31
Buddhisme berada pada denah segi empat, sebab dunia tersebut memiliki bayang- bayang, pantulan, dan pembalikan, yang seluruhnya adalah pasangan yang berkebalikan
karena bentuk memiliki pasangan yang berlawanan. Sesuatu yang ada di kanan adalah yang di kiri, sesuatu yang ada di atas adalah yang di bawah. Sedangkan dunia arupadatu
dunia tanpa rupa adalah dunia yang paling tinggi sebab tidak memiliki bayang-bayang, pantulan, pembalikan, ataupun pasangan. Dunia tersebut adalah dunia tunggal, dan
untuk mencapainya manusia dalam kepercayaan Buddha harus bisa mencapai kesadaran diri, dan harus melepas segala keterikatannya dengan yang ada di dunia ini.
b. Makna dan Tujuan dalam Hidup
Pada komponen ini, individu yang spiritual memahami proses pencarian makna dan proses pencarian hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan
pandangan bahwa hidup memiliki makna, dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan inti dari pencarian ini bervariasi, namun memiliki
kesamaan. Pada komponen ini individu spiritual mampu menemukan makna dan tujuan
alam hidupnya. Misalnya, ketika seorang individu memiliki keinginan yang kuat untuk mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain, ia yakin akan ilmu yang ia berikan bukan
merupakan pengetahuan saja, tetapi juga ilmu dan makna yang harus diambil dalam hidup. Hal tersebut terlihat pada tokoh Lalita dalam potongan cerita berikut:
Sebab, janganlah sampai gelap matamu. Tak kah kau ingat, apa yang kuberikan bagimu lebih banyak daripada yang kau berikan padaku. Bukankah
kamar gelapku mengajari kamu tentang sesuatu yang tak diketahui lagi oleh anak-anak abad digital? Yaitu, bahwa gambar –ya, gambar– menjelmakan
dirinya perlahan-lahan.
32
Wahai. Anak-anak abad digital adalah anak-anak malang yang kehilangan satu misteri. Yaitu, bahwa dunia ini memiliki bayang-bayang. Apa
yang kau lihat ini berasal dari kebalikannya. Apa yang di kanan adalah yang di kiri. Yang putih terbit dari yang hitam. Yang hijau adalah merah, dan kuning
nyalang adalah indigo. Sungguh anak-anak digital tidak mengerti lagi itu. Tapi, kau… di kamar gelapku kau tahu rahasia itu. Sebab semua pembalikkan itu
terjadi diam-diam, di tempat gelap Lalita, 2012: 79-80.
Ilmu yang diberikan pada kita tidak hanya kegunaannya saja yang diberikan, tetapi, ada juga makna yang terkandung dalam prosesnya dan kaitannya dengan hidup
kita. Dari cerita tersebut, tokoh Lalita menunjukkan pengetahuannya sebagai orang yang memiliki nilai spiritual. Hal tersebut ia tunjukkan pada Sandi Prayuda Yuda untuk
mengetahui proses cuci-cetak foto yang di dalamnya terdapat pengetahuan bahwa di dunia ini memiliki bayang-bayang. Setiap bayang-bayang tersebut pasti memiliki arti
dan tujuannya masing-masing. Seperti kita melihat pantulan diri di cermin atau bayangan benda di bawah cahaya, dan warna yang dihasilkan negatif foto adalah warna
asli di dunia nyata. Ia menginginkan Yuda tidak buta akan hal tersebut seperti anak- anak abad digital yang tidak mengerti lagi hal tersebut. Hal inilah yang dicita-citakan
Lalita, yaitu memperkenalkan apa yang telah dilupakan. Pemahaman tujuan dari makna hidup tidak saja pada pemahaman ilmu yang
diberikan. Keimanan juga harus dipahami maknanya. Manusia yang spiritual memahami makna adanya agama atau iman dalam hidup. Orang-orang yang memiliki
iman biasanya pola berpikirnya berbeda dari orang-orang yang tidak mempercayai adanya konsep ketuhanan dan keagamaan. Tujuan kepercayaan beragama dalam hidup
diperlihatkan melalui tokoh Anshel dari potongan cerita novel berikut: Toh ia menemukan satu kesenangan karena ternyata ia tetap memiliki
satu hal yang membedakan dia dari sang guru. Psikoanalisa Freud hanya mengajarkan manusia untuk menyadari alam nirsadarnya sendiri. Spiritualisme
Buddhis mengajarkan manusia untuk mencapai kesadaran diri dan semesta. Ya,
33
tingkat “kesadaran” Diri yang mempersatukan manusia dengan makrokosmos. Anshel lega bahwa ia bukan pengikut Freud lagi Lalita, 2012: 138.
Cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh Anshel merasa senang karena ia telah menemukan tujuan dan makna hidupnya dari ajaran Buddhisme yang membuatnya
berbeda dari gurunya yang tidak mempercayai agama. Sigmund Freud. Ia menemukan tujuan dalam proses pencarian hidupnya, yaitu bahwa manusia dapat bersatu dengan
semesta dalam mencapai kesadaran dirinya sebagai manusia. Seperti yang diajarkan Buddha pada buku Anatta-Lakkhana Sutta yang intinya adalah bahwa kesadaran
vijnana tidak melekat pada tubuh jasmaniah, perasaan, persepsi, dan bentuk-bentuk mental Taniputera, 2005.
Jika manusia belum bisa mencapai kesadarannya, maka manusia tersebut akan mengalami reinkarnasi atau kelahiran kembali. Dalam kepercayaan umat Buddha
mengenal istilah reinkarnasi atau kelahiran kembali atau kamma. Kamma Sanskrit: karma secara harfiah berarti tindakan atau perbuatan. Konsep kamma dalam
Buddhisme secara khusus mengacu pada tindakan yang disertai oleh kehendak centana Taniputera, 2005:37. Seperti yang dialami Anshel sebagai berikut:
Airmatanya retas lalu mengalir. Bell mengira permainannya sangat menyentuh. Agvan tahu bahwa bukan
permainan Bell yang mengharukan. Biksu Rusia itu mengelus-elus bahu Anshel. “Kau telah tahu, Anshel. Orang di sini percaya reinkarnasi. Barangkali
perjalananmu ke Jawa bukanlah kepergian, melainkan kepulangan.” Lalita, 2012: 142.
Tokoh Anshel mendengarkan dan meresapi perkataan temannya yang seorang biksu, bahwa Buddhisme mempercayai adanya reinkarnasi. Ia sedang mempelajari
Buddhisme dan merasakan bahwa ia hidup untuk mempelajari Buddhisme di Jawa. Ia mendengarkan perkataan temannya bahwa tujuannya ke Jawa bukanlah kepergian,
34
melainkan kepulangan. Dalam kepercayaan Buddha dipercaya bahwa ketika seseorang mati, namun dalam hidupnya ia belum melakukan pembebasan bagi dirinya atau pada
kehidupan lalunya ia memiliki keinginan yang belum tercapai, maka manusia tersebut akan dilahirkan kembali lagi dan lagi hingga pada kehidupan selanjutnya ia mencapai
keinginannya, atau melakukan pembebasan bagi dirinya dan mencapai kesadaran sejati. Jadi, tujuan dalam hidupnya saat itu adalah pulang berdasarkan kepercayaan reinkarnasi
yang diyakininya, dan untuk melakukan pembebasan bagi dirinya di Jawa. Komponen nilai spiritual makna dan tujuan dalam hidup ini juga bisa didapatkan
melalui pengalaman-pengalaman yang didapatkan. Apabila individu mampu mengolah materi ilmu yang didapatkan dari pengalaman yang dialami, maka individu tersebut
dapat mengetahui makna dan tujuan dalam hidup ini. Biasanya hal-hal seperti ini akan menjadi ide-ide atau gagasan-gagasan luar biasa. Hal tersebut dapat kita lihat dari tokoh
Anshel sebagai berikut: Tapi rasa remang mengusap punggung keduanya setelah rasa terkejut
penemuan. Mereka seperti terhubungkan kepada alam yang lain, yang tak berasal dari hidup nyata sebagai anak-anak. Lingga-yoni. Teater arena dalam
mimpi Anshel, ruang bawah tanah dalam mimpi Carl, adalah yoni. Leher unggas yang memanjang dalam mimpi Anshel, pohon dalam mimpi Carl, adalah lingga.
Pelan-pelan Anshel merumuskannya sebagai citra-dalam, das innere Bild. Suatu model visual dari yang abstrak, yaitu persatuan antara yang tegak
dan yang mendatar, yang tunggal dan yang universal, yang horizontal dan yang vertikal. Persatuan antara yang bertentangan. Itulah yang dinamai axis mundi
atau pusat jagad, konsep yang ada dalam semua peradaban Lalita, 2012: 128.
