Komponen Nilai-nilai Spiritual dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami a. Dimensi Transenden

24

5.2 Komponen Nilai-nilai Spiritual dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami a. Dimensi Transenden

Dimensi transenden merupakan zat, sosok, wilayah, atau apa yang dianggap oleh seorang spiritual sebagai sesuatu yang paling tinggi dan di luar dari kekuatan manusia dan alam. Ada yang menyebutnya sebagai Tuhan, yang lainnya menganggap sebagai sumber dari segala sesuatu, dan jenis-jenis metafora lain untuk menggambarkannya. Dalam memahami dan berhubungan dengan sosok atau dimensi transenden ini masing- masing individu dan keyakinannya memiliki perantara dan cara masing-masing. Seperti umat Islam melalui shalat dan dzikir, umat Kristen melalui pujian-pujian dan nyanyian, umat Buddha dan Hindu dengan bersemadi dan memberikan sesembahan, dan lain-lain dengan cara masing-masing. Dalam proses pemahaman dan berhubungan dengan dimensi atau sosok transenden inilah individu yang spiritual mendapat nilai-nilai spiritual tersebut. Seperti yang terjadi pada tokoh Anshel Eibenizcust Anshel dalam potongan cerita berikut: Anshel bukan orang yang menjalankan agama. Tapi ia punya pandangan positif tentang spiritualitas. Ia, dan kelak Carl Jung, membayangkan jiwa manusia sebagai suatu bagan konsentris. Di tengahnya adalah alam nirsadar yang mempertemukan manusia dan semesta. Dalam alam nirsadar itu terdapat citra-dalam yang menghubungkan manusia dengan semesta. Struktur jiwa manusia mencerminkan struktur alam semesta. Religiositas memiliki dasar alami Lalita, 2012: 130. Dalam kehidupan manusia, perlu adanya pemahaman tentang sosok atau dimensi transenden. Dimensi transenden diperlukan karena hal itulah yang menjadi dasar bagi kehidupan manusia. Dalam hidup, religiositas atau keimanan memiliki dasar alami, yang merupakan bagian dari kekuatan dimensi transenden tersebut untuk dipahami. 25 Alam semesta dianggap sebagai dimensi transenden bagi yang mempercayainya karena alam semesta merupakan suatu dimensi yang luas, tidak berbatas, dan di luar dari kekuatan dan pikiran manusia itu sendiri. Jadi, dalam hal ini dirasa perlu adanya proses untuk memahaminya, yaitu dengan agama atau keimanan. Tokoh Anshel menganggap dimensi transenden tersebut sebagai alam semesta. Jadi, ia merasa perlu adanya pemikiran bahwa manusia berhubungan dengan alam semesta dimensi transenden yang menurutnya hanya bisa dirasakan ketika manusia berada di alam bawah sadarnya. Menurutnya, dengan manusia berada di alam bawah sadarnya, manusia tersebut dapat memahami alam semesta raya ini karena alam semesta luas dan tidak berbatas. Jadi, Anshel berpendapat bahwa alam semesta tersebut dapat dirasakan ketika seseorang tersebut sedang berada di alam nir-sadarnya. Dimensi transenden merupakan ukuran, ruang, dan waktu yang berada di luar batas kemampuan manusia. Dalam memahaminya, perlu kerja alam tidak sadar manusia sebagai perantara menurut Anshel. Anshel menganggap psikologi alam nir-sadar manusia berkaitan dengan keimanan individu. Anshel menganggap struktur jiwa manusia seperti struktur alam semesta. Anshel memahami dimensi transenden ini dengan alam nir-sadarnya. Dalam memahami sosok transenden, masing-masing kepercayaan tentu memiliki keyakinannya masing-masing. Pada Buddhisme, mereka meyakini bahwa dimensi transenden bukan merupakan sosok seperti yang dipercaya oleh orang-orang monoteisme. Buddhisme meyakini bahwa dimensi transenden adalah sebuah kekuatan besar yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu yang ada pada alam semesta ini. Hal tersebut diungkapkan dalam potongan cerita dalam novel dengan tokoh Anshel, Parang Jati Jati dengan Marja Manjali Marja di dalamnya, yaitu sebagai berikut: 26 Ia tidak melihat struktur tadi pada Buddhisme setidaknya, pada saat itu dan di Tibet. Buddhisme tidak mengajarkan adanya Tuhan yang bersifat personal. Tak ada nama-nama bagi Tuhan. Tidak ada Tuhan pencemburu maupun yang penyayang. Mereka sama sekali tidak terobsesi pada Tuhan. Mereka juga tidak terobsesi pada setan atau seks. Obsesi adalah salah satu bentuk neurosis. Buddhisme terbebaskan dari obsesi akan Tuhan. Buddhisme menawarkan paradigma yang lain sama sekali. Untuk paham, kaum monoteis harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari kerangka pikir monoteistik, atau mereka akan gagal mengerti. Buddhisme mengajarkan agar manusia memperoleh pencerahan dengan melepaskan diri dari keterlekatan pada benda- benda dan hal-hal yang sesungguhnya hanyalah ilusi Lalita, 2012: 137-138. … “Mungkin…” sahut Parang Jati sambil setengah melamun, “Mungkin karena dalam Buddhisme, perdewataan ini sebetulnya sama sekali tidak sentral.” “Jadi?” “Yang sentral adalah mencapai kesadaran sejati. Kesadaran yang terlepas dari segala keterlekatan.” Parang Jati memandang Marja. Ada sedih di mata itu, seolah ia ingin melepaskan diri dari keterlekatannya pada gadis itu. “Keterlekatan pada apa?” “Pada apapun. Termasuk pada cinta.” Lalita, 2012: 185. Buddhisme mengajarkan tujuan akhir yang harus dicapai melalui daya upaya yang dilakukan oleh diri sendiri. Tujuan akhir tersebut adalah pembebasan diri dari keterlekatan, dan mencapai kesadaran diri. Hal inilah yang menjadi kekuatan besar dalam Buddhisme. Dalam Buddhisme tidak mengenal konsep makhluk adikuasa yang melimpahkan keselamatan bagi umat manusia. Bahkan seorang Buddha yang dipercaya oleh umatnya tidak pernah mengatakan bahwa dialah yang menganugerahkan tujuan akhir tersebut pada umatnya. Dia hanya mengaku bahwa dia adalah semata-mata guru yang menunjukkan jalan bagi para pengikutnya. Seperti yang ada pada kitab Dhammapada yang berbunyi: “Pembebasan perlu diusahakan oleh dirimu sendiri. Sang Buddha hanya menunjukkan jalan.” Taniputera, 2005:25. Jadi, dalam Buddhisme sebenarnya untuk mencapai kesadaran sejati tersebut, manusia harus membebaskan dan melepaskan dirinya dari keterlekatan yang ada di dunia ini. Menurut Buddhisme, sosok 27 transenden adalah pembebasan bagi diri dari keterlekatan dan kembali pada kekuatan alam yang paling besar. Dari cerita tersebut, tokoh Anshel berpikir bahwa dimensi transenden yang dipuja oleh umat Buddha berbeda dari dimensi transenden yang diyakini umat lain. Sosok transenden yang ada dalam pikirannya bukanlah Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu. Ia beranggapan bahwa tidak ada Tuhan. Ia menganggap bahwa Buddhisme membawa manusia pada pencerahan diri. Dimensi transenden yang dipercaya oleh Anshel adalah dimensi yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri kepada pencerahan yang merupakan sumber kekuatan yang ada pada alam semesta ini. Pada bagian cerita lainnya, tokoh Parang Jati menjelaskan kepada tokoh Marja bahwa sebenarnya perdewataan dalam Buddhisme tidak terikat satu dengan yang lainnya adalah karena bentuknya yang tidak sentral atau tidak memiliki poros. Dengan kata lain, perdewataan ini bersifat universal. Perdewataan hanyalah pengantar manusia untuk menuju kesadaran sejati. Inti dari Buddhisme itu sendiri adalah pencapaian kesadaran. Dewa-dewa yang dipuja dalam Buddhisme bukanlah sosok transenden. Dewa-dewa yang diyakini umat Buddha adalah pengantar manusia untuk mencapai kesadaran dan pencerahan. Seperti itulah Parang Jati memaknai dimensi transenden dalam ajaran Buddhisme. Agar lebih mudah memahami dimensi transenden pencerahan diri dalam ajaran Buddha, pada bagian ini akan dijelaskan pembagian dunia menurut Buddhisme. Buddhisme memiliki tiga dunia yang diyakini oleh umat Buddha, yaitu kamadatu dunia hasrat, rupadatu dunia rupa, dan arupadatu dunia tanpa rupa. Dunia tanpa 28 rupa adalah dunia yang tertinggi menurut ajaran Buddhisme karena dunia inilah yang membebaskan diri manusia dari keterlekatan. Jadi, untuk mencapai dunia ini manusia harus terlebih dahulu melewati dunia hasrat dan dunia rupa ini. Seperti yang dijelaskan tokoh Jati terhadap Marja sebagai berikut: Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nanti di candi Borobudur kamu akan lihat bahwa dewa-dewa ini tidak penting lagi, Marja. Mendut ini adalah candi pertama dalam peziarahan. Candi terluar. Kamu ingat, dalam candi Buddha, ada tiga tingkatan dunia: kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. A-rupa- datu, dunia tanpa rupa, itulah yang paling tinggi.” Marja ingat. Dari wisata candi liburan lalu. Candi Hindu maupun Buddha membagi kuil dalam tiga tingkat perlambangan. Candi Hindu menamainya bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Dunia bawah, tengah, dan swarga atau surga. Candi Buddha menamainya kamadatu, dunia hasrat; rupadatu, dunia rupa; dan arupadatu, dunia tanpa rupa Lalita, 2012: 185-186. … “Tidak semua orang kuat memahami tabel periodik. Tidak semua orang kuat untuk langsung mencapai kesadaran sejati. Sebagian besar manusia lemah, dan mereka membutuhkan alat bantu.” “Dewa-dewa itu alat bantu?” “Hm. Kira-kira begitu.” Parang Jati mengeratkan rengkuhannya. “Saya kira begitu. Segala yang rupa ini membantu kita mencapai yang tanpa rupa.” Lalita, 2012: 187-188. Buddhisme mengajarkan tingkatan dunia yang terbagi berdasarkan hal-hal yang diyakini ada di dunia ini. Kamadatu atau dunia hasrat adalah dunia terendah menurut Buddhisme. Pada dunia inilah manusia banyak terlena dan melupakan tujuan akhir hidup ini. Manusia terlena dalam mengejar segala sesuatu yang sifatnya duniawi, seperti kekayaan, kesehatan, kesuksesan, dan lainnya. Rupadatu merupakan dunia rupa, yang menurut Buddhisme merupakan sifat-sifat manusia dan sifat-sifat yang ada dalam alam semesta ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang tentu saja tidak terlihat wujudnya. Sehingga, umat Buddha menggambarkannya dalam bentuk patung-patung atau bentuk-bentuk yang dianggapnya sebagai dewa-dewa yang mewakili sifat-sifat 29 tersebut. Dunia rupa berisi segala sesuatu yang memiliki kebalikan, kesenangan- penderitaan, kebahagiaan-kesengsaraan, kekayaan-kemiskinan, dan lain-lain. Untuk mencapai kesadaran sejati menurut Buddhisme, manusia harus melepaskan keterlekatannya dari hal-hal seperti ini. Untuk mendapatkan kesadaran sejati tersebut, Buddhisme mengajarkan bahwa individu harus bisa memahami sifat-sifat tadi. Dewa- dewa yang mereka gambarkan merupakan sebuah “jembatan” untuk mencapai kesadaran sejati. Jadi, untuk mencapai kesadaran tersebut, manusia harus memahami sifat-sifat tersebut dan melaluinya. Arupadatu atau dunia tanpa rupa adalah bagian akhir atau hasil akhir dari proses pembebasan diri dari keterlekatan tadi. Saat manusia sudah bisa mencapainya, maka saat itulah ia telah mencapai kesadarannya. Bagian cerita yang lain menjelaskan tentang pengetahuan Parang Jati dan Marja mengenai tingkatan dunia menurut kepercayaan Buddha. Mereka menjelaskan bahwa dimensi tertinggi yang tidak mampu dipikirkan oleh manusia adalah arupadatu atau dunia tanpa rupa menurut Buddhisme. Hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak mampu dipikirkan atau pun dibayangkan oleh manusia karena ruang tersebut merupakan dimensi transenden tempat yang di luar batas kemampuan manusia. Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umat manusia pada dasarnya adalah lemah dan membutuhkan alat bantu. Dalam hal ini adalah dewa-dewa menurut kepercayaan umat Buddha atau lainnya yang dianggap sebagai sosok-sosok yang dapat mengantarkan pada dimensi transenden itu sendiri. Dewa-dewa merupakan sifat-sifat yang ada di dunia ini yang dijadikan berbentuk atau berupa seperti yang terdapat pada candi-candi di sekitar Borobudur. Hal yang berupa inilah yang dianggap dapat 30 membantu manusia melewati dan memahami yang tanpa rupa, seperti kebahagiaan, rasa puas diri, dan lain-lain. Hal-hal yang memiliki rupa, dianggap Buddhisme sebagai jebakan karena yang berupa tersebut memiliki bayang-bayang, pembalikan, dan pasangan. Hal serupa ditunjukkan oleh tokoh Marja dalam potongan cerita novel berikut ini: Sebab bentuk memiliki jebakan. Bentuk menciptakan ilusi. Bentuk memiliki bayang-bayang. Bentuk memiliki kebalikan dan perlawanan. Marja menjerit mendapatkan penemuannya sendiri: ya ampun, karena itu mereka membuat kamadatu dan rupadatu dalam denah segi empat Sedangkan arupadatu dalam denah lingkaran Dunia rupa selalu berada dalam jebakan ilusi, jebakan bayang-bayang: yaitu pasangan yang berlawanan. Para arsitek Borobudur menggambarkannya dengan denah segi empat simetri. Sebab dalam bujur sangkar ada timur ada barat, ada utara ada selatan, ada kanan ada kiri, ada atas ada bawah. Dan orang harus menyadari perlawanan dan ketegangan itu sebelum bisa tiba ke dunia arupadatu, di mana tak ada lagi perlawanan dan pembalikan Lalita, 2012: 234. Hal-hal yang berupa memiliki pembalikan yang membuat manusia terjebak dalam dunia ini. Agar manusia tidak dapat membebaskan diri mereka menuju kesadaran sejati. Pada agama tertentu mereka menyebutnya sebagai “manusia yang lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat”. Pada Buddhisme hal ini juga disebut sebagai ketersesatan karena untuk mencapai kebahagiaan dunia ini mereka menghindari penderitaan, untuk mendapatkan kekayaan mereka meninggalkan kemiskinan, dan lain- lain. Manusia lebih mementingkan apa yang ada pada saat ini. Sifat-sifat yang serupa digambarkan menjadi sosok dewa. Agar mereka mendapatkan kebahagiaan, mereka memuja dewa kebahagiaan, dan memohon pada dewa penderitaan untuk tidak menghampiri mereka. Dari potongan cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh Marja menemukan gagasan kenapa dunia kamadatu dunia hasrat dan rupadatu dunia rupa dalam 31 Buddhisme berada pada denah segi empat, sebab dunia tersebut memiliki bayang- bayang, pantulan, dan pembalikan, yang seluruhnya adalah pasangan yang berkebalikan karena bentuk memiliki pasangan yang berlawanan. Sesuatu yang ada di kanan adalah yang di kiri, sesuatu yang ada di atas adalah yang di bawah. Sedangkan dunia arupadatu dunia tanpa rupa adalah dunia yang paling tinggi sebab tidak memiliki bayang-bayang, pantulan, pembalikan, ataupun pasangan. Dunia tersebut adalah dunia tunggal, dan untuk mencapainya manusia dalam kepercayaan Buddha harus bisa mencapai kesadaran diri, dan harus melepas segala keterikatannya dengan yang ada di dunia ini.

b. Makna dan Tujuan dalam Hidup