Analisis Hukum Pernikahan Crossdresser

46 akad nikah. Menurut imam Hanafi rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja, yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki. 3 Sedangkan syarat pernikahan secara garis besar ada dua. Pertama: calon mempelai perempuannya halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Kedua: akad nikahnya dihadiri para saksi. Adapun secara rinci masing-masing rukun di atas adalah sebagai berikut: 1. Syarat-syarat Kedua Mempelai. a. Syarat-syarat calon pengantin pria. Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu: 1. Calon suami beragama Islam. 2. Terang jelas bahwa calon suami itu betul laki-laki dan bukan banci. 3. Orangnya diketahui dan tertentu. 4. Calon laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri. 5. Calon mempelai laki-laki tahukenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya. 6. Calon suami rela tidak dipaksa untuk melakukan pernikahan itu. 7. Tidak sedang melakukan ihram. 8. Tidak mempunyai istri yang haram untuk dimadu dengan calon istrinya. 9. Tidak sedang mempunyai istri empat. 4 3 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Grup, 2003, h. 48. 47 b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan. 1. Beragama Islam atau ahli kitab masih terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. 2. Terang jelas bahwa ia wanita bukan mukhannats banci. 3. Wanita itu tentu orangnya. 4. Halal bagi calon suami. 5. Wanita itu tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa ‘iddah. 6. Tidak dipaksa. 7. Tidak dalam keadaan ihram. 5 2. Syarat-syarat Ijab Kabul. Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah ikatanatau perjanjian perkawinan. Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat yang bisa dipahami. 6 3. Syarat-syarat Wali. Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil tidak fasik. 7 4. Syarat-syarat Saksi. Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah. 8 4 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h. 38-39. 5 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 41. 6 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 75. 7 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 77. 48 Untuk menganalisis hukum pernikahan crossdresser dapat dicermati rukun dan syarat yang telah dipaparkan di atas, terutama pada syarat mempelai laki-laki dan mempelai perempuan haruslah merupakan orang yang benar-benar laki-laki atau benar-benar perempuan dan bukan merupakan seorang banci. Fenomena crossdresser memang merupakan gejala awal dari transgender atau transeksual, akan tetapi apakah benar crossdresser itu juga dapat dikatakan banci? Crossdresser berbeda dengan transgender dan transeksual, karna seorang crossdresser tidak memiliki gangguan identitas gender sebagaimana transgender dan transeksual. Tujuan utama seorang crossdresser melakukan pakaian lawan jenisnya adalah untuk mendapatkan kepuasan seksual. Sedangkan dalam kasus gangguan identitas gender tujuan utamanya adalah untuk menjalani kehidupan dengan terbuka sebagaimana jenis kelamin yang diyakininya. Laki-laki dengan identitas gender feminin tertarik secara seksual menjadi perempuan, yang secara teknis membuat rangsangan seksualnya bersifat humoseksual, begitupun sebaliknya. 9 Sedangkan crossdresser tetap memiliki identitas gender yang normal dan tidak dapat disebut sebagai seorang banci. Menurut analisis penulis pernikahan yang dilakukan oleh kaum crossdresser telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para ulama, karena pada dasarnya kaum crossdresser adalah laki-laki yang betul laki-laki atau bukan merupakan seorang banci. Karena crossdresser hanya gemar menggunakan pakaian 8 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 83. 9 Colemen, Bockting dan Gooren, Intisari Psikologi Abnormal, Jakarta:, Tp, 1993, h. 30. 49 lawan jenisnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan tidak memakainya secara rutin. Diluar itu mereka cenderung berprilaku dan memiliki minat seksual maskulin. Pendapat penulis ini juga diperkuat dengan pendapat Ulama Kontemporer Prof. Huzaemah Tahido Yanggo yang mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seorang crossdresser adalah sah selama memenuhi rukun dan syarat nikah, lagi pula mereka bukanlah pasangan sesama jenis, maka hukum pernikahannya adalah sah dan diperbolehkan. 10

B. Analisis Hukum Hubungan Seksual yang Dilakukan Oleh Kaum Crossdresser

Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang terdapat pada manusia, laki-laki maupun perempuan. Merupakan hal yang alami dan Sunatullah jika laki-laki dan perempuan satu sama lain saling membutuhkan dan saling memenuhi kebutuhan ini. Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan yang diberikan Allah kepada laki-laki maupun perempuan untuk disalurkan dengan cara yang sesuai dengan petunjukNya. 11 Kebutuhan biologis merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada semua makhluk hidup, bukan hanya kepada manusia saja. Berbeda dengan binatang, kebutuhan biologis manusia diatur oleh hukum dan norma-norma yang menjadikannya terhormat yakni melalui pernikahan. Di dalam sebuah ikatan perkawinan, penyaluran biologis tidak hanya dipandang sebagai hak dan kewajiban semata antara suami dan istri, melainkan juga bernilai ibadah di sisi Allah SWT, 10 Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, Jakarta 9 Juni 2016. 11 Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya: 1994, h. 139. 50 perbuatan ini dinilai ibadah jika pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan aturan dan anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Karena salah satu fungsi keluarga adalah untuk membangun keturunan dengan cara yang legal dan bertanggung jawab secara sosial maupun moral. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman peradaban, banyak umat Islam yang “lupa” akan anjuran Nabi Muhammad saw. Ketika mereka melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Banyak dari umat Islam menganggap bahwa aktivitas ini hanyalah sebuah bentuk “rutinitas” saja, tanpa bernilai ibadah. Sehingga mereka melakukannya dengan sesuka hati mereka. Padahal Nabi Muhammad saw. telah menegaskan bahwa hubungan seksual antara suami istri akan mendapat pahala yang sangat besar di sisi Allah swt. ketika dilakukan sesuai aturan. Dan al-qur’an telah menegaskan tentang prinsip dalam berhubungan antara suami istri, yakni dalam surat al-Nisa’ ayat 19.   Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut al-Nisa: 19. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, seorang crossdresser mempunyai gangguan dan penyimpangan seksual dimana individu, biasanya laki laki, terangsang secara seksual atau mengalami kepuasan dengan mengenakan pakaian yang biasa dikenakan lawan jenisnya. Kegemaran inipun dilakukan oleh para crossdresser ketika sedang berhubungan seksual dengan pasangannya, karena seorang crossdresser baru akan dapat mencapai orgasme ketika 51 telah melakukan hal tersebut. Rianto seorang crossdresser menyatakan bahwa isterinya mengetahui tentang kelainan yang ia derita, isterinya menerimanya dan siap berhubungan seksual sesuai dengan kehendak Rianto, akan tetapi hal ini tak berlangsung lama, karena isterinyapun semakin lama merasa tak tahan dengan kelainan yang diderita oleh Rianto. 12 Begitu pula dengan Diandra Safira, isterinya mengetahui tentang kelainan yang ia derita setelah menikah, isterinya tidak pernah menyukai cara diandra berhubungan seksual sehingga hal ini selalu menjadi biang keributan di antara ia dan isterinya. 13 Yang masih menjadi perdebatan dalam masalah hubungan seksual yaitu, apakah hubungan seksual itu hanya merupakan kewajiban isteri dan hak suami ataukah kewajiban dan hak keduanya?. Dalam hal ini terdapat kesalah fahaman para ulama tentang hak laki-laki dan perempuan. Kekeliruan tentang ini tampaknya disebabkan karena terburu-buru menyimpulkan suatu Hadis. Salah satu contoh hal ini adalah tentang Hadis Nabi, “Sesungguhnya seorang perempuan isteri belum melaksanakan hak Allah sehingga ia melaksanakan hak suaminya kewajiban isteri kepada suami seluruhnya. Seandainya suami minta dilayani olehnya di atas kendaraan maka isteri tidak boleh menolaknya”. 14 Mazhab Hanafî berpendapat bahwa sesungguhnya hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki dan bukan hak perempuan. Dengan demikian, laki-laki boleh memaksa isterinya untuk melayani 12 Hasil wawancara dengan Rianto pengidap Crossdresser, Jakarta 13 Januari 2016. 13 Hasil wawancara dengan Diandra pengidap crossdresser, Jakarta 29 Maret 2016. 14 Imam Nawawi, Uqud al-Lujayn fi Bayan Huquq al-Zawajyn, Semarang: Usaha Keluarga, T.t, h. 11. 52 keinginan seksualnya jika isteri menolaknya. 15 Lebih lanjut Mazhab Hanafî memberikan penjelasan bahwa bila seorang laki-laki mempunyai seorang isteri dan dia sibuk dengan urusan ibadah atau yang lainnya sehingga tidak sempat untuk bermalam di rumah bersama isteri, oleh hakim ia hanya bisa dituntut untuk menginap di rumahnya dalam waktu tertentu. Akan tetapi bermalamnya laki-laki tersebut tidak harus dengan terjadi hubungan seksual antara dia dan isterinya karena hubungan seksual adalah hak suami bukan hak isteri. Karena itu maka isteri tidak berhak menuntutnya dari sang suami. 16 Pemilikan hak mutlak seksual suami atas isteri juga berimplikasi bahwa selain untuk urusan yang wajib atau ada halangan secara shar’î, suami berhak meminta pelayanan seksual dari sang isteri kapan pun dan dimana pun. 17 Hal ini berlaku baik siang atau malam, meskipun teks yang ada dalam Hadis adalah pada malam hari, akan tetapi memberikan pemahaman bahwa isteri senantiasa harus siap melayani suami terlepas apakah dia siap secara fisik maupun psikis atau tidak siap. Ketika hubungan seksual menjadi hak suami maka secara otomatis akan menjadi kewajiban bagi isteri. Isteri berkewajiban untuk melayani suami ketika suami meminta untuk berhubungan badan. Banyak Hadis yang dihubungkan dengan Nabi Saw. menuntut agar seorang isteri tidak pernah menolak berhubungan seksual dengan 15 Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 2000, h. 4. 16 Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, h. 115. 17 Abd Allah ibn Qudamah al-Maqdisi Abu Muhammad, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn Hanbal, T.tp, T.p, T.t, h. 81.