Industri Kakao di Indonesia

48 konstan dan beberapa diantaranya mengalami penurunan. Departemen Pertanian, 2006 Sementara itu, disisi lain industri pengolahan kakao dalam negeri menghasilkan semi dan final produk dengan jumlah perusahaan yang ada di Indonesia sebanyak 16 perusahaan dengan kapasitas terpasang 325 000 tonth dan kapasitas terpakai baru mencapai 165 000 tonth atau hanya 51 persen. Hal ini dikarenakan keterbatasan untuk memperoleh bahan baku yang berkualitas di dalam negeri. Departemen Pertanian, 2006

5.1.2. Konsumsi Kakao di Indonesia

Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS yang dipublikasikan oleh BPS 2010, konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat bubuk dan cokelat instan. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1982-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yakni masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuatif dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 grkapita. Sementara data konsumsi cokelat instan hasil SUSENAS hanya tersedia sejak tahun 1999-2008.

5.2. Industri Kakao di Indonesia

Industri hilir pengolahan kakao nasional memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku biji kakao yang cukup melimpah di dalam negeri. Selama ini Indonesia tercatat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mencapai 600 000 ton. Pengembangan industri hilir 49 kakao nasional yang kini sedang digalakkan pemerintah Kementerian Perindustrian diharapkan mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan mendongkrak perolehan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao. Kementerian Perindustrian, 2012 Beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang, antara lain adanya kebijakan pengenaan pajak produk primer dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditi primer. Pengenaan PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beralihnya biji kakao yang tadinya diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji, sehingga industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup. Akibatnya, beberapa perusahaan pengolahan biji kakao tidak dapat beroperasi. Kementerian Perindustrian, 2012 Dalam rangka menumbuhkan kembali industri pengolahan kakao, maka tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor DanAtau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini belum serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui Program Gerakan Nasional Kakao pada tahun 2009 dan masih berlanjut sampai sekarang. Kementerian Perindustrian, 2012 50 Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada bulan April 2010 melalui PMK No. 67PMK.0112010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao. Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri. Keberhasilan kebijakan ini juga terlihat dari data ekspor biji kakao yang menurun pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009. Sedangkan ekspor biji kakao sampai dengan bulan Mei 2011 mencapai 97 265 ton, turun dibandingkan dengan ekspor Januari-Mei 2010 sebesar 158 855 ton. Sedangkan ekspor kakao olahannya meningkat pada periode Januari-Mei 2011 sebesar 55 651 ton dibandingkan Januari-Mei 2010 sebesar 35 508 ton. Kementerian Perindustrian, 2012

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN