Jumlah fetus yang banyak juga akan membuat kelahiran fetus semakin cepat Hafez Hafez 2000. Selain itu, genetik dan lingkungan juga akan
mempengaruhi lamanya kebuntingan. Lingkungan yang memiliki temperatur yang hangat akan membuat waktu kelahiran semakin cepat
Noakes et al. 2005. Pemberian fitoestrogen juga tidak mempengaruhi jumlah anak yang
dilahirkan dan bobot anak sekelahiran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana kelompok yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan
tidak berbeda nyata. Seluruh kelompok memiliki jumlah anak dan bobot sekelahiran dalam rentang yang normal. Jumlah anak tikus yang dilahirkan
setiap kelahiran biasanya 6-12 ekor anak Hrapkiewcz Medina 1998 dengan bobot badan antara 5-6 gram Fox 2002. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi bobot badan lahir anak diantaranya adalah ras, bobot induk, jenis kelamin, cuaca dan iklim, dan nutrisi induk Noakes et al. 2005.
4.2. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja
Reproduksi Anak Jantan Pengamatan pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap
kinerja reproduksi anak jantan meliputi jarak celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma. Pengukuran celah
anogenital dilakukan sebelum usia pubertas yaitu pada usia 15 dan 21 hari, sedangkan pengukuran bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan
jumlah sperma dilakukan pada usia 28 hari sebelum pubertas dan 42 hari menjelang pubertas. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah
ini.
Tabel 6 Rataan ±SD celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma
Keterangan: K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan
dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 grkg BBhari saat awal kebuntingan usia 2-11 hari, B adalah kelompok hewan yang diberi susu
kedelai fermentasi 4.99 grkg BBhari saat akhir kebuntingan usia 12-21 hari, dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 grkg BBhari saat laktasi
usia 2-11 hari; Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata P0.05; tn=tidak nyata.
Celah anogenital merupakan jarak antara alat genital dengan anus. Celah anogenital yang lebih panjang merupakan ciri dari tikus jantan. Data
pada Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari celah anogenital yang diukur pada masing-masing kelompok baik usia
15 hari maupun 21 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa pemaparan
Parameter Kelompok
P K
A B
C Celah
Anogenital 15 hari cm
1.03±0.02 0.96±0.09
0.95±0.27 1.14±0.11
tn Celah
Anogenital 21 hari cm
1.44±0.24 1.15±0.14
1.22±0.51 1.24±0.27
tn
Usia 28 hari
Bobot Badan gram
29.98±2.57 24.40±4.28 34.03±10.51
30.10±11.39 tn
Bobot Testis gram
0.20±0.01 0.17±0.04
0.21±0.11 0.20±0.08
tn Kadar
Testosteron ngml
2.76±1.78 2.29±0.99
2.32±0.62 2.69±0.92
tn Jumlah
sperma sel sperma
tn
Usia 42 hari
Bobot Badan gram
51.93±18.36 52.08±7.30 44.96±13.36
45.62±14.04 tn
Bobot Testis gram
0.52
a
±0.04 0.38
b
±0.03 0.38
b
±0.10 0.39
b
±0.03 0.0359 Kadar
Testosteron ngml
3.10
a
±0.68 1.27
b
±0.51 0.91
b
±0.32 0.93
b
±0.22 0.0012 Jumlah
Sperma sel sperma
tn
fitoestrogen pada masa kebuntingan awal, akhir, maupun laktasi tidak mempengaruhi jarak celah anogenital. Namun demikian, bila dilihat lebih
lanjut, jarak celah anogenital usia 21 hari pada kelompok yang mendapat perlakuan pemberian fitoestrogen terlihat lebih pendek dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini diduga sebagai akibat pemberian fitoestrogen nonsteroid bersifat estrogen like yang berasal dari susu kedelai fermentasi.
Pemberian senyawa nonsteroid yang bersifat estrogen seperti DES diethylstilbesterol dapat menyebabkan celah anogenital pada jantan
menjadi lebih pendek Shelby 2010. Pemberian fitoestrogen genistein selama kebuntingan dapat ditransfer dari induk ke fetus melalui plasenta
Doerge et al. 2001. Selain itu Lewis et al. 2003 juga menyebutkan bahwa fitoestrogen dapat ditransfer melalui air susu. Oleh sebab itu,
hadirnya sejumlah fitoetrogen yang bersifat estrogen like pada anak inilah yang diduga dapat memperpendek celah anogeital pada anak jantan.
Bobot badan anak baik usia 28 dan 42 hari tidak memberikan nilai yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen
pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan, maupun laktasi tidak mempengaruhi bobot badan anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kang et al. 2002, dimana pemberian genestein dosis tinggi selama kebuntingan dan laktasi dengan dosis 0.4 dan 4 mgkg BBhari tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap bobot anak dan jenis kelamin anak.
Hasil pengamatan bobot testis dan kadar testosteron pada usia 28 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa
hadirnya fitoestrogen pada masa embrio, fetus, dan awal kelahiran tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 28 hari.
Hal ini dikarenakan pada usia 28 hari tikus belum memasuki masa pubertas. Sebelum memasuki masa pubertas sekresi hormon steroid seks testosteron
dalam jumlah yang sedikit sudah mempunyai efek penghambat yang kuat terhadap sekresi GnRH oleh hipothalamus Guyton Hall 1997. GnRH
sendiri berfungsi menstimulasi pelepasan LH dan FSH. Adanya hambatan sekresi GnRH ini menyebabkan LH dan FSH tidak disekresikan, akibatnya
tidak ada rangsangan kepada sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron atau dengan kata lain pada masa sebelum pubertas sel-sel Leydig yang
mensekresi testosteron dalam testis menjadi tenang Ganong 1995. Oleh karena itulah, pemberian fitoestrogen tidak terlihat mempengaruhi kinerja
reproduksi anak sebelum pubertas. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Kembara 2009, dimana pemberian tepung kedelai yang mengandung
fitoestrogen pada induk bunting atau menyusui tidak memberikan pengaruh terhadap bobot testis anak usia 4 minggu.
Berbeda dengan usia 28 hari, pada usia 42 hari bobot testis dan kadar testosteron menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05. Tikus yang
induknya diberi susu kedelai fermentasi menunjukkan bobot testis dan kadar hormon testosteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus yang
tidak diberi perlakuan apapun. Hadirnya sejumlah fitoestrogen pada fetus atau anak yang bisa ditransfer dari induk melalui plasenta atau air susu
memberikan pengaruh terhadap bobot testis dan kadar testosteron pada usia 42 hari, tetapi tidak pada usia 28 hari karena tikus belum memasuki usia
pubertas sehingga hormon reproduksinya belum aktif. Pada usia 42 hari, tikus menjelang pubertas sehingga hormon-hormon reproduksinya diduga
sudah mulai bekerja, sehingga hadirnya fitoestrogen menyebabkan fungsi testosteron terganggu, akibatnya perkembangan traktus reproduksi anak
jantan testis pada usia ini juga terganggu. Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang di dalamnya terdapat sel-
sel Sertoli dan sel-sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferus. Penurunan bobot testis dan penurunan kadar testosteron yang ditunjukkan
pada hasil pengamatan usia 42 hari dalam Tabel 6 diduga karena hadirnya fitoestrogen mengakibatkan terhambatnya perkembangan sel Leydig atau
berkurangnya jumlah sel Leydig yang disebabkan oleh sekresi LH yang terhambat akibat efek antiandrogenik dari fitoestrogen. Penurunan jumlah
sel Leydig ini akan menyebabkan penurunan bobot testis, karena sekitar 20 massa testis terdiri atas sel-sel Leydig Guyton Hall 1997.
