Pengertian Nikah TEORI UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

I conceive that marriage as understood in Christendom, may…be difened as the voluntary union for life of one man and one women to the exclusion of all others 13 . Dari definisi ini di atas setidaknya ada tiga hal yang menjadikan intisari sebuah perkawinan yaitu ; perkawinan itu haruslah berdasarkan sukarela. Selanjudnya perkawinan dimaksudkan untuk seumur hidup dan bersifat monogami. Tentu saja definisi ini berlaku bagi wilayah yang hukumnya berkiblat pada Inggris termasuk Malaysia. 14 Perspektif Undang-Undang No 11974 Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah negara Indonesia berdasrkan kepada Pancasila yang pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani. 15 13 Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, h. 5. 14 Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, h. 5. 15 Moh. Idris Ramulyo, HukumPerkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Komlikasi Hukum Islam, h. 2. Perspektif KHI Menurut Kompliasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan hukum Islam adalah, pernikahan yaitu akad sangat kuat atau miittsaqan gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata miittsaqan gholidhan ini ditarik firman Allah SWT. Yang terdapat pada surat al-Nisa ayat 21:             Artinya: Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka istri-istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat miittsaqan gholidhan. Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut di muat dalam pasal berikutnya yang berbunyi: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tentram cinta dan kasih sayang”. Agaknya tujuan ini juga dirumuskan melalui Firman Allah SWT. Yang terdapat surat al-Rum ayat 21 :                       Artinya: “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antara-mu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir”. Dari definisi di atas ada yang menarik untuk dicermati. Dalam kitab-kitab fikih seperti yang telah diuraikan di muka, tampaknya para ulama mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar karena makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual. Biasanya para ulama dalam merumuskan definisi tidak akan menyimpang apa lagi berbeda dengan makna aslinya. Di samping itu harus jujur diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karena ingin mendapatkan keturunan ataupun karena memenuhi kebutuhan seksualnya. 16 Tetapi definisi itu tidak sepenuhnya mampu menggambarkan hakikat perkawinan yang menekankan pada dimensi biologis tidak hanya berdasarkan pertimbangan bahasa tetapi juga sangat dimungkinkan oleh pertimbangan yang bersifat subjektif. Sebagaimana yang terlihat nanti banyak sekali konsep-konsep perkawinan Islam itu sangat bias jender yang menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat. 17 Definisi perkawinan dalam fikih memberikan kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki. Yang dilihat pada diri wanita adalah aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat’ atau al-istimta’. Yang semuanya berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula pemberian ikhlas sebagai tanda cinta seorang laki-laki kepada perempuan juga 16 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 44. 17 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 45. didefinisikan sebagai pemberian yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki berhubungan seksual dengan wanita. Implikasinya yang lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin dalam berbagai peristwa-peristiwa perkawinan. 18 Kondisi ini berbeda jika kita lihat definisi yang ada dalam UU No 11974. Setidaknya dalam pasal 2 ayat 1 secara ekspilisit ada beberapa hal yang perlu untuk dicatat. Pertama, perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja tapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini dieksplisitkan dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 19 Kedua, dalam UU No 11974 tujuan perkawinan juga dieksplisitkan dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian dalam UU perkawinan No 11974, perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal tapi juga dilihat dari sifat sossial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga. Sedangkan dalam fikih tujuan perkawinan tidak 18 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 45. 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 46. dicantumkan. Perkawinan hanya dilihat sebagai ketentuan hukum formal saja. Penting untuk diketahui bahwa fikih hanya mengurusi hal-hal yang praktis amaliyah bukan berbicara yang ideal. 20 Ketiga, terkesan dalam UU No 11974 perkawinan itu terjadi hanya sekali dalam hidup. Ini terlihat dalam penggunaan kata kekal. Seperti definisi yang diberikan oleh Lord Penzance di atas dengan mensyaratkan seumur hidup diduga kuat dipengaruhi oleh agama Katolik Roma yang tidak memungkinkan terjadinya penceraian karena penceraian itu sendiri terlarang menurut agama tersebut kecuali diizinkan oleh Paus. Untuk memproleh izin adalah sesuatu yang sulit untuk tidak mengatakan tidak mungkin 21 . B. Hukum Pernikahan Dalam perspektif fiqih, nikah di syariatkan dalam Islam berdasarkan al- Quran, al-Sunah dan ijma;. Ayat yang menunjukkan nikah disyariatkan adalah firman Allah dalam Surah al-Nisa 4: 3 berikut:          Artinya: “maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, empat.” Q.S al-Nisa: 3 Selanjutnya disebutkan dalam Surah al-N ฀r 24: 32:        Artinya:dan kawikanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba sahayamu yang laki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan.” Q.S al-N ฀r: 32. 20 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 46. 21 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 47. Adapun hadis Nabi Saw. Yang menerangkan masalah ini adalah hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud ra: لﺎﻗ دﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑا ﻦﻋ : ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ : ﻢﻜﻨﻣ عﺎﻄﺘﺳا ﻦﻣ بﺎﺒﺸﻟا ﺮﺴﻌﻣ ﺎﯾ جوﺰﺘﯿﻠﻓ ةءﺎﺒﻟا . ﺎﺟو ﮫﻟ ﮫﻧﺎﻓ مﻮﺼﻟﺎﺑ ﮫﯿﻠﻌﻓ ﻊﻄﺘﺴﯾ ﻢﻟ ﻦﻣ و ء . ﻢﻠﺴﻣ و يرﺎﺨﺒﻟا هاور . Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikalah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina dan barang siapa yang tidak maka mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa, karena puasa itu adalah sebuah penawar.” HR. al-Bukhari dan Muslim. Dan dari segi ijma’, para ulama sepakat mengatakan nikah itu di syariatkan 22 . Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram. Perinciannya sebagai berikut. 1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram. 23 2. haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya karena ketidak mampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin. 3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama 24 bagi apabila yang, apabila tidak menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan, 22 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudomah, al-Mughni kairo: Hijr, 1413 H1992 M, h. 340. 23 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudomah, al-Mughni , h. 340. 24 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudomah, al-Mughni , h. 340. apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya. Ini didasarkan firman Allah swt dalam surat al-Nur 24: 32 Juga keterangan dari hadis Nabi Saw “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah.” HR. al- Bukhari dan Muslim. Namun menurut al-Syafi’iyah 25 , menikahlah dalam kondisi seperti ini adalah mubah dan lebih baik baginya menfokuskan diri untuk beribadah atau menyibukkan diri dalam menuntut ilmu. Karena Allah Swt. Memuji Nabi Yahya as. Dalam firmanya Surah Ali I’mrân 3:39:  …  … Artinya: “menjadi ikutan, menahan diri dari hawa nafsu.” Menahan diri dalam ayat ini berarti tidak bercampur dengan wanita, maka seandainya menikah itu lebih baik maka Allah tidak akan memuji Nabi Yahya as. Tatkala meninggalkannya. Dan firman Allah Surah Ali ‘Imrân 3:14 berikut:         Artinya: “dijadiakan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita dan anak-anak.” Q.S Ali Imrân: 14 Ungkapan ayat di atas tentang kecintaan manusia akan wanita adalah ungkapan yang mengandung dzamm celaan. Maka jika itu celaan, lebih baik menfokuskan diri untuk beribadah. 25 Taqiy ad-Din bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al- Ikhtishar berikut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988, h. 67-68. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah jumhur ulama karena ada riwayat yang menerangkan bagaimana Rasullah Saw. Melarang umatnya menjahui wanita dengan tujuan fokus untuk ibadah berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.: Artinya: “akan tetapi saya juga puasa, berbuka, shalat, bersenggama dan menikahi wanita-wanita. Maka tidak termasuk dari untuku.” HR.al-Bukhari dan Muslim. Juga hadis yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi al-Waqqas ra. Yaitu: “Rasululla Saw. Menolak keinginan Utsman bin Maz’un untuk terus membujang, maka seandainya ia diizinkan oleh Rasulullah untuk itu maka kami akan membujang selamanya”. HR. al-Bukhari dan Muslim. 4. Makruh hukumnya menikah bagi orang yang kuatir akan berbuat nista dan membawa mudarat kepada isterinya dan tidak merasa yakin dapat menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya mereka tidak mampu meberi nafkah, member perlakuan tidak baik kepada isteri serta merasa tidak terlalu berminat terhadap perempuan. 26

C. Syarat dan Rukun Nikah

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat, yaitu 1 sighah ijab dan qabul, 2 calon isteri, 3 calon suami dan 4 wali. Ini berbeda dengan 26 Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M1418 H, h. 6517. Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul, tidak ada yang lain. 27 Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenernya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu 1 wali, 2 mahar harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad, 3 suami, 4 isteri suami dan isteri ini di syaratkan bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram dan 5 sighah. 28 Sedangkan Syafi’iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu 1 suami, 2 isteri, 3 wali, 4 dua saksi dan 5 sighah. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Sementara, selain pada dua hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah selain ijab dan qabul adalah suami, isteri, dan wali. Sedangkan Syafi’iyah berpendirian, selain keduanya rukun nikah yang lain adalah suami, isteri, wali, dan dua saksi. Adapun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk rukun nikah adalah suami, isteri, wali, dan mahar. 27 Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, h. 6517. 28 Abdurrahman al-Jaziri Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, h. 186.

D. Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan

Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu; 29 1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri. Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat menggangu keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian. Allah SWT. berfirman di dalam surah al-Nisa 434:                      Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Tinggi Lagi Maha Besar”. Berangkat dari surah al-Nisa’: 434 al-Quran memberi opsi sebagai berikut: a. Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’aruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya. b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya. 29 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1995, h. 269-272. c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti betisnya. 30 2. Nusyuz suami terhadap istri Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri saja. Padahal al-Quran juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam al-Quran surah al-Nisa’ ayat 128 31 .                                  Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian sebenarrnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik memelihara dirimu dari nusyuz dan sikap tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengatahui apa yang kamu kerjakan. Q.S al-Nisa: 128. Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadis Rasul SAW, ada dinyatakan, di antara kewajiban suami terhadap istri adalah, 30 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272. 31 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272.