Anshel dan Carl tercenung. Mereka tahu bahwa mereka tiba pada konsekuensi yang sama. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka dengan
dunia di luar sana. Sesuatu yang terasa gaib. Kulit mereka meremang. Anshel semakin meyakini rumusan awalnya, bahwa di alam nir-sadar manusia terdapat
citra-dalam. Citra-dalam itu adalah model-model visual yang mengenali struktur-struktur yang terdapat dalam alam semesta. Mandala dan axis mundi
adalah dua di antara struktur-struktur yang terdapat dalam jagad raya Lalita, 2012: 129.
35
…. Ia percaya bahwa citra-dalam ini ada dalam jiwa manusia, dalam alam nirsadarnya. Beberapa orang, seperti dukun ataupun psikoanalis yang peka,
bisa mengakses beberapa citra-dalam, jika tak melalui mimpi atau trans. Kali itu ia menulis tentang ularnaga, yang dimaknai sebagai jahat di Barat tetapi
sebaliknya di Timur. Setelah merinci panjang lebar, ia menyimpulkan: marilah kita beranjak dari yang citrawi. Sebab ada yang abstrak. Sungguh tak berwujud.
Yaitu struktur tak terlihat. Relasi. Dalam hal ini ularnaga adalah perlawanan atau pembalikan. Semua citra bisa mengalami proses pembalikan. Ularnaga, satu
dari banyak citra-dalam, bisa dimaknai secara berlawanan: positif maupun negatif Lalita, 2012: 147.
Dari pemikiran tentang alam bawah sadar manusia tersebut, hal yang paling mudah ditemukan adalah bahwa sebenarnya ilmu psikologi berhubungan dengan ilmu
spiritual. Dalam menggambarkan psikologisnya, tokoh Anshel memilih kajian mengenai alam bawah sadar manusia. Menurut psikolog, citra-dalam atau gambaran dalam ini bisa
diakses melalui mimpi karena mimpi merupakan bagian dari alam bawah sadar manusia. Anshel berpendapat bahwa setiap alam tidak sadar manusia memiliki
gambaran dalam yang berupa gambaran dari bentuk-bentuk alam semesta. Mandala dan axis mundi yang dimaksud adalah sebuah ruang atau daerah yang memiliki titik pusat.
Hal tersebut dianggapnya merupakan bentuk-bentuk yang ada pada alam raya ini. Kita tidak mengetahui pusat sesuatu sebelum ada hal yang vertikal yang menemukannya.
Itulah porosnya, tempat bertemunya dua titik. Begitulah Anshel memaknai apa yang dipikirkannya mengenai alam tidak sadar manusia. Pertemuan titik tersebut adalah
pertemuan antara dua hal yang berbeda namun berpasangan. Seperti antara yang suci dengan yang duniawi, lelaki dengan perempuan, hitam dengan yang putih, dan
sebagainya. Begitu pula manusia juga memiliki poros yang mungkin bisa berupa alam prasadar yang memisahkan alam sadar dan alam tidak sadar manusia. Ia menyadari
makna tersebut dalam hidupnya melalui mimpi yang dialaminya.
36
Gagasan tentang ular naga yang dianggap memiliki sifat berkebalikan merupakan gambaran dalam jiwa manusia dan gambaran tentang alam semesta karena
alam semesta sangat luas, sehingga manusia tidak sanggup memikirkannya. Seperti jiwa manusia yang tidak dapat dilihat manusia. Ia menggambarkannya dengan ular naga
yang memiliki makna yang berkebalikan. Jadi, ia memahami gagasannya tersebut sebagai sebuah penemuan tentang gambaran dalam manusia dengan alam semesta. Dari
gagasan tersebut ia menemukan makna eksistensi ular naga dalam hidup. Dalam proses pencarian makna hidup bagi individu yang spiritual, ia tidak hanya
memahami makna tersebut ketika dirasakan dan dipikirkannya terhadap segala sesuatu yang terjadi padanya. Tetapi, ia juga dapat merasakannya melalui benda-benda yang ada
di sekitarnya, ataupun benda yang dianggapnya sangat penting dan berharga. Sebagai contoh adalah pada potongan cerita berikut melalui tokoh Anshel:
Ketika ia siuman, ia mengalami pewahyuan ambang sadar, yang terasa begitu jernih dan terang benderang. Yaitu bahwa mandala bukan hanya
gambaran yang dikarang manusia oleh kesadarannya, atau bahkan setelah menyelam ke dalam nirsadar. Tidak. Tidak hanya itu. Lebih dari itu. Mandala
adalah bagan yang digambar oleh alam semesta sendiri
… Dalam ambang sadarnya Anshel melihat gerakan pelan jutaan serbuk,
memisahkan diri dan mempersatukan diri, membentuk suatu pola ke arah luar, dari sebuah pusat, seperti alam semesta mengembang, menyebarkan debu, lalu
terciptalah pola-pola baru yang melingkar dan terbentuk dari garis-garis lurus… lalu ia melihat Mandala Borobudur Lalita, 2012: 148.
Tokoh Anshel mendapatkan gambaran bahwa ia melihat makna mandala atau tempat kekuasaan suatu agama adalah skema yang dianggapnya dibentuk oleh alam
semesta, seperti dibentuk oleh angin, getaran, ataupun suara. Begitupun pada bentuk Borobudur. Ia melihat bahwa getaran-getaran gelombang tersebut akhirnya membentuk
Mandala Borobudur. Kesimpulannya adalah, Anshel menemukan makna eksistensi
37
sebuah mandala, yaitu bahwa bentuk sebuah mandala terbentuk dari getaran yang ada pada alam semesta itu sendiri melalui getaran dan gelombang. Seperti yang dijelaskan
juga sebagai berikut: Melalui getaran.
Seperti apa yang disebut “pelat Chaldni”, yang ia pelajari dulu dalam studinya. Getaran atau gelombang sesungguhnya memiliki gerak dan struktur
yang menakjubkan. Kita bisa melihatnya dengan alat bantu. Alat bantu yang paling sederhana adalah tepung, serbuk, atau pasir. Lihatlah jejak angin pada
pasir laut. Demikian pula gelombang bunyi dan gelombang lain bisa menciptakan hal yang sama. Taburkanlah serbuk atau tepung pada selempeng
pelat dan paparkanlah lempengan itu pada getaran. Serbuk pada pelat itu akan menciptakan gambar-gambar menakjubkan: mandala dan pola-pola Gambar-
gambar itu akan berubah-ubah bersama pergerakan getaran Lalita, 2012:149.
Makna yang dikutipnya dari hal tersebut adalah, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terbentuk berdasarkan alam semesta itu sendiri. Manusia yang
spiritual memahaminya sebagai proses penciptaan. Hal ini dipelajari dari mandala yang ada pada candi Borobudur sama dengan suatu bentuk yang diciptakan alam semesta
melalui getaran, gelombang, suara, maupun angin. Individu yang spiritual memahami makna jika memang mereka mencarinya.
Individu seperti ini percaya pada apa yang dinamakan takdir. Jika manusia percaya pada takdir, maka orang tersebut akan mencari tahu apa makna dan tujuan terjadinya sesuatu.
Dari potongan cerita berikut akan diungkapkan proses dari pencarian sebuah makna dari tokoh Jati berikut:
Lalita. Lalita. Ia baru sadar bahwa nama perempuan itu sama dengan nama relief ini. Kebetulan kosmis. Sinkronitas. Ia teringat salah satu rumusan
Carl Gustav Jung, psikiater Swiss abad ke-20. Sesuatu yang tidak berhubungan sebab akibat tetapi berhubungan makna. Jung menyebutnya sinkronitas. Parang
Jati percaya kebetulan semacam itu kerap terjadi. Seperti nama Marja Manjali yang sangat mirip dengan Ratna Manjali. Seperti nama Lalita dengan kitab
Lalitavistara. Tapi kebetulan macam itu hanya terlihat bagi orang-orang yang memang mencari makna. Mereka yang tidak mencari makna tidak akan
mendapatkannya Lalita, 2012: 192-193.
38
Pada bagian ini, Parang Jati menyadari bahwa nama Lalita merupakan kebetulan yang telah disengaja. Menurut Parang Jati, hal seperti ini dapat dilihat oleh orang-orang
yang mencari makna dalam hidupnya. Parang Jati telah menemukan makna nama Lalita yang serupa dengan kitab terluar yang ada pada candi Borobudur. Makna tersebut
menyadarkannya bahwa adanya sinkronitas antara nama Lalita dan kitab tersebut. Parang Jati menyadari bahwa nama Lalita berkaitan dengan kakeknya yang kemudian
akhirnya tertarik dengan Buddhisme. Lalita yang diketahuinya saat itu adalah seorang wanita yang berbicara tentang bagan-bagan mandala Borobudur. Seperti yang dijelaskan
berikut: …. Tidakkah perempuan itu bercerita tentang pelbagai mandala dari
seluruh dunia, dan Borobudur sebagai salah satu yang utama? Tidakkah Lalita bercerita tentang seseorang –kalau tidak salah kakeknya– yang terobsesi pada
mandala-mandala dan akhirnya datang ke Jawa, setelah berkelana dari Eropa hingga ke Tibet, untuk mendalami mandala Borobudur? Lalita, 2012: 193.
Melalui hal ini, Jati menemukan dan memahami bahwa nama Lalita Vistara bukanlah sebuah kebetulan belaka, melainkan kebetulan yang memang disengaja karena
namanya sama dengan kitab Lalitavistara yang terdapat pada bagian terluar Candi Borobudur. Lalita merupakan nama yang diberikan kakeknya yang akhirnya menjadi
pengikut Buddha. Dalam ajaran Buddha sendiri ada yang disebut dengan hubungan sebab musabab yang saling bergantungan paticcasamuppada Sanskrit:
pratyasamutpada. c. Misi Hidup
Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasakan adanya
takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu
39
mengembangkan pandangan tentang hidup yang didasari dengan pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu
memiliki motivasi, yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target- target konkret dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.
Sebagai contoh dari komponen spiritual ini adalah rasa tanggung jawab. Individu spiritual yang memiliki misi hidup tenntu merasa bertanggung jawab terhadap
apa yang telah dianggap menjadi tugasnya. Ia akan melakukannya sampai tuntas. Potongan cerita berikut akan diungkapkan hal tersebut:
“Ada tiga zaman yang kerap muncul dalam penglihatanku. Terutama kalau aku sedang meditasi. itu adalah pastlife-ku.”
Tak ada yang berkomentar. “Yang pertama adalah abad ke-9 di Jawa Tengah. Yaitu, dalam
pembangunan Borobudur…” Tak ada seorang pun yang sanggup langsung menyahuti.
“Yang kedua adalah di Tibet. Aku masih tak pasti abad keberapa.” Lalita, 2012: 15.
Dalam meditasi tersebut tokoh Lalita melihat potongan-potongan kehidupan masa lalunya, yaitu dalam pembangunan Candi Borobudur. Lalita merasakan potensi
baik dirinya dalam pembangunan Borobudur karena dalam kehidupan lalunya ia merasa bertanggung jawab dalam pembangunan Borobudur. Dalam Buddhisme, jika seseorang
yang telah diberi tugas dan ia telah berniat, tetapi ia belum menyelesaikannya, maka ia akan dilahirkan kembali untuk memenuhi tugasnya. Seperti kutipan dari ajaran Buddha:
“Kehendaklah yang aku sebut kamma, wahai bikkhu Karena niat seseorang melakukan tindakan oleh tubuh, ucapan, dan pikiran.” Taniputera, 2005: 37. Jadi,
pengaktualisasian potensi baiknya tersebut berupa tanggung jawab dan niat dalam pembangunan Borobudur pada zamannya. Seperti yang terdapat di dalam novel yang
disampaikan JatakaJanaka kepada Yuda:
40
Perempuan itu pernah hidup di sekitar abad ke-9 di pulau Jawa, sebagai seorang putri, jika bukan rani. Ia lahir dalam trah Syailendra yang terkenal itu,
dinasti beragama Buddha. Dinasti besar lain yang hidup sezaman dan setanahair adalah Sanjaya, yang beragama Hindu. Kedua dinasti berhubungan secara
istimewa: mereka baku-saing sekaligus kawin-mawin sehingga berkelindan. Wangsa Syailendra mendirikan Borobudur. Wangsa Sanjaya menegakkan
Prambanan. Dan Lalita adalah putri yang berperan besar dalam pembangunan kuil Buddha terbesar di dunia tadi. Borobudur Lalita, 2012: 45.
Pada kehidupan lalunya, Lalita bertanggung jawab atas pembangunan Borobudur. Tetapi, ia belum menuntaskan tanggung jawabnya, sehingga ia hidup
kembali untuk memenuhi misinya tersebut. Pada kehidupannya sekarang, Lalita merasa bertanggung jawab untuk memperkenalkan Borobudur dan sejarahnya pada masyarakat
dunia. Dalam memenuhi misi hidupnya, individu yang spiritual akan melakukan target-
target yang nyata. Manusia yang menyadari misi hidupnya biasanya memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang menjadi prioritas dalam hidupnya. Sebagai contoh
adalah seorang ibu yang harus menjaga atau menghidupi anaknya. Hal tersebut merupakan contoh kecil dari misi hidup. Misi hidup serupa dapat kita lihat dalam novel
yang dialami oleh tokoh Lalita berikut ini: Lalita bercerita. Saudara lelakinya menculik putranya. Bayi itu berusia
limabelas bulan. Itulah masa manakala bayi menyusu sambil menatap wajah ibundanya. Kau tak akan terbayang. Kau tahu bengkak susu yang kehilangan
bayi. Sejak itu aku merindukan mata yang memandangku, mulut yang menyusu padaku, tangan yang menggemasi dadaku, sari hidup yang terhisap dari pucuk
payudaraku yang peka. Aku merindukan dia, siapapun dia, yang akan mengembalikan keindahan rasa memberi hidup, betapapun sesaat Lalita, 2012:
58.
Seorang ibu yang merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan bayinya akan merasa sangat terpukul apabila bayi yang seharusnya ia berikan kehidupan dirampas
dengan paksa dari hidupnya. Rasa bertanggung jawab tersebut akan tetap membebani
41
seorang ibu terhadap bayi yang tidak akan pernah dilihatnya lagi. Ia ingin tetap memberikan sari kehidupan walaupun itu hanya untuk sesaat. Dari potongan cerita
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dialami Lalita adalah emosi traumatik atas kehilangan bayinya yang diculik oleh kakak lelakinya. Lalita merasakan
kebahagiaan apabila ia menyusui anaknya. Dengan memberikan kehidupan pada bayinya, maka ia juga merasa hidup. Takdirnya sebagai ibulah yang harus dipenuhi
karena misi hidupnya adalah memberikan kehidupan bagi bayinya. Dalam memenuhi misi hidup, individu yang spiritual akan membuat target
konkretnya menjadi suatu tindakan yang nyata. Tindakan nyata dari misi hidup ini ada karena dipicu oleh hal-hal yang membuat individu tersebut tergerak untuk melakukan
sesuatu bagi dirinya maupun orang lain. Individu ini tergerak untuk meninjau kembali arah hidupnya. Seperti yang terdapat dalam potongan cerita yang dialami oleh tokoh
Anshel berikut: Lebih dari sepuluh tahun silam ia memutuskan untuk meninggalkan
Eropa. Benua itu membuatnya patah hati dua kali. Pada akalbudi. Akalbudi mati bersama ayahnya lalu bangkit kembali bersama gurunya. Tapi, rasionalitas pun
akhirnya menyingkirkan ia ketika sang guru mengucilkannya. Rasionalitas itu telah jadi begitu congkak sehingga spiritualitas pun tak diizinkan untuk memberi
pemahaman pada alam nirsadar. Harta karunnya kini adalah warisan Nenek Katarina Szilagyi: sejilid besar diagram konsentris dari pelbagai penjuru bumi.
Mandala-mandala itu adalah pintu-pintu ke dalam jiwa manusia yang terhubung dengan alam semesta. Ia memutuskan untuk memulai perjalanan spiritualnya.
Sesuatu yang tak pernah dipikirkannya dulu Lalita, 2012: 135.
Misi yang harus dijalankan oleh tokoh Anshel adalah berkelana untuk melakukan perjalanan spiritualnya. Ia tergerak untuk memenuhi tujuannya tersebut
karena ia telah patah hati pada akal budi manusia. Jadi, untuk mengembalikan kepercayaannya pada akal budi, Anshel harus melakukan perjalanan spirirutalnya. Hal
42
yang baru disadarinya setelah kenangan-kenangan pahit yang dialaminya. Ia ingin membangkitkan kembali kepercayaannya pada akal budi manusia agar tidak
meninyakiti orang lain. Individu yang sudah memenuhi misi hidupnya, akan menemukan kembali misi
hidup selanjutnya yang harus dipenuhi. Ia kembali tergerak untuk terus mencari dan menuntaskan misi hidupnya tersebut. Hal yang seperti ini juga terlihat pada potongan
cerita melalui tokoh Anshel berikut: Sekarang ia kerap berkata bahwa suatu kali ia akan menemukan
gelombang yang bisa membuat ia mencapai moksa. Yaitu pencerahan ultima. Alam sadar akan bersatu dengan alam nirsadar. Partikel cahaya akan mengubah
materi gelap. Di saat itu, kesadaran manusia akan hilang, bersatu dengan kesadaran semesta. Anak-anak dan cucu lelakinya menganggap itu sebagai suatu
tanda-tanda kepikunan usia tua. Cucu perempuannya tidak berpendapat begitu. Cucu yang dinamainya Lalita.
Di hari ulang tahun ke-85 ia berangkat sendiri dari vila mereka di Magelang ke Borobudur. “Kepada axis mundi,” katanya. “Sebab moksa hanya
bisa dilakukan di titik-titik axis mundi, yang tak banyak di muka bumi ini. Dan Borobudur adalah salah satunya.” Ia membawa beberapa lempeng logam,
beberapa kantung serbuk, kamera Roleiflex twin lens reflex dengan tripod dan perlengkapan lain Lalita, 2012: 153-154.
Tokoh Anshel ingin mewujudkan misi hidupnya yang masih berupa keinginan untuk menjadi tindakan yang nyata dalam pemenuhan misi hidupnya. Keinginan yang
akhirnya menjadi sebuah misi dalam hidupnya. Keinginan tersebut berupa pencapaian moksa atau tingkatan hidup yang bebas dari keduniawian, atau dalam ajaran Buddha
disebut sebagai pembebasan dari penjelmaan kembali atau reinkarnasi. Pencapaian tersebut diharapkan tokoh Anshel melalui pencerahan ultima atau akhir. Tokoh Anshel
menginginkan pecerahan tersebut dicapai dengan cara penyatuan antara kesadaran dan ketidaksadarannya, atau mungkin bisa disebut sebagai meditasi. Pencerahan tersebut
ingin dicapainya pada poros dunia yang salah satunya merupakan Borobudur.
43
Keinginan dan misi tersebut akhirnya diwujudkannya pada ulang tahunnya yang ke-85. Dalam Buddhisme meyakini adanya kelahiran kembali, keadaan seorang yang tidak
hanya dilahirkan sekali saja. Sebelum seseorang atau suatu makhluk mencapai pembebasan nibanna, maka ia akan dilahirkan kembali. Jadi, Anshel akan
menghentikan perputaran kelahirannya kembali dengan melakukan pembebasan diri dari keterlekatan.
Misi hidup yang harus dipenuhi oleh individu spiritual bisa juga berupa pencarian jati dirinya, dan keinginan diri untuk menjadi lebih baik lagi. Keinginan
tersebut juga dapat dipenuhi dengan pembelajaran dari apa yang telah dialami dan dirasakannya. Hal serupa juga diungkapkan dalam potongan cerita novel ini melalui
tokoh Marja, yaitu sebagai berikut: Ia ingin menjadi Marja yang murni. Bukan Marja yang bulus. Tapi yang
murni itu mudah dilukai. Sebab manusia itu telanjang. Dan peredaran darahnya terbuka. Sedang yang ular bulus itu selalu bisa berkelit. Sebab ular itu cerdik.
Serta peredaran darahnya tertutup.
… Marja tidak takut mengakui dosanya. Marja tidak takut menghadapi citra
dan perasaan tak menyenangkan. Marja tidak takut bercermin dalam telanjang. Dalam hal jiwa, sesungguhnya ia jauh lebih berani dibanding banyak orang
Lalita, 2012: 208.
Dalam memenuhi misinya tersebut, tokoh Marja berani belajar dari kesalahan- kesalahannya. Keinginannya ialah ingin menjadi manusia yang tulus, bukan menjadi
yang bulus selayaknya ular. Keinginan tersebut merupakan misi yang ingin dipenuhi dalam hidupnya. Marja tidak takut untuk mengakui dosanya secara tulus, bukan
menyangkalnya dengan hal-hal lain seperti ular yang dapat berkelit. Ia ingin menjadi manusia yang murni. Ia tidak takut berkaca dengan telanjang maksudnya ia tidak takut
untuk melihat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya.
44
Misi-misi hidup yang telah dipaparkan merupakan misi-misi hidup untuk diri sendiri agar menjadi lebih baik. Apabila seorang individu telah memenuhi misi
hidupnya, maka ia akan mencari misi hidupnya yang lain dan bertanggung jawab atas apa telah menjadi pilihannya.
d. Kesakralan Hidup