44
Misi-misi hidup yang telah dipaparkan merupakan misi-misi hidup untuk diri sendiri agar menjadi lebih baik. Apabila seorang individu telah memenuhi misi
hidupnya, maka ia akan mencari misi hidupnya yang lain dan bertanggung jawab atas apa telah menjadi pilihannya.
d. Kesakralan Hidup
Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara
yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui
dalam hal-hal keduniaan. Kesakralan seperti itu terlihat dari pemikiran individu yang memercayai bahwa
sesuatu yang suci itu dapat juga bersifat keduniawian. Jadi, individu spiritual memahami bahwa segala sesuatu yang suci pasti memiliki hal-hal luar biasa di baliknya.
Sebagai contoh terdapat pada potongan cerita novel melalui tokoh Yuda dan JatakaJanaka kakak lelakikembaran Lalita berikut:
…“Dia tidak mau mengakui bahwa nama pemberian ayah-ibu kami adalah, hm, bukan Lalita Vistara. Ia tak mau mangaku bahwa Lalita Vistara
adalah nama yang ia pilih bagi dirinya sendiri. Sebab ia mau percaya bahwa hidupnya telah dinubuatkan. Bahwa namanya adalah tanda. Nomen est omen.
“Yuda, tidak ada nabi yang memilih namanya sendiri. Semua nama besar harus, setidaknya seolah-olah, diberikan oleh alam raya melalui perantaraan
orang lain, kepada dirimu. Nama yang supranatural tidak bisa kau buat sendiri. Nama yang bertuah harus dianugerahkan oleh semesta.
… “Namanya bukan Lalita Vistara. Kami dua bersaudara. Dia adikku.
Nama pemberian orangtua kami buat dia adalah Ambika Putri Nataprawira. Ambika berasal dari epik Hindu Mahabharata. Tapi adik saya kemudian tertarik
pada Buddhisme dan mengganti namanya menjadi Lalita Vistara.” Ia diam sesaat.
“Kakek-nenek kami dulu pengikut Teosofi. Orang Indo.” Lalita, 2012: 44.
45
Individu seharusnya dapat melihat hal seperti ini sebagai sebuah kesakralan dalam hidup karena nama besar haruslah seolah-olah diberikan oleh alam kepada
seseorang. Nama merupakan hal yang sakral suci namun bersifat sekuler duniawi. Banyak orang berpendapat bahwa nama merupakan sebuah doa dari orangtuanya.
Menurut tokoh JatakaJanaka bahwa nama Lalita bukanlah nama pemberian orangtua mereka, melainkan nama yang dipilih Lalita sendiri berdasarkan kitab yang ada pada
relief Borobudur. Lalitavistara. Individu yang spiritual dapat menerima gagasan bahwa nama merupakan suci sifatnya karena pada kepercayaan tertentu, nama merupakan
sebuah doa, dan menurut kepercayaan lainnya nama merupakan pemberian alam yang ditujukan oleh sesorang yang nantinya dapat menjadi orang-orang yang berpengaruh
besar. Individu yang spiritual juga percaya bahwa segala sesuatu yang sakral juga
terdapat pada sesuatu yang sifatnya kebendaan. Dalam hal ini bisa juga disebut sebagai bangunan yang suci. Ada yang menganggapnya sebagai rumah ibadah, atau bangunan
tempat tujuan suatu umat yang beriman. Misalnya, mesjid dan Ka’bah Mekkah bagi umat Islam, gereja dan Yerussalem bagi umat Kristiani, Himalaya, Lumbini, ataupun
candi-candi bagi umat Hindu dan Buddha. Hal-hal seperti itu diungkapkan melalui tokoh Anshel dari potongan cerita berikut ini:
Dulu, air matanya juga mengalir tatkala melihat candi itu untuk pertama kali. Tampak bahwa kuil tersebut telah ditinggalkan selama seribu tahun. Putri
tidur yang dibelit hutan tropis, dilindungi hamparan sawah, dan dibentengi gunung-gunung api. Misteri menggetarkan jiwanya. Sesuatu seperti berbisik:
kemarilah, di sini ada yang lama kau cari. Lumut dan tetumbuhan pada bebatu, lantai dan dinding yang condong dan rumpang, mereka seperti tubuh yang purba
dan letih namun menyimpan suatu rahasia peta jiwa di kedalamannya. Suatu pusat dunia. Axis Mundi Lalita, 2012: 143.
46
Ia mengirim kepada teman-temannya bagan jiwa manusia menyerupai mandala Borobudur. Catatannya: para dewata yang digambarkan dalam sebuah
mandala adalah setara dengan citra-dalam yang ada pada alam nirsadar kita. Citra-dalam itu memperkenalkan kita pada kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat
yang ada dalam semesta maupun jiwa kita –yang kebanyakan kita tidak kenal lagi, sebab kita telah terlalu jauh dari inti nirsadar kita. Tapi denahnya adalah
sebuah struktur makrokosmos sekaligus mikrokosmos Lalita, 2012: 147.
Ia melihat kesucian Borobudur sebagai suatu gambar jiwa manusia. Dari hal tersebut Anshel menemukan kesakralan dalam hidup yang bersifat duniawi. Ia
berpikiran bahwa candi tersebut melambangkan poros dunia atau pusat dunia. Anshel menggambarkannya seperti peta jiwa yang ada pada manusia. Struktur yang menyerupai
peta jiwa manusia adalah yang menggambarkan alam semesta dan manusia serta sifat- sifatnya. Tokoh Anshel melihat candi tersebut sebagai tempat yang suci karena selain
sebagai tempat perziarahan umat Buddha, candi tersebut juga mengajarkan padanya tentang struktur yang terdapat dalam jiwa manusia. Hal-hal yang banyak memberikan
pelajaran dan tujuan hidup adalah hal yang bersifat sacral. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang dianggap sakral oleh
suatu pengikut kepercayaan adalah sesuatu yang dapat memberikan pelajaran kebaikan dalam hidup. Hal-hal seperti itu bagi pengikut kepercayaan tertentu juga dianggap
sakral. Seperti yang terdapat pada potongan cerita berikut: Parang Jati berkata, ia sangat paham jika Anshel Eibenischutz terpukau
pada Borobudur. Candi ini memberi satu model peta jiwa yang dicari oleh para psikoanalis. Sekali lagi, Borobudur menawarkan paradigma yang berbeda dari
candi-candi yang lain. Ia tidak menyediakan ruang dalam, garbagraha, tempat lingga atau dewa dipuja. Para psikolog analitis yang paling skeptis pun bisa
membacanya demikian: dewa-dewa yang ditempatkan di beberapa tingkat terluar candi adalah serupa arketipe dari kekuatan-kekuatan maupun sifat-sifat
yang ada dalam alam maupun dalam diri manusia. Para dewa itu memberi bentuk pada sifat dan kekuatan alam yang abstrak, sehingga kita bisa
mengenalinya. Tapi, kita didorong untuk selalu menyadari yang tak terikat bentuk Lalita, 2012: 234.
47
Pemahaman tersebut membuat tokoh Parang Jati bisa mengetahui bahwa Borobudur merupakan candi yang disakralkan karena candi-candi di sekitar candi
tersebut merupakan pola-pola dasar bentuk dewa-dewa yang menggambarkan sifat dari alam dan manusia. Dewa-dewa tersebut adalah lambang dari sifat-sifat yang tidak
berbentuk dan tidak terlihat. Candi Borobudur tidak menyediakan tempat untuk pemujaan bagi para dewa karena sesungguhnya sosok transenden dalam Buddhisme
adalah kesadaran diri. Menurut Jati juga, para psikolog analisis juga dapat melihat hal tersebut sebagai gambaran jiwa manusia.
e. Nilai-nilai Material