Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan TEORI UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

bersama, maka perjanjian taklik talak dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar perjanjian telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang. 34 3. Terjadinya syiqaq Jika dua kemungkinan yang telah disebut di muka menggambarkan satu pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya telibat dalam syiqaq percekcokan, misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar. Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami isteri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui beberapa proses. Dalam ayat suci al-Qur’an surah al-Nisa’: 4 35 ada dinyatakan:                         Artinya: Bila kamu khawatir terjadinya perpecehan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. QS. al-Nisa: 35. Dari ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam mengenai problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam arbitrator dari masing-masing pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui kerakter, sifat 34 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001, h. 278. keluarga mereka sendiri. Ini lebih mudah untuk mendemaikan suami istri yang sedang bertengkar. Al-Nawawi dalam syarah Muhazzab menyatakan bahwa disunnatkan hakam itu dari pihak suami dan istri, jika tidak boleh dari pihak lain. 35 4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina fahisyah, yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikan adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung dimuka. Li’an sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubra. 36 Tawaran penyelesaian yang diberikan al-Qur’an adalah dalam rangka antisipasi agar nusyuz dan syiqaq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan terjadinya perceraian. Bagaimanapun juga perceraian merupakan sesuatu yang dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagi cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing. Jika mengamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalm tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah 35 Mahyuddin al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Jilid VII, Jeddah: Maktabah al- Irsyad, t.th, h. 143. 36 Ahmad Rafiq, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , h. 274. talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya, mencarai istri perempuan secara sepihak. 37 Begitu dominannya hak suami untuk menggunakan hak talaknya dapat dilihat pada pernyataan Sayyid Sabiq berikut ini: Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki- lakinya yang memliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya yang banyak. Mereka juga memiliki tanggung jawab memberikan nafkah dan hadiah talak pada isterinya. Lebih lanjut, Sayyid Sabiq menambhkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar menghadapi perangai istrinya, dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban perceraian 38 . Bagi Syafiq Hasyim seorang aktivis muda yang concern pada persoalan jender menyatakan, alasan material dan psikologis yang diberikn oleh Sayyid Sabiq di atas sangat bias gender dan monilitis dari suami kepada istri. 39 fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP dan aturan- aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini. Untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan 37 Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001, h. 170. 38 Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam, h. 170. 39 Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam Islam, h. 170. oleh undang-undang dan ajaran agama 40 . Jadi tidak semata-mata diserahkan pada aturan-aturan agama. 40 Ahamad Rafiq, Ahmad Rafiq, Hsukum Islam di Indonesia, h. 59. 32

BAB III TINJAUAN UMUM ME

NGENAI CROSSDRESSER

A. Pengertian Crossdresser

Crossdresser berasal dari bahasa Inggris, yang pada dasarnya, Crossdresser adalah sebuah kata baru yang terbentuk dari dua kata; “Cross” yang disini berarti menyeberangmelintasmenyilang, 1 dan “Dress” yang berarti busana. Dalam Bahasa Inggris, imbuhan “-er” yang ditambah dibelakang membuatnya menjadi berarti “pelaku”. Sementara imbuhan “-ing” yang ditambah dibelakang membuatnya menjadi kata kerja; melakukan kegiatan. Jadi secara harafiahnya, Crossdresser berarti “Penyeberang-busana”; orang yang melakukan kegiatan silang-busana, dan Crossdressing berarti kegiatannya itu sendiri; menyeberang dari patokan busana gender orang yang bersangkutan itu sendiri. 2 . Secara istilah crossdresser adalah seseorang yang gemar menggunakan pakaian lawan jenisnya, laki-laki gemar menggunakan pakaian perempuan atau sebaliknya, akan tetapi tidak ingin menjadi gender lawan jenisnya, dan tidak ingin mengubah tubuhnya seperti lawan jenisnya. Mereka memakai atribut lawan jenisnya dengan tujuan untuk mencapai keterangsangan atau kepuasan seksual saja. 3 1 John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003, h. 156. 2 John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 198. 3 Docter R.F dan Prince, V, Transvestism A Survey of Crossdresser Archives of Sexual Behavior, 1997, h. 589-605. Istilah klinis yang digunakan untuk menggambarkan penyimpangan seksual crossdresser adalah paraphilia, yaitu suatu penyimpangan seksual dimana individu melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, melanggar batas norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. 4 Paraphilia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, “para” yang berarti “lebih” dan philia berarti “teman” atau “bersenang-senang”. Paraphilia merupakan gangguan mental merujuk pada dorongan seksual atau respon seksual terhadap objek atau situasi yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. 5 Pada gangguan ini, cara utama untuk mendapatkan ransangan dan kepuasan seksual adalah dengan objek lain atau dengan cara lain dari yang umumnya dianggap biasa. Jenis-jenis paraphilia: eksibisionisme, fetihisme, frotteurism, masokisme seksual, sadisme seksualisme, transvestik fetisisme, veyourisme, parafilia YTT. Sebagian besar pria lebih banyak mengidap paraphilia dibandingkan para wanita. 6 Crossdresser termasuk pengidap paraphilia dengan jenis transvestik fetisisme, yaitu keadaaan seseorang yang mencari rangsangan dan pemuasan seksual terutama dengan memakai pakaian dan berperang sebagai seorang dari seks yang berlainan. 7 Transvestik fetisisme Merupakan gangguan saat seorang 4 Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari http:pikirdong.orgparaphilia 5 Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari http:pikirdong.orgparaphilia 6 Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, Surabaya: AUP, 2009, h. 360. 7 Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h. 361. laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestik fetisisme selalu heteroseksual dan, selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin. 8

B. Ciri-Ciri dan Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Croosdresser

1. Ciri-Ciri Crossdresser Dalam pedoman diagnostic transvestik fetisisme menurut PPDGJ-III ciri- ciri Crossdresser adalah sebagai berikut: a. Gemar mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan seksual b. Pakaian sebagai objek fetish yang digunakan bukan hanya sekedar dipakai saja tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari jenis kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh termasuk rambut palsu dan tatarias wajah. c. Jika harsat seksual sudah bangkit dan sudah terjadi orgasme kemudian rangsangan seksualnya sudah menurun maka ia segera ingin melepaskan baju lawan jenisnya tersebut. 8 Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h. 361. d. Transvestik fetisisme merupakan suatu fase awal bagi para penderita transgender dan kemungkinan merupakan satu stadium dalam perkembangan transgender. 9 Secara klinis, tingkah laku seksual yang menyimpang sakit, patologis, mengalami disfungsi, abnormal itu pada umumnya berasosiasi dengan melemahnya dan atau rusaknya kemampuan untuk menghayati relasi-relasi seksual yang bisa saling memuaskan dengan partnernya dari lawan jenis kelamin; dan biasanya ada affek-affek kuat berisikan unsur rasa bersalah, berdosa, dendam kesumat. dan kebencian. Pada tingkah laku seksual yang normal dan sehat, relasi heteroseksual berlangsung dalam suasana penuh afeksi dan saling memuaskan, saling memberi dan menerima kasih-sayang dan kenikmatan. Sebaliknya, pada tingkah laku seksual yang menyimpan sering berjalan tanpa ada diskriminasi tanpa perbedaan, semua sama saja. ada rasa yang datar, tanpa afeksi terhadap partnernya; bahkan tanpa memperdulikan sama sekali perasaan-perasaan partnernya. Perilaku seksual yang menyimpang ini lebih banyak dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neurotis dan dorongan-dorongan non seksual daripada kebutuhan erotis, yang pada akhirnya menuntun pasien pada tingkah laku kompulsif dan patologis. 10 9 Rusadi M, Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013, h. 13. 10 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 1989, h. 227.