Penurunan jumlah sel Leydig juga akan menyebabkan kadar testosteron menurun, hal ini dikarenakan sel Leydig merupakan tempat terjadinya
proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron Guyton Hall 1997. Rendahnya kadar testosteron akan berpengaruh pada diameter
tubulus seminiferus seperti yang telah dilakukan oleh Wahyuni 2012, dimana terjadi penurunan diamater tubulus seminiferus yang diduga karena
kurangnya hormon testosteron akibat pemberian isoflavon yang menyebabkan atropi-atropi tubulus seminiferus. Adanya atropi-atropi
tubulus seminiferi ini dapat menyebabkan penurunan bobot testis. Hal ini dikarenakan sekitar 80 massa testis terdiri dari tubulus seminiferus
Sherwood 2001. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Casanova et al. 1999
yang menyatakan bahwa efek pemberian atau pemaparan fitoestrogen genestein pada masa kebuntingan atau laktasi terhadap perkembangan
reproduksi tikus bobot testis membuat perkembangan alat reproduksi menjadi terganggu sehingga bobot testis menjadi lebih rendah. Hal serupa
juga diungkapkan oleh Astuti 2009 yang menyatakan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak pada dosis 4.5 mgkg BBhari
dilaporkan menyebabkan perubahan pada bobot testis, berkurangnya volume lumen pada tubului seminiferi, dan terganggunya spermatogenesis.
Penelitian lain pada tikus jantan Spraguey Dawley juga menyebutkan bahwa pemberian diet kaya fitoestrogen dalam jangka pendek dapat
menurunkan kadar testosteron dan androgen, serta penurunan bobot prostat secara signifikan Karahalil 2006. Hal ini juga dibuktikan oleh Wahyuni
2012, dimana hasil penelitiannya menyebutkan adanya penurunan bobot testis dan kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon.
Terjadinya penurunan kadar hormon testosteron disebabkan oleh isoflavon yang bersifat estrogen like dan juga bersifat antiandrogenik.
Isoflavon mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen yaitu Erα dan
Erβ tersebar diseluruh tubuh termasuk kelenjar pituitary dan hipothalamus Shupnik et al. 1998. Hadirnya isoflavon yang sifatnya mirip dengan
estrogen ini akan berikatan dengan reseptor estrogen yang ada pada hipofise anterior dan hipothalmus. Efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen
di hipofise anterior diduga menghambat sekresi FSH dan LH. Begitu juga dengan efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen yang ada di
hipothalamus, diduga menyebabkan sekresi GnRH menjadi lebih sedikit, akibatnya pelepasan FSH dan LH yang dirangsang oleh GnRH menjadi
sedikit. Jika sekresi LH terhambat atau sedikit, maka pertumbuhan dan pematangan sel Leydig serta kemungkinan jumlah sel Leydig berkurang
sehingga hormon testosteron akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sel Leydig merupakan tempat terjadinya proses steroidogenesis yang
menghasilkan testosteron Guyton Hall 1997. Pemberian fitoestrogen pada masa kebuntingan atau laktasi tidak
memberikan pengaruh terhadap jumlah sperma baik pada usia 28 hari maupun 42 hari. Hal ini dikarenakan tikus belum memasuki usia pubertas
atau dewasa kelamin. Tikus yang belum memasuki masa pubertas akan menghasilkan hormon FSH yang rendah akibat sekresi GnRH yang tidak
cukup. Keadaan ini akan membuat sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis juga akan rendah, akibatnya jumlah
sperma tidak ditemukan pada usia sebelum pubertas. Proses pembentukan sperma atau spermatogenesis dipengaruhi oleh beberapa hormon
diantaranya: hormon testosteron yang penting bagi pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma, hormon lutein
yang merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron, hormon perangsang folikel yang penting dalam proses spermiogenesis pengubahan
spermatid menjadi sperma, dan hormon pertumbuhan yang secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sehingga spermatogenesis
pun meningkat Guyton Hall 1997. Menurut Fox 2002, sperma mulai ada di cauda epididimis pada usia
45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari. Pada usia 75 hari, tikus jantan telah mengalami dewasa kelamin, sehingga alat reproduksinya
telah bekerja secara optimal termasuk testis. Testis yang merupakan organ utama dalam sistem reproduksi jantan pada usia dewasa kelamin telah
mampu menghasilkan sperma dan mampu mengawini betina Cunningham 1997.
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan