Implikasi Crossdresser Terhadap Pernikahan

(1)

IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP PERNIKAHAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH: AZHAR SYUKRI NIM : 1111043100018

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H / 2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i ABSTRAK

Azhar Syukri (1111043100018), Implikasi Crossdresser Terhadap Pernikahan. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta saling tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan mahram dan saling menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik. Jika dua hal tersebut tidak seimbang niscaya akan timbulah keributan dan perselisihan dalam rumah tangga. Pada dasarnya manusia tidak selamanya hidup normal, karena pasti ada saja yang memiliki kecenderungan tidak normal dan tidak wajar, seperti fenomena crossdresser. Crossdresser adalah laki-laki yang gemar menggunakan pakaian perempuan disaat-saat tertentu, seperti saat stress atau saat berhubungan seksual, akan tetapi ia berbeda dengan banci karna ia tidak mempunyai kelainan seksual. Lalu bagaimanakah hukum pernikahan yang dilakukan oleh seorang crossdresser? Sedangkan syarat calon mempelai laki-laki adalah harus laki-laki yang mempunyai sifat kelaki-lakian. Kemudian bagaimana dengan cara hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang crossdresser? Dan bagaimana jika isteri mengajukan gugatan cerai dengan alasan suami merupakan seorang crossdresser?

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan kaum crossdresser, kitab-kitab fikih dan Undang-Undang. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, artikel ilmiah, berita di media masa dan lain sebagainya. Metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris, penulis melakukan penelitian lapangan dengan metode wawancara. Selain itu penelitian ini akan melakukan kajian kepustakaan dengan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema penelitian yang akan dilakukan.

Penemuan penelitian ini menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seorang crossdresser adalah sah karena memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, akan tetapi cara berhubungan seksual yang dilakukan oleh seorang crossdresser adalah bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Kemudian jika isteri mengajukan gugatan perceraian dengan alasan suami seorang crossdresser maka diperbolehkan, selama keadaan tersebut membuat keadaan rumah tangga menjadi tidak harmonis dan selalu terjadi percekcokan sehingga bahtera rumah tangga tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.

Kata kunci : Pernikahan, Perceraian, Crossdresser.


(6)

ii

Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin -Nya, skripsi ini dapat terselesaikan.

Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Agung, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-sahabat-Nya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan kita sebagai umat-Nya semoga mendapatkan syafa’at-Nya kelak.

Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi penulis, terutama:

1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang sekaligus merangkap sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada penulis selama masih dalam masa kuliah.


(7)

iii

3. Bapak Dr. Syahrul Adam, MA. dan Ibu Hotnida Nasution, MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan ilmu yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang memberikan motivasi, serta kesabaran dalam mendidik selama penulis melakukan studi.

5. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah berkenan meminjamkan buku-buku penunjang hingga proses penulisan skripsi ini selesai.

6. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Moh Syukri dan Ibunda Hj. Nurlelah yang sangat berperan dalam mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan dukungan baik secara moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Adik-adik tercinta, Syahriani Syukri, Zahran Syukri dan Nabila Syukri yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan selama proses penulisan skripsi ini.


(8)

iv

lainnya, semoga Allah memberikan kemudahan dalam menyusuri kehidupan kita selanjutnya.

9. Sahabat-sahabat kostan, H. Mail, Riski Ardi, Rajab, Yunus, Topik, Andi Asyraf dan Tepes. Terimakasih karena selalu menghibur di kala jenuh, selalu memberikan semangat dan motivasi ketika jatuh. Semoga tali persaudaraan kita terjaga hingga akhir masa.

10.Terimakasih kepada Sahabatku Resti Hedi Juwanti yang selalu membantu, memberikan semangat, dan selalu bersedia mendengarkan keluh kesah selama proses penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.

Jakarta, 15 Juni 2016


(9)

v DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING……… LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………. LEMBAR PERNYATAAN………...

ABSTRAK………..i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI………..v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………....4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...5

D. Review Studi Terdahulu……….6

E. Metode Penelitian………...9

F. Sistematika Penulisan………...11

BAB II TEORI UMUM MENGENAI PERNIKAHAN A. Pengertian Pernikahan………..13

B. Hukum Pernikahan………...20

C. Syarat dan Rukun Pernikahan………..23

D. Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan………..25

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI CROSSDRESSER A. Pengertian Crossdresser………...32

B. Ciri dan Faktor Penyebab Menjadi Crossdresser…………....34


(10)

vi

B. Analisis Hukum Hubungan Seksual yang Dilakukan Oleh Kaum Crossdresser………...49 C. Analisis Hukum Perceraian dengan Alasan Crossdresser……60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...…65

B. Saran………...67


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta saling tolong-menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan mahram dan saling menjalankan hak dan

kewajibannya dengan baik.1 Hak ialah sesuatu yang harus diterima sedangkan

kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah kehidupan antara suami isteri dalam setiap rumah tangga, apabila dua hal tersebut tidak seimbang niscaya akan timbullah keributan dan perselisihan dalam rumah tangga.

Sebaliknya jika antara hak dan kewajiban itu seimbang atau sejalan, terwujudlah keserasian dan keharmonisan dalam rumah tangga, rasa kebahagiaan semakin terasa dan kasih sayang akan terjalin dengan baik. Suami menghargai isterinya dan isteri pun menghormati suaminya dan seterusnya. Oleh karena itu antara suami isteri harus saling melaksanakan hak serta kewajiban

masing-masing.2

Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah SWT, dengan kecenderungan seks (libido seksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji pada diri manusia maka Allah telah menyediakan wadah yang sesuai dengan

1

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991), cet.I h. 2. 2

Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Ke-1, h. 37.


(12)

derajat manusia yakni melalui perkawinan. Tanpa ikatan perkawinan pasti akan menimbulkan akibat negatif seperti penyimpangan seksual. Akan tetapi perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan dalam Islam mempuyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah di dalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentarman dan kebahagian hidup.3

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk lainnya. Dianugrahkan kepadanya insting untuk mempertahankan keturunan sebagai konsekuensi kemuliaan itu. Ini berarti manusia harus memperkembangkan keturunan dengan alat yang telah diperlengkapkan Tuhan kepadanya. Di antara kelengkapan ini adalah alat kelamin dan nafsu syahwat untuk saling bercinta.

Seks adalah kebutuhan biologis manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Dari kenyataan ini, maka seks merupakan faktor yang amat penting untuk dipelajari agar kebutuhan seks berjalan dengan wajar, janganlah naluri seks manusia anugerah Tuhan ini diselewengkan menurut hawa nafsu. Kalau ini terjadi, tentu insting manusia untuk mempertahankan kelangsungan keturunan tidak akan berhasil, bahkan sebaliknya akan punah. Untuk menghindari hal-hal seperti itu perlu sekali diterapkan moral agama dengan seks. Moral berarti ajaran mengenai baik dan buruknya tingkah laku manusia. Kalau moral agama

3

Epni Juliana, Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi putusan perkara Nomor 1564/pdt.G/2008/PAJT), Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 2.


(13)

3

diterapkan dalam seks, niscaya agama akan membimbing tingkah laku hubungan seks yang baik. Seks yang berjalan sesuai dengan moral agama, pasti akan

berjalan dengan baik dan wajar tanpa menodai harkat martabat manusia.4

Pada dasarnya manusia tidak selamanya hidup lurus dan normal, karena pasti ada saja yang memiliki kecenderungan tidak normal dan tidak wajar, seperti fenomena crossdresser. Crossdresser yaitu orang-orang yang suka berpakaian dengan pakaian lawan jenisnya untuk kesenangannya, akan tetapi ia tetap

mempunyai kesehatan seks yang normal.5 Di dalam hukum Islam crossdresser

disebut sebagai mukhannats, menurut Muhammad Amin bin Umar Abidin

mukhannats adalah seorang yang berpakaian dengan pakaian wanita dan

menyerupakan diri seperti wanita dari gerak-geriknya, perbuatan, dan ucapannya.6

Pada dasarnya seorang perempuan yang gemar menggunakan pakaian laki-laki oleh masyarakat sudah dianggap tabu. Akan tetapi seorang laki-laki yang gemar menggunakan pakaian wanita maka akan dianggap menyimpang. Oleh karena itu istilah crossdresser lebih cenderung kepada laki-laki yang gemar

menggunakan pakaian perempuan. 7

Crossdresser tidak sama dengan transgender, transgender adalah seorang laki-laki yang ingin menjadi perempuan secara lahir batin akan tetapi crossdresser

4

M. Bukhari, Islam dan Adab Seksual, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 2. 5

Azi, Showing Category Crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/definisi-singkat-crossdresser

6

Muhammad Amin bin Umar Abidin, Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al- Mukhtar, juz

IV, h. 69.

7

Hening, Macam-macam Fetishism, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://m.vemale.com/topik/penyakit-wanita/37247-macam-macam-fetishism.html


(14)

hanya gemar menggunakan pakain perempuan saja dan tidak mempunyai kelainan seks untuk menjadi perempuan. Seorang transgender menyukai laki-laki karena ia merasa dirinya adalah seorang perempuan, akan tetapi crossdresser tetap menyukai perempuan karena ia tidak mempunyai kelainan seks sebagaimana seorang transgender. Seorang transgender ingin merubah kelaminnya menjadi

kelamin perempuan, sedangkan crossdresser tidak ingin berganti kelamin.8

Salah satu alasan seseorang menjadi crossdresser karena ia merasa

mendapat kepuasaan seksual ketika ia menggunakan pakaian perempuan9,

terlebih ketika ia sedang berhubungan seksual dengan lawan jenisnya. Karena seorang crossdresser tidak mempunyai kelainan seksual, banyak dari kalangan crossdresser yang sudah berkeluarga, tentu saja apa yang dideritanya dapat berpengaruh terhadap pernikahannya. Hal ini karena tidak semua perempuan dapat bertahan dan bersabar dengan kelainan yang diderita oleh suaminya.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat tema

tersebut kedalam bentuk skripsi dengan judul “Implikasi Crosdresser Terhadap

Pernikahan”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk

8

Azi, crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/crossdresser

9

Noka Dara, Apakah Pria Crossdresser Itu Gay?, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://m.vemale.com/topic/penyakit-wanita/43111-pria-crossdresser-itu-gay.html


(15)

5

mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada pembahasan mengenai implikasi crossdresser terhadap pernikahan.

2. Perumusan Masalah

Berdasaran pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan pokok permasalahan pada skripsi ini adalah: Bagaimana implikasi crossdresser terhadap pernikahan?. Pokok permasalahan di atas diurai dalam pernyataan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah hukum pernikahan crossdresser?

b. Bagaimanakah hukum hubungan seksual yang dilakukan oleh

crossdresser?

c. Bagaimanakah hukum perceraian dengan alasan crossdresser?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana hukum pernikahan crossdresser?

b. Untuk mengetahui bagaimana hukum hubungan seksual yang

dilakukan oleh crossdresser.

c. Untuk mengetahui hukum perceraian dengan alasan crossdresser.

2. Manfaat Penelitian

a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna


(16)

pengaruhnya terhadap permikahan yang secara langsung dapat merespon kenyataan yang terjadi pada masa kini.

b. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan meyakinkan terkait dengan pengaruh crossdresser terhadap pernikahan.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan tinjauan terhadap kajian terdahulu di antaranya adalah

skripsi yang berjudul Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak

Reproduksi Perempuan (Analisis Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan) yang ditulis oleh Fatimatuh Zahro’, Program Studi Ahwal

Al-Syakhsihyah 2009. Skripsi ini menyimpulkan bahwa nikah dibawah umur sering berimplikasi terhadap hak-hak reproduksi perempuan baik secara fisik, secara mental dan secara sosial seperti memiliki banyak anak dan mengalami percaraian dan relatif muda, dalam kitab-kitab fikih klasik tidak terdapat ketentuan baik secara eksplisit maupun implisit mengenai aturan batas usia nikah sehingga dalam praktiknya tidak dapat diberlakukan sanksi moral atau sosial terlebih sanksi hukum bagi pihak yang melaksanakannya, padahal refrensi kitab-kitab klasik ini masih menjadi rujukan sebagian umat Islam di Indonesia. Begitu pula dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun tidak terdapat ketentuan pidana yang jelas dan konkrit bagi pihak-pihak yang melaksanakan nikah di bawah umur. Sehingga dalam menyikapi permasalahan tersebut adalah perlunya sikap kritis dan bijak berbagai pihak baik dalam


(17)

7

Biseksual Salah Satu Penyebab Perceraian (Analisis Putusan

Nomor:0456/Pdt.G/2012T/PA.Tng) yang ditulis oleh M.Iqbal Warats, Program

Studi Hukum Keluarga Islam 2014. Skripsi ini menyimpulkan bahwa hakim dalam memutuskan perkara perceraian yang disebabkan perilaku biseksual memiliki beberapa pertimbangan salah satunya karena Penggugat dan Tergugat sering terjadi selisih paham dan percekcokan yang alasannya disebabkan karena Tergugat ketahuan berselingkuh dengan beberapa wanita lain dan menjalani hubungan sesama jenis. Dan hakim mendasarkan putusan ini pada pasal 19 huruf (f) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Memang kedua pasal ini tidak menyebutkan secara rinci bahwa biseksual suami dalam rumah tangga dapat dijadiakan alasan dalam perceraian. Akan tetapi, akibat dari biseksual suami tersebut menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga sehingga menyebabkan percekcokan yang terus menerus, dan ini yang menjadi penekanan Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut.

Penelitan selanjutnya Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi

putusan perkara Nomor 1564/pdt.G/2008/PAJT) yang ditulis oleh Epni Juliana

skripsi ini menyimpulkan bahwa Islam membolehkan isteri atau suami menggugat cerai bila salah satu pihak terbukti menderita cacat yang sulit disembuhkan. Dalam kasus ini, isteri yang merasa sudah tidak diberikan haknya karena suami mengidap homoseksual, homoseksual sendiri dalam Islam tidak diterangkan secara spesifik bahwa penyakit tersebut dianggap salah satu penyakit atau cacat ynag dibolehkan bagi sang isteri menggugat cerai. Menurut sebagaian ulama, pada


(18)

dasarnya penyakit apapun yang menyebabkan penderitaan bagi salah satu pihak, yang berakibat tidak mampu lagi menjalankan bagi suami isteri dengan baik, maka dianggap sah dan dibolehkan untuk menuntut cerai ke Pengadilan Agama. Dengan demikian homoseksual dapat menjadi pemicu perceraian akan tetapi tidak bisa menjadi alasan perceraian. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus perkara cerai gugat dalam kasus ini mengacu pada pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 (tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974), dan pasal 116 huruf (f) KHI (Inpres RI No. 2 Tahun 1991). Menurut hakim dengan adanya kelainan seks yang diderita suami maka akan mengakibatkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga, dan sehingga sering terjadi pertengkaran, dan masalah tersebut menjadi tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

Penelitian selanjutnya Kelainan Seks Pada Suami Sebagai Pemicu

Terjadinya Perceraian yang ditulis oleh Jamilah, Program Studi Peradilan Agama

2010. Skripsi ini menyimpulkan bahwa kelainan seks seperti suami suka mengintip orang mandi dan orang yang sedang berhubungan seksual dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena dengan adanya kelainan seks terhadap suami dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri. Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara ini mengacu pada pasal 116 KHI huruf (f) dan Q.S Arrum ayat 20 serta PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.


(19)

9

Dari skripsi yang telah diuraikan, penulis berpendapat bahwa skripsi yang akan ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika di skripsi pertama fokus pembahasannya mengenai pengaruh biseksual terhadap perceraian dan skripsi kedua fokus pembahasannya mengenai pengaruh homoseksual terhadap perceraian dan skripsi ketiga fokus pembahasannya mengenai kelainan seks pada suami sebagai pemicu perceraian. Dalam penelitian ini penulis akan memfokuskan permasalahan tentang Implikasi crossdresser terhadap pernikahan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan empiris, dalam hal ini penulis melakuakan penelitian lapangan dengan mewawancarai kaum crossdresser untuk menegetahui bagaimana kaum crossdresser menanggapi

fenomena yang terjadi.10

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data Primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan kaum crossdresser, kitab-kitab fiqih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

10

Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian,, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 10.


(20)

Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang didapat dari buku-buku,

artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yakni proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan

menggunakan instrument pengumpulan data yang dinamakan interviem guide

(panduan wawancara).12 Selain itu peneliti akan melakukan kajian kepustakaan

yaitu upaya pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek

dan masalah penelitian yang akan dilakukan. 13

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang

lain.14 Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa

hingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk

11

J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997), h. 112-116.

12

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234. 13

Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.

14

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h. 244.


(21)

11

menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud tulisan ini. Pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

BAB I meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

BAB II meliputi pengertian pernikahan, dasar hukum pernikahan, syarat dan rukun pernikahan, serta faktor penyebab putusnya sebuah pernikahan.


(22)

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI CROSSDRESSER

BAB III ini meliputi pengertian crossdresser, sejarah crossdresser ciri dan faktor penyebab seseorang menjadi crossdresser, serta hukum crossdresser.

BAB IV ANALISIS IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP

PERNIKAHAN

BAB IV ini meliputi analisis hukum pernikahan crossdresser,

analisis hukum hubungan seksual yang dilakukan oleh

crossdresser, analisis hukum perceraian dengan alasan crossdresser .

BAB V PENUTUP YANG MELIPUTI KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam BAB V ini penulis mengakhiri penulisan ini dengan memberikan beberapa kesimpulan dan juga menyampaikan beberapa saran yang berhubungan dengan kajian penulisan.


(23)

13 BAB II

TEORI UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

A. Pengertian Nikah

Nikah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u, atau ibarat al-wath’ wa al-‘aqad yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fikih mendenifisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan dibawah ini seperti yang dijelaskan oleh wahbah al-Zuhaily sebagai berikut. “Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan’’.2

Definisi lain yang diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah “akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seorang laki-laki mengambil manfaat untuk melakukan

istimta dengan seorang wanita atau sebaliknya’’.3

Menurut Imam al-Qalyubi nikah secara terminologi adalah sebuah akad yang menjadikan atau memperbolehkan adanya hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dan perempuan dengan kalimat nikah atau kawin.4

1

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989), h. 29.

2

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, h. 29. 3


(24)

Menurut Hanafiyah “nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja” artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.5

Selanjutnya al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij.6

Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.7

Dengan redaksi yang berbeda, Iman Taqiyuddin di dalam Kifayat al-akhyar mendefiniskan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wat (bersetubuh).8

4

Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi, Hasiyatani, (Cairo: Al-Maktabah Al-Taufikiyah, 2003)., h. 312.

5

Abdurrahman al-Jaziri Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (t.tp. Dar Ilhya Turas al-Arabi, 1986), h. 3.

6

Muhammad Syata’ al-Dimyati, I’anat al-Talibin, (t.tp Dar Ilhya Kutub al-‘Arabiyyah, tt), h. 256.

7

Muhammad Abu Zahra, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957), h. 19


(25)

15

Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas, sebagaimana akan hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wat’ (persetubuhan).9

Definisi beberapa pakar Indonesia juga akan dikutipkan di sini. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia10.

Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual11. Senada dengan Hazairin, Mahmud Yunus mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan seksual. Sedangkan Ibrahim Hosein mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual (bersetubuh).12

Definisi lain dapat dikemukakan di sini sebagaimana yang dinyatakan oleh Lord Penzance seperti yang dikutip Lili Rasjidi dalam Disertasinya :

8

Imam Taqiyuddin, kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t), h. 36

9

Imam Taqiyuddin, kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, h. 36. 10

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undangan No, 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 2.

11

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia (Jakrta: Tintamas, 1961), h. 61. 12

Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk (Jakatra: Ihya Ulumuddin, 1971), h. 65.


(26)

I conceive that marriage as understood in Christendom, may…be difened as the voluntary union for life of one man and one women to the exclusion of all others13.

Dari definisi ini di atas setidaknya ada tiga hal yang menjadikan intisari sebuah perkawinan yaitu ; perkawinan itu haruslah berdasarkan sukarela. Selanjudnya perkawinan dimaksudkan untuk seumur hidup dan bersifat monogami. Tentu saja definisi ini berlaku bagi wilayah yang hukumnya berkiblat pada Inggris termasuk Malaysia.14

Perspektif Undang-Undang No 1/1974

Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah negara Indonesia berdasrkan kepada Pancasila yang pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani.15

13

Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h. 5.

14

Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, h. 5. 15

Moh. Idris Ramulyo, HukumPerkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Komlikasi Hukum Islam, h. 2.


(27)

17

Perspektif KHI

Menurut Kompliasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan hukum Islam adalah,

pernikahan yaitu akad sangat kuat atau miittsaqan gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata miittsaqan

gholidhan ini ditarik firman Allah SWT. Yang terdapat pada surat al-Nisa ayat 21:











Artinya: Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miittsaqan gholidhan).

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut di muat dalam pasal berikutnya yang berbunyi: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tentram cinta dan kasih sayang)”.

Agaknya tujuan ini juga dirumuskan melalui Firman Allah SWT. Yang terdapat surat al-Rum ayat 21 :













Artinya: “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antara-mu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir”.


(28)

Dari definisi di atas ada yang menarik untuk dicermati. Dalam kitab-kitab fikih seperti yang telah diuraikan di muka, tampaknya para ulama mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar karena makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual. Biasanya para ulama dalam merumuskan definisi tidak akan menyimpang apa lagi berbeda dengan makna aslinya. Di samping itu harus jujur diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah (salah satunya) dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karena ingin mendapatkan keturunan ataupun karena memenuhi kebutuhan seksualnya.16

Tetapi definisi itu tidak sepenuhnya mampu menggambarkan hakikat perkawinan yang menekankan pada dimensi biologis tidak hanya berdasarkan pertimbangan bahasa tetapi juga sangat dimungkinkan oleh pertimbangan yang bersifat subjektif. Sebagaimana yang terlihat nanti banyak sekali konsep-konsep perkawinan Islam itu sangat bias jender yang menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat.17

Definisi perkawinan dalam fikih memberikan kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki. Yang dilihat pada diri wanita adalah aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat’

atau al-istimta’. Yang semuanya berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula pemberian ikhlas sebagai tanda cinta seorang laki-laki kepada perempuan juga

16

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 44.

17

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 45.


(29)

19

didefinisikan sebagai pemberian yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki berhubungan seksual dengan wanita. Implikasinya yang lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin dalam berbagai peristwa-peristiwa perkawinan.18

Kondisi ini berbeda jika kita lihat definisi yang ada dalam UU No 1/1974. Setidaknya dalam pasal 2 ayat 1 secara ekspilisit ada beberapa hal yang perlu untuk dicatat.

Pertama, perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja tapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini dieksplisitkan dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.19

Kedua, dalam UU No 1/1974 tujuan perkawinan juga dieksplisitkan dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian dalam UU perkawinan No 1/1974, perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal tapi juga dilihat dari sifat sossial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga. Sedangkan dalam fikih tujuan perkawinan tidak

18

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 45.

19

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 46.


(30)

dicantumkan. Perkawinan hanya dilihat sebagai ketentuan hukum formal saja. Penting untuk diketahui bahwa fikih hanya mengurusi hal-hal yang praktis (amaliyah) bukan berbicara yang ideal.20

Ketiga, terkesan dalam UU No 1/1974 perkawinan itu terjadi hanya sekali dalam hidup. Ini terlihat dalam penggunaan kata kekal. Seperti definisi yang diberikan oleh Lord Penzance di atas dengan mensyaratkan seumur hidup diduga kuat dipengaruhi oleh agama Katolik Roma yang tidak memungkinkan terjadinya penceraian karena penceraian itu sendiri terlarang menurut agama tersebut kecuali diizinkan oleh Paus. Untuk memproleh izin adalah sesuatu yang sulit untuk tidak mengatakan tidak mungkin21.

B. Hukum Pernikahan

Dalam perspektif fiqih, nikah di syariatkan dalam Islam berdasarkan al-Quran, al-Sunah dan ijma;. Ayat yang menunjukkan nikah disyariatkan adalah firman Allah dalam Surah al-Nisa (4): 3 berikut:











Artinya: “maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat.” (Q.S al-Nisa: 3)

Selanjutnya disebutkan dalam Surah al-N฀r (24): 32:













Artinya:dan kawikanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba sahayamu yang laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (Q.S al-N฀r: 32).

20

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 46.

21

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 47.


(31)

21

Adapun hadis Nabi Saw. Yang menerangkan masalah ini adalah hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:

لﺎﻗ دﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑا ﻦﻋ

:

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ

:

ﻢﻜﻨﻣ عﺎﻄﺘﺳا ﻦﻣ بﺎﺒﺸﻟا ﺮﺴﻌﻣ ﺎﯾ

جوﺰﺘﯿﻠﻓ ةءﺎﺒﻟا

.

ﺎﺟو ﮫﻟ ﮫﻧﺎﻓ مﻮﺼﻟﺎﺑ ﮫﯿﻠﻌﻓ ﻊﻄﺘﺴﯾ ﻢﻟ ﻦﻣ و

ء

) .

ﻢﻠﺴﻣ و يرﺎﺨﺒﻟا هاور

.(

Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikalah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak maka mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa, karena puasa itu adalah sebuah penawar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan dari segi ijma’, para ulama sepakat mengatakan nikah itu di syariatkan22. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram. Perinciannya sebagai berikut.

1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.23

2. haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya karena ketidak mampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin.

3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama24 bagi apabila yang, apabila tidak menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan,

22

Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudomah, al-Mughni (kairo: Hijr, 1413 H/1992 M), h. 340.

23

Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudomah, al-Mughni , h. 340.

24

Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudomah, al-Mughni , h. 340.


(32)

apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya. Ini didasarkan firman Allah swt dalam surat al-Nur (24): 32)

Juga keterangan dari hadis Nabi Saw “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah.” (HR. al- Bukhari dan Muslim). Namun menurut al-Syafi’iyah25, menikahlah dalam kondisi seperti ini adalah mubah dan lebih baik baginya menfokuskan diri untuk beribadah atau menyibukkan diri dalam menuntut ilmu. Karena Allah Swt. Memuji Nabi Yahya as. Dalam firmanya Surah Ali I’mrân (3):39:



Artinya: “menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu).”

Menahan diri dalam ayat ini berarti tidak bercampur dengan wanita, maka seandainya menikah itu lebih baik maka Allah tidak akan memuji Nabi Yahya as. Tatkala meninggalkannya. Dan firman Allah Surah Ali ‘Imrân (3):14 berikut:













Artinya: “dijadiakan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita dan anak-anak.” (Q.S Ali Imrân: 14)

Ungkapan ayat di atas tentang kecintaan manusia akan wanita adalah ungkapan yang mengandung dzamm (celaan). Maka jika itu celaan, lebih baik menfokuskan diri untuk beribadah.

25

Taqiy ad-Din bin Muhammad al-Husaini, Kifayah Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar (berikut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988), h. 67-68.


(33)

23

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah jumhur ulama karena ada riwayat yang menerangkan bagaimana Rasullah Saw. Melarang umatnya menjahui wanita dengan tujuan fokus untuk ibadah berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.:

Artinya: “akan tetapi saya juga puasa, berbuka, shalat, bersenggama dan menikahi wanita-wanita. Maka tidak termasuk dari untuku.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi al-Waqqas ra. Yaitu: “Rasululla Saw. Menolak keinginan Utsman bin Maz’un untuk terus membujang, maka seandainya ia diizinkan oleh Rasulullah untuk itu maka kami akan membujang selamanya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). 4. Makruh hukumnya menikah bagi orang yang kuatir akan berbuat nista dan

membawa mudarat kepada isterinya dan tidak merasa yakin dapat menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya mereka tidak mampu meberi nafkah, member perlakuan tidak baik kepada isteri serta merasa tidak terlalu berminat terhadap perempuan.26

C. Syarat dan Rukun Nikah

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama.

Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat, yaitu (1) sighah (ijab dan qabul), (2) calon isteri, (3) calon suami dan (4) wali. Ini berbeda dengan

26

Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H), h. 6517.


(34)

Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan

qabul, tidak ada yang lain.27

Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenernya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini di syaratkan bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram) dan (5) sighah.28

Sedangkan Syafi’iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua saksi dan (5) sighah.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Sementara, selain pada dua hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah selain ijab dan qabul adalah suami, isteri, dan wali. Sedangkan Syafi’iyah berpendirian, selain keduanya rukun nikah yang lain adalah suami, isteri, wali, dan dua saksi. Adapun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk rukun nikah adalah suami, isteri, wali, dan mahar.

27

Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, h. 6517. 28


(35)

25

D. Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan

Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu;29

1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri.

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat menggangu keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian.

Allah SWT. berfirman di dalam surah al-Nisa 4/34:















Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Tinggi Lagi Maha Besar”.

Berangkat dari surah al-Nisa’: 4/34 al-Quran memberi opsi sebagai berikut:

a. Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’aruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.

29


(36)

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti betisnya.30

2. Nusyuz suami terhadap istri

Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri saja. Padahal al-Quran juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam al-Quran surah al-Nisa’ ayat 12831.











Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian sebenarrnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengatahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S al-Nisa: 128).

Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadis Rasul SAW, ada dinyatakan, di antara kewajiban suami terhadap istri adalah,

30

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272. 31


(37)

27

Pertama, memberi sandang dan pangan. Kedua, tidak memukul wajah jika terjadi nusyuz, ketiga, tidak mengolok-ngolok mengucapkan hal-hal yang dibencinya. Keempat, tidak menjauhi istri atau menghindari istri atau menghindari kecuali dalam rumah.

Inti hadis ini adalah suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental32. Jika ini terjadi dapat dikatakan satu bentuk nusyuz suami kepada istri.

Jika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Quran seperti yang terdapat dalam surah al-Nisa’ 4/128 menganjurkan perdamaian di mana istri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu. Semuanya ini bertujuan agar perceraian tidak terjadi.

Inilah ayat yang menurut Sayuti Talib yang dijadikan dasar untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi ta’lik talak sebagai untuk perjanjian perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai cara untuk menyelasaikan apabila suami melakukan nusyuz.33

Sedangkan menurut Muhammad Syatlut, taklik talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian itu telah disepakati

32

Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-Lujjain, (Yogyakarta: LKiS, FK3, 2001), h. 16-17.

33

Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-Lujjain h. 16-17.


(38)

bersama, maka perjanjian taklik talak dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar perjanjian telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang.34

3. Terjadinya syiqaq

Jika dua kemungkinan yang telah disebut di muka menggambarkan satu pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya telibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.

Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq

adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami isteri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui beberapa proses.

Dalam ayat suci al-Qur’an surah al-Nisa’: 4/ 35 ada dinyatakan:











Artinya: Bila kamu khawatir terjadinya perpecehan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (QS. al-Nisa: 35).

Dari ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam mengenai problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui kerakter, sifat

34

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001), h. 278.


(39)

29

keluarga mereka sendiri. Ini lebih mudah untuk mendemaikan suami istri yang sedang bertengkar. Al-Nawawi dalam syarah Muhazzab menyatakan bahwa disunnatkan hakam itu dari pihak suami dan istri, jika tidak boleh dari pihak lain.35

4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya.

Cara menyelesaikan adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung dimuka. Li’an

sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubra.36

Tawaran penyelesaian yang diberikan al-Qur’an adalah dalam rangka antisipasi agar nusyuz dan syiqaq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan terjadinya perceraian. Bagaimanapun juga perceraian merupakan sesuatu yang dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagi cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing.

Jika mengamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalm tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah

35

Mahyuddin al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Jilid VII, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.th), h. 143.

36


(40)

talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya, mencarai istri (perempuan) secara sepihak.37

Begitu dominannya hak suami untuk menggunakan hak talaknya dapat dilihat pada pernyataan Sayyid Sabiq berikut ini:

Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki karena kaum laki-lakinya yang memliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya yang banyak. Mereka juga memiliki tanggung jawab memberikan nafkah dan hadiah talak pada isterinya. Lebih lanjut, Sayyid Sabiq menambhkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar menghadapi perangai istrinya, dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban perceraian38.

Bagi Syafiq Hasyim seorang aktivis muda yang concern pada persoalan jender menyatakan, alasan material dan psikologis yang diberikn oleh Sayyid Sabiq di atas sangat bias gender dan monilitis (dari suami kepada istri).39

fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini. Untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan

37

Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 170.

38

Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam, h. 170.

39

Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam, h. 170.


(41)

31

oleh undang-undang dan ajaran agama40. Jadi tidak semata-mata diserahkan pada aturan-aturan agama.

40


(42)

32 A. Pengertian Crossdresser

Crossdresser berasal dari bahasa Inggris, yang pada dasarnya, Crossdresser adalah sebuah kata baru yang terbentuk dari dua kata; “Cross” yang disini berarti menyeberang/melintas/menyilang,1 dan “Dress” yang berarti busana. Dalam Bahasa Inggris, imbuhan “-er” yang ditambah dibelakang membuatnya menjadi berarti “pelaku”. Sementara imbuhan “-ing” yang ditambah dibelakang membuatnya menjadi kata kerja; melakukan kegiatan. Jadi secara harafiahnya, Crossdresser berarti “Penyeberang-busana”; orang yang melakukan kegiatan silang-busana, dan Crossdressing berarti kegiatannya itu sendiri; menyeberang dari patokan busana gender orang yang bersangkutan itu sendiri.2. Secara istilah crossdresser adalah seseorang yang gemar menggunakan pakaian lawan jenisnya, laki-laki gemar menggunakan pakaian perempuan atau sebaliknya, akan tetapi tidak ingin menjadi gender lawan jenisnya, dan tidak ingin mengubah tubuhnya seperti lawan jenisnya. Mereka memakai atribut lawan jenisnya dengan tujuan untuk mencapai keterangsangan atau kepuasan seksual saja. 3

1

John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 156.

2

John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 198. 3

Docter R.F dan Prince, V, Transvestism A Survey of Crossdresser (Archives of Sexual Behavior, 1997), h. 589-605.


(43)

33

Istilah klinis yang digunakan untuk menggambarkan penyimpangan seksual crossdresser adalah paraphilia, yaitu suatu penyimpangan seksual dimana individu melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, melanggar batas norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.4 Paraphilia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, “para” yang berarti “lebih” dan philia berarti “teman” atau “bersenang-senang”. Paraphilia

merupakan gangguan mental merujuk pada dorongan seksual atau respon seksual terhadap objek atau situasi yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.5 Pada gangguan ini, cara utama untuk mendapatkan ransangan dan kepuasan seksual adalah dengan objek lain atau dengan cara lain dari yang umumnya dianggap biasa. Jenis-jenis paraphilia: eksibisionisme, fetihisme, frotteurism, masokisme seksual, sadisme seksualisme, transvestik fetisisme, veyourisme, parafilia YTT. Sebagian besar pria lebih banyak mengidap paraphilia dibandingkan para wanita.6

Crossdresser termasuk pengidap paraphilia dengan jenis transvestik fetisisme, yaitu keadaaan seseorang yang mencari rangsangan dan pemuasan seksual terutama dengan memakai pakaian dan berperang sebagai seorang dari seks yang berlainan.7 Transvestik fetisisme Merupakan gangguan saat seorang

4

Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari http://pikirdong.org/paraphilia/

5

Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari http://pikirdong.org/paraphilia/

6

Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, (Surabaya: AUP, 2009), h. 360.

7

Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h. 361.


(44)

laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestik fetisisme selalu heteroseksual dan, selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.8

B. Ciri-Ciri dan Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Croosdresser 1. Ciri-Ciri Crossdresser

Dalam pedoman diagnostic transvestik fetisisme menurut PPDGJ-III ciri-ciri Crossdresser adalah sebagai berikut:

a. Gemar mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan seksual

b. Pakaian sebagai objek fetish yang digunakan bukan hanya sekedar dipakai saja tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari jenis kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh termasuk rambut palsu dan tatarias wajah.

c. Jika harsat seksual sudah bangkit dan sudah terjadi orgasme kemudian rangsangan seksualnya sudah menurun maka ia segera ingin melepaskan baju lawan jenisnya tersebut.

8

Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h. 361.


(45)

35

d. Transvestik fetisisme merupakan suatu fase awal bagi para penderita transgender dan kemungkinan merupakan satu stadium dalam perkembangan transgender.9

Secara klinis, tingkah laku seksual yang menyimpang (sakit, patologis, mengalami disfungsi, abnormal) itu pada umumnya berasosiasi dengan melemahnya dan atau rusaknya kemampuan untuk menghayati relasi-relasi seksual yang bisa saling memuaskan (dengan partnernya) dari lawan jenis kelamin; dan biasanya ada affek-affek kuat berisikan unsur rasa bersalah, berdosa, dendam kesumat. dan kebencian. Pada tingkah laku seksual yang normal dan sehat, relasi heteroseksual berlangsung dalam suasana penuh afeksi dan saling memuaskan, saling memberi dan menerima kasih-sayang dan kenikmatan. Sebaliknya, pada tingkah laku seksual yang menyimpan sering berjalan tanpa ada diskriminasi (tanpa perbedaan, semua sama saja. ada rasa yang datar, tanpa afeksi) terhadap partnernya; bahkan tanpa memperdulikan sama sekali perasaan-perasaan partnernya. Perilaku seksual yang menyimpang ini lebih banyak dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neurotis dan dorongan-dorongan non seksual daripada kebutuhan erotis, yang pada akhirnya menuntun pasien pada tingkah laku kompulsif dan patologis.10

9

Rusadi M, Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, (Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013), h. 13.

10

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 227.


(46)

Karena seksualitas itu sangat erat terjalin dengan semua aspek kepribadian, maka penyimpangan seksualitas pada umumnya berasosiasi dengan:

1. Maladjustment (ketidakmampuan menyesuaikan diri), yang parah. 2. kesulitan-kesulitan neurotic.

3. ketakutan-kecemasan terhadap relasi heteroseksual (relasi seksual dengan lawan jenis). Maka begitu luas spekturm penyimpangan seksual tersebut. Diawali dan para penderita dengan perkembangan psikoseksual yang sangat infantil, sampai ke ujung ekstrim lainnya yaitu pribadi-pribadi yang mampu melakukan penyesuaian diri secara seksual, namun mengalami regresi surut kembali pada penyimpangan seksual, disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kuat dari proses ketuaan, dan didorong oleh stress-stress psikologis dan stress fisik yang kuat dan melebihi daya-pikul pribadi bersangkutan.11

2. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Crossdresser

Crossdressing adalah salah satu perilaku yang menyimpang. Lebih spesifik lagi penyimpangan yang terjadi dalam katagori seks. Ada beberapa factor yang mempengaruhi seseorang berperilaku menyimpang, antara lain adalah:

1. Faktor keluarga

2. Faktor pergaulan dengan teman sebaya

11


(47)

37

3. Faktor media massa.12

Lebih jelasnya sebab-sebab penyimpangan seks, seperti telah disinggung di bagian depan, adalah multifaktoral, mencakup .gejala-gejala di dalam dan di luar pribadi (kelompok gejala yang intrinsik dan ekstrinsik) yang saling kait-mengait. Yang intrinsik ialah faktor-faktor herediter atau keturunan, berupa predisposisr dan konstitusi jasmaniah dan mentalnya, Sedang faktor ekstrinsik mencakup adanya kerusakan-kerusakan fisik dan psikis disebabkan oleh pengaruh-pengaruh luar, atau oleh adanya interaksi pengalaman dengan lingkungan yang traumatis sifatnya. Yang mencakup faktor intrinsik antara lain: faktor genetis dan predisposisi hormonal, yang bisa menjuruskan orang pada penyimpangan seksual. Misalnya, faktor genetis ini berperan penting dalam pemunculan gejala homoseksualitas; walaupun dalam beberapa kasus juga bisa terjadi lewat identifikasi yang sangat intensif atau lewat imitasi terhadap kebiasaan lingkungan khusus jadi ada sensitisasi/pemekaan individu terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan tertentu.13

Di sekitar masa perinatal. Faktor-faktor endokrin, konstitusi pembawaan, dan beberapa basis biologis bisa menumbuhkan tingkat laku seksual yang menyimpang. Cairan dan kelenjar endokrin pada fase-fase pertumbuhan yang kritis; bisa ikut mempengaruhi arah dari; dorongan- dorongan seksual dan tingkah laku dimorfik seksual (dua jenis kelamin, jenis kelamin ganda) pada manusia. Contohnya, wanita-wanita; dengan jumlah hormon androgen adrenal

12

Sarwono “Penyimpangan Perilaku Dalam Kajian Sosiologi” diakses pada 19 Juli 2016 dari http://www.psychologymania.com/2012/04/mamfaat-kelompok-bagi-individu.html.

13


(48)

yang terlalu banyak/berlebihan diprodusir semasa semasa janin, ada dalam rahim. Cenderung menjadi wanita tomboy: yang kelaki-lakian. 14

Selain it u, kurang penget ahuan dan pem aham an agam a juga m erupakan fact or int ernal yang m em pengaruhi t erjadinya crossdresing. Ini kerana penulis m erasakan didikan agam a dan akhlak sangat pent ing dalam m em bent uk akal, pribadi dan pribadi individu it u. Penget ahuan agam a mem ainkan peran yang pent ing sebagai bent eng pert ahanan yang paling ideal dalam mendidik diri sendiri unt uk m em bedakan yang m ana baik dan yang m ana yang sebaliknya, haram dan halal dan lain-lain.15

Selanjutnya, faktor ekstrinsik yang amat penting ialah relasi anak- orang tua. Teori psikoanalisa menekankan, bahwa kondisi penentu pada tingkah laku seksual yang menyimpang itu sudah diletakkan pada pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang sangat muda; misalnya kompleks Oedipal, kompleks Astral, latar belakang familial dengan penyimpangan-penyimpangan seksual, homoseksualitas di kalangan keluarga, dan lain-lain. Pada orang-orang homoseks biasanya terdapat tipe ibu-ibu yang terlalu banyak melindungi anak-anaknya (overprotekfif), mempunyai ikatan sangat intim dan mengikat sifatnya, tetapi mempunyai kewibawaan mengontrol yang kuat dan banyak menuntut. Sedang ayah- ayahnya pada umumnya lepas, terpisah, tidak ada atau jarang ada di rumah bersikap acuh tak acuh bahkan sering bermusuhan terhadap anak- anak lakinya. Juga perkawinan yang mendidik anak-anaknya secara abnormal,

14

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229. 15

Noor Azilawati Mohd Sabda, Siri Pemupukan Motivasi Insan, Menghindari Ancaman Seksual, (T. t: Pinang SDN.BHD), Cet.1, h. 16


(1)

67

Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa crossdresser merupakan seorang banci, padahal crossdresser berbeda dengan seorang transgender dan transeksual. Apa yang mereka lakukan hanyalah suatu penyimpangan seksual dimana crossdresser melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Sebaiknya masyarakat jangan terlalu mudah menghukumi seseorang sebagai seorang banci dan sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apakah ia benar banci atau bukan.

2. Kaum Crossdresser

Tidak ada seorangpun yang ingin dilahirkan sebagai seorang crossdresser, apa yang dilakukannya hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaannya dan mendapatkan kenikmatan batin. Bagi seorang crossdresser asli, apa yang dialaminya memang merupakan ketentuan Allah sang pencipta. Akan tetapi ia tidak boleh pasrah dengan keadaan tersebut, ia harus berusaha untuk berubah dengan melawan keinginan jiwanya ketika berkeinginan menggunakan pakaian perempuan. Bagi seorang crossdresser buatan hendaknya ia bertaubat dan meninggalkan aktifitas menyimpangnya serta lebih memilih dan memilah dalam bergaul agar tidak terjerumus kedalam perbuatan yang tercela. Oleh karena itu bagi kaum crossdresser hendaklah berusaha untuk merubah diri menjadi manusia yang normal dengan berusaha meninggalkan kebiasaan buruk tersebut dan mengobatinya dengan berkonsultasi kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut agar dapat membantunya berubah dan dapat hidup seperti manusia pada umunya.


(2)

68

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

Akbar, Ali dan Andi Hakim Nasution, dkk. Membina Keluarga Bahagia. Jakarta: Pustaka Antara, 1996.

Asqalani, al, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.

Bakry, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah). Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

BK, Puri dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri. Jakarta: EGC, 2011.

Bockting, Colemen dan Gooren, Intisari Psikologi Abnormal, Jakarta:, Tp, 1993. Bukhari, M. Islam dan Adab Seksual. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Darajat, Zakiah. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Dimyati, al, Muhammad Syata’. I’anat al-Talibin. T.tp: Dar Ilhya Kutub al-‘Arabiyyah, T.t.

Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2003.

Ekasari, Mia Fatma. “Studi Fenomenologi: Pengalaman Waria Remaja Dalam Menjalani Masa Puber di Wilayah DKi Jakarta” .Tesis S2 Fakultas Ilmu Keperawatan: Universitas Indonesia, 2011.

Forum Kajian Kitab Kuning. Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-Lujjain. Yogyakarta: LKiS, FK3, 2001.

Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Grup, 2003. Ghazali, al, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn. Beirut:


(3)

69

Hanbal, Ahmad Ibnu. Musnad al-Imam Ibnu Hanbal. al-Qahirah: Muasasah Qurtubah, T.t.

Hasyim, Syafiq. hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia. Jakrta: Tintamas, 1961.

Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk

Jakatra: Ihya Ulumuddin, 1971.

Hosen, Ibrahim. Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Yayasan Institut Ilmu Alquran, 1997.

Husaini, al, Taqiy ad-Din bin Muhammad. Kifayat Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Beirut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988.

Jaziri, al, Abd Rahman. al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 2000. Juliana, Epni. Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi putusan perkara

Nomor 1564/pdt.G/2008/PAJT), Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju, 1989.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kompilasi Hukum Islam.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.

Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001.

Maramis, Willy F dan Albert A. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.

Surabaya: AUP, 2009.

Moelang, J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997. Mohd, Sabda Noor Azilawati. Siri Pemupukan Motivasi Insan. Menghindari


(4)

Muhammad, Abd Allah ibn Qudamah al-Maqdisi Abu. al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn Hanbal. T.tp, T.p, T.t.

Nawawi, al, Imam. Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi. Beirut: Dâr al-Kitab al-Arabi, 1987.

Nawawi, al, Mahyuddin. Majmu’ Syarah Muhazzab. Jilid VII. Jeddah: Maktabah al-Irsyad, T.t.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.

Jakarta: Prenada Media, 2004.

Prince, V dan R.F. Transvestism A Survey of Crossdresser. Archives of Sexual Behavior, 1997.

Purwadi, Didi. 2015, Ini Perbedaan Transgender, Transeksual dan Crossdresser,

(Jakarta: Republika), 07 Maret 2015.

Putri, Veratih Iskadi. Tujuan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual

Suami Kepada Isteri. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Qudamah, al, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. al-Mughni. Cairo: Hijr, 1992. Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1995.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undangan No, 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia.

Bandung: Alumni, 1982.

Rusadi M. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013.

Saddock, BJ dan Saddock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC, 2010. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991.


(5)

71

Sukri, Sri Suhandjati dkk. Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Taqiyuddin, Imam. kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar. Bandung: Al-Ma’arif, T.t.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38 dan 39.Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19.

Wajidi, Farid dan Cici Farkha Assegaf. Hak-Hak Perempuan dalam Islam.

Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994.

Wasito, Herman. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Zahra, Muhammad Abu. al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957.

Zhuaili, Wahbah. al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Zuhaily, al, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989.

Website:

Azi, Showing Category Crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/definisi-singkat-crossdresser

Azi, crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/crossdresser

Dara, Noka, Apakah Pria Crossdresser Itu Gay?, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://m.vemale.com/topic/penyakit-wanita/43111-pria crossdresser-itu-gay.html

Hening, Macam-macam Fetishism, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari http://m.vemale.com/topik/penyakit-wanita/37247-macam-macam

nfetishism.html

Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari http://pikirdong.org/paraphilia/


(6)

Sarwono. “Penyimpangan Perilaku Dalam Kajian Sosiologi”. Diakses pada 19 Juli 2016 dari http://www.psychologymania.com/2012/04/mamfaat-kelompok-bagi-individu.html.