Nilai-Nilai Spiritual Tokoh-Tokoh Dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami

(1)

1

NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH

DALAM NOVEL

LALITA

KARYA AYU UTAMI

SKRIPSI

OLEH:

INDIRA GINANTI

100701051

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

i

NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH

DALAM NOVEL

LALITA

KARYA AYU UTAMI

OLEH INDIRA GINANTI

100701051

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. NIP 19620419 198703 2 001 NIP 19500411 198102 2 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan skripsi saya ini bukanlah karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi oleh orang lain dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.

Medan, April 2015 Penulis,

Indira Ginanti 100701051


(4)

iii

NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH

DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI

SKRIPSI Oleh Indira Ginanti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Karya sastra merupakan bentuk ekspresi jiwa seorang pengarang dalam mengungkapkan isi hati dan pikirannya sesuai dengan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Isi karya sastra sangat beragam, salah satu contoh dari karya sastra adalah mengenai nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual merupakan dasar bagi seorang manusia dalam pembentukan moral, tingkah laku, serta gaya hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Untuk menemukan hasil tersebut digunakan teori psikologi sastra dengan penerapan pendekatan berdasarkan unsur tokoh-tokoh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasikan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Analisis tersebut dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan nilai-nilai spiritual terhadap tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa komponen nilai-nilai spiritual menurut Elkins dkk adalah dimensi transenden dialami oleh Anshel, Parang Jati, dan Marja; makna dan tujuan dalam hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Parang Jati; misi hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Marja; kesakralan dalam hidup dialami oleh Yuda, Jataka/Janaka, Anshel, dan Parang Jati; nilai-nilai material dialami oleh Anshel, dan Lalita; altruisme dialami oleh Parang Jati, idealisme dialami oleh Anshel, dan Parang Jati; kesadaran akan peristiwa tragis dialami oleh Anshel; buah dari spiritual dialami oleh Jataka/Janaka, Yuda, dan Anshel.

Kata-kata Kunci:


(5)

iv PRAKATA

Puji syukur kepada Allah Swt atas berkat, rahmat, dan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis hingga tulisan ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada Nabi besar Rasulullah Saw. atas suri teladannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu mewujudkan impian penulis menyelesaikan setudi dengan baik, yaitu:

1. Orangtua tercinta Ayahanda Ismaya Suhono dan Ibunda Siti Hajjah, Adinda M. Rifky Hidayat, Dimas Firdansyah, M. Taufan, dan Siti Zalista Rahmah, serta almarhum kakek dan almarhumah jidah (yang belum sempat melihat cucunya menyandang gelar sarjana) yang dengan luar biasa telah mencurahkan segala semangat, dorongan moril dan materil demi mewujudkan cita-cita penulis.

2. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memimpin dan membina Fakultas Ilmu Budaya. 3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., selaku ketua Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Drs. Haris Sutan Lubis, M. SP. selaku sekertaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

5. Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang senantiasa membantu, memberi saran, dan bersabar dalam memberikan ilmu kepada penulis.

6. Dra. Yulizar Yunas, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang senantiasa memberi saran dan ilmu kepada penulis.

7. Drs. Pertampilan Brahmana Sembiring, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik.

8. Staf Pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia dan umumnya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

9. Sahabat-sahabat 2010 saya di KBSI. Terima kasih atas cerita suka dan duka yang kita bangun selama ini untuk menuju strata satu.

10.Kakanda dan Abangnda alumni stambuk 2006-2009 dan Adinda-adinda 2011-2014.

11.Kakanda, Abangnda, dan teman-teman Teater ‘O’ USU yang mendukung penulis untuk tetap semangat.


(6)

v

12.Teman-teman TEMU TEMAN (Temu Teater Mahasiswa se-Nusantara).

Kepada pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga bantuan dan dukungannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Namun penulis mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif demi perbaikan.

Medan, April 2015 Penulis,


(7)

vi DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KONSEP LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Konsep ... 6

2.1.1 Nilai-nilai Spiritual ... 6

2.1.2 Tokoh-tokoh ... 7

2.2 Landasan Teori ... 8

2.3 Tinjauan Pustaka ... 12

BAB III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Metode Penelitian ... 14


(8)

vii

3.3 Teknik Analisis Data ... 16

BAB IV TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI ... 17

4.1 Tokoh-tokoh ... 17

4.1.1 Tokoh Utama ... 17

4.1.2 Tokoh Pendukung ... 28

BAB V NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH ... 23

5.1 Nilai-nilai Spiritual ... 23

5.2 Komponen Nilai-nilai Spiritual Dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami ... 24

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1 Simpulan ... 57

6.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA


(9)

iii

NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH

DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI

SKRIPSI Oleh Indira Ginanti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Karya sastra merupakan bentuk ekspresi jiwa seorang pengarang dalam mengungkapkan isi hati dan pikirannya sesuai dengan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Isi karya sastra sangat beragam, salah satu contoh dari karya sastra adalah mengenai nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual merupakan dasar bagi seorang manusia dalam pembentukan moral, tingkah laku, serta gaya hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel Lalita karya Ayu Utami. Untuk menemukan hasil tersebut digunakan teori psikologi sastra dengan penerapan pendekatan berdasarkan unsur tokoh-tokoh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasikan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Analisis tersebut dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan nilai-nilai spiritual terhadap tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa komponen nilai-nilai spiritual menurut Elkins dkk adalah dimensi transenden dialami oleh Anshel, Parang Jati, dan Marja; makna dan tujuan dalam hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Parang Jati; misi hidup dialami oleh Lalita, Anshel, dan Marja; kesakralan dalam hidup dialami oleh Yuda, Jataka/Janaka, Anshel, dan Parang Jati; nilai-nilai material dialami oleh Anshel, dan Lalita; altruisme dialami oleh Parang Jati, idealisme dialami oleh Anshel, dan Parang Jati; kesadaran akan peristiwa tragis dialami oleh Anshel; buah dari spiritual dialami oleh Jataka/Janaka, Yuda, dan Anshel.

Kata-kata Kunci:


(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra merupakan karya seni tulis yang diciptakan seorang pengarang sebagai bentuk aspirasi, apresiasi, dan pandangannya terhadap suatu peristiwa dan perasaan yang dirasakannya. Jabrohim (2001:167) mengatakan bahwa:

Karya sastra adalah hasil pikiran pengarang yang menceritakan segala permasalahan yang ada di masyarakat pada kehidupan sehari-hari. Pengarang mengungkapkan permasalahan itu karena pengarang berada dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu tersebut pengarang senantiasa terlibat dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata di dalamnya berinteraksi.

Karya sastra merupakan bentuk ekspresi jiwa seorang pengarang dalam mengungkapkan isi hatinya. Sesuai dengan pendapat Endraswara (2008:102) yang mengatakan, “Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam jiwanya”. Oleh sebab itu, karya sastra merupakan sesuatu yang pengarang rasakan, hayati, dan pikirkan terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Banyak jenis yang termasuk dalam karya sastra. Novel merupakan sebuah contoh karya sastra. Dalam sebuah novel, terdapat beberapa bahasan atau tema yang diungkapkan. Salah satunya ialah tentang nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual tersebut dapat dilihat dari psikologis tokoh-tokoh dalam novel. Contoh novel yang


(11)

2

menceritakan nilai-nilai spiritual ialah novel Lalita karya Ayu Utami. Tokoh-tokohnya banyak mengalami nilai-nilai spiritual dalam ceritanya.

Dalam novel Lalita karya Ayu Utami tersebut banyak nilai-nilai spiritual yang disiratkan di dalamnya dan juga mengandung nilai-nilai filosofis kehidupan spiritual. Novel tersebut juga menceritakan sejarah yang diceritakan secara fiksi. Selain itu, alur yang digunakan adalah alur campuran, serta latar yang berbeda-beda yang mengharuskan peneliti membaca berulang-ulang novel tersebut.

Berbicara tentang nilai-nilai spiritual, tentu saja kita juga mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang mengutamakan nilai spiritualnya biasanya merasa dekat dan takut pada Sang Pencipta, dekat dengan alam, dan merasa dekat dengan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan atau sosok transenden (di luar akal manusia). Doe dan Walch (2001:15) mengungkapkan:

Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu struktur kejiwaan yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.

Dalam novel Lalita karya Ayu Utami, nilai-nilai spiritual tersebut dapat dianalisis melalui kehidupan tokoh-tokohnya yang berkaitan dengan psikologi sastra. Endraswara (2008:96) mengatakan bahwa “Psikologi sastra adalah kajian yang memandang sastra sebagai aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama atau prosa”.


(12)

3

Lalita karya Ayu Utami adalah novel seri dari Bilangan Fu yang menceritakan kisah spiritual tokoh-tokoh yang bernama Sandi Prayuda (Yuda), Lalitavistara (Lalita), Anshel Eibenschütz (Anshel), Parang Jati (Jati), dan Marja Manjali (Marja). Cerita dalam novel Lalita berawal dari Yuda yang bertemu dengan wanita awal empat puluhan tahun yang bernama Lalita sebagai relasi. Kisah mereka juga diiringi dengan peristiwa dan kisah cinta yang mengandung nilai-nilai spiritual. Misteri kehidupan Lalita yang mengaku indigo, mengaku pernah hidup beberapa abad yang lalu, obsesinya terhadap Candi Borobudur (ini memang kisah tentang Borobudur, di negeri pada masa penduduknya tidak terlalu menghargai kebudayaan, tentang bagan mandala yang menjadi pusat dunia, dan tentang Buddha Gautama), pengakuan tentang dirinya keturunan drakula, dan kecintaannya terhadap buku Indigo yang ditulis oleh kakeknya, Anshel, yang keturunan Austria. Buku Indigo berisi tentang penelitian Anshel yang bermula dari benua Eropa, kemudian hijrah ke Tibet, berakhir di Hindia-Belanda tepatnya di Jawa Tengah untuk mempelajari Candi Borobudur dan juga mendalami nilai-nilai spiritual Buddha. Lalita percaya bahwa dirinya pernah hidup di empat zaman, yang pertama adalah abad ke-5 dengan setting Nepal dan Sriwijaya, abad ke-10 di Jawa Tengah seputar Magelang, Yogyakarta, dan Muntilan, abad ke-15 sebagai drakula di Transylvania, dan abad ke-20 di Nusantara. Hilangnya buku Indigo juga mengikutsertakan Jati dan Marja untuk mencari keberadaan kitab tersebut dan apa hubungannya dengan Yuda dan Lalita sehingga mengikutsertakan mereka ke dalam momen spiritual dalam pencarian mereka.


(13)

4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel

Lalita karya Ayu Utami dengan teori psikologi sastra.

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini peneliti membatasi pengkajian pada unsur intrinsik berupa tokoh-tokoh yang dideskripsikan dan juga mendeskripsikan nilai-nilai spiritual yang dialami tokoh-tokoh dengan teori psikologi sastra sesuai dengan isi novel.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai spiritual yang dialami tokoh-tokohnya dan menjelaskan nilai-nilai spiritual tokoh-tokoh dalam novel Lalita.

1.4.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu Sastra Indonesia terutama dalam pengkajian novel Indonesia modern dengan pendekatan psikologi sastra.


(14)

5 b. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian ini dapat membuat pembaca memahami nilai-nilai spiritual, dilihat dari psikologi tokoh dan hubungan setiap tokoh yang satu dengan yang lain terhadap nilai-nilai spiritual dan kehidupan yang dialami tokoh.


(15)

6

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008:725), “Konsep merupakan (1) rancangan atau buram surat, dsb; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”. Dengan kata lain, konsep digunakan sebagai kerangka atau pijakan untuk menjelaskan, mengungkapkan, menggambarkan, atau pun memaparkan suatu objek atau topik bahasan.

Sesuai dengan judul penelitian ini, Nilai-nilai Spiritual Tokoh-tokoh dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami, konsep yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut.

2.1.1 Nilai-nilai Spiritual

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Suyitno (1986:3), menyatakan “Sastra sebagai produk kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempunyai penyodoran konsep baru”. Nilai terbentuk dari apa yang benar, pantas, dan luhur untuk dikerjakan dan diperhatikan.


(16)

7

Spiritual adalah suatu keadaan manusia yang merasa adanya kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia, dan merasa bahwa manusia haruslah hidup untuk sesama. Spiritual menurut Tischler (dalam Desiana, 2011:12) adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah “sesuatu yang lebih besar dari diri manusia” adalah sesuatu yang di luar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Jadi, nilai-nilai spiritual adalah hal-hal yang baik dalam suatu keadaan manusia yang merasakan adanya kekuatan yang lebih besar daripada diri manusia tersebut, dan merasa adanya tujuan dari hidup.

2.1.2 Tokoh-tokoh

Tokoh adalah unsur intrinsik yang terpenting dalam sebuah karya sastra. Dalam

Kamus Bahasa IndonesiaUntuk Pelajar (2011: 563) pengertian tokoh adalah pemegang peran dalam roman atau drama. Nurgiyantoro (1998:179) membedakan tokoh menjadi tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh bawahan. Beliau mengatakan:

Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh sentral bukanlah frekuensi kemunculan tokoh dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatannya di dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Tokoh sentral dan tokoh bawahan terdiri dari tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Ketika membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri, memberi simpati dan empati, atau melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tertentu. Tokoh yang disikapi demikian disebut tokoh protagonis. Tokoh protagonis merupakan pengejawantahan dari norma-norma atau nilai-nilai yang ideal bagi pembaca.

Sebuah cerita rekaan atau fiksi haruslah memiliki konflik dan ketegangan, terutama yang dialami oleh tokoh protagonis. Menurut Nurgiyantoro (1998:179), “Biasanya konflik disebabkan oleh tokoh lain. Tokoh penyebab konflik ini kemudian


(17)

8

disebut sebagai tokoh antagonis. Tokoh antagonis ialah tokoh yang menjadi penentang utama atau yang beroposisi dengan protagonis”.

2.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini digunakan teori psikologi sastra. Menurut Endraswara, (2008:96), “Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Karya sastra dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa”. Menurut Ratna (2011:16):

Psikologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kejiwaannya. Sebagai hasil rekonstruksi proses mental karya sastra diduga mengandung berbagai masalah berkaitan dengan gejala-gejala kejiwaan. Gejala-gejala yang dimaksudkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, melalui unsur-unsurnya termanifestasikan dalam karya. Sesuai dengan ciri-ciri kejiwaan tersebut pada umumnya unsur-unsur penokohanlah yang paling banyak menarik minat para peneliti.

Roekhan (dalam Endraswara, 2008:97) mengatakan bahwa “Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan tekstual, (2) pendekatan reseptif-pragmatik, (3) pendekatan ekspresif”. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual maksudnya yaitu mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Demikian pula dalam penelitian ini menganalisis sebuah novel yang ceritanya membahas bagaimana nilai-nilai spiritual tokoh-tokohnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam novel Lalita karya Ayu Utami tersebut terdapat sejumlah peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan yang mendorong keluarnya nilai-nilai spiritual terhadap


(18)

9

tokoh-tokoh. Lingkungan dan keadaan memang dapat membuat seseorang mengalami nilai spiritual. Adapun komponen nilai-nilai spiritual tersebut menurut Elkins dkk (dalam Desiana, 2011:14-17) adalah sebagai berikut:

a. Dimensi transenden, yaitu individu spiritual percaya akan adanya dimensi

transenden dari kehidupan. Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan individu sebagai sosok transeden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora.

b. Makna dan tujuan dalam hidup, yaitu individu yang spiritual memahami

proses pencarian akan makna dan proses pencarian hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing.

c. Misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat

memecah misi hidupnya dalam target-target konkret dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.

d. Kesakralan hidup, individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk

melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal yang bersifat keduniaan.

e. Nilai-nilai material, individu yang spiritual akan menyadari banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari


(19)

10

kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang, namun tidak mencari kepuasan sejati dari hal-hal material tersebut.

f. Altruisme, individu yang spiritual akan menyadari adanya tanggung jawab

bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keeper). Mereka meyakini tidak ada manusia yang berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain.

g. Idealisme, individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat terhadap potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang, namun juga pada hal baik yang mungkin diinginkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai.

h. Kesadaran akan peristiwa tragis, individu yang spiritual menyadari perlu

terjadinya tragedi dalam hidup seperti adanya rasa sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka lebih dapat menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju.

i. Buah dari spiritualitas, komponen terakhir merupakan cerminan atas

kedelapan komponen sebelumnya seperti halnya dengan individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dianutnya. Pada komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan


(20)

11

biasanya dikaitkan hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai transenden.

Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti akan mengaitkan nilai-nilai spiritual yang dialami tokoh-tokoh dalam novel Lalita karya Ayu Utami dengan komponen-komponen pembentuk nilai-nilai spiritual menurut Elkins dkk yang telah disebutkan.

2.3Tinjauan Pustaka

Novel Lalita karya Ayu Utami merupakan novel yang menceritakan tentang pengalaman tokoh-tokoh dalam mengalami nilai-nilai spiritual. Sepanjang pengetahuan dan penelitian yang dilakukan, novel tersebut belum pernah diteliti dengan objek kajian yang sama oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara, maupun di universitas lain di Indonesia.

Penelitian tentang spiritual dengan objek kajian berbeda telah dibahas oleh Adil Sastrawan (UIN Sunan Kalijaga, 2011) dengan judul “Spiritualitas Dalam Novel Bilangan Fu” (http://digilib.uin-suka.ac.id/). Penelitian tersebut mendeskripsikan nilai spiritual yang dialami tokoh, dan juga menjelaskan kecenderungan spiritualitas ke arah primitif. Kepercayaan terhadap mitos-mitos, legenda rakyat, dan makhluk-makhluk halus yang dipercayai sebagai spiritualitas. Hasil analisis tersebut mengemukakan kritik terhadap cara pandang modern yang cenderung antroposentris dan anti-ekologi.

Kajian dengan judul ”Pendidikan Emosional dan Spiritual (ESQ) dalam Novel

Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi” yang dilakukan oleh Tsurayya Syarif Zain mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, tahun Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pesan moral mengenai pendidikan


(21)

12

ESQ dan memahami tolak ukur ESQ. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan memberi kesimpulan bahwa pendidikan ESQ dapat ditelaah melalui pesan moral yang mencakup kemampuan dalam mengolah emosi. Hal ini dapat memotivasi diri, memberi kemampuan dalam mengolah emosi, mampu menghadapi persoalan makna atau nilai (value), dan dapat menempatkan perilaku hidup dalam konteks yang lebih baik. Selain itu pendidikan ESQ dapat dipelajari melalui tolak ukur ESQ yang mencakup pengendalian diri, pengaturan diri, motivasi, simpati, empati, keterampilan sosial, keteguhan pendirian, berserah diri kepada Allah, menghambakan diri secara total, meyakinkan segala urusan rezeki hanya kepada Allah semata dengan segala usaha dan doa, dan mengintegritaskan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian tentang nilai spiritual juga pernah dilakukan, namun pada objek yang berbeda. Penelitian dengan judul “Representasi Nilai Spiritual dalam Novel Dzikir dan Fikir Karya Reza Nurul Fajri” oleh Hidayatul Mustakim mahasiswa magister di bidang Pendidikan Bahasa Indonesia, ta penelitian tersebut membicarakan tentang mengungkapkan nilai spiritual dalam novel tersebut dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa novel tersebut mengandung nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual yang ditemukan antara lain adalah religius, jujur, tanggung jawab, berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif, cerdas, tangguh, ingin tahu, peduli, santun, demokratis, dan peduli lingkungan. Nilai spiritual yang paling banyak ditemukan adalah spiritual religius, sedangkan nilai spiritual yang paling sedikit ditemukan adalah spiritual peduli lingkungan. Adapun implikasi nilai spiritual dalam novel tersebut dapat diterapkan pada


(22)

13

perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran bahasa, serta penentuan tema mata pelajaran penerapan pada empat aspek pembelajaran Bahasa Indonesia.


(23)

14

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi dan tidak berupa angka-angka. Menurut Semi (2012:28), “Metode penelitian kualitatif ialah metode penelitian yang dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.

Metode kualitatif tersebut dideskripsikan secara deskriptif. Whitney (dalam Kaelan, 2005:58) mengatakan:

Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan sistematis. Misalnya dalam hubungannya dengan penelitian masyarakat, penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu”. Uraian tersebut disimpulkan bahwa penelitian ini bertujuan mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal individu atau kelompok.

Adapun hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi data, sumber data, dan teknik pengumpulan data.

1. Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan bukan angka-angka. Dalam penelitian kualitatif, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana yang terdapat pada novel Lalita karya Ayu Utami.


(24)

15 2. Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data yang dianalisis adalah: Judul : Lalita

Pengarang : Ayu Utami

Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Tebal Buku : 251 hal. + x

Cetakan : Pertama Tahun Terbit : 2012

Warna Sampul : Putih gading, beragam warna hijau, beragam warna merah Gambar Sampul : Terdapat cukil-cukil ranting kayu dengan daun-daun,

bunga-bunga, dan buah-buah, di tengah-tengah terdapat gambar buah yang besar yang terbelah sehingga terlihat isi dan getahnya

Sumber data tersebut merupakan data primer yang dianalisis sebagai sumber data utama. Selain data primer, terdapat juga data sekunder yang juga diperlukan oleh peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra, artikel, skripsi, jurnal dari internet, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik pustaka, menyimak, dan mencatat. Teknik pustaka dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat dilakukan dengan menyimak secara teliti dan cermat terhadap sumber data primer yang objeknya berupa novel Lalita karya Ayu Utami. Hasil menyimak tersebut kemudian dirangkum untuk


(25)

16

digunakan dalam penyusunan laporan penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam data yang dicatat itu, disertakan pula kode sumber datanya untuk melakukan pengecekan ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data (Subroto, 1992:41-42).

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam meneliti novel Lalita karya Ayu Utami ini adalah teknik deskriptif analisis. Dalam deskriptif analisis, data yang telah diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Cara kerjanya ialah dengan mendeskripsikan data yang diperoleh dengan membaca berulang-ulang. Hal itu dapat dilakukan dengan meneliti nilai-nilai spiritual yang dialami oleh tokoh dalam novel tersebut.


(26)

17 BAB IV

TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL LALITA

KARYA AYU UTAMI

4.1 Tokoh-tokoh

Tokoh merupakan bagian terpenting dalam karya sastra. Tokoh memainkan peran sebagai salah satu unsur yang membangun cerita dalam karya sastra. Adanya tokoh dalam karya sastra sangat memengaruhi jalan cerita, konflik, dan klimaks dalam suatu karya sastra. Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 1998: 165) bahwa “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Dalam karya sastra, tokoh memiliki peranan masing-masing. Tokoh dapat berupa tokoh sederhana dan tokoh bulat. Nurgiyantoro (1998: 181-183) mengatakan bahwa, tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya yang memiliki berbagai sikap dan tindakan. Adapun nama lain dalam penyebutan tokoh adalah tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam novel yang diteliti juga pasti memiliki tokoh utama dan tokoh pendukung, berikut ini adalah penjelasannya.

4.1.1 Tokoh Utama

Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan dalam cerita karya sastra. Tokoh utama tersebut selalu paling banyak diceritakan dan berhubungan dengan tokoh


(27)

18

lainnya. Nurgiyantoro (1998: 177) memperjelas bahwa tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian atau konflik, penting yang memengaruhi perkembangan plot. Dalam penceritaannya, tokoh utama menjadi inti dari suatu ide cerita yang disampaikan. Dalam novel Lalita karya Ayu Utami memiliki tokoh utama dalam penceritaannya, yaitu sebagai berikut:

a. Lalita Vistara (Lalita)

Tokoh Lalita muncul pada bab pertama novel, yaitu bab Indigo. Lalita merupakan tokoh utama yang penting dalam novel ini. Lalita pula yang membangun dan mengubungkan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya. Lalita adalah seorang wanita modern, cantik, pintar, dan kaya. Lalita adalah wanita dengan usia di awal empat puluhan tahun. Namun, berparas seperti wanita pertengahan tiga puluhan tahun. Lalita sangat suka membubuhkan make-up pada wajahnya karena ia ingin menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan juga ingin menyembunyikan wajahnya pada dunia.

Lalita sangat menyukai warna ungu, hingga ia dijuluki wanita indigo. Ia menganggap ia juga indigo bukan karena ia menyukai warna ungu, tetapi karena ia sering melihat potongan-potongan kehidupan masa lalunya sebelum ia bereinkarnasi menjadi Lalita yang sekarang. Ia percaya bahwa dia adalah orang yang bertanggung jawab dalam pembangunan Borobudur pada masanya, dan ia juga beranggapan bahwa dirinya adalah keturunan drakula dan pernah hidup di Transylvania.

Lalita merupakan pemilik galeri seni di Jakarta. Salah satu pameran seninya adalah mengenai Candi Borobudur beserta bagan-bagan dan mandalanya. Obsesinya terhadap kuil Buddha terbesar ini adalah karena kecintaannya terhadap kakeknya orang Austria yang akhirnya menjadi pengikut Buddha dan telah mewariskan buku indigo


(28)

19

padanya. Kecintaannya terhadap sang kakek dan buku indigo membuatnya ingin memgenalkan sang kakek pada dunia. Wujud cintanya pada sang kakek ialah ia menjadi orang yang spiritual dan memiliki jalan pemikiran yang bijak dalam hidupnya.

Lalita memiliki trauma masa lalu atas kehilangan anaknya yang diculik kakaknya. Lalita memiliki saudara kembar menurut dirinya, dan menurut saudaranya tersebut mereka adalah kakak-adik dan Lalita adiknya. Lalita memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan saudaranya.

4.1.2 Tokoh Pendukung

Tokoh tambahan atau tokoh pendukung merupakan tokoh yang menjadi pelengkap yang memperkuat sebuah cerita. Tokoh pendukung juga merupakan bagian yang cukup penting dalam membangun cerita. Tokoh pendukung memainkan peran yang sedikit dibandingkan tokoh utama. Namun, perannya sangat mendukung tokoh utama. Nurgiyantoro (1998:177) mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.

Dalam novel Lalita karya Ayu Utami juga memiliki tokoh tambahan dalam penceritaannya. Tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Anshel Eibenizcust (Anshel)

Tokoh Anshel muncul pada bab kedua, yaitu Hitam. Tokoh Anshel juga merupakan tokoh utama. Walaupun tidak berhubungan langsung dengan tokoh lainnya, tetapi, tokoh Anshel inilah yang banyak memberikan pengaruh nilai-nilai spiritual terhadap tokoh lainnya melalui tokoh Lalita dan buku indigo yang ditinggalkannya.


(29)

20

Anshel adalah seorang Austria dan beragama Yahudi pada masa kecilnya. Keluarga Anshel bukanlah keluarga yang taat. Sedari kecil, Anshel diajarkan untuk tidak terlalu dekat dengan agama. Walaupun begitu, kedekatannya dengan dunia spiritual sudah tampak ketika ia kecil.

Anshel memiliki trauma yang menyebabkannya kehilangan kepercayaan pada akal budi manusia. Ia kemudian menumbuhkan kembali rasa percayanya pada akal budi manusia ketika ia bertemu dengan guru psikoanalisa, Sigmund Freud. Namun, karena gagasannya tentang alam tidak sadar manusia berhubungan dengan spiritual, ia diusir dari kumpulan dan kehilangan lagi kepercayaan tentang akal budi. Anshel akhirnya pergi dari benua Eropa yang meninggalkan luka baginya. Hingga akhirnya ia berkelana ke Tibet dan akhirnya ke Nusantara tempat beradanya Candi Buddha terbesar berada. Ia akhirnya tertarik pada Buddhisme. Ia menghubungkan Buddhisme dengan psikoanalisa. Dan menemukan gagasan tentang struktur mandala Borobudur. Dari gagasan-gagasannya tentang candi Borobudur, ia menemukan struktur alam semesta.

b. Sandi Prayuda (Yuda)

Yuda muncul pertama kali dalam penceritaan novel sebagai sudut pandang orang ketiga. Yuda muncul pada bab satu, Indigo. Yuda adalah seorang pemuda yang berusia dua puluh. Yuda adalah salah satu mahasiswa ITB yang sangat mencintai alam. Liar, bengal, dan cekatan adalah kesan pertama orang-orang meilhat sosok Yuda. Yuda adalah tokoh yang berhubungan langsung dengan tokoh Lalita. Yuda menyebut Lalita dengan wanita indigo. Karena kecekatan yang dimiliki Yuda, ia mendapat hadiah berupa ilmu dan pengalaman yang berharga baginya dari Lalita. Sejak saat itu ia sering


(30)

21

berhubungan dengan Lalita. Yuda merasa berterima kasih pada sosok Lalita, karena ia telah diberi pengalaman dan ilmu yang tidak pernah diduga sebelumnya.

c. Parang Jati (Jati)

Parang Jati merupakan sahabat dari Yuda. Tokoh Jati muncul pada bab Indigo. Jati memiliki sifat yang berkebalikan dari Yuda. Jati juga mencintai kekasih Yuda, Marja. Parang Jati adalah sosok yang lembut dan pemaaf. Jati memahami jenis-jenis perdewataan dalam Buddhisme, karena ayah angkatnya adalah seorang suhubudi. Jati juga sangat dekat dunia spiritualisme. Kedekatannya dengan dunia spiritual, menjadikannya menjadi sosok yang berbeda dari sahabatnya yang liar.

d. Marja Manjali (Marja)

Marja mulai muncul pada bab Indigo. Marja merupakan kekasih Yuda sekaligus sahabat Jati. Marja adalah mahasiswi seni ITB. Marja merupakan gadis yang periang dan manja yang dicintai oleh Yuda dan Jati. Marja mencintai Yuda, tetapi ia juga mencintai Jati. Ia menginginkan kedua lelaki yang berbeda sifat itu sekaligus. Marja adalah orang menemukan buku indigo yang telah dicuri. Dari buku itu, ia mempelajari nilai-nilai spiritual dan ilmu-ilmu yang telah digagas oleh Anshel. Marja adalah sosok yang mau belajar memperbaiki dirinya. Marja tidak takut mengakui dosa-dosanya.

e. Jataka/Janaka

Dalam novel Lalita, tokoh Jataka/Janaka disebutkan bahwa ia mengaku bernama Jataka sebagai kakak lelaki Lalita. Bagi tokoh Lalita, ia bernama Janaka dan bersaudara kembar dengannya. Jataka/Janaka adalah ketua organisasi pemuda, atau yang lebih sering disebut dengan organisasi preman. Tokoh inilah yang menginginkan buku indigo untuk dijual kepada orang Eropa yang mulai mengenali nama Anshel, kakeknya. Tokoh


(31)

22

ini terkenal licik dan jahat. Ialah yang menculik bayi Lalita dan membunuhnya, membantai Lalita, dan menculik Yuda demi buku indigo. Tokoh ini tidak dekat dengan spiritual, tetapi ia memahaminya.

Adapun tokoh-tokoh pendukung lain yang diceritakan dalam novel tersebut yang belum disebutkan adalah Oscar dan Jisheng. Oscar dan Jisheng berhubungan dengan tokoh Lalita dan Yuda. Namun, karena pengaruhnya terhadap penelitian yang dilakukan kurang, maka mereka tidak disebutkan dalam penelitian ini.


(32)

23 BAB V

NILAI-NILAI SPIRITUAL TOKOH-TOKOH

DALAM NOVEL LALITA KARYA AYU UTAMI

5.1 Nilai-nilai Spiritual

Nilai-nilai spiritual adalah hal-hal yang baik dalam suatu keadaan manusia yang merasakan adanya kekuatan yang lebih besar daripada diri manusia tersebut, dan merasakan adanya tujuan dari hidup. Tischler (dalam Desiana, 2011:12) mengatakan bahwa spiritualitas mirip dengan suatu cara yang berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Nilai-nilai spiritual sering dialami oleh manusia, apabila manusia tersebut dapat memahaminya. Bahkan nilai-nilai spiritual bisa juga dipahami dengan rasional apabila manusia tersebut mau mencari tahu apa makna yang terkandung di balik setiap nilai-nilai spiritual tersebut. Elkins dkk (dalam Desiana, 2011:12) mengartikan spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.


(33)

24

5.2 Komponen Nilai-nilai Spiritual dalam Novel Lalita Karya Ayu Utami

a. Dimensi Transenden

Dimensi transenden merupakan zat, sosok, wilayah, atau apa yang dianggap oleh seorang spiritual sebagai sesuatu yang paling tinggi dan di luar dari kekuatan manusia dan alam. Ada yang menyebutnya sebagai Tuhan, yang lainnya menganggap sebagai sumber dari segala sesuatu, dan jenis-jenis metafora lain untuk menggambarkannya. Dalam memahami dan berhubungan dengan sosok atau dimensi transenden ini masing-masing individu dan keyakinannya memiliki perantara dan cara masing-masing-masing-masing. Seperti umat Islam melalui shalat dan dzikir, umat Kristen melalui pujian-pujian dan nyanyian, umat Buddha dan Hindu dengan bersemadi dan memberikan sesembahan, dan lain-lain dengan cara masing-masing.

Dalam proses pemahaman dan berhubungan dengan dimensi atau sosok transenden inilah individu yang spiritual mendapat nilai-nilai spiritual tersebut. Seperti yang terjadi pada tokoh Anshel Eibenizcust (Anshel) dalam potongan cerita berikut:

Anshel bukan orang yang menjalankan agama. Tapi ia punya pandangan positif tentang spiritualitas. Ia, dan kelak Carl Jung, membayangkan jiwa manusia sebagai suatu bagan konsentris. Di tengahnya adalah alam nirsadar yang mempertemukan manusia dan semesta. Dalam alam nirsadar itu terdapat citra-dalam yang menghubungkan manusia dengan semesta. Struktur jiwa manusia mencerminkan struktur alam semesta. Religiositas memiliki dasar alami (Lalita, 2012: 130).

Dalam kehidupan manusia, perlu adanya pemahaman tentang sosok atau dimensi transenden. Dimensi transenden diperlukan karena hal itulah yang menjadi dasar bagi kehidupan manusia. Dalam hidup, religiositas atau keimanan memiliki dasar alami, yang merupakan bagian dari kekuatan dimensi transenden tersebut untuk dipahami.


(34)

25

Alam semesta dianggap sebagai dimensi transenden bagi yang mempercayainya karena alam semesta merupakan suatu dimensi yang luas, tidak berbatas, dan di luar dari kekuatan dan pikiran manusia itu sendiri. Jadi, dalam hal ini dirasa perlu adanya proses untuk memahaminya, yaitu dengan agama atau keimanan.

Tokoh Anshel menganggap dimensi transenden tersebut sebagai alam semesta. Jadi, ia merasa perlu adanya pemikiran bahwa manusia berhubungan dengan alam semesta (dimensi transenden) yang menurutnya hanya bisa dirasakan ketika manusia berada di alam bawah sadarnya. Menurutnya, dengan manusia berada di alam bawah sadarnya, manusia tersebut dapat memahami alam semesta raya ini karena alam semesta luas dan tidak berbatas. Jadi, Anshel berpendapat bahwa alam semesta tersebut dapat dirasakan ketika seseorang tersebut sedang berada di alam nir-sadarnya. Dimensi transenden merupakan ukuran, ruang, dan waktu yang berada di luar batas kemampuan manusia. Dalam memahaminya, perlu kerja alam tidak sadar manusia sebagai perantara menurut Anshel. Anshel menganggap psikologi alam nir-sadar manusia berkaitan dengan keimanan individu. Anshel menganggap struktur jiwa manusia seperti struktur alam semesta. Anshel memahami dimensi transenden ini dengan alam nir-sadarnya.

Dalam memahami sosok transenden, masing-masing kepercayaan tentu memiliki keyakinannya masing-masing. Pada Buddhisme, mereka meyakini bahwa dimensi transenden bukan merupakan sosok seperti yang dipercaya oleh orang-orang monoteisme. Buddhisme meyakini bahwa dimensi transenden adalah sebuah kekuatan besar yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu yang ada pada alam semesta ini. Hal tersebut diungkapkan dalam potongan cerita dalam novel dengan tokoh Anshel, Parang Jati (Jati) dengan Marja Manjali (Marja) di dalamnya, yaitu sebagai berikut:


(35)

26

Ia tidak melihat struktur tadi pada Buddhisme (setidaknya, pada saat itu dan di Tibet). Buddhisme tidak mengajarkan adanya Tuhan yang bersifat personal. Tak ada nama-nama bagi Tuhan. Tidak ada Tuhan pencemburu maupun yang penyayang. Mereka sama sekali tidak terobsesi pada Tuhan. Mereka juga tidak terobsesi pada setan atau seks. Obsesi adalah salah satu bentuk neurosis.

Buddhisme terbebaskan dari obsesi akan Tuhan. Buddhisme menawarkan paradigma yang lain sama sekali. Untuk paham, kaum monoteis harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari kerangka pikir monoteistik, atau mereka akan gagal mengerti. Buddhisme mengajarkan agar manusia memperoleh pencerahan dengan melepaskan diri dari keterlekatan pada benda-benda dan hal-hal yang sesungguhnya hanyalah ilusi (Lalita, 2012: 137-138).

“Mungkin…” sahut Parang Jati sambil setengah melamun, “Mungkin karena dalam Buddhisme, perdewataan ini sebetulnya sama sekali tidak sentral.”

“Jadi?”

“Yang sentral adalah mencapai kesadaran sejati. Kesadaran yang terlepas dari segala keterlekatan.” Parang Jati memandang Marja. Ada sedih di mata itu, seolah ia ingin melepaskan diri dari keterlekatannya pada gadis itu.

“Keterlekatan pada apa?”

“Pada apapun. Termasuk pada cinta.” (Lalita, 2012: 185).

Buddhisme mengajarkan tujuan akhir yang harus dicapai melalui daya upaya yang dilakukan oleh diri sendiri. Tujuan akhir tersebut adalah pembebasan diri dari keterlekatan, dan mencapai kesadaran diri. Hal inilah yang menjadi kekuatan besar dalam Buddhisme. Dalam Buddhisme tidak mengenal konsep makhluk adikuasa yang melimpahkan keselamatan bagi umat manusia. Bahkan seorang Buddha yang dipercaya oleh umatnya tidak pernah mengatakan bahwa dialah yang menganugerahkan tujuan akhir tersebut pada umatnya. Dia hanya mengaku bahwa dia adalah semata-mata guru yang menunjukkan jalan bagi para pengikutnya. Seperti yang ada pada kitab

Dhammapada yang berbunyi: “Pembebasan perlu diusahakan oleh dirimu sendiri. Sang Buddha hanya menunjukkan jalan.” (Taniputera, 2005:25). Jadi, dalam Buddhisme sebenarnya untuk mencapai kesadaran sejati tersebut, manusia harus membebaskan dan melepaskan dirinya dari keterlekatan yang ada di dunia ini. Menurut Buddhisme, sosok


(36)

27

transenden adalah pembebasan bagi diri dari keterlekatan dan kembali pada kekuatan alam yang paling besar.

Dari cerita tersebut, tokoh Anshel berpikir bahwa dimensi transenden yang dipuja oleh umat Buddha berbeda dari dimensi transenden yang diyakini umat lain. Sosok transenden yang ada dalam pikirannya bukanlah Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu. Ia beranggapan bahwa tidak ada Tuhan. Ia menganggap bahwa Buddhisme membawa manusia pada pencerahan diri. Dimensi transenden yang dipercaya oleh Anshel adalah dimensi yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri kepada pencerahan yang merupakan sumber kekuatan yang ada pada alam semesta ini.

Pada bagian cerita lainnya, tokoh Parang Jati menjelaskan kepada tokoh Marja bahwa sebenarnya perdewataan dalam Buddhisme tidak terikat satu dengan yang lainnya adalah karena bentuknya yang tidak sentral atau tidak memiliki poros. Dengan kata lain, perdewataan ini bersifat universal. Perdewataan hanyalah pengantar manusia untuk menuju kesadaran sejati. Inti dari Buddhisme itu sendiri adalah pencapaian kesadaran. Dewa-dewa yang dipuja dalam Buddhisme bukanlah sosok transenden. Dewa-dewa yang diyakini umat Buddha adalah pengantar manusia untuk mencapai kesadaran dan pencerahan. Seperti itulah Parang Jati memaknai dimensi transenden dalam ajaran Buddhisme.

Agar lebih mudah memahami dimensi transenden (pencerahan diri) dalam ajaran Buddha, pada bagian ini akan dijelaskan pembagian dunia menurut Buddhisme. Buddhisme memiliki tiga dunia yang diyakini oleh umat Buddha, yaitu kamadatu


(37)

28

rupa adalah dunia yang tertinggi menurut ajaran Buddhisme karena dunia inilah yang membebaskan diri manusia dari keterlekatan. Jadi, untuk mencapai dunia ini manusia harus terlebih dahulu melewati dunia hasrat dan dunia rupa ini. Seperti yang dijelaskan tokoh Jati terhadap Marja sebagai berikut:

Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nanti di candi Borobudur kamu akan lihat bahwa dewa-dewa ini tidak penting lagi, Marja. Mendut ini adalah candi pertama dalam peziarahan. Candi terluar. Kamu ingat, dalam candi Buddha, ada tiga tingkatan dunia: kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. A-rupa-datu, dunia tanpa rupa, itulah yang paling tinggi.”

Marja ingat. Dari wisata candi liburan lalu. Candi Hindu maupun Buddha membagi kuil dalam tiga tingkat perlambangan. Candi Hindu menamainya bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Dunia bawah, tengah, dan swarga atau surga. Candi Buddha menamainya kamadatu, dunia hasrat; rupadatu, dunia rupa; dan arupadatu, dunia tanpa rupa (Lalita, 2012: 185-186).

“Tidak semua orang kuat memahami tabel periodik. Tidak semua orang kuat untuk langsung mencapai kesadaran sejati. Sebagian besar manusia lemah, dan mereka membutuhkan alat bantu.”

“Dewa-dewa itu alat bantu?”

“Hm. Kira-kira begitu.” Parang Jati mengeratkan rengkuhannya. “Saya kira begitu. Segala yang rupa ini membantu kita mencapai yang tanpa rupa.” (Lalita, 2012: 187-188).

Buddhisme mengajarkan tingkatan dunia yang terbagi berdasarkan hal-hal yang diyakini ada di dunia ini. Kamadatu atau dunia hasrat adalah dunia terendah menurut Buddhisme. Pada dunia inilah manusia banyak terlena dan melupakan tujuan akhir hidup ini. Manusia terlena dalam mengejar segala sesuatu yang sifatnya duniawi, seperti kekayaan, kesehatan, kesuksesan, dan lainnya. Rupadatu merupakan dunia rupa, yang menurut Buddhisme merupakan sifat-sifat manusia dan sifat-sifat yang ada dalam alam semesta ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang tentu saja tidak terlihat wujudnya. Sehingga, umat Buddha menggambarkannya dalam bentuk patung-patung atau bentuk-bentuk yang dianggapnya sebagai dewa-dewa yang mewakili sifat-sifat


(38)

29

tersebut. Dunia rupa berisi segala sesuatu yang memiliki kebalikan, kesenangan-penderitaan, kebahagiaan-kesengsaraan, kekayaan-kemiskinan, dan lain-lain. Untuk mencapai kesadaran sejati menurut Buddhisme, manusia harus melepaskan keterlekatannya dari hal-hal seperti ini. Untuk mendapatkan kesadaran sejati tersebut, Buddhisme mengajarkan bahwa individu harus bisa memahami sifat-sifat tadi. Dewa-dewa yang mereka gambarkan merupakan sebuah “jembatan” untuk mencapai kesadaran sejati. Jadi, untuk mencapai kesadaran tersebut, manusia harus memahami sifat-sifat tersebut dan melaluinya. Arupadatu atau dunia tanpa rupa adalah bagian akhir atau hasil akhir dari proses pembebasan diri dari keterlekatan tadi. Saat manusia sudah bisa mencapainya, maka saat itulah ia telah mencapai kesadarannya.

Bagian cerita yang lain menjelaskan tentang pengetahuan Parang Jati dan Marja mengenai tingkatan dunia menurut kepercayaan Buddha. Mereka menjelaskan bahwa dimensi tertinggi yang tidak mampu dipikirkan oleh manusia adalah arupadatu atau dunia tanpa rupa menurut Buddhisme. Hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak mampu dipikirkan atau pun dibayangkan oleh manusia karena ruang tersebut merupakan dimensi transenden (tempat yang di luar batas kemampuan manusia). Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umat manusia pada dasarnya adalah lemah dan membutuhkan alat bantu. Dalam hal ini adalah dewa-dewa menurut kepercayaan umat Buddha atau lainnya yang dianggap sebagai sosok-sosok yang dapat mengantarkan pada dimensi transenden itu sendiri. Dewa-dewa merupakan sifat-sifat yang ada di dunia ini yang dijadikan berbentuk atau berupa seperti yang terdapat pada candi-candi di sekitar Borobudur. Hal yang berupa inilah yang dianggap dapat


(39)

30

membantu manusia melewati dan memahami yang tanpa rupa, seperti kebahagiaan, rasa puas diri, dan lain-lain.

Hal-hal yang memiliki rupa, dianggap Buddhisme sebagai jebakan karena yang berupa tersebut memiliki bayang-bayang, pembalikan, dan pasangan. Hal serupa ditunjukkan oleh tokoh Marja dalam potongan cerita novel berikut ini:

Sebab bentuk memiliki jebakan. Bentuk menciptakan ilusi. Bentuk memiliki bayang-bayang. Bentuk memiliki kebalikan dan perlawanan.

Marja menjerit mendapatkan penemuannya sendiri: ya ampun, karena itu mereka membuat kamadatu dan rupadatu dalam denah segi empat! Sedangkan arupadatu dalam denah lingkaran! Dunia rupa selalu berada dalam jebakan ilusi, jebakan bayang-bayang: yaitu pasangan yang berlawanan. Para arsitek Borobudur menggambarkannya dengan denah segi empat simetri. Sebab dalam bujur sangkar ada timur ada barat, ada utara ada selatan, ada kanan ada kiri, ada atas ada bawah. Dan orang harus menyadari perlawanan dan ketegangan itu sebelum bisa tiba ke dunia arupadatu, di mana tak ada lagi perlawanan dan pembalikan (Lalita, 2012: 234).

Hal-hal yang berupa memiliki pembalikan yang membuat manusia terjebak dalam dunia ini. Agar manusia tidak dapat membebaskan diri mereka menuju kesadaran sejati. Pada agama tertentu mereka menyebutnya sebagai “manusia yang lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat”. Pada Buddhisme hal ini juga disebut sebagai ketersesatan karena untuk mencapai kebahagiaan dunia ini mereka menghindari penderitaan, untuk mendapatkan kekayaan mereka meninggalkan kemiskinan, dan lain-lain. Manusia lebih mementingkan apa yang ada pada saat ini. Sifat-sifat yang serupa digambarkan menjadi sosok dewa. Agar mereka mendapatkan kebahagiaan, mereka memuja dewa kebahagiaan, dan memohon pada dewa penderitaan untuk tidak menghampiri mereka.

Dari potongan cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh Marja menemukan gagasan kenapa dunia kamadatu (dunia hasrat) dan rupadatu (dunia rupa) dalam


(40)

31

Buddhisme berada pada denah segi empat, sebab dunia tersebut memiliki bayang-bayang, pantulan, dan pembalikan, yang seluruhnya adalah pasangan yang berkebalikan karena bentuk memiliki pasangan yang berlawanan. Sesuatu yang ada di kanan adalah yang di kiri, sesuatu yang ada di atas adalah yang di bawah. Sedangkan dunia arupadatu

(dunia tanpa rupa) adalah dunia yang paling tinggi sebab tidak memiliki bayang-bayang, pantulan, pembalikan, ataupun pasangan. Dunia tersebut adalah dunia tunggal, dan untuk mencapainya manusia dalam kepercayaan Buddha harus bisa mencapai kesadaran diri, dan harus melepas segala keterikatannya dengan yang ada di dunia ini.

b. Makna dan Tujuan dalam Hidup

Pada komponen ini, individu yang spiritual memahami proses pencarian makna dan proses pencarian hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna, dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan inti dari pencarian ini bervariasi, namun memiliki kesamaan.

Pada komponen ini individu spiritual mampu menemukan makna dan tujuan alam hidupnya. Misalnya, ketika seorang individu memiliki keinginan yang kuat untuk mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain, ia yakin akan ilmu yang ia berikan bukan merupakan pengetahuan saja, tetapi juga ilmu dan makna yang harus diambil dalam hidup. Hal tersebut terlihat pada tokoh Lalita dalam potongan cerita berikut:

Sebab, janganlah sampai gelap matamu. Tak kah kau ingat, apa yang kuberikan bagimu lebih banyak daripada yang kau berikan padaku. Bukankah kamar gelapku mengajari kamu tentang sesuatu yang tak diketahui lagi oleh anak-anak abad digital? Yaitu, bahwa gambar –ya, gambar– menjelmakan dirinya perlahan-lahan.


(41)

32

Wahai. Anak-anak abad digital adalah anak-anak malang yang kehilangan satu misteri. Yaitu, bahwa dunia ini memiliki bayang-bayang. Apa yang kau lihat ini berasal dari kebalikannya. Apa yang di kanan adalah yang di kiri. Yang putih terbit dari yang hitam. Yang hijau adalah merah, dan kuning nyalang adalah indigo. Sungguh anak-anak digital tidak mengerti lagi itu. Tapi, kau… di kamar gelapku kau tahu rahasia itu. Sebab semua pembalikkan itu terjadi diam-diam, di tempat gelap (Lalita, 2012: 79-80).

Ilmu yang diberikan pada kita tidak hanya kegunaannya saja yang diberikan, tetapi, ada juga makna yang terkandung dalam prosesnya dan kaitannya dengan hidup kita. Dari cerita tersebut, tokoh Lalita menunjukkan pengetahuannya sebagai orang yang memiliki nilai spiritual. Hal tersebut ia tunjukkan pada Sandi Prayuda (Yuda) untuk mengetahui proses cuci-cetak foto yang di dalamnya terdapat pengetahuan bahwa di dunia ini memiliki bayang-bayang. Setiap bayang-bayang tersebut pasti memiliki arti dan tujuannya masing-masing. Seperti kita melihat pantulan diri di cermin atau bayangan benda di bawah cahaya, dan warna yang dihasilkan negatif foto adalah warna asli di dunia nyata. Ia menginginkan Yuda tidak buta akan hal tersebut seperti anak-anak abad digital yang tidak mengerti lagi hal tersebut. Hal inilah yang dicita-citakan Lalita, yaitu memperkenalkan apa yang telah dilupakan.

Pemahaman tujuan dari makna hidup tidak saja pada pemahaman ilmu yang diberikan. Keimanan juga harus dipahami maknanya. Manusia yang spiritual memahami makna adanya agama atau iman dalam hidup. Orang-orang yang memiliki iman biasanya pola berpikirnya berbeda dari orang-orang yang tidak mempercayai adanya konsep ketuhanan dan keagamaan. Tujuan kepercayaan beragama dalam hidup diperlihatkan melalui tokoh Anshel dari potongan cerita novel berikut:

Toh ia menemukan satu kesenangan karena ternyata ia tetap memiliki satu hal yang membedakan dia dari sang guru. Psikoanalisa Freud hanya mengajarkan manusia untuk menyadari alam nirsadarnya sendiri. Spiritualisme Buddhis mengajarkan manusia untuk mencapai kesadaran diri dan semesta. Ya,


(42)

33

tingkat “kesadaran” Diri yang mempersatukan manusia dengan makrokosmos. Anshel lega bahwa ia bukan pengikut Freud lagi (Lalita, 2012: 138).

Cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh Anshel merasa senang karena ia telah menemukan tujuan dan makna hidupnya dari ajaran Buddhisme yang membuatnya berbeda dari gurunya yang tidak mempercayai agama. Sigmund Freud. Ia menemukan tujuan dalam proses pencarian hidupnya, yaitu bahwa manusia dapat bersatu dengan semesta dalam mencapai kesadaran dirinya sebagai manusia. Seperti yang diajarkan Buddha pada buku Anatta-Lakkhana Sutta yang intinya adalah bahwa kesadaran (vijnana) tidak melekat pada tubuh jasmaniah, perasaan, persepsi, dan bentuk-bentuk mental (Taniputera, 2005).

Jika manusia belum bisa mencapai kesadarannya, maka manusia tersebut akan mengalami reinkarnasi atau kelahiran kembali. Dalam kepercayaan umat Buddha mengenal istilah reinkarnasi atau kelahiran kembali atau kamma. Kamma (Sanskrit:

karma) secara harfiah berarti tindakan atau perbuatan. Konsep kamma dalam Buddhisme secara khusus mengacu pada tindakan yang disertai oleh kehendak (centana) (Taniputera, 2005:37). Seperti yang dialami Anshel sebagai berikut:

Airmatanya retas lalu mengalir.

Bell mengira permainannya sangat menyentuh. Agvan tahu bahwa bukan permainan Bell yang mengharukan. Biksu Rusia itu mengelus-elus bahu Anshel.

“Kau telah tahu, Anshel. Orang di sini percaya reinkarnasi. Barangkali perjalananmu ke Jawa bukanlah kepergian, melainkan kepulangan.” (Lalita, 2012: 142).

Tokoh Anshel mendengarkan dan meresapi perkataan temannya yang seorang biksu, bahwa Buddhisme mempercayai adanya reinkarnasi. Ia sedang mempelajari Buddhisme dan merasakan bahwa ia hidup untuk mempelajari Buddhisme di Jawa. Ia mendengarkan perkataan temannya bahwa tujuannya ke Jawa bukanlah kepergian,


(43)

34

melainkan kepulangan. Dalam kepercayaan Buddha dipercaya bahwa ketika seseorang mati, namun dalam hidupnya ia belum melakukan pembebasan bagi dirinya atau pada kehidupan lalunya ia memiliki keinginan yang belum tercapai, maka manusia tersebut akan dilahirkan kembali lagi dan lagi hingga pada kehidupan selanjutnya ia mencapai keinginannya, atau melakukan pembebasan bagi dirinya dan mencapai kesadaran sejati. Jadi, tujuan dalam hidupnya saat itu adalah pulang berdasarkan kepercayaan reinkarnasi yang diyakininya, dan untuk melakukan pembebasan bagi dirinya di Jawa.

Komponen nilai spiritual makna dan tujuan dalam hidup ini juga bisa didapatkan melalui pengalaman-pengalaman yang didapatkan. Apabila individu mampu mengolah materi ilmu yang didapatkan dari pengalaman yang dialami, maka individu tersebut dapat mengetahui makna dan tujuan dalam hidup ini. Biasanya hal-hal seperti ini akan menjadi ide-ide atau gagasan-gagasan luar biasa. Hal tersebut dapat kita lihat dari tokoh Anshel sebagai berikut:

Tapi rasa remang mengusap punggung keduanya setelah rasa terkejut penemuan. Mereka seperti terhubungkan kepada alam yang lain, yang tak berasal dari hidup nyata sebagai anak-anak. Lingga-yoni. Teater arena dalam mimpi Anshel, ruang bawah tanah dalam mimpi Carl, adalah yoni. Leher unggas yang memanjang dalam mimpi Anshel, pohon dalam mimpi Carl, adalah lingga.

Pelan-pelan Anshel merumuskannya sebagai citra-dalam, das innere Bild. Suatu model visual dari yang abstrak, yaitu persatuan antara yang tegak dan yang mendatar, yang tunggal dan yang universal, yang horizontal dan yang vertikal. Persatuan antara yang bertentangan. Itulah yang dinamai axis mundi

atau pusat jagad, konsep yang ada dalam semua peradaban (Lalita, 2012: 128). Anshel dan Carl tercenung. Mereka tahu bahwa mereka tiba pada konsekuensi yang sama. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka dengan dunia di luar sana. Sesuatu yang terasa gaib. Kulit mereka meremang. Anshel semakin meyakini rumusan awalnya, bahwa di alam nir-sadar manusia terdapat citra-dalam. Citra-dalam itu adalah model-model visual yang mengenali struktur-struktur yang terdapat dalam alam semesta. Mandala dan axis mundi

adalah dua di antara struktur-struktur yang terdapat dalam jagad raya (Lalita, 2012: 129).


(44)

35

…. Ia percaya bahwa citra-dalam ini ada dalam jiwa manusia, dalam alam nirsadarnya. Beberapa orang, seperti dukun ataupun psikoanalis yang peka, bisa mengakses beberapa citra-dalam, jika tak melalui mimpi atau trans. Kali itu ia menulis tentang ularnaga, yang dimaknai sebagai jahat di Barat tetapi sebaliknya di Timur. Setelah merinci panjang lebar, ia menyimpulkan: marilah kita beranjak dari yang citrawi. Sebab ada yang abstrak. Sungguh tak berwujud. Yaitu struktur tak terlihat. Relasi. Dalam hal ini ularnaga adalah perlawanan atau pembalikan. Semua citra bisa mengalami proses pembalikan. Ularnaga, satu dari banyak citra-dalam, bisa dimaknai secara berlawanan: positif maupun negatif (Lalita, 2012: 147).

Dari pemikiran tentang alam bawah sadar manusia tersebut, hal yang paling mudah ditemukan adalah bahwa sebenarnya ilmu psikologi berhubungan dengan ilmu spiritual. Dalam menggambarkan psikologisnya, tokoh Anshel memilih kajian mengenai alam bawah sadar manusia. Menurut psikolog, citra-dalam atau gambaran dalam ini bisa diakses melalui mimpi karena mimpi merupakan bagian dari alam bawah sadar manusia. Anshel berpendapat bahwa setiap alam tidak sadar manusia memiliki gambaran dalam yang berupa gambaran dari bentuk-bentuk alam semesta. Mandala dan

axis mundi yang dimaksud adalah sebuah ruang atau daerah yang memiliki titik pusat. Hal tersebut dianggapnya merupakan bentuk-bentuk yang ada pada alam raya ini. Kita tidak mengetahui pusat sesuatu sebelum ada hal yang vertikal yang menemukannya. Itulah porosnya, tempat bertemunya dua titik. Begitulah Anshel memaknai apa yang dipikirkannya mengenai alam tidak sadar manusia. Pertemuan titik tersebut adalah pertemuan antara dua hal yang berbeda namun berpasangan. Seperti antara yang suci dengan yang duniawi, lelaki dengan perempuan, hitam dengan yang putih, dan sebagainya. Begitu pula manusia juga memiliki poros yang mungkin bisa berupa alam prasadar yang memisahkan alam sadar dan alam tidak sadar manusia. Ia menyadari makna tersebut dalam hidupnya melalui mimpi yang dialaminya.


(45)

36

Gagasan tentang ular naga yang dianggap memiliki sifat berkebalikan merupakan gambaran dalam jiwa manusia dan gambaran tentang alam semesta karena alam semesta sangat luas, sehingga manusia tidak sanggup memikirkannya. Seperti jiwa manusia yang tidak dapat dilihat manusia. Ia menggambarkannya dengan ular naga yang memiliki makna yang berkebalikan. Jadi, ia memahami gagasannya tersebut sebagai sebuah penemuan tentang gambaran dalam manusia dengan alam semesta. Dari gagasan tersebut ia menemukan makna eksistensi ular naga dalam hidup.

Dalam proses pencarian makna hidup bagi individu yang spiritual, ia tidak hanya memahami makna tersebut ketika dirasakan dan dipikirkannya terhadap segala sesuatu yang terjadi padanya. Tetapi, ia juga dapat merasakannya melalui benda-benda yang ada di sekitarnya, ataupun benda yang dianggapnya sangat penting dan berharga. Sebagai contoh adalah pada potongan cerita berikut melalui tokoh Anshel:

Ketika ia siuman, ia mengalami pewahyuan ambang sadar, yang terasa begitu jernih dan terang benderang. Yaitu bahwa mandala bukan hanya gambaran yang dikarang manusia oleh kesadarannya, atau bahkan setelah menyelam ke dalam nirsadar. Tidak. Tidak hanya itu. Lebih dari itu. Mandala adalah bagan yang digambar oleh alam semesta sendiri!

Dalam ambang sadarnya Anshel melihat gerakan pelan jutaan serbuk, memisahkan diri dan mempersatukan diri, membentuk suatu pola ke arah luar, dari sebuah pusat, seperti alam semesta mengembang, menyebarkan debu, lalu terciptalah pola-pola baru yang melingkar dan terbentuk dari garis-garis lurus… lalu ia melihat Mandala Borobudur (Lalita, 2012: 148).

Tokoh Anshel mendapatkan gambaran bahwa ia melihat makna mandala atau tempat kekuasaan suatu agama adalah skema yang dianggapnya dibentuk oleh alam semesta, seperti dibentuk oleh angin, getaran, ataupun suara. Begitupun pada bentuk Borobudur. Ia melihat bahwa getaran-getaran gelombang tersebut akhirnya membentuk Mandala Borobudur. Kesimpulannya adalah, Anshel menemukan makna eksistensi


(46)

37

sebuah mandala, yaitu bahwa bentuk sebuah mandala terbentuk dari getaran yang ada pada alam semesta itu sendiri melalui getaran dan gelombang. Seperti yang dijelaskan juga sebagai berikut:

Melalui getaran.

Seperti apa yang disebut “pelat Chaldni”, yang ia pelajari dulu dalam studinya. Getaran atau gelombang sesungguhnya memiliki gerak dan struktur yang menakjubkan. Kita bisa melihatnya dengan alat bantu. Alat bantu yang paling sederhana adalah tepung, serbuk, atau pasir. Lihatlah jejak angin pada pasir laut. Demikian pula gelombang bunyi dan gelombang lain bisa menciptakan hal yang sama. Taburkanlah serbuk atau tepung pada selempeng pelat dan paparkanlah lempengan itu pada getaran. Serbuk pada pelat itu akan menciptakan gambar-gambar menakjubkan: mandala dan pola-pola! Gambar-gambar itu akan berubah-ubah bersama pergerakan getaran (Lalita, 2012:149). Makna yang dikutipnya dari hal tersebut adalah, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terbentuk berdasarkan alam semesta itu sendiri. Manusia yang spiritual memahaminya sebagai proses penciptaan. Hal ini dipelajari dari mandala yang ada pada candi Borobudur sama dengan suatu bentuk yang diciptakan alam semesta melalui getaran, gelombang, suara, maupun angin.

Individu yang spiritual memahami makna jika memang mereka mencarinya. Individu seperti ini percaya pada apa yang dinamakan takdir. Jika manusia percaya pada takdir, maka orang tersebut akan mencari tahu apa makna dan tujuan terjadinya sesuatu. Dari potongan cerita berikut akan diungkapkan proses dari pencarian sebuah makna dari tokoh Jati berikut:

Lalita. Lalita. Ia baru sadar bahwa nama perempuan itu sama dengan nama relief ini. Kebetulan kosmis. Sinkronitas. Ia teringat salah satu rumusan Carl Gustav Jung, psikiater Swiss abad ke-20. Sesuatu yang tidak berhubungan sebab akibat tetapi berhubungan makna. Jung menyebutnya sinkronitas. Parang Jati percaya kebetulan semacam itu kerap terjadi. Seperti nama Marja Manjali yang sangat mirip dengan Ratna Manjali. Seperti nama Lalita dengan kitab Lalitavistara. Tapi kebetulan macam itu hanya terlihat bagi orang-orang yang memang mencari makna. Mereka yang tidak mencari makna tidak akan mendapatkannya (Lalita, 2012: 192-193).


(47)

38

Pada bagian ini, Parang Jati menyadari bahwa nama Lalita merupakan kebetulan yang telah disengaja. Menurut Parang Jati, hal seperti ini dapat dilihat oleh orang-orang yang mencari makna dalam hidupnya. Parang Jati telah menemukan makna nama Lalita yang serupa dengan kitab terluar yang ada pada candi Borobudur. Makna tersebut menyadarkannya bahwa adanya sinkronitas antara nama Lalita dan kitab tersebut. Parang Jati menyadari bahwa nama Lalita berkaitan dengan kakeknya yang kemudian akhirnya tertarik dengan Buddhisme. Lalita yang diketahuinya saat itu adalah seorang wanita yang berbicara tentang bagan-bagan mandala Borobudur. Seperti yang dijelaskan berikut:

…. Tidakkah perempuan itu bercerita tentang pelbagai mandala dari seluruh dunia, dan Borobudur sebagai salah satu yang utama? Tidakkah Lalita bercerita tentang seseorang –kalau tidak salah kakeknya– yang terobsesi pada mandala-mandala dan akhirnya datang ke Jawa, setelah berkelana dari Eropa hingga ke Tibet, untuk mendalami mandala Borobudur? (Lalita, 2012: 193). Melalui hal ini, Jati menemukan dan memahami bahwa nama Lalita Vistara bukanlah sebuah kebetulan belaka, melainkan kebetulan yang memang disengaja karena namanya sama dengan kitab Lalitavistara yang terdapat pada bagian terluar Candi Borobudur. Lalita merupakan nama yang diberikan kakeknya yang akhirnya menjadi pengikut Buddha. Dalam ajaran Buddha sendiri ada yang disebut dengan hubungan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada/ Sanskrit:

pratyasamutpada). c. Misi Hidup

Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasakan adanya takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu


(48)

39

mengembangkan pandangan tentang hidup yang didasari dengan pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki motivasi, yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkret dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.

Sebagai contoh dari komponen spiritual ini adalah rasa tanggung jawab. Individu spiritual yang memiliki misi hidup tenntu merasa bertanggung jawab terhadap apa yang telah dianggap menjadi tugasnya. Ia akan melakukannya sampai tuntas. Potongan cerita berikut akan diungkapkan hal tersebut:

“Ada tiga zaman yang kerap muncul dalam penglihatanku. Terutama kalau aku sedang meditasi. itu adalah pastlife-ku.”

Tak ada yang berkomentar.

“Yang pertama adalah abad ke-9 di Jawa Tengah. Yaitu, dalam pembangunan Borobudur…”

Tak ada seorang pun yang sanggup langsung menyahuti.

“Yang kedua adalah di Tibet. Aku masih tak pasti abad keberapa.” (Lalita, 2012: 15).

Dalam meditasi tersebut tokoh Lalita melihat potongan-potongan kehidupan masa lalunya, yaitu dalam pembangunan Candi Borobudur. Lalita merasakan potensi baik dirinya dalam pembangunan Borobudur karena dalam kehidupan lalunya ia merasa bertanggung jawab dalam pembangunan Borobudur. Dalam Buddhisme, jika seseorang yang telah diberi tugas dan ia telah berniat, tetapi ia belum menyelesaikannya, maka ia akan dilahirkan kembali untuk memenuhi tugasnya. Seperti kutipan dari ajaran Buddha: “Kehendaklah yang aku sebut kamma, wahai bikkhu! Karena niat seseorang melakukan tindakan oleh tubuh, ucapan, dan pikiran.” (Taniputera, 2005: 37). Jadi, pengaktualisasian potensi baiknya tersebut berupa tanggung jawab dan niat dalam pembangunan Borobudur pada zamannya. Seperti yang terdapat di dalam novel yang disampaikan Jataka/Janaka kepada Yuda:


(49)

40

Perempuan itu pernah hidup di sekitar abad ke-9 di pulau Jawa, sebagai seorang putri, jika bukan rani. Ia lahir dalam trah Syailendra yang terkenal itu, dinasti beragama Buddha. Dinasti besar lain yang hidup sezaman dan setanahair adalah Sanjaya, yang beragama Hindu. Kedua dinasti berhubungan secara istimewa: mereka baku-saing sekaligus kawin-mawin sehingga berkelindan. Wangsa Syailendra mendirikan Borobudur. Wangsa Sanjaya menegakkan Prambanan. Dan Lalita adalah putri yang berperan besar dalam pembangunan kuil Buddha terbesar di dunia tadi. Borobudur (Lalita, 2012: 45).

Pada kehidupan lalunya, Lalita bertanggung jawab atas pembangunan Borobudur. Tetapi, ia belum menuntaskan tanggung jawabnya, sehingga ia hidup kembali untuk memenuhi misinya tersebut. Pada kehidupannya sekarang, Lalita merasa bertanggung jawab untuk memperkenalkan Borobudur dan sejarahnya pada masyarakat dunia.

Dalam memenuhi misi hidupnya, individu yang spiritual akan melakukan target-target yang nyata. Manusia yang menyadari misi hidupnya biasanya memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang menjadi prioritas dalam hidupnya. Sebagai contoh adalah seorang ibu yang harus menjaga atau menghidupi anaknya. Hal tersebut merupakan contoh kecil dari misi hidup. Misi hidup serupa dapat kita lihat dalam novel yang dialami oleh tokoh Lalita berikut ini:

Lalita bercerita. Saudara lelakinya menculik putranya. Bayi itu berusia limabelas bulan. Itulah masa manakala bayi menyusu sambil menatap wajah ibundanya. Kau tak akan terbayang. Kau tahu bengkak susu yang kehilangan bayi. Sejak itu aku merindukan mata yang memandangku, mulut yang menyusu padaku, tangan yang menggemasi dadaku, sari hidup yang terhisap dari pucuk payudaraku yang peka. Aku merindukan dia, siapapun dia, yang akan mengembalikan keindahan rasa memberi hidup, betapapun sesaat (Lalita, 2012: 58).

Seorang ibu yang merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan bayinya akan merasa sangat terpukul apabila bayi yang seharusnya ia berikan kehidupan dirampas dengan paksa dari hidupnya. Rasa bertanggung jawab tersebut akan tetap membebani


(50)

41

seorang ibu terhadap bayi yang tidak akan pernah dilihatnya lagi. Ia ingin tetap memberikan sari kehidupan walaupun itu hanya untuk sesaat. Dari potongan cerita tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dialami Lalita adalah emosi traumatik atas kehilangan bayinya yang diculik oleh kakak lelakinya. Lalita merasakan kebahagiaan apabila ia menyusui anaknya. Dengan memberikan kehidupan pada bayinya, maka ia juga merasa hidup. Takdirnya sebagai ibulah yang harus dipenuhi karena misi hidupnya adalah memberikan kehidupan bagi bayinya.

Dalam memenuhi misi hidup, individu yang spiritual akan membuat target konkretnya menjadi suatu tindakan yang nyata. Tindakan nyata dari misi hidup ini ada karena dipicu oleh hal-hal yang membuat individu tersebut tergerak untuk melakukan sesuatu bagi dirinya maupun orang lain. Individu ini tergerak untuk meninjau kembali arah hidupnya. Seperti yang terdapat dalam potongan cerita yang dialami oleh tokoh Anshel berikut:

Lebih dari sepuluh tahun silam ia memutuskan untuk meninggalkan Eropa. Benua itu membuatnya patah hati dua kali. Pada akalbudi. Akalbudi mati bersama ayahnya lalu bangkit kembali bersama gurunya. Tapi, rasionalitas pun akhirnya menyingkirkan ia ketika sang guru mengucilkannya. Rasionalitas itu telah jadi begitu congkak sehingga spiritualitas pun tak diizinkan untuk memberi pemahaman pada alam nirsadar. Harta karunnya kini adalah warisan Nenek Katarina Szilagyi: sejilid besar diagram konsentris dari pelbagai penjuru bumi. Mandala-mandala itu adalah pintu-pintu ke dalam jiwa manusia yang terhubung dengan alam semesta. Ia memutuskan untuk memulai perjalanan spiritualnya. Sesuatu yang tak pernah dipikirkannya dulu (Lalita, 2012: 135).

Misi yang harus dijalankan oleh tokoh Anshel adalah berkelana untuk melakukan perjalanan spiritualnya. Ia tergerak untuk memenuhi tujuannya tersebut karena ia telah patah hati pada akal budi manusia. Jadi, untuk mengembalikan kepercayaannya pada akal budi, Anshel harus melakukan perjalanan spirirutalnya. Hal


(51)

42

yang baru disadarinya setelah kenangan-kenangan pahit yang dialaminya. Ia ingin membangkitkan kembali kepercayaannya pada akal budi manusia agar tidak meninyakiti orang lain.

Individu yang sudah memenuhi misi hidupnya, akan menemukan kembali misi hidup selanjutnya yang harus dipenuhi. Ia kembali tergerak untuk terus mencari dan menuntaskan misi hidupnya tersebut. Hal yang seperti ini juga terlihat pada potongan cerita melalui tokoh Anshel berikut:

Sekarang ia kerap berkata bahwa suatu kali ia akan menemukan gelombang yang bisa membuat ia mencapai moksa. Yaitu pencerahan ultima. Alam sadar akan bersatu dengan alam nirsadar. Partikel cahaya akan mengubah materi gelap. Di saat itu, kesadaran manusia akan hilang, bersatu dengan kesadaran semesta. Anak-anak dan cucu lelakinya menganggap itu sebagai suatu tanda-tanda kepikunan usia tua. Cucu perempuannya tidak berpendapat begitu. Cucu yang dinamainya Lalita.

Di hari ulang tahun ke-85 ia berangkat sendiri dari vila mereka di Magelang ke Borobudur. “Kepada axis mundi,” katanya. “Sebab moksa hanya bisa dilakukan di titik-titik axis mundi, yang tak banyak di muka bumi ini. Dan Borobudur adalah salah satunya.” Ia membawa beberapa lempeng logam, beberapa kantung serbuk, kamera Roleiflex twin lens reflex dengan tripod dan perlengkapan lain (Lalita, 2012: 153-154).

Tokoh Anshel ingin mewujudkan misi hidupnya yang masih berupa keinginan untuk menjadi tindakan yang nyata dalam pemenuhan misi hidupnya. Keinginan yang akhirnya menjadi sebuah misi dalam hidupnya. Keinginan tersebut berupa pencapaian moksa atau tingkatan hidup yang bebas dari keduniawian, atau dalam ajaran Buddha disebut sebagai pembebasan dari penjelmaan kembali atau reinkarnasi. Pencapaian tersebut diharapkan tokoh Anshel melalui pencerahan ultima atau akhir. Tokoh Anshel menginginkan pecerahan tersebut dicapai dengan cara penyatuan antara kesadaran dan ketidaksadarannya, atau mungkin bisa disebut sebagai meditasi. Pencerahan tersebut ingin dicapainya pada poros dunia yang salah satunya merupakan Borobudur.


(52)

43

Keinginan dan misi tersebut akhirnya diwujudkannya pada ulang tahunnya yang ke-85. Dalam Buddhisme meyakini adanya kelahiran kembali, keadaan seorang yang tidak hanya dilahirkan sekali saja. Sebelum seseorang atau suatu makhluk mencapai pembebasan (nibanna), maka ia akan dilahirkan kembali. Jadi, Anshel akan menghentikan perputaran kelahirannya kembali dengan melakukan pembebasan diri dari keterlekatan.

Misi hidup yang harus dipenuhi oleh individu spiritual bisa juga berupa pencarian jati dirinya, dan keinginan diri untuk menjadi lebih baik lagi. Keinginan tersebut juga dapat dipenuhi dengan pembelajaran dari apa yang telah dialami dan dirasakannya. Hal serupa juga diungkapkan dalam potongan cerita novel ini melalui tokoh Marja, yaitu sebagai berikut:

Ia ingin menjadi Marja yang murni. Bukan Marja yang bulus. Tapi yang murni itu mudah dilukai. Sebab manusia itu telanjang. Dan peredaran darahnya terbuka. Sedang yang ular bulus itu selalu bisa berkelit. Sebab ular itu cerdik.

Serta peredaran darahnya tertutup. …

Marja tidak takut mengakui dosanya. Marja tidak takut menghadapi citra dan perasaan tak menyenangkan. Marja tidak takut bercermin dalam telanjang. Dalam hal jiwa, sesungguhnya ia jauh lebih berani dibanding banyak orang (Lalita, 2012: 208).

Dalam memenuhi misinya tersebut, tokoh Marja berani belajar dari kesalahan-kesalahannya. Keinginannya ialah ingin menjadi manusia yang tulus, bukan menjadi yang bulus selayaknya ular. Keinginan tersebut merupakan misi yang ingin dipenuhi dalam hidupnya. Marja tidak takut untuk mengakui dosanya secara tulus, bukan menyangkalnya dengan hal-hal lain seperti ular yang dapat berkelit. Ia ingin menjadi manusia yang murni. Ia tidak takut berkaca dengan telanjang maksudnya ia tidak takut untuk melihat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya.


(1)

58

dan kejadian. Tokoh-tokoh yang mengalami hal-hal tersebut adalah Lalita, Anshel, dan Parang Jati.

6. Misi hidup yang didapat dari cerita dalam novel ialah memenuhi rasa tanggung jawab atas tugas yang sudah diberikan dan diprioritaskan, memiliki target-target nyata untuk mengubah arah hidupnya, melepaskan perputaran hidup reinkarnasi, dan pencarian jati diri. tokoh-tokoh yang mengalami hal-hal tersebut adalah Lalita, Anshel, dan Marja.

7. Nilai spiritual dari kesakralan dalam hidup yang ditemukan dalam cerita novel ialah, memahami kesucian makna sebuah nama, dan menganggap candi Borobudur suci sifanya karena memberikan pelajaran tentang kehidupan. Tokoh-tokoh yang mengalami hal-hal tersebut adalah Yuda, Jataka/Janaka, Anshel, dan Parang Jati.

8. Nilai spiritual yang didapat dalam novel dari nilai-nilai material adalah, menghargai peninggalan benda-benda dan tulisan-tulisan nenek moyang. Tokoh-tokoh yang mengalami hal tersebut adalah Lalita, dan Anshel.

9. Nilai spiritual yang didapat dari altruisme pada novel ialah, bahwa manusia harus peduli atas kehidupan sesamanya. Tokoh yang mengalami hal tersebut adalah Parang Jati.

10.Nilai idealisme yang didapat dalam novel tersebut adalah, manusia harus menghargai peninggalan bangsa dan bukan mencurinya, teguh pada pendirian, pemaaf, dan tidak pendendam. Tokoh-tokoh yang mengalami hal-hal tersebut adalah Anshel, dan Parang Jati.


(2)

59

11.Nilai spiritual yang didapat dari kesadaran akan peristiwa tragis dalam novel ialah, manusia perlu merasakan duka agar dapat menjadikan arah hidupnya lebih baik lagi agar tidak meninggalkan duka juga bagi orang lain. Tokoh yang mengalami hal tersebut adalah Anshel.

12.Buah dari spiritualitas yang didapat dari cerita novel ialah, pengaruh perjalanan Buddha yang dianggap maju oleh umatnya, dan tokoh Anshel percaya bahwa segala sesuatunya ditakdirkan untuk bertemu kembali. Tokoh-tokoh yang mengalami hal tersebut adalah Jataka/Janaka, Yuda, dan Anshel.

7.2 Saran

Novel Lalita karya Ayu Utami memberikan pemahaman bahwa karya sastra memiliki makna yang banyak. Hasil penelitian Ayu Utami selama dua tahun tersebut dituangkan dalam bentuk novel dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berwawasan luas, dan berbudaya. Pengarang mampu menuangkan sejarah dan ilmu pengetahuan ke dalam bentuk fiksi yang membuat peneliti seolah-olah membaca sejarah. Pengarang juga mampu menggambarkan karakter-karakter yang bermacam-macam pada tokoh-tokohnya sehingga menghasilkan kejiwaan yang beragam dan menarik. Berdasarkan kualitas dan kreatifitas pengarang dalam membangun cerita, maka novel Lalita ini tepat untuk dijadikan sebagai objek penelitian dari beragam teori sastra lainnya. Seperti sosiologi sastra, antropologi sastra, semiotik, dan lain-lain.


(3)

60

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Jakarta.

Doe, Mimi dan Walch, Marsha. 2001. 10 Prinsip Spiritual Parenting. Jakarta: Mizan Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma. Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.

Qodratilah, Meity Taqdir. 2011. Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Jakarta. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Ratna, Nyoman K. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.

Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Yogyakarta: Pustaka Jaya. Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.


(4)

61 Skripsi:

Desiana, Kerry. 2011, “Gambaran Spiritualitas Pada Perawat Rumah Sakit Umum DR. Pirngadi Medan”. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.

Pandiangan, Krisna Silvia. 2012, “Kumpulan Cerpen “Sang Terdakwa” Karya Indra Tranggono: Dinamika Kepribadian Tokoh Utama”, Medan: Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara.

Internet:

Mustakim, Hidayatul. 2014. “Representasi Nilai Spiritual dalam Novel Dzikir dan Fikir Karya Reza Nurul Fajri”. [pdf] tanggal 13 Maret 2014, pukul 01.10 WIB).

Sastrawan, Adil. 2011. “Spiritualitas Dalam Novel Bilangan Fu”. [pdf], (http://digilib.uin-suka.ac.id). (Diunduh tanggal 10 September 2014, pukul 23.34 WIB).

Zain, Tsurayya Syarif. 2012. ”Pendidikan Emosional dan Spiritual (ESQ) dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi”. [pdf] (Diunduh tanggal 12 Maret 2014, pukul 23.00 WIB).

LAMPIRAN

SINOPSIS

Novel ini terbagi dalam tiga bab, yaitu Indigo, Hitam, dan Merah, keseluruhannya adalah warna. Indigo juga merupakan sebutan bagi Lalita dari Sandi Yuda, perempuan dengan warna favorit biru mendekati ungu.


(5)

62

Cerita pada bab Indigo berisikan perkenalan Yuda dan Lalita. Cerita berawal dari Yuda yang sedang berada di Jakarta bertemu dengan Lalita yang dikenalkan oleh Oscar pemilik galery serta sekolah foto Antara. Dewasa, cantik, tidak pernah terlihat tanpa polesan di wajahnya, dan indigo itulah sosok yang terlihat dimata Yuda ketika menilai Lalita. Kemudian, karena suatu insiden yang mengharuskan Yuda menyelamatkan wanita itu dari serangan penggemar Oscar, maka ia mendapat hadiah yang tidak ternilai, ilmu dan penyatuan “tutup sampanye” yang membuat Yuda seperti kecanduan, dan bingung terhadap nilai-nilai spiritual yang didapatkannya, serta tentang kehidupan tragis Lalita karena kehilangan bayi yang diculik oleh Jataka, kakaknya sendiri. Lalu, rahasia siapa Lalita pun mulai terkuak tanpa sengaja saat Yuda melihat buku Indigo Lalita yang tertulis bahwa dia adalah keturunan drakula.

Yuda terus bertanya dan tanpa ia harapkan datang undangan dari Jataka, abang atau kembaran Lalita yang menyebutkan kalau apa yang Yuda dengar dari Lalita adalah omong kosong. Dia meminta Yuda memeriksa di internet tentang nama-nama yang berhubungan dengan Lalita, dan hasilnya semua nama itu telah meninggal dunia. Yuda semakin bingung tetapi dia juga tidak bisa terlepas dari jerat Lalita.

Cerita pada bab ini ditutup dengan kisah sengsara Lalita yang dianiaya. Lalita yang telanjang, tubuhnya ditutupi oleh kain, wajah yang biasanya ber-make up layaknya topeng, kini tampil polos. Bulu mata palsu congkak warna ungu yang telah ditanggalkan, tangannya terluka karena jeratan tali.

Pada bab Hitam, menceritakan kehidupan pemuda kecil bernama Anshel Eibenschutz (kakek Lalita) dengan cerita yang dituturkan Babushka Katarina kira-kira tahun 1889 di Paris tentang kehidupan para drakula. Saat itulah ia menyadari tentang


(6)

63

perlunya akal budi bagi seorang manusia. Diceritakan juga tentang betapa perlunya memahami nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari agar pengetahuan terasa lengkap dengan spiritual.

Bab ini banyak memasukkan tokoh dalam novelnya yang bersinggungan dengan tokoh dunia. Bagaimana si kakek juga bersinggungan dengan tokoh-tokoh dunia. Kemudian diceritakan bagaimana kakek Lalita yang orang Eropa bisa sampai di Indonesia dan membuat buku tentang bagan-bagan Mandala sehingga membuatnya menjadi seorang spiritualis Buddha dengan pemahamannya.

Pada bab terakhir yaitu Merah, hilangnya Buku Indigo pada saat yang bersamaan dengan disiksanya Lalita membuat dua sahabat Sandi Yuda dan Parang Jati menyelamatkan kekasih Sandi Yuda, Marja yang juga dicintai Parang Jati. Sementara itu, Parang Jati yang masih marah dengan Yuda akibat pengkhianatan Yuda karena mengetahui perselingkuhan Yuda dengan Lalita. Parang Jati marah, bukan hanya marah karena Yuda sudah memiliki kekasih bernama Marja, tetapi juga karena dia mencintai Marja namun tetap tidak bisa menjadi jahat lalu mengambil Marja dari Yuda yang ketahuan selingkuh.

Dalam perjalanan tersebut, Jati dan Marja menemukan dan mulai memahami tentang nilai-nilai spiritual yang harus ada dalam hidup saat mereka mempelajari bagan-bagan mandala Candi Borobudur. Lalita dan rahasianya serta buku tua dari kakek Lalita membawa Yuda, Parang Jati, dan Marja menelusuri seluk beluk Candi Borobudur hingga semakin banyak rahasia tentang Lalita yang terungkap.