58 semakin banyak konsumen dengan loyalitas, dan pada akhirnya mampu
memberikan keuntungan.
6.3. Analisis Kinerja Pasar
Analisis kinerja pasar akan tergambar pada besarnya nilai Price Cost Margin PCM, hal ini dikarenakan PCM dijadikan sebagai indikator kemampuan
perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi dan menggambarkan keuntungan kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Pada industri kakao yang
ada di Indonesia ini PCM dipengaruhi oleh variabel- variabel lain, seperti konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar CR
4
, Minimum Efficiency Scale MES, efisiensi internal X-eff, Produktivitas PROD, dan jumlah perusahaan
JLP. 6.3.1
Analisis Price Cost Margin PCM
Pendekatan dengan PCM dilakukan karena tingkat keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan bersifat rahasia dan tidak untuk dipublikasikan sehingga
PCM bertindak sebagai indikator keuntungan atas biaya langsung yang diperoleh suatu perusahaan. Pada industri kakao ini nilai PCM memiliki nilai rata- rata
sebesar 21.29 persen, dengan nilai PCM tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 87.68 persen dan PCM terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.06
persen. Nilai PCM yang terjadi pada tahun 2006 tersebut dapat disebabkan karena
nilai tambah industri yang meningkat drastis diikuti dengan peningkatan biaya tenaga kerja dan disertai dengan tingginya nilai barang yang dihasilkan. Tingginya
nilai PCM ini dapat pula disebabkan karena industri kakao yang terus mengalami peningkatan permintaan sehingga produsen terus meningkatkan produksi pada
13,06 2,06
5,71 26,34
12,98 35,32
87,68
10,41 12,06
7,31
20 40
60 80
100
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
p e
r se
n
PCM
72,12 52,46 29,49
126,27 42,44
82,02 774,71
11,77 13,76 15,99
100 200
300 400
500 600
700 800
900
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
P e
r se
n
X-eff
61 dikatakan baik apabila lulus uji statistik dan uji ekonometrika. Uji statistik meliputi
uji koefisiensi determinasi R
2
, uji t, dan uji f. Sedangkan dalam uji ekonometrika, suatu
model harus
terbebas dari
pelanggaran asumsi-asumsi
seperti multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan uji normalitas. Alat analisis
yang digunakan dalam model ini adalah minitab 14 dan E-views 6.
6.4.1 Uji R-Squared R
2
Berdasarkan nilai pada model regresi maka nilai R-Squared atau nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah sebesar 91.8 persen yang artinya
sebesar 91.8 persen keragaman variabel dependen PCM dapat dijelaskan oleh variabel independen pada model yang terdiri dari variabel MES, CR
4
, Produktivitas PROD, X-eff, Jumlah Perusahaan JLP. Sedangkan sisa nilai koefisien
determinasi sebesar 8.2 persen dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Sedangkan untuk uji R-adjusted, nilainya adalah sebesar 81,6.
6.4.2 Uji F
Nilai Probability F-Statistic yang diperoleh dalam model adalah sebesar 0.027 dengan besarnya taraf nyata adalah lima persen atau sebesar 0.05. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai Probability F-Statistic lebih kecil dibanding nilai taraf nyata 0.027 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu
variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model ini layak digunakan sebagai parameter penduga.
6.4.3 Uji t
Hasil uji t dapat dilihat dari nilai variabel independen yang nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata. Variabel MES, CR
4,
PROD, dan JLP memiliki nilai masing-masing sebesar 0.722, 0.869, 0.920, dan 0.523 dimana
62 nilainya lebih besar daripada taraf nyata lima persen atau sebesar 0.05 sehingga
variabel ini tidak beperngaruh nyata terhadap variabel dependen PCM. Sedangkan variabel efisiensi internal x-eff memiliki nilai sebesar 0.028 dimana nilainya lebih
kecil dari taraf nyata 0.05 sehingga variabel ini berpengaruh nyata terhadap PCM. Dapat disimpulkan bahwa dalam model ini hanya variabel x-eff saja yang
berpengaruh nyata pada variabel dependen PCM.
6.4.4 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear antara variabel bebas didalam model regresi. Uji multikolinearitas dapat
dilihat dari nilai VIF dalam model, dengan ketentuan jika nilai VIF pada variabel kurang dari 10 maka terdapat multikolinearitas. Dari hasil regresi dapat dilihat
bahwa tidak ada nilai VIF dari masing-masing variabel yang besarnya lebih dari 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model ini tidak terjadi multikolinearitas
sehingga model layak.
Predictor Coef
SE Coef T
P VIF
Constant -13,47
26,94 -0,50
0,643 MES
0,1630 0,4267 0,38 0,72
7,3 CR
4
0,0568 0,3242
0,18 0,869
4,2 X-eff
0,08949 0,02639
3,39 0,028
2,9 PROD
-0,0000420 0,0003935 -0,11
0,920 1,8
JLP 0,5553
0,7942 0,70
0,523 1,9
6.4.5 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Uji autokorelasi dapat
dilihat dengan nilai Durbin-Watson. Pada lampiran 7 ditunjukkan bahwa hasil estimasi menunjukkan nilai Durbin-Watson sebesar 1.96297. Nilai ini berada pada
batasan 1.55-2.46 sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi.
Heteroskedasticity Test: White F-statistic
1.595952 Prob. F5,4
0.3356 ObsR-squared
6.661035 Prob. Chi-Square5
0.2471 Scaled explained SS
0.817098 Prob. Chi-Square5
0.9759
1 2
3 4
-15 -10
-5 5
10 15
Series: Residuals Sample 2000 2009
Observations 10 Mean
-3.02e-15 Median
0.325383 Maximum
12.85568 Minimum
-10.86246 Std. Dev.
