Nilai-nilai Material NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH

47 Pemahaman tersebut membuat tokoh Parang Jati bisa mengetahui bahwa Borobudur merupakan candi yang disakralkan karena candi-candi di sekitar candi tersebut merupakan pola-pola dasar bentuk dewa-dewa yang menggambarkan sifat dari alam dan manusia. Dewa-dewa tersebut adalah lambang dari sifat-sifat yang tidak berbentuk dan tidak terlihat. Candi Borobudur tidak menyediakan tempat untuk pemujaan bagi para dewa karena sesungguhnya sosok transenden dalam Buddhisme adalah kesadaran diri. Menurut Jati juga, para psikolog analisis juga dapat melihat hal tersebut sebagai gambaran jiwa manusia.

e. Nilai-nilai Material

Individu yang spiritual menyadari banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki. Kesadaran mengenai nilai-nilai material ini bisa juga berupa wujud dari penghargaan individu terhadap kebendaan tersebut. Jenis penghargaan terhadap nilai-nilai material ini juga bisa berbentuk sebuah tulisan atau ilmu yang diwariskan kepada suatu keturunan yang dibendakan dengan harapan dapat membawa manfaat bagi keturunannya kelak. Hal seperti ini dapat dilihat dari potongan cerita pada paragraf berikut: Borobudur dibangun di antara abad ke-8 atau ke-9, berkata Lalita. Sesungguhnya itu bukan sebuah masa yang sangat kuna. Tetapi, betapa menyedihkan, di negeri ini kelembaban merapuhkan semua catatan, kecuali yang ditatah pada logam mulia dan bebatu. Sebab itulah orang di masa lalu membuat piagam dari batu dan lempeng emas atau kuningan. Apa yang berfungsi sebagai sertifikat tanah, kontrak antar wilayah, surat pengangkatan 48 pejabat, dan dokumen penting dipahat pada materi yang diharap abadi. Tetapi catatan sehari-hari dan pengetahuan? Betapa menyedihkan, kelembaban melapukkan ingatan. Maka kita kehilangan tulisan tentang Borobudur, monumen Buddhis terbesar di dunia, dari masa awal berdirinya. Seperti rumah-rumah kayu dan bambu nenek-moyang yang tak bersisa, segala naskah habis dimakan udara dan serangga. Demikianlah kita tertinggal dengan sederet misteri tentangnya Lalita, 2012: 19-20. Tokoh Lalita merasa betapa menyedihkannya manusia pribumi Nusantara yang tidak mengetahui kapan masa pembangungan Candi Borobudur sebagai kuil Buddha terbesar di dunia dari zaman dahulu. Penyebabnya adalah tidak adanya dokumen ataupun prasasti yang terpahat di atas batu atau logam mulia lainnya dalam pembangunan Borobudur. Sehingga Lalita belajar dari hal tersebut dan lebih menghargai keberadaan Candi Buddha terbesar tersebut. Seharusnya nenek moyang orang-orang Nusantara dapat meninggalkan cerita tentang masa pembangunan candi Borobudur. Sebagai orang-orang yang tinggal di daerah yang banyak meninggalkan sejarah, masyarakat sekitar seharusnya juga bisa menghargai peninggalan sejarahnya. Peninggalan sejarah ini bisa berupa bangunan maupun prasasti. Orang-orang seharusnya dapat menghargai apa yang telah menjadi peninggalan nenek moyang zaman dahulu. Individu yang spiritual tentu bisa lebih menghargainya. Namun, betapa menyedihkan ketika individu yang spiritual tersebut hanya dapat melihat peninggalan tersebut telah terbengkalai dan terlupakan. Potongan dari novel berikutnya mengungkapkan hal tersebut: Kesedihan membayangi kehidupan Anshel. Terutama kesedihan akibat kehilangan rasa percaya pada akalbudi manusia. Pada suatu kali kesedihan itu demikian mencekam sehingga ia menulis bahwa ia tak percaya jika orang Jawa- lah yang membangun Borobudur. Kuil ini terlalu sempurna bagi sebuah bangsa yang melupakan khazanah kecerdasan masa silamnya, kecuali bahwa khazanah itu bukan dari leluhur bangsa itu. 49 … Pada saat inilah ia juga mengembangkan teori warnanya sendiri. Jiwa memiliki pancaran cahaya. Dalam mandala, pusatnya adalah cahaya putih, diikuti violet, indigo, biru, hijau, kuning, jingga, merah, merah-hitam atau kecoklatan, dan akhirnya tidak ada cahaya. Gelap. Itu menggambarkan gradasi dari yang spiritual kepada material. Kesadaran manusia hanya bisa menangkap sebagian kecil gelombang itu sebagaimana mata manusia hanya dapat melihat sebagian kecil spectrum cahaya. Tentang bangsa-bangsa yang kehilangan khazanah spiritualnya ia menggambarkan sebagai bangsa yang memancarkan warna merah. Merah: cahaya dengan gelombang pendek saja. Inilah warna lapisan bangsa Jawa yang melupakan Borobudur Lalita, 2012: 150-151. Tokoh Anshel merasakan kesedihan bahwa bangsa Jawa pada saat itu tidak lagi menghargai bangunan peninggalan kecerdasan nenek moyang. Anshel yang merasakan kesedihan ini akhirnya lebih menghargai Borobudur itu sendiri daripada bangsa Jawa. Atas penghargaannya terhadap Borobudur, ia mengembangkan teori tentang warna yang ada dalam jiwa manusia yang bentuknya menyerupai bangunan mandala Borobudur. Kesedihan yang dirasakannya mengenai bangsa Jawa yang kehilangan akalbudi dan tidak lagi menghargai bangunan tersebut telah membuatnya menggambarkan bahwa bangsa Jawa memiliki pola warna merah, yang merupakan warna dengan gradasi terpendek dalam diri manusia.

f. Altruisme