48
dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula- mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka
dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.
3
Dengan demikian, dikarenakan Mayoritas masyarakat Cibadak adalah bermazhab
Syafi’I, maka sudah tidak dipungkiri lagi Ulama di Kelurahan Cibadak memakai kitab kuning sebagai sebuah rujukan dalam muamalah dan
rujukan untuk fatwa-fatwa Ulama. Namun tidak dipungkiri ada juga ulama yang mengajar dengan memakai kitab terjemah.
Bagi ulama yang keluaran pondok pesantren pasti memakai kitab kuning sebagai rujukan atau referensi dalam mengajarnya, karena untuk
mengharapkan barokah dan keutamaan dalam mengajarnya. Adapun kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan ulama Cibadak
adalah: 1. Kitab fathul
Mu’in 2. Kitab Kasyifah syarah dari kitab Safinatunnajah
3. Kitab Busyrokarim 4. Kitab Riyadul
Bari’ah 5. Kitab Sulamun najad
6. Kitab SulamunTaufik
3
AzyumazdiAzra, JaringanUlamaTimur Tengah danKepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: MelacakAkar-akarPembaruanPemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV Bandung: Mizan,
1998, hlm. 26-27
49
Kitab kuning harus tetap dijaga dan jagan sampai kita meninggalkan kitab kuning. Meninggalkan kitab kuning akan mengakibatkan
terputusnya matarantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun berabad-abad. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur keilmuan yang
menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
4
D. Pemakaian Kitab Fathul Muin di dalam Bermuamalah di Masyarakat
Kelurahan Cibadak
Kitab fathul Muin ini adalah kitab yang sangat barokah sekali, dengan format dan manhaj yang ditawarkan tentunya mempunyai sebuah rahasia
yang tidak bisa di mengerti oleh orang lain. Sehingga banyak sekali ulama yang mengaguminya, bahkan ada yang mengatakan bahwa kitab fathul Muin
ini adalah Kitab al Tuhfah al Tsani atau Kitab Tuhfah yang kedua, selain karena pengarang adalah murid dari pengarang kitab Tuhfah, juga karena
kitab Fathul Muin ini juga banyak sekali mengadopsi masalah dari kitab al Tuhfah.
Kit ab Fathul Mu’in ini tak jauh bedanya dengan kitab-kitab fiqh yang
lain, yaitu membincangkan semua permasalahan Fiqhiyah, mulai dari Ibadah, Mu’amalah, Munakahah dan juga Jinayah dengan di klasifikasikan sesuai
dengan bab-babnya. Dalam pembahasan Sholat, kitab ini lebih enak untuk di telaah, karena
dalam membahas kaifiyah atau tata cara Sholat, kita b Fathul Mu’in ini lebih
4
Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2004. Hal. 39
50
runtut dibanding dengan kitab lain, karena dalam penyebutan, tidak di klasifikasikan sesuai dengan Fardlu dan Sunahnya, melainkan disebutkan
sesuai dengan letak kaifiyah itu, metode seperti ini juga di terapkan dalam pembahasan Haji dan Umroh.
Kitab Fathul M u’in oleh ulama Cibadak dijadikan sebagai rujukan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan permasalahan muamalat masyarakat, tetapi tidak dipakai dalam pengajian warga Cibadak dikarenakan pembahasan
di dalam kitab fathul Mu’in itu sudah sedikit lebih tinggi.
5
Dalam pembahasan qadha dan fidyah shalat yang terjadi di Cibadak Memakai kitab rujukan fathul
mu’in. karena dalam kitab fathul mu’in sudah sangat jelas pembahasan tentang shalat, dan ditambah dengan syarhanya yaitu
yan g berjudul I’anatuth Tahlibiin yang dikarang oleh Syaikh Muhammad al-
Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Dimyati.
E. Teknis Pelaksanaan Fidyah Shalat di Cibadak
Shalat merupakan ibadah badaniyah. Oleh karena itu, ibadah shalat tidak dapat diganti dengan amalan lainnya kecuali ada dalil yang
membolehkannya. Berdasarkan ini, maka menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Syafi’i, shalat tidak dapat diganti dengan fidyah, meskipun dalam
kasus orang telah meninggal. Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW, antara lain hadits riwayat Annas :
5
Wawancara langsung dengan KH.Musa pada29 maret 2016 pukul 13.30 WIB.