7.243494 Skewness
0.284011 Kurtosis
2.533354 Jarque-Bera
0.225170 Probability
0.893522
64
6.4.8. Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Hasil regresi model pada lampiran 7, menunjukkan bahwa variabel MES, CR
4
, X-eff, dan JLP berpengaruh positif terhadap PCM, sedangkan variabel PROD berpengaruh negatif terhadap PCM. Keterkaitan antara PCM dengan variabel
independen dirumuskan dengan model berikut: PCM = - 13.5 + 0.163 MES + 0.057 CR
4
+ 0.0895 X-eff – 0.000042 PROD + 0.555 JLP + ε
Hal ini berarti menunjukkan bahwa peningkatan MES sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.163 persen, yang artinya semakin
meningkatnya hambatan untuk memasuki pasar maka besarnya keuntungan akan meningkat. Hipotesis ini sesuai dengan hipotesis awal karena meningkatnya
hambatan masuk pasar menyebabkan persaingan semakin ketat karena hanya industri yang kuatlah yang dapat bertahan dalam menghadapi pasar ini.
Peningkatan CR
4
sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.057 persen pula. Selain itu, peningkatan x-eff sebesar satu persen akan turut meningkatkan
PCM sebesar 0.0895 persen, hal ini tentu saja didukung dengan semakin meningkatnya efisiensi maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Hal
yang sama juga terjadi pada JLP, peningkatan JLP sebesar satu satuan akan meningkatkan PCM sebesar 0.555 persen. Jumlah perusahaan akan mendukung
kinerja suatu industri, ketika jumlah perusahaan semakin meningkat maka kinerja suatu industri akan turut meningkat dan ketika kinerja industri meningkat maka
dapat diartikan dengan semakin efisien industri tersebut yang berujung pada peningkatan keuntungan, hal inilah yang menyebabkan nilai PCM ikut meningkat.
Model regresi juga menunjukkan bahwa dari lima variabel independen yang ada, hanya ada satu variabel saja yang berpengaruh nyata yaitu x-eff. Dapat
65 disimpulkan bahwa model regresi yang tepat untuk kasus industri kakao ini yaitu:
PCM = - 13.5 + 0.0895 X-eff + ε. Hubungan antara x-eff dan PCM tentu jelas akan saling berpengaruh karena
efisiensi internal x-eff menggambarkan kemampuan suatu industri untuk menekan biaya produksinya, semakin efisien maka semakin besar pula keuntungan yang
diperoleh. X-eff yang memiliki besar 0.028 ini terbukti lebih besar dari taraf nyata 0.05 sehingga dapat disimpulkan x-eff berpengaruh nyata dan sesuai dengan
hipotesis karena industri akan menekan biaya produksi mereka untuk tetap memperhatikan keuntungan.
Empat variabel yang tidak signifikan seperti CR
4
, MES, PROD, dan JLP ini dianggap tidak sesuai dengan hipotesis awal. Besarnya masing- masing variabel ini
adalah sebesar 0.869, 0.722, 0.920, 0.523 memiliki besar yang melebihi taraf nyata 0.05. CR
4
tidak berpengaruh signifikan karena semakin tinggi konsentrasi industri justru akan menurunkan persaingan yang menyebabkan perilaku industri kurang
efisien. Penurunan perilaku akan mempengaruhi kinerja industri yang menyebabkan kinerja menurun. Dalam model estimasi nilai MES berpengaruh
positif terhadap PCM, namun pada kenyataannya nilai MES ini tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM. Hal ini diduga karena tingginya hambatan untuk masuk
dalam pasar akan mengakibatkan masing-masing industri untuk terus meningkatkan persaingannya agar tetap bertahan. Ketika masing-masing industri saling
meningkatkan persaingan justru akan menurunkan keuntungan, karena share yang diperoleh masing-masing industri semakin sedikit sehingga keuntungan yang
semakin menurun tidak dapat meningkatkan kinerja industri secara profit.
66 Model estimasi yang menunjuk variabel produktivitas ternyata berpengaruh
negatif terjadap PCM. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis karena semakin tinggi produktivitas yang dihasilkan maka seharusnya akan meningkatkan keutungan pada
suatu industri. Namun pada kenyataannya peningkatan produktivitas sebesar satu persen akan menurunkan keuntungan sebesar 0.000042 persen. Hal ini diduga
karena tingginya produktivitas akan meningkatkan output ataupun barang yang dihasilkan juga ikut meningkat. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu supply, ketika
supply terlalu tinggi maka akan menurunkan harga dari yang semestinya. Akibatnya, produk menjadi tidak bersaing dan tidak memberi keuntungan lebih.
Kondisi ini mampu dikatakan sebagai alasan mengapa produktivitas tidak berpengaruh nyata terhadap PCM.
JLP yang diartikan dengan jumlah perusahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap PCM. Peningkatan JLP sebesar satu persen akan meningkatkan
PCM sebesar 0.555 persen. Peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah perusahaan yang memasok dari suatu industri akan meningkatkan
keuntungan industri tersebut. Namun pada kenyataanya besarnya JLP tidak berpengaruh signifikan pada PCM, karena semakin banyak jumlah perusahaan yang
memasuki pasar akan menurunkan keuntungan yang akan diterima dari masing- masing perusahaan sehingga akibatnya keuntungan yang rendah tersebut tidak akan
mendukung kinerja yang lebih diartikan pada profit.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN