisaul 2001). Kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada tanaman Leguminoceae, khusunya pada tanaman kedelai terutama pada bagian biji, khususnya pada bagian hipoktil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada biji kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari tanaman (Pawiroharsono 2001). Konsentrasi isoflavon pada produk kedelai sangat beraneka ragam tapi semua makanan kedelai tradisional seperti susu kedelai, tempe dan tahu merupakan sumber isoflavon yang baik (Pawiroharsono 2001).

Coumestan merupakan kelompok fitoestrogen yang banyak terdapat pada biji bunga matahari, kecambah toge, dan sedikit pada kedelai. Coumestan banyak digunakan untuk terapi herbal pada berbagai negara. Masyarakat Amerika Utara menggunakan coumestan sebagai antivenom, sedangkan masyarakat Cina menggunakanya untuk terapi shock septik. Selain itu, senyawa ini juga digunakan sebagai anti kanker dan obat gangguan jantung (Kaushik-Basu et al. 2008).

Lignan merupakan fitoestrogen yang tersebar di banyak bagian tumbuhan. Lignan terdapat di vaskular tumbuhan pada beberapa bagian tumbuhan yaitu bagian akar, rhizoma, bagian kayu, daun, biji, dan buah. Minyak biji tepung sereal (gandum, oat) legum, sayuran, dan buah merupakan bagian yang banyak mengandung lignan (Lampe 2003). Lignan diduga mampu menekan risiko penyakit jantung koroner dan telah terbukti bisa menekan pertumbuhan sel kanker pada hewan percobaan (Rizki 2010).


(23)

Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk-produk olahannya memiliki jumlah kandungan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk olahannya

Sumber (100 g) Isoflavon (µg) Lignan (µg) Coumestan (µg)

Kacang kedelai 103649.3 269.2 1.5

Susu kedelai 2944.2 12.3 0.6

Toge 787.5 2.2 0

Saus kedelai 135.0 14.3 0.4

Yogurt kedelai 10227.8 46.6 0.5

Tempe 18277.7 29.6 0.6

Tahu 27118.5 30.9 0.7

Sumber: Thompson et al. (2006)

2.4. Struktur Kimia Fitoestrogen

Fitoestrogen memiliki struktur kimia yang mirip dengan struktur kimia estrogen. Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol yang dapat dilihat pada Gambar 2. Kemiripan ini menyebabkan fitoestrogen dapat berikatan dengan kedua reseptor estrogen ERα dan ERβ. Afinitas ikatan fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen lebih besar terhadap ERβ dibanding ERα (Staar et al. 2005).

Gambar 2 Perbedaan struktur kimia estrogen (17β estradiol) dengan kelompok fitoestrogen (Murkies et al. 1998).


(24)

2.5. Fungsi Fitoestrogen

Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen di organ-organ, seperti prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis, dan menimbulkan efek estrogenik, walaupun efek fitoestrogen pada organ-orang tersebut memang kurang poten dibandingakan 17β estradiol, namun dengan kadar yang tinggi dan berulang dapat menimbulkan efek yang potensial. Hal ini disebabkan karena reseptor estrogen akan diduduki oleh fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah berikatan dengan reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas estrogenik yang relatif lemah (Tsourounis 2001). Dengan kata lain, fitoestrogen dapat menggantikan fungsi estrogen. Fungsi estrogen diantaranya adalah mempengaruhi ukuran uterus dan organ kelamin wanita. Ovarium, tuba fallopii, uterus dan vagina semuanya akan bertambah besar atas pengaruh estrogen. Pembesaran juga terjadi pada genitalia eksterna akibat meningkatnya deposisi lemak. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Pada tuba fallopii estrogen menyebabkan bertambah banyaknya sel silia yang membatasi tuba fallopii. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Selain itu, estrogen juga menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan duktus yang luas dan deposisi lemak pada payudara (Guyton & Hall 1997).

2.6. Metabolisme Fitoestrogen

Fitoestrogen yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu isoflavon, lignan, dan coumestan masing-masing memiliki metabolisme tersendiri. Isoflavon memiliki dua glikosida utama yaitu: genestein dan daidzein yang terdapat dalam bentuk tak terkonjugasi (aglikon) yang didapatkan setelah proses hidrolisis dan bentuk terkonjugasi (beta glokosida) (Rishi 2002). Aktifitas biologis tiap-tiap glikosida ini tidak banyak diketahui, namun aktifitasnya tidak seperti estrogen aktif. Glikosida dihidrolisis menjadi bentuk aglikon (genestein dan daidzein) yang bersifat estrogen aktif akibat metabolisme


(25)

mikroflora intestinum. Glikosida lain yang juga terdapat pada isoflavon (jumlahnya tidak signifikan) adalah Biochanin A dan Fermononetin (Ososki & Kennelly 2003). Baik Biochanin A maupun Fermononentin akan dihidrolisis oleh mikroflora intestinum menjadi genestein dan daidzein (aglikon). Genistein dimetabolisme lebih lanjut di usus menjadi bentuk senyawa inaktif p-etilfenol, sedangkan daidzein diubah menjadi equol, dihidrodaidzein, dan O-desmetilangolensin. Selanjutnya isoflavon akan diabsorpsi oleh usus, kemudian akan masuk ke pembuluh darah. Isoflavon akan mengalami metabolisme lebih lanjut berupa konjugasi aglikon dengan asam glukoronik dan asam sulfur (dalam jumlah sedikit) di hati. Senyawa isoflavon kemudian akan diekskresikan melalui urin (Rishi 2002). Gambaran keseluruhan proses ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Absorpsi, metabolisme dan ekskresi isoflavon (Rishi 2002).

glicitin daidzein glicitin genestein Hidrolisis oleh bakteri intestinum daidzein genestein formonontein Biochanin A Hidrolisis oleh bakteri intestinum glukosa Demethylation Dehydroxylation Reduction Ring clevage Metabolisme genestein: p-ethylphenol Metabolisme daidzein: Equol Dihydrodaidzein O-desmethylangolensin absorpsi

Konjugasi di hati Sirkulasi enterohepatik


(26)

Pada kelompok lignan, fitoestrogen akan diabsorbsi sebagai metabolit prekursor dalam bentuk secoisolariciresinol dan matairesinol yang terdapat pada lapisan aleuronik yang letaknya dekat dengan lapisan fiber pada biji. Kedua prekursor ini akan berubah bentuk menjadi bentuk difenol yaitu enterodiol dan enterolacton setelah mengalami proses fermentasi oleh mikroflora di kolon. Enterodiol dan enterolacton memiliki struktur yang mirip dengan estradiol. Senyawa ini akan diekskresikan melalui urin setelah mengalami proses absorbsi sebelumnya (Rishi 2002). Senyawa coumestan akan mengalami proses metabolisme di hati menjadi senyawa yang lebih aktif melalui proses demetilasi. Senyawa ini juga akan didegradasi menjadi senyawa yang bersifat asam sederhana dan fenil (Kaushik-Basu et al. 2008).

2.7. Biologi Umum Tikus Putih

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai percobaan penelitian dan kedokteran (Sulaksono et al. 1986). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), hewan percobaan ialah setiap hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Hewan percobaan harus memenuhi persyaratan genetik atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai yang dikehendaki (Subahagio et al. 1997).

Tikus putih merupakan salah satu hewan percobaan yang paling banyak digunakan dalam penelitian. Berikut adalah klasifikasi taksonomi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Suckow et al.(2006):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Family : Muridae


(27)

Subfamiliy : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih atau tikus laboratorium merupakan hewan yang semarga dengan tikus liar. Nama ilmiah tikus laboratorium ialah Rattus norvegicus, sedangkan nama ilmiah tikus liar adalah Rattus rattus. Secara umum, tikus laboratorium (Rattus norvegicus) termasuk ke dalam tikus yang memiliki ukuran tubuh medium, memiliki rambut yang tidak terlalu banyak dan memiliki ekor bersisik yang panjangnya lebih pendek dibandingkan panjang badannya. Rambut hewan ini sedikit kasar dan berwarna abu-abu di bagian dorsal serta berwarna putih kekuningan di bagian ventral (Schwartz & Reeder 2001). Tikus ini memiliki moncong yang panjang, memiliki mata yang kecil, telinga dan ekor yang tak berambut. Tikus ini memiliki 4 jari yang berkuku dan ukurannya tidak terlalu besar (Verts & Carraway 1998).

Menurut Malole dan Pramono (1989), terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague Dawley, Wistar dan galur Long Evans. Tikus galur Sprague Dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long Evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki temperamen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague Dawley adalah 10.5 gram. Berat badan dewasa adalah 250-300 gram untuk betina, dan 450-520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

Tingkah laku tikus sangat dipengaruhi oleh ukuran dan tipe kandang serta kondisi lingkungan sekitar. Tikus mempunyai kebiasaan berlari, berdiri dengan kedua kaki belakang, melompat serta memanjat. Tikus jantan lebih agresif dibandingkan tikus betina serta dapat menggigit untuk


(28)

mempertahankan diri dari serangan musuh. Tikus juga dapat memakan segala macam makanan (omnivora) dan beraktivitas pada malam hari (nokturnal) serta melakukan perkawinan sepanjang tahun (Wagner & Harkness 1989). Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998), tikus dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik melalui pemberian pakan standar komersial yang mengandung setidaknya 20-25% protein dan 4% lemak. Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal tubuh tikus.

Tikus memasuki masa pubertas pada 50-60 hari setelah kelahiran. Usia pubertas pada hewan betina ditandai dengan pembukaan liang vagina (vaginal opening) dan pada hewan jantan ditandai dengan adanya penurunan testis dari abdominal ke skrotum (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Tikus memasuki usia dewasa kelamin dan siap untuk dikawinkan pada usia 65-110 hari. Tikus betina memiliki masa produktifitas reproduksi antara 2.5-3 tahun dengan bobot badan antara 250-300 gram, sedangkan tikus jantan masa produktifitasnya antara 2.5-3.5 tahun dengan bobot badan 450-520 gram. Tikus merupakan hewan poliestrus yang memiliki siklus estrus yang lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus estrus tikus pendek yaitu 4-5 hari dengan lama estrus 9-12 jam. Tikus betina yang sedang estrus memiliki sifat yang lebih agresif dan cenderung ingin kawin. Perkawinan antara tikus yang terjadi dalam waktu 24 jam dapat diketahui dengan melakukan ulas vagina dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan adanya sekresi cairan dari vagina dan adanya spermatozoa dalam usapan vagina tersebut (Malole & Pramono 1989). Masa kebuntingan tikus berkisar antara 21-23 hari dengan jumlah anak pada setiap kelahiran 6-12 ekor anak (Hrapkiewicz & Medina 1998).

Anak tikus yang baru lahir memiliki bobot antara 5-6 gram. Anak tikus yang baru dilahirkan memiliki penampilan tanpa rambut, buta, kaki yang belum berkembang, ekor yang pendek serta lubang telinga masih tertutup. Anak tikus mulai memiliki rambut pada usia 7-10 hari, mata terbuka antara 7-14 hari, dan telinga terbuka antara usia 2.5-3.5 hari (Fox


(29)

2002). Penentuan jenis kelamin anak tikus dilakukan melalui perbandingan celah anogenital dan ukuran tonjolan genital. Celah anogenital didapat dengan melakukan pengukuran jarak antara alat genital dengan anus. Celah anogenital yang lebih panjang dan tonjolan genital yang lebih besar merupakan ciri tikus jantan (Gambar 4). Menurut Fox (2002), anak tikus mulai memakan makanan padat pada usia 2 minggu. Usia penyapihan tikus biasanya 21 hari.

Gambar 4 Celah anogenital anak jantan (kiri) dan betina (kanan) usia 2 minggu (A) dan 6 minggu (B) (Suckow et al. 2006).

2.8. Reproduksi Tikus Jantan

Sistem reproduksi jantan terdiri atas banyak organ-organ individual yang bekerja sama memproduksi spermatozoa dan menyampaikannya ke traktus reproduksi betina. Pada tikus jantan, organ reproduksi meliputi testis, epididimis, duktus deferent, kelenjar aksesoris (ampula, vesica semininalis, prostat, dan bulbouretralis), penis, skrotum, dan preputium (Gambar 5). Organ reproduksi ini memiliki peran masing-masing dalam menjalankan fungsinya sebagai organ reproduksi. Testis berfungsi memproduksi spermatozoa dan hormon testosteron. Epididimis (caput, corpus dan cauda) berperan sebagai tempat pematangan sperma, kapasitasi, dan penyimpanan sperma yang sudah matang. Duktus deferent berfungsi menyalurkan spermatozoa ke uretra. Kelenjar aksesoris menghasilkan semen yang berfungsi memberi makan spermatozoa dan menetralisir keasaman vagina. Penis berfungsi sebagai organ kopulasi, mengantar semen


(30)

masuk ke organ reproduksi betina. Skrotum melapisi testis, dan preputium melapisi penis (Cunningham 1997).

Gambar 5 Struktur anatomi alat reproduksi jantan (Moore 2000).

Testis adalah organ utama dalam sistem reproduksi jantan. Testis terletak di dalam sebuah kantung yang dinamakan skrotum dan menggantung di bawah tubuh hewan. Testis bertanggung jawab atas steroidogenesis, terutama androgens, dan juga pengadaan sel-sel germinal haploid melalui spermatogenesis. Kedua fungsi ini terjadi pada sel-sel Leydig dan pada tubuli semeniferi (Cunningham 1997). Tubuli semeniferi adalah tempat spermatozoa dibentuk. Proses pembentukan spermatozoa ini dikenal dengan spermatogenesis. Dalam proses spermatogenesis terdapat dua tahapan, yaitu: spermatositogenesis (spermatogenium, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid awal, spermatid akhir) dan spermoigenesis (perubahan struktural spermatid menjadi spermatozoa). Proses spermatositogenesis ini pada hewan jantan mulai terjadi beberapa saat sebelum masa pubertas dimana sel benih primordial berkembang menjadi spermatogonia yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer. Setelah terjadinya penggandaan DNA, spermatosit primer mulai memasuki tahap profase pembelahan miosis pertama. Spermatosit primer berkembang menjadi dua spermatosit sekunder, dan mulai memasuki tahap pembelahan meiosis kedua dan akan dihasilkan empat spermatid yang bersifat haploid (Ganong 1995). Pada tahapan spermiogenesis terjadi perubahan struktural spermatid menjadi spermatozoa.


(31)

Perubahan utama meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor sperma dan perkembangan tudung akrosom. Setelah terbentuk sempurna, spermatozoa memasuki rongga tubuli seminiferi dan selanjutnya masuk ke cauda epididimis. Pada tikus jantan, sperma mulai ada di cauda epididimis pada usia 45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari (Fox 2002).

Selain menghasilkan sperma, testis juga berfungsi menghasilkan hormon testosteron. Peranan dan hadirnya hormon ini di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa hormon lain, yaitu hormon GnRH, FSH, dan LH. Pada hewan jantan, gonadotrophin releasing hormone (GnRH) disekresikan dari hipothalamus untuk menstimulasi pelepasan lutenising hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari pituitari anterior. LH and FSH mengatur aktivitas testis. LH merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron dan FSH akan menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. FSH dan testosteron merangsang sel-sel spermatogenik untuk melakukan meiosis dan berdiferensiasi menjadi sperma (Hernawati 2007). Pada masa pubertas kinerja hormon ini terutama testosteron semakin meningkat. Kurangnya kadar testosteron dapat menyebabkan berbagai macam gangguan reproduksi jantan, seperti kriptorchid, hipospadia, pseudohermafroditsme (Heffner & Schust 2008), dan gangguan kesuburan (Martono & Joewana 2006).

2.9. Homon-Hormon yang Berperan pada Masa Bunting dan Laktasi

Hormon adalah agen kimia yang disekresikan oleh sel endokrin langsung ke dalam aliran darah dan ditransportasikan pada target (Cunningham 1997). Hormon-hormon yang mempengaruhi kebuntingan dan berperan setelah postpartus adalah estrogen, progesteron, relaxin, oxitosin, dan prolaktin. Estrogen berpengaruh pada masa kebuntingan terutama saat proses organogenesis. Peran estrogen pada saat kebuntingan adalah ikut membantu dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi. Uterus akan mengalami hiperplasi dan hipertropi akibat estrogen dengan tujuan mempersiapkan kebuntingan. Estrogen bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah buluh darah ke uterus. Hal ini bertujuan memperlancar


(32)

aliran darah ke uterus. Estrogen juga memegang peranan penting terhadap perkembangan fetus selama kebuntingan (Sherwood 2001).

Proses diferensiasi organ reproduksi fetus selama di kandungan juga dipengaruhi oleh adanya paparan agen estrogenik. Paparan yang berlebihan pada fetus jantan dapat menyebabkan kegagalan diferensiasi sex, menyebabkan komplikasi lain seperti epididymal cyst, meatal stenosis, hypospadia, cryptorchidsm dan microphallus (Vicenzo et al. 2005). Frekuensi dari terjadinya abnormalitas sangat tergantung pada kadar dan waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang mendapat paparan estrogen pada periode akhir kebuntingan memiliki risiko lebih rendah terjadinya abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat paparan pada awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Kadar paparan estrogenik yang tinggi selama kebuntingan dapat menekan perkembangan saluran tikus jantan sehingga kinerja reproduksinya kurang maksimal (Santii et al. 1998). Selain itu, paparan estrogen yang tinggi pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten, hemoragi folikel ovarium, dan premature vaginal opening (Hughes et al. 2004).

Hormon progesteron memiliki fungsi memelihara kebuntingan, menghambat kontraksi uterus, membentuk kelenjar endometrium, dan pemicu pertumbuhan alveolar pada kelenjar susu. Hormon prolaktin berperan merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan hormon oksitosin merangsang pengeluran air susu. Hormon relaxin berperan sebagai relaksasi ligament pelvis (Isnaeni 2006). Hormon-hormon ini sangat dibutuhkan oleh induk yang bunting sampai menyusui.


(33)

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan April sampai dengan November 2011.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus berpenutup kawat kasa, timbangan Triple Beam Balance, gelas objek, cover glass, cotton bud, mikroskop, syringe 24 G, spoid 1 ml, sonde lambung, penggaris, kamar hitung Neubauer, hand tally counter, cawan porselin, pipet leukosit, tabung reaksi, tabung eppendorf, mesin sentrifuse, pipet, freezer, timbangan analitik, kertas saring, peralatan bedah (alas, pisau, pinset, gunting), tisu, dan kertas label. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah susu kedelai fermentasi, larutan NaCl fisiologis (0,9%), akuades, larutan eter, dan kit testosteron.

3.3. Persiapan Penelitian 3.3.1. Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley betina berusia 16 minggu pada awal penelitian dan tikus jantan berusia 16 minggu untuk mengawini betina. Selama penelitian tikus dipelihara di Fasilitas Hewan Coba, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Kandang yang digunakan dalam penelitian berbahan dasar plastik, berukuran 30 x 20 x 12 cm, berpenutup kawat kasa pada bagian atasnya, dan diberi alas sekam yang diganti secara periodik. Pakan dan air minum tikus diberikan ad libitum.

Tikus bunting didapatkan dengan perkawinan yang dilakukan secara alamiah dengan mencampurkan tikus jantan dan betina dalam satu kandang dengan perbandingan 1:2. Setiap pagi masing-masing dari tikus betina


(34)

tersebut dilakukan ulas vagina untuk mendeteksi adanya perkawinan. Indikator terjadi perkawinan adalah ditemukannya sperma pada preparat ulas vagina. Bila pada preparat ulas vagina yang diamati tersebut ditemukan sperma, pada umumnya tikus betina dinyatakan bunting (H1). Tikus betina yang telah dinyatakan bunting dikandangkan secara individu.

3.3.2. Fitoestrogen

Fitoestrogen yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari olahan kacang kedelai yaitu susu kedelai yang telah difermentasi menggunakan Lactobacilus plantarum dan didapat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Setiap 100 gram susu kedelai fermentasi mengandung kadar isoflavon sebanyak 70.61 mg yang terdiri dari 66.81 mg daidzein dan 3.80 mg genestein (hasil analisis Laboratorium Pengujian-Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian-Kementrian Pertanian).

3.4. Metode Penelitian

3.4.1. Pengelompokan Hewan Coba

Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam empat kelompok percobaan yang masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor tikus betina. Kelompok-kelompok tersebut terdiri dari:

1. Kelompok K yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui atau sebagai kontrol.

2. Kelompok A yang diberi susu kedelai fermentasi pada usia awal kebuntingan (H2-H11).

3. Kelompok B yang diberi susu kedelai fermentasi pada akhir kebuntingan sampai dengan partus (H12-H21).

4. Kelompok C yang diberi susu kedelai fermentasi pada masa laktasi (P2-P11).

Pemberian susu kedelai fermentasi dilakukan secara peroral dengan dosis sebanyak 4.99 gr/kg BB/hari dalam volume 4 ml dan dilakukan setiap sore hari. Tikus-tikus tersebut dibiarkan tidak terusik sampai proses


(35)

melahirkan secara alami. Anak tikus tersebut dibiarkan menyusu pada induknya sampai usia 21 hari. Anak tikus yang dilahirkan inilah merupakan subjek penelitian.

3.4.2. Pelaksanaan

Tikus-tikus betina dihitung lama kebuntingannya dan dibiarkan melahirkan secara alami. Pada hari pertama kelahiran dilakukan penghitungan jumlah anak sekelahiran. Penghitungan rataan bobot badan anak dilakukan pada hari kedua setelah kelahiran. Pengamatan jarak celah anogenital dilakukan untuk menentukan jenis kelamin tikus. Tikus betina memiliki jarak celah anogenital yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus jantan (Suckow et al. 2006). Setelah diketahui jenis kelamin anak, anak yang berjenis kelamin jantan diambil sebagai objek penelitian. Anak tikus jantan yang telah berusia 15 dan 21 hari dari masing-masing kelompok dilakukan pengukuran celah anogenital. Anak tikus jantan dipisahkan dengan induk pada hari ke-28 dan dikandangkan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Pada usia 28 hari (prapubertas) dan usia 42 hari (menjelang pubertas) satu anak tikus jantan dari setiap kelompok perlakuan dinekropsi untuk diambil data tampilan reproduksi. Data yang diambil berupa bobot badan, bobot organ reproduksi (testis), dan jumlah sperma. Selain itu, sampel darah juga diambil untuk menentukan kadar hormon hewan jantan (testosteron). Segera setelah pembiusan dengan menggunakan eter, sebanyak 1 ml darah diambil dari jantung dengan menggunakan jarum suntik tuberculin. Darah ditempatkan dalam tabung darah dan dibiarkan selama kira-kira 1 jam, disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit. Serum yang terbentuk dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan disimpan di dalam freezer sampai pengujian. Diagram bagan penelitian disajikan pada Gambar 6.


(36)

3.5. Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya

Kinerja Induk 1. Lama Kebuntingan

Lama kebuntingan didapatkan dengan cara menghitung masa kebuntingan induk dari hari pertama sampai dengan partus.

2. Jumlah Anak Sekelahiran dan Rataan Bobot Badan Lahir Anak

Jumlah anak sekelahiran dihitung melalui jumlah total anak pada hari pertama kelahiran setiap induk. Rataan bobot lahir anak diperoleh pada saat anak berusia dua hari. Data ini didapat dengan cara menimbang bobot badan total seluruh anak dari setiap induk dan dibagi dengan jumlah anak.

Kinerja Reproduksi Anak Jantan

1. Jarak Celah anogenital Usia 15 dan 21 Hari

Celah anogenital pada anak didapatkan dengan mengukur jarak celah yang dibentuk oleh anus dan alat genital menggunakan penggaris. Data didapat dalam skala centimeter.

2. Bobot Badan Anak Usia 28 dan 42 Hari

Bobot badan anak masing-masing diukur dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan gram.

3. Bobot Testis dan Jumlah Sperma Usia 28 dan 42 Hari

Bobot testis diukur dengan menggunakan timbangan analitik yang merupakan bobot basah organ. Organ testis didapatkan melalui euthanasia tikus percobaan menggunakan larutan eter dan pembedahan. Bobot yang didapat dinyatakan dalam satuan gram. Jumlah sperma didapat dengan mengencerkan semen yang ada pada cauda epididimis dengan larutan NaCl fisiologis hangat. Kemudian cairan ini dihisap dengan menggunakan pipet leukosit sampai dengan angka 11 dan dibuang beberapa tetes lalu diletakkan pada kamar hitung Neubauer guna dihitung jumlah sperma yang ada. Sperma dihitung dengan menggunakan hand tally counter. Hasil penghitungan kemudian dikalikan dengan 50.


(37)

4. Kadar Hormon Testosteron

Kadar hormon testosteron diukur pada anak jantan usia 28 hari dan 42 hari. Pengukuran kadar testosteron ini dilakukan dengan menggunakan teknik RIA memakai kit komersial. Konsentrasi hormon testosteron yang terkandung dalam serum akan dibaca dengan menggunakan gamma counter. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan ng/ml.

3.6. Analisis Statistik

Hasil parameter yang telah diukur dinyatakan dalam rataan ± simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika melalui analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap, dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05) (Steel & Torrie 1991).

Kelompok A Kelompok B Kelompok C

Keterangan: : Pemberian susu kedelai fermentasi pada induk.

Gambar 6 Diagram bagan penelitian Partus Anak Tikus Jantan

Induk

Tikus Betina Tikus Jantan

Tikus Betina Bunting

1 2 1112 2 11 15 21 28 42 (hari)

Jumlah anak lahir

BB

Anak Celah Anogenital

Sampling : a. BB anak b. Bobot Testis c. Kadar

Testosteron d. Jumlah


(38)

4.1. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja Induk Parameter yang digunakan untuk mengamati pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak yang meliputi jumlah anak sekelahiran dan rataan bobot badan lahir. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Rataan (±SD) lama kebuntingan, jumlah anak sekelahiran dan

rataan bobot badan lahir anak Parameter

Kelompok

P

K A B C

Lama Kebuntingan

(hari) 21.0±0.00 21.0±0.00 21.00±0.00 21.00±0.00 tn

Jumlah Anak Sekelahiran

(ekor) 7.7±1.2 10.0±1.0 6.3±2.5 7.7±1.2 tn

Rataan BB Lahir Anak

(gram) 5.66±0.79 5.72±0.31 6.59±0.74 6.00±1.19 tn

Keterangan:

K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat akhir kebuntingan (usia 12-21 hari), dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat laktasi (usia 2-11 hari); tn=tidak nyata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian susu kedelai fermentasi yang mengandung fitoestrogen tidak memiliki pengaruh terhadap lamanya kebuntingan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana setiap kelompok baik yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan tidak memiliki perbedaan yang nyata atau memiliki lama kebuntingan yang sama. Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998), masa kebuntingan normal tikus berkisar 21-23 hari. Lama kebuntingan dipengaruhi oleh faktor induk, fetus, genetik dan lingkungan. Induk yang berumur muda akan memiliki masa kebuntingan yang lebih cepat dibandingkan dengan yang berumur tua.


(39)

Jumlah fetus yang banyak juga akan membuat kelahiran fetus semakin cepat (Hafez & Hafez 2000). Selain itu, genetik dan lingkungan juga akan mempengaruhi lamanya kebuntingan. Lingkungan yang memiliki temperatur yang hangat akan membuat waktu kelahiran semakin cepat (Noakes et al. 2005).

Pemberian fitoestrogen juga tidak mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan dan bobot anak sekelahiran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana kelompok yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan tidak berbeda nyata. Seluruh kelompok memiliki jumlah anak dan bobot sekelahiran dalam rentang yang normal. Jumlah anak tikus yang dilahirkan setiap kelahiran biasanya 6-12 ekor anak (Hrapkiewcz & Medina 1998) dengan bobot badan antara 5-6 gram (Fox 2002). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot badan lahir anak diantaranya adalah ras, bobot induk, jenis kelamin, cuaca dan iklim, dan nutrisi induk (Noakes et al. 2005).

4.2. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan

Pengamatan pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja reproduksi anak jantan meliputi jarak celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma. Pengukuran celah anogenital dilakukan sebelum usia pubertas yaitu pada usia 15 dan 21 hari, sedangkan pengukuran bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma dilakukan pada usia 28 hari (sebelum pubertas) dan 42 hari (menjelang pubertas). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.


(40)

Tabel 6 Rataan (±SD) celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma

Keterangan:

K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat akhir kebuntingan (usia 12-21 hari), dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat laktasi (usia 2-11 hari); Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata (P<0.05); tn=tidak nyata.

Celah anogenital merupakan jarak antara alat genital dengan anus. Celah anogenital yang lebih panjang merupakan ciri dari tikus jantan. Data pada Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari celah anogenital yang diukur pada masing-masing kelompok baik usia 15 hari maupun 21 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa pemaparan

Parameter

Kelompok

P

K A B C

Celah Anogenital

15 hari (cm) 1.03±0.02 0.96±0.09 0.95±0.27 1.14±0.11 tn

Celah Anogenital

21 hari (cm) 1.44±0.24 1.15±0.14 1.22±0.51 1.24±0.27 tn

Usia 28 hari Bobot Badan

(gram) 29.98±2.57 24.40±4.28 34.03±10.51 30.10±11.39 tn

Bobot Testis

(gram) 0.20±0.01 0.17±0.04 0.21±0.11 0.20±0.08 tn

Kadar Testosteron

(ng/ml) 2.76±1.78 2.29±0.99 2.32±0.62 2.69±0.92 tn

Jumlah sperma (sel

sperma) 0 0 0 0 tn

Usia 42 hari Bobot Badan

(gram) 51.93±18.36 52.08±7.30 44.96±13.36 45.62±14.04 tn

Bobot Testis

(gram) 0.52a±0.04 0.38b±0.03 0.38b±0.10 0.39b±0.03 0.0359

Kadar Testosteron

(ng/ml) 3.10a±0.68 1.27b±0.51 0.91b±0.32 0.93b±0.22 0.0012

Jumlah Sperma (sel


(41)

fitoestrogen pada masa kebuntingan awal, akhir, maupun laktasi tidak mempengaruhi jarak celah anogenital. Namun demikian, bila dilihat lebih lanjut, jarak celah anogenital usia 21 hari pada kelompok yang mendapat perlakuan pemberian fitoestrogen terlihat lebih pendek dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga sebagai akibat pemberian fitoestrogen (nonsteroid bersifat estrogen like) yang berasal dari susu kedelai fermentasi. Pemberian senyawa nonsteroid yang bersifat estrogen seperti DES (diethylstilbesterol) dapat menyebabkan celah anogenital pada jantan menjadi lebih pendek (Shelby 2010). Pemberian fitoestrogen (genistein) selama kebuntingan dapat ditransfer dari induk ke fetus melalui plasenta (Doerge et al. 2001). Selain itu Lewis et al. (2003) juga menyebutkan bahwa fitoestrogen dapat ditransfer melalui air susu. Oleh sebab itu, hadirnya sejumlah fitoetrogen yang bersifat estrogen like pada anak inilah yang diduga dapat memperpendek celah anogeital pada anak jantan.

Bobot badan anak baik usia 28 dan 42 hari tidak memberikan nilai yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan, maupun laktasi tidak mempengaruhi bobot badan anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kang et al. (2002), dimana pemberian genestein dosis tinggi selama kebuntingan dan laktasi dengan dosis 0.4 dan 4 mg/kg BB/hari tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap bobot anak dan jenis kelamin anak.

Hasil pengamatan bobot testis dan kadar testosteron pada usia 28 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya fitoestrogen pada masa embrio, fetus, dan awal kelahiran tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 28 hari. Hal ini dikarenakan pada usia 28 hari tikus belum memasuki masa pubertas. Sebelum memasuki masa pubertas sekresi hormon steroid seks (testosteron) dalam jumlah yang sedikit sudah mempunyai efek penghambat yang kuat terhadap sekresi GnRH oleh hipothalamus (Guyton & Hall 1997). GnRH sendiri berfungsi menstimulasi pelepasan LH dan FSH. Adanya hambatan sekresi GnRH ini menyebabkan LH dan FSH tidak disekresikan, akibatnya


(42)

tidak ada rangsangan kepada sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron atau dengan kata lain pada masa sebelum pubertas sel-sel Leydig yang mensekresi testosteron dalam testis menjadi tenang (Ganong 1995). Oleh karena itulah, pemberian fitoestrogen tidak terlihat mempengaruhi kinerja reproduksi anak sebelum pubertas. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Kembara (2009), dimana pemberian tepung kedelai yang mengandung fitoestrogen pada induk bunting atau menyusui tidak memberikan pengaruh terhadap bobot testis anak usia 4 minggu.

Berbeda dengan usia 28 hari, pada usia 42 hari bobot testis dan kadar testosteron menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Tikus yang induknya diberi susu kedelai fermentasi menunjukkan bobot testis dan kadar hormon testosteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi perlakuan apapun. Hadirnya sejumlah fitoestrogen pada fetus atau anak yang bisa ditransfer dari induk melalui plasenta atau air susu memberikan pengaruh terhadap bobot testis dan kadar testosteron pada usia 42 hari, tetapi tidak pada usia 28 hari karena tikus belum memasuki usia pubertas sehingga hormon reproduksinya belum aktif. Pada usia 42 hari, tikus menjelang pubertas sehingga hormon-hormon reproduksinya diduga sudah mulai bekerja, sehingga hadirnya fitoestrogen menyebabkan fungsi testosteron terganggu, akibatnya perkembangan traktus reproduksi anak jantan (testis) pada usia ini juga terganggu.

Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang di dalamnya terdapat sel-sel Sertoli dan sel-sel-sel-sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferus. Penurunan bobot testis dan penurunan kadar testosteron yang ditunjukkan pada hasil pengamatan usia 42 hari dalam Tabel 6 diduga karena hadirnya fitoestrogen mengakibatkan terhambatnya perkembangan sel Leydig atau berkurangnya jumlah sel Leydig yang disebabkan oleh sekresi LH yang terhambat akibat efek antiandrogenik dari fitoestrogen. Penurunan jumlah sel Leydig ini akan menyebabkan penurunan bobot testis, karena sekitar 20% massa testis terdiri atas sel-sel Leydig (Guyton & Hall 1997). Penurunan jumlah sel Leydig juga akan menyebabkan kadar testosteron menurun, hal ini dikarenakan sel Leydig merupakan tempat terjadinya


(43)

proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron (Guyton & Hall 1997). Rendahnya kadar testosteron akan berpengaruh pada diameter tubulus seminiferus seperti yang telah dilakukan oleh Wahyuni (2012), dimana terjadi penurunan diamater tubulus seminiferus yang diduga karena kurangnya hormon testosteron akibat pemberian isoflavon yang menyebabkan atropi-atropi tubulus seminiferus. Adanya atropi-atropi tubulus seminiferi ini dapat menyebabkan penurunan bobot testis. Hal ini dikarenakan sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferus (Sherwood 2001).

Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Casanova et al. (1999) yang menyatakan bahwa efek pemberian atau pemaparan fitoestrogen (genestein) pada masa kebuntingan atau laktasi terhadap perkembangan reproduksi tikus (bobot testis) membuat perkembangan alat reproduksi menjadi terganggu sehingga bobot testis menjadi lebih rendah. Hal serupa juga diungkapkan oleh Astuti (2009) yang menyatakan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak pada dosis 4.5 mg/kg BB/hari dilaporkan menyebabkan perubahan pada bobot testis, berkurangnya volume lumen pada tubului seminiferi, dan terganggunya spermatogenesis. Penelitian lain pada tikus jantan Spraguey Dawley juga menyebutkan bahwa pemberian diet kaya fitoestrogen dalam jangka pendek dapat menurunkan kadar testosteron dan androgen, serta penurunan bobot prostat secara signifikan (Karahalil 2006). Hal ini juga dibuktikan oleh Wahyuni (2012), dimana hasil penelitiannya menyebutkan adanya penurunan bobot testis dan kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon.

Terjadinya penurunan kadar hormon testosteron disebabkan oleh isoflavon yang bersifat estrogen like dan juga bersifat antiandrogenik. Isoflavon mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen yaitu Erα dan Erβ tersebar diseluruh tubuh termasuk kelenjar pituitary dan hipothalamus (Shupnik et al. 1998). Hadirnya isoflavon yang sifatnya mirip dengan estrogen ini akan berikatan dengan reseptor estrogen yang ada pada hipofise anterior dan hipothalmus. Efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen


(44)

di hipofise anterior diduga menghambat sekresi FSH dan LH. Begitu juga dengan efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen yang ada di hipothalamus, diduga menyebabkan sekresi GnRH menjadi lebih sedikit, akibatnya pelepasan FSH dan LH yang dirangsang oleh GnRH menjadi sedikit. Jika sekresi LH terhambat atau sedikit, maka pertumbuhan dan pematangan sel Leydig serta kemungkinan jumlah sel Leydig berkurang sehingga hormon testosteron akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sel Leydig merupakan tempat terjadinya proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron (Guyton & Hall 1997).

Pemberian fitoestrogen pada masa kebuntingan atau laktasi tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah sperma baik pada usia 28 hari maupun 42 hari. Hal ini dikarenakan tikus belum memasuki usia pubertas atau dewasa kelamin. Tikus yang belum memasuki masa pubertas akan menghasilkan hormon FSH yang rendah akibat sekresi GnRH yang tidak cukup. Keadaan ini akan membuat sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis juga akan rendah, akibatnya jumlah sperma tidak ditemukan pada usia sebelum pubertas. Proses pembentukan sperma atau spermatogenesis dipengaruhi oleh beberapa hormon diantaranya: hormon testosteron yang penting bagi pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma, hormon lutein yang merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron, hormon perangsang folikel yang penting dalam proses spermiogenesis (pengubahan spermatid menjadi sperma), dan hormon pertumbuhan yang secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sehingga spermatogenesis pun meningkat (Guyton & Hall 1997).

Menurut Fox (2002), sperma mulai ada di cauda epididimis pada usia 45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari. Pada usia 75 hari, tikus jantan telah mengalami dewasa kelamin, sehingga alat reproduksinya telah bekerja secara optimal termasuk testis. Testis yang merupakan organ utama dalam sistem reproduksi jantan pada usia dewasa kelamin telah mampu menghasilkan sperma dan mampu mengawini betina (Cunningham 1997).


(45)

5.1. Simpulan

Pemberian susu kedelai fermentasi sebanyak 4.99 gr/kg BB/hari pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan atau laktasi memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 42 hari berupa penurunan bobot testis dan kadar testosteron.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini, yaitu:

1. Perlu adanya jumlah ulangan yang lebih banyak agar didapatkan standar deviasi yang lebih kecil.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan dosis yang bertingkat untuk melihat seberapa besar dosis yang benar-benar dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak jantan.

3. Perlu dilakukan pengamatan lanjutan sampai anak usia dewasa kelamin dan mampu mengawini betina sehingga dapat diketahui secara pasti pengaruh pemberian fitoestrogen terhadap kinerja reproduksi anak jantan.


(46)

http://www.kesrepro.info/?q=node/32 [8 November 2011]. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.

Astuti S. 2009. Kualitas spermatozoa tikus jantan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon. Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Budirmawanti C. 2004. Komposisi dan nutrisi pada susu kedelai. [terhubung berkala]. http://www.indomedia.com/intisari/diet html [27 Februari 2012]. Casanova et al. 1999. Developmental effects of dietary phytoestrogens in

Sprague–Dawley rats and interactions of genistein and daidzein with rat estrogen receptors alpha and beta in vitro. Toxicol Sci 51:236–244.

Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology 2nd. Philadelphia: WB Saunders.

Doerge DR, Churchwell MI, Chang HC, Newbold RR, Delclos KB. 2001. Placental transfer of the soy isoflavone genistein following dietary and gavage administration to Sprague Dawley rats. Reproductive Toxicol 15:105–110.

Efendi. 2008. Manfaat mengkonsumsi susu kedelai. [terhubung berkala]. http://efendi.blogspot.com/2008/01/manfaat mengkonsumsi susu kedelai.html [27 Februari 2012].

Fox JG. 2002. Laboratory Animal Medicine 2nd. New York: Academic pr.

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Andrianto P, penerjemah; Oswari J, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology 9th Ed.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction Farm Animal 7th Ed. USA: Williams & Wilkins.

Heffner LJ, Schust DJ. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi Ed ke-2. Di dalam: Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga.


(47)

Hernawati. 2007. Perbaikan kinerja reproduksi akibat pemberian isoflavon dari

tanaman kedelai. [terhubung berkala].

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._ BIOLOGI/1970 03311997022-HERNAWATI/FILE_12.pdf [9 November 2011].

Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Clinical Laboratory Animal Medicine: An Introduction. State Avenue: Iowa State University Pr.

Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, Davise V. 2004. Effect of genistein or soy milk during late gestation and lactation on adult uterine organization in the rat. Exp Biol Med 229:108-117.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Kang KS, Che JH, Lee YS. 2002. Lack of adverse effect in the F1 offspring maternally exposed to genestein at human intake dose level. Food Chem Toxicol 40:43-51.

Karahalil B. 2006. Benefits and risk of Phytoestrogens. Di dalam: Yildiz F, editor. Phytoestrogen in functional foods. Florida: CRC Pr. hlm 33-210. Kaushik-Basu et al. 2008. Identification and characterization of coumestans as

novel HCV NS5B polymerase inhibitors. Nucleic Acids Res 36(5):1482-1496.

Kembara KD. 2009. Efektifitas pemberian tepung kedelai pada tikus putih bunting atau menyusui terhadap pertumbuhan dan bobot testis anak [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Lampe JW. 2003. Isoflavonoid and lignan phytoestrogens as dietary biomarkers. The American Society for Nutritional Sciences J Nutr. 133:956-964. Lewis et al. 2003. The effects of the phytoestrogen genistein on the postnatal

development in the rat. Toxicol Sci 71:74-83.

Malole MB, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universtitas Bioteknologi IPB. Hal. 104-112.

Martono LH, Joewana S. 2006. 16 Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis Masyarakat. Jakarta: Balai Pustaka.

Moore DM. 2000. Laboratory Animal Medicine and Science Series II. USA: University of Washington.

Murkies AL, Wilcox G, Davis SR. 1998. Phytoestrogens. J Clin Endocrinol Metabolism 2:297-303.


(48)

Newbold RR, Banks EP, Jefferson WN. 2001. Cancer. Cancer Res 61:4325-4328. Noakes D, Parkinson T, Englan G. 2005. Arthurs Veterinary Reproduction and

Obstetrics 8thEd. Philadelphia: Elsevier saundres.

Ososki AL, Kennelly EJ. 2003. Phytoestrogens: a review of the present state of research. Phytother. Res 17:845-869.

Pawiroharsono S. 2001. Prospek dan manfaat isoflavon untuk kesehatan. [terhubung berkala]. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/pus-2.htm [22 April 2011].

Rishi RK. 2002. Phytoestrogens in health and illnes. Indian J Pharmacology 34:311-320.

Rizki. 2010. Fitoestrogen untuk kesehatan. [terhubung berkala]. http://rizkigibug.blogspot.com/2010/fitoestrogen untuk kesehatan.html [27 Februari 2012].

Santii R, Makela S, Straus L, Korkman J, Kostian ML. 1998. Phytoestrogen: potential endocrine disruptors in males. Toxicol Ind Health 14:223-237. Schwartz CW, Reeder E. 2001. The Wild Mammals of Missouri I. Columbia:

University of Missouri Pr.

Sheehan DM. 1998. Herbal medicines, phytoestrogens and toxicity; risk and benefit considerations. Proc Soc Exp Biol Med 217:379-385.

Shelby M. 2010. Potential Human Reproductive and Development Effects of Bisphenol A. United State: Diane Publishing.

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Brahm, penerjemah; Santoso BI, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Human Physiology: from cells to systems.

Shupnik et al. 1998. Selective expression of estrogen receptor alpha and beta isoforms in human pituitary tumors. J Clin Endocrinol Metabolism 83:3965-3972.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Australia: International Development Program of Australia Universities and Collage.

Staar S, Richter DU, Makovitzky J, Briese V, Bergemann C. 2005. Stimulation of endometrial glandular cells with genistein and daidzein and their effects on ER·- and ER‚-mRNA and protein expresion. Anticancer Res 25:1713-1718.


(49)

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia.

Subahagio, Rahman I, Sani I, Sutardji, Sulaksono ME. 1997. Pengaruh faktor keturuan dan lingkungan terhadap sifat biologis yang terlihat pada hewan percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. VII. I.

Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. California: Elseiver Inc.

Sulaksono ME, Pudjoprajitno, Yuwono SS, Patra K. 1986. Keadaan dan Masalah Hewan Percobaan di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan. 14.3

Thompson LU, Boucher BA, Liu Z, Cotterchio M, Kreiger N. 2006. Phytoestrogen content of food consumed in Canada, including isoflavon, lignan, and coumestan. Nutrition and Cancer 54(2):184-201.

Tsourounis C. 2001. Clinical effects of phytoestrogens. Clin Obstet Genycol 44:836-842.

Uransyah MP. 2011. Susu kedelai. [terhubung berkala].

http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbppbinuang/index.php?option=com_cont ent&task=view&id=95&Itemid=1 [27 Februari 2012].

Verts BJ, Carraway LN. 1998. Land Mammals of Oregon. Canada: University California Pr.

Vicenzo R, Bruno M, Matteo F, Elena V, Cesare C. 2005. Estrogen and male

reproduction. [terhubung berkala].

http://www.endotext.org/male/male17/male17.html [7 November 2011]. Whitten PL, Naftolin F. 1992. Effects of a phytoestrogen diet on estrogen

dependent reproductive processes in immature female rats. Steroids

57:56–61.

Whitten PL, Patisaul HB. 2001. Cross-species and interassay comparisons of phytoestrogen action. Environmental Health Perspectives 109:5-20. Wagner JE, Harkness JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and

Rodents. Philadelphia: Lea and Febiger.

Wahyuni RS. 2012. Pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron berat testis diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas.


(50)

1.1. Latar belakang

Konsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai semakin banyak digemari oleh masyarakat. Susu kedelai selain memiliki rasa yang enak juga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Hasil-hasil penelitian di berbagai bidang kesehatan telah membuktikan bahwa mengonsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai mampu menurunkan risiko terkena penyakit degeneratif. Ini disebabkan adanya senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai ataupun produk olahan kedelai. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam makanan (Rishi 2002). Penelitian mengenai manfaat senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai telah dibuktikan para ahli antara lain berkhasiat dalam menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan kekebalan tubuh, menghambat pertumbuhan kanker payudara, prostat, usus, mencegah osteoporosis, dan menghambat pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen 2003). Selain itu juga, fitoestrogen diketahui memiliki manfaat sebagai anti inflamasi, anti alergi, dan berperan pada kesehatan jantung (Pawiroharsono 2001).

Fitoestrogen mempunyai struktur kimia menyerupai estrogen, sehingga membuat fitoestrogen juga berpengaruh pada organ-organ reproduksi dengan cara menduduki reseptor estrogen. Hal ini tentu memberikan dampak yang positif dan dampak yang negatif. Mengonsumsi susu kedelai yang mengandung fitoestrogen memiliki beberapa dampak positif seperti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, beberapa penelitian menyebutkan mengonsumsi fitoestrogen terlalu banyak mempunyai efek buruk pada jantan yaitu mengurangi kualitas sperma, menyebabkan testis tidak turun (Sheehan 1998), terbentuknya kista di testis, lesio di testis, dan terhambatnya perkembangan vesika seminalis (Santii et al. 1998). Penelitian Whitten dan Naftolin (1992) juga menunjukan


(1)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Pemberian susu kedelai fermentasi sebanyak 4.99 gr/kg BB/hari pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan atau laktasi memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 42 hari berupa penurunan bobot testis dan kadar testosteron.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini, yaitu:

1. Perlu adanya jumlah ulangan yang lebih banyak agar didapatkan standar deviasi yang lebih kecil.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan dosis yang bertingkat untuk melihat seberapa besar dosis yang benar-benar dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak jantan.

3. Perlu dilakukan pengamatan lanjutan sampai anak usia dewasa kelamin dan mampu mengawini betina sehingga dapat diketahui secara pasti pengaruh pemberian fitoestrogen terhadap kinerja reproduksi anak jantan.


(2)

PEMBERIAN SUSU KEDELAI FERMENTASI PADA TIKUS

PUTIH (

Rattus norvegicus

) BUNTING ATAU MENYUSUI

TERHADAP KINERJA REPRODUKSI ANAK JANTAN

OKTIPA SARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat CM. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. [terhubung berkala]. http://www.kesrepro.info/?q=node/32 [8 November 2011].

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.

Astuti S. 2009. Kualitas spermatozoa tikus jantan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon. Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Budirmawanti C. 2004. Komposisi dan nutrisi pada susu kedelai. [terhubung berkala]. http://www.indomedia.com/intisari/diet html [27 Februari 2012]. Casanova et al. 1999. Developmental effects of dietary phytoestrogens in

Sprague–Dawley rats and interactions of genistein and daidzein with rat estrogen receptors alpha and beta in vitro. Toxicol Sci 51:236–244.

Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology 2nd. Philadelphia: WB Saunders.

Doerge DR, Churchwell MI, Chang HC, Newbold RR, Delclos KB. 2001. Placental transfer of the soy isoflavone genistein following dietary and gavage administration to Sprague Dawley rats. Reproductive Toxicol

15:105–110.

Efendi. 2008. Manfaat mengkonsumsi susu kedelai. [terhubung berkala]. http://efendi.blogspot.com/2008/01/manfaat mengkonsumsi susu kedelai.html [27 Februari 2012].

Fox JG. 2002. Laboratory Animal Medicine 2nd. New York: Academic pr.

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Andrianto P, penerjemah; Oswari J, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology 9th Ed.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction Farm Animal 7th Ed. USA: Williams & Wilkins.

Heffner LJ, Schust DJ. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi Ed ke-2. Di dalam: Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga.


(4)

31

Hernawati. 2007. Perbaikan kinerja reproduksi akibat pemberian isoflavon dari tanaman kedelai. [terhubung berkala]. http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._ BIOLOGI/1970 03311997022-HERNAWATI/FILE_12.pdf [9 November 2011].

Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Clinical Laboratory Animal Medicine: An Introduction. State Avenue: Iowa State University Pr.

Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, Davise V. 2004. Effect of genistein or soy milk during late gestation and lactation on adult uterine organization in the rat. Exp Biol Med 229:108-117.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Kang KS, Che JH, Lee YS. 2002. Lack of adverse effect in the F1 offspring maternally exposed to genestein at human intake dose level. Food Chem Toxicol 40:43-51.

Karahalil B. 2006. Benefits and risk of Phytoestrogens. Di dalam: Yildiz F, editor. Phytoestrogen in functional foods. Florida: CRC Pr. hlm 33-210. Kaushik-Basu et al. 2008. Identification and characterization of coumestans as

novel HCV NS5B polymerase inhibitors. Nucleic Acids Res 36(5):1482-1496.

Kembara KD. 2009. Efektifitas pemberian tepung kedelai pada tikus putih bunting atau menyusui terhadap pertumbuhan dan bobot testis anak [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Lampe JW. 2003. Isoflavonoid and lignan phytoestrogens as dietary biomarkers.

The American Society for Nutritional Sciences J Nutr. 133:956-964. Lewis et al. 2003. The effects of the phytoestrogen genistein on the postnatal

development in the rat. Toxicol Sci 71:74-83.

Malole MB, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di

Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universtitas Bioteknologi IPB. Hal. 104-112.

Martono LH, Joewana S. 2006. 16 Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis Masyarakat. Jakarta: Balai Pustaka.

Moore DM. 2000. Laboratory Animal Medicine and Science Series II. USA: University of Washington.

Murkies AL, Wilcox G, Davis SR. 1998. Phytoestrogens. J Clin Endocrinol Metabolism 2:297-303.


(5)

32

Newbold RR, Banks EP, Jefferson WN. 2001. Cancer. Cancer Res 61:4325-4328. Noakes D, Parkinson T, Englan G. 2005. Arthurs Veterinary Reproduction and

Obstetrics 8thEd. Philadelphia: Elsevier saundres.

Ososki AL, Kennelly EJ. 2003. Phytoestrogens: a review of the present state of research. Phytother. Res 17:845-869.

Pawiroharsono S. 2001. Prospek dan manfaat isoflavon untuk kesehatan. [terhubung berkala]. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/pus-2.htm [22 April 2011].

Rishi RK. 2002. Phytoestrogens in health and illnes. Indian J Pharmacology

34:311-320.

Rizki. 2010. Fitoestrogen untuk kesehatan. [terhubung berkala]. http://rizkigibug.blogspot.com/2010/fitoestrogen untuk kesehatan.html [27 Februari 2012].

Santii R, Makela S, Straus L, Korkman J, Kostian ML. 1998. Phytoestrogen: potential endocrine disruptors in males. Toxicol Ind Health 14:223-237.

Schwartz CW, Reeder E. 2001. The Wild Mammals of Missouri I. Columbia: University of Missouri Pr.

Sheehan DM. 1998. Herbal medicines, phytoestrogens and toxicity; risk and benefit considerations. Proc Soc Exp Biol Med 217:379-385.

Shelby M. 2010. Potential Human Reproductive and Development Effects of Bisphenol A. United State: Diane Publishing.

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Brahm, penerjemah; Santoso BI, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Human Physiology: from cells to systems.

Shupnik et al. 1998. Selective expression of estrogen receptor alpha and beta isoforms in human pituitary tumors. J Clin Endocrinol Metabolism

83:3965-3972.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan

Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Australia: International

Development Program of Australia Universities and Collage.

Staar S, Richter DU, Makovitzky J, Briese V, Bergemann C. 2005. Stimulation of endometrial glandular cells with genistein and daidzein and their effects on ER·- and ER‚-mRNA and protein expresion. Anticancer Res 25:1713-1718.


(6)

33

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia.

Subahagio, Rahman I, Sani I, Sutardji, Sulaksono ME. 1997. Pengaruh faktor keturuan dan lingkungan terhadap sifat biologis yang terlihat pada hewan percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. VII. I.

Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. California: Elseiver Inc.

Sulaksono ME, Pudjoprajitno, Yuwono SS, Patra K. 1986. Keadaan dan Masalah

Hewan Percobaan di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan. 14.3

Thompson LU, Boucher BA, Liu Z, Cotterchio M, Kreiger N. 2006. Phytoestrogen content of food consumed in Canada, including isoflavon, lignan, and coumestan. Nutrition and Cancer 54(2):184-201.

Tsourounis C. 2001. Clinical effects of phytoestrogens. Clin Obstet Genycol

44:836-842.

Uransyah MP. 2011. Susu kedelai. [terhubung berkala]. http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbppbinuang/index.php?option=com_cont ent&task=view&id=95&Itemid=1 [27 Februari 2012].

Verts BJ, Carraway LN. 1998. Land Mammals of Oregon. Canada: University California Pr.

Vicenzo R, Bruno M, Matteo F, Elena V, Cesare C. 2005. Estrogen and male reproduction. [terhubung berkala]. http://www.endotext.org/male/male17/male17.html [7 November 2011].

Whitten PL, Naftolin F. 1992. Effects of a phytoestrogen diet on estrogen dependent reproductive processes in immature female rats. Steroids 57:56–61.

Whitten PL, Patisaul HB. 2001. Cross-species and interassay comparisons of phytoestrogen action. Environmental Health Perspectives 109:5-20. Wagner JE, Harkness JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and

Rodents. Philadelphia: Lea and Febiger.

Wahyuni RS. 2012. Pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron berat testis diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas.