Implementasi Pemikiran Zainuddin Al-Malibari Terhadap Praktik Qadha da Fidyah Shalat di Keluruhan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor
DI MASYARAKAT KELURAHAN CIBADAK
KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA BOGOR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh : DELY FADLI NIM : 109043100007
PROGRAM STUDIPERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2016 M/1438 H
(2)
(3)
(4)
(5)
v
Berjudul “Implementasi Pemikiran Zainuddin Al-Malibari terhadap Praktek Qadha dan Fidyah Shalat di Masyarakat Kelurahan Cibadak
Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor”. Di bawah bimbingan DR. H. Yayan
Sopyan S.H, M.A, M.H.
Shalat adalah suatu kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal dan normal (tidak gila) sesuai dengan kemampuanya. Begitu pentingnya shalat, sehingga kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu tidak terbatas pada saat badan sehat, sakit, perang ataupun bepergian.
Namun seiring dengan perkembangan zaman yang juga berpengaruh dalam problematika kehidupan manusia, maka perihal shalat pun tidak lepas dari berbagai problematika, yaitu adanya dispensasi shalat untuk orang sakit yang tidak dapat mengerjakannya. Demikian juga dengan orang yang masih memiliki tanggungan shalat, ada keringan untuk mengqadha atau membayar fidyah.
Dalam al-Quran dan hadist tidak ada satupun dalil yang membahas terhadap fidyah shalat, sedangkan dalam hadist dijelaskan tentang adanya penggantian shalat atau mengqadha shalat yang disebabkan karna lalai atau tertidur, sehingga masih terdapat perdebatan di kalangan masyarakat. Berbeda dengan fidyah Puasa yang dalilnya tertera dalam al-qur’an sehingga tidak lagi ada perdebatan dalam pelaksanaannya.
Imam Zainuddiin al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in berpendapat shalat yang telah ditinggalkan oleh orang yang wafat (mayit) maka shalat tersebut tidak bisa diqadha dan dibayarkan fidyah, namun ada juga yang berpendapat bahwa shalatnya harus diqadha oleh orang lain, baik si mayit berwasiat maupun tidak. Namun dalam prakteknya di masyarakat Cibadak bagi si mayit yang memiliki tanggungan shalat maka digantikan dengan melaksanakan fidyah.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu cara menuliskan, mereduksi dan menyajikan data-data. Jenis data primer yang berasal dari wawancara, observasi yang dilakukan di kampung Cibadak Tanah Sareal. Data sekunder yang didapat dari buku-buku, artikel, dokumen. Data tersier yang mendukung dalam penulis skripsi ini.
Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat dan seseorang yang menunaikan fidyah. Selanjutnya menganalisis data dengan menggunkan metode deskriptif analisis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat difahami.
Adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah pelaksanaan fidyah shalat yang dilaksanakan di masyarakat Cibadak adalah tidak sepenuhnya menggantikan shalat yang telah ditinggalkan si mayit namun hanya sebagai penambah pahala dan penambal ibadah shalat yang tidak sempurna. Dengan demikian bahwa apabila mayit masih memiliki tanggungan shalat semasa hidupnya maka tidak dapat digantikan dengan membayar fidyah untuk menggantikan shalatnya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Zainuddin al-malibari dalam kitab Fathul Mu’in.
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt. Semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita. Shalawat dan salam tercurahkan kepada manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqomah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Implementasi Pemikiran Zainuddin al-Malibari terhadap Praktik Qadha dan Fidyah Shalat di kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Pada Program Studi Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini banyak berbagai kekurangan. Namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi khalayak. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Dari itu penyusun menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda bapak H. Ahmad Riva’I dan Ibunda Hj. Ahyana yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayangnya dan yang paling penting adalah doa dari mereka sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
(7)
vii
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta yang selalu memberikan motivasi dan pemikirannya layaknya orang tua kami
4. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan pembimbing Akademik
5. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, S.H, M.A, M.H Dosen Pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu dan kesempatan serta nasehat kepada kami 6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
membekali ilmu kepada penulis selama perkuliahan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini
7. Seluruh guru-guruku yang ada di Pondok Pesantren Nurul Furqon khusus KH. Zezen Syukrillah, S.Pdi yang selalu memberikan nasehat kepada penulis
8. Bapak KH. Musa dan Uay Setiawan dan segenap Staf Kelurahan Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor yang telah menyempatkan waktunya dan bersedia memberikan informasi dan data yang dibutuhkan dan membantu dalam penelitian ini
9. Calon istriku Susi Stiawati yang senantiasa memberikan kebahagian yang tak terduga. Senyuman, dukungan, doa dan keberadaanmu adalah ketenangan bagiku.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih, yang selalu memberikan kebahagian dalam canda dan tawa ketika di kelas
(8)
viii
11. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulisan berupaya semaksimal mungkin agar dapat memenuhi harapan semua pihak. Namun penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kekurangan dan kehilafan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini dikarenakan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu sumbang saran dan kritik juga saya butuhkan demi perbaikan pada skripsi saya. Terakhir saya berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan menjadi amal yang sholeh sehingga ini dapat bermanfaat untuk ummat. Akhirnya saya ucapkan banyak terimakasih.
Jakarta, 8 Agustus 2016
DELY FADLI NIM: 109043100007
(9)
ix
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
D. Tujuan dan manfaat Penelitian ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Review Studi Terdahulu ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II SEKILAS TENTANG KITAB FATHUL MU’IN A. KajianTeori ... 15
B. Biografi Zainuddin Al-Malibari ... 17
C. Karya-karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari ... 18
D. Kitab Fathul Muin ... 18
E. Sejarah Kitab Kuning di Indonesia ... 22 F. Kitab Fathul Muin sebagai Kitab Mukhtabaroh di
(10)
x
Kalangan Fuqoha Indonesia ... 25 G. Kitab Fathul Muin menjadi Kitab Mukhtabaroh
Pengadilan Agama ... 28 H. Pembahasan Qadha shalat dan fidyah dalam Kitab Fathul
Muin ... 33 I. Pendapat Ulama Tentang Kadar Fidyah ... 39
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG KELURAHAN
CIBADAK KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA BOGOR
A. Kondisi Geografi dan Sosial Kultural ... 42 B. Peran Ulama Bagi Masyarakat Kelurahan Cibadak... 45 C. Kedudukan Kitab Kuning dalam Pengkajian dan Fatwa
Ulama di Cibadak ... 47 D. Pemakaian Kitab Fathul Muin di dalam Bermuamalah
di Masyarakat Kelurahan Cibadak ... 49 E. Teknis Pelaksanaan Fidyah Shalat di Cibadak ... 50 BAB IV ANALISIS PEMBAYARAN FIDYAH SHALAT DI
KELURAHAN CIBADAK TANAH SAREAL KOTA
A. Adat Istiadat ... 55 B. Analisis Pembayaran Fidyah Shalat di Kelurahan
Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor ... 56 C. Analisis Pembayaran Fidyah Shalat di Kelurahan
(11)
xi
B. Saran-Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN ... 65
(12)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammd SAW ke muka bumi ini untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah (habl min allah), hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nas), serta hubungan manusia dengan alam. Di dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah, Allah SWT memberikan seperangkat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam adalah agama yang sempurna dan telah disempurnakan, sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Al Maidah (4): 3 :
...
…
Artinya :“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu.”
Islam adalah tali yang menghubungkan antara hamba dan pencipta, dan pergaulanlah yang menghubungkan antara sesama ciptaan-Nya, sedangkan di antara keduanya erat hubungannya dengan akhlak. Di dalam tata pergaulan terdapat bermacam-macam tata aturan dan kewajiban baik yang dibedakan menurut tingkatan usia maupun menurut jenis kelamin. Di samping itu umatnya menjadi tentram sebab hati mereka selalu mengingat Allah SWT, yang kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan melaksanakan kewajiban dari Allah SWT .
(13)
waktu yang diperintahkan Allah SWT baik dilaksanakan di waktu sehat ataupun di waktu sakit, sebab shalat itu merupakan dasar dan fondasi keimanan seseorang. Dari segi sosial kemasyarakatan shalat merupakan pengakuan aqidah setiap anggota masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi terhadap persatuan dan kesatuan umat. Persatuan dan kesatuan ini menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis dan kesamaan pemikiran dalam menghadapi segalam problema kehidupan sosial kemasyarakatan.1
Begitu pentingnya shalat, sehingga perintah untuk mengerjakan shalattidak terbatas pada saat badan sehat saja, situasi aman dan saat mukim (tidaksedang bepergian), tetapi shalat juga diperintahkan dalam setiap keadaanseorang muslim sakit, perang ataupun bepergian. Dalam keadaanbagaimanapun seorang muslin tetap dituntut untuk mengerjakan shalat, hanyasaja dalam keadaan-keadaan tertentu, diberi keringanan-keringanan dalammelaksanakannya (rukshah), seperti diperbolehkannya meringkas (qashar),mengumpulkan (jama‟) dan keringanan-keringanan yang lain.
Shalat merupakan ibadah badaniyah. Menurut Zakariya Anshary bahwa Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara‟ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia.2 Seseorang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau tidak, maka tidak ada penggantinya kecuali dengan qadha pada waktu hidupnya Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW, antara lain hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
1
A. Rahman Ritoga, Zainuddin, Fiqh Ibadah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 90.
2
(14)
3
Artinya : Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya
kecuali itu.(H.R. Annas)3
Menurut Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, bahwa barang siapa yang meninggal dunia dan ia meninggalkan shalat fardu, maka shalatnya tidak perlu diqadhakan dan tidak perlu difidyahkan. Menurut pendapat yang lain, shalatnya boleh diqadhakan baik mayat itu berwasit ataupun tidak.4
Menurut kebanyakan sahabatnya Imam Syafi‟I memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkan”5
Dalam kondisi-kondisi tertentu dimana seseorang mengalami kesulitan, seperti karena sakit sehingga orang itu ia tidak dapat berdiri, maka diperbolehkan baginya shalat dengan duduk. Jikalau tidak dapat dengan duduk, ia boleh melakukannya sambil berbaring, dan di waktu rukuk dan sujud cukuplah dengan memberi isyarat, seperti menundukan kepala, dengankedipan mata.
Dasar hukum atas adanya rukhshah (keringanan) tersebut termaktub dalam firman Allah dalam Q.S. An-Nisa‟: 103 :
3Muhyiddin an-Nawawi, Shohih Muslim, jus V (Lebanon: Darul Ma‟arif), h. 198
4
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu‟in (Bandung: Syirkah al-Ma‟arif
Lithof‟I wannasyri), h. 3
5
(15)
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat (sebagaimana biasa)”.
Seiring dengan perkembangan zaman yang juga berpengaruh dalam problematika kehidupan manusia, maka perihal shalat pun tidak lepas dari berbagai problematika, yaitu adanya dispensasi shalat untuk orang sakit yang tidak dapat mengerjakannya. Demikian juga bagi orang yang masih mempunyai tanggungan hutang shalat, ada keringanan untuk mengqadha atau membayar fidyah. Hal seperti inilah yang terjadi di Kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, di mana ada sebagian masyarakat yang membayarkan fidyah sebagai ganti dari hutang shalat yang masih dimiliki oleh salah satu keluarganya (ayah/ibunya atau suami/isteri) yang telah meninggal dunia.
Cibadak adalah kelurahan yang letaknya tidak jauh dari pusat kota Bogor. Mayoritas warganya adalah sebagai wiraswasta. Masyarakat Cibadak kehidupan beragamanya sangat bagus, sebagian besar masyarakat Cibadak beraliran NU (Nahdlatul„Ulama) atau lebih dikenal dengan sebutan
Nahdliyin. Mereka mempunyai seorang kyai yang biasa mereka jadikan
tumpuan untuk belajar maupun bertanya berbagai macam hal keagamaan, tidak terkecuali masalah fidyah sebagai pengganti hutang shalat bagi salah satu keluarganya yang telah meninggal dunia.
Alasan konkrit sebagian masyarakat Cibadak dalam melakukan pembayar fidyah atas shalat, karena anggota keluarga mereka yang telah meninggal dunia masih mempunyai tanggungan hutang shalat. Hutang shalat Hutang shalat berawal pada saat si mayit sakit sangat parah dan tidak
(16)
5
memungkinkan melakukan shalat walaupun dengan duduk, berbaring maupun dengan isyarat. Sehingga si mayit mempunyai tanggungan meninggalkan shalat sampai meninggal dunia dan hal ini dihitung sebagai hutang. Untuk menjaga kesempurnaan ibadah si mayit dan atas saran bapak kyai setempat maka keluarga si mayit membayarkan sejumlah fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya dan diberikan kepada fakir miskin.
Pelaksanaan fidyah dan qadha merupakan rukhshah atau kemudahan terhadap seorang hamba yang tidak mampu melaksanakan peraturan-peraturan karna adanya hal-hal yang memberatkan. Rukhshah adalah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan „azimah. Dengan kata lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok („azimah).6
Al-Quran menerangkan bahwa kewajiban membayar fidyah hanya bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa dengan memberi makan seorang miskin. Namun yang terjadi di kampung Cibadak bahwa Fidyah itu diperuntukan bukan hanya ibadah puasa saja tetapi untuk ibadah shalat, yang dalam pelaksanaanya masih memakai tradisi adat yang turun menurun. Sehingga dalam berbagai upacara keagamaan tidak terlepas dari tradisi dan budaya yang berlaku di masyarakat sekitar.
Dari sisi pelaksanaan, fidyah biasanya dilaksanakan pada bulan puasa atau bulan-bulan setelah dan tentu saja bagi orang-orang yang masih hidup. Berbeda dengan itu pelaksanaan fidyah yang dilaksanakan di Kelurahan Cibadak Justru dilaksanakan setelah seseorang meninggal dunia sebelum ia di
6
(17)
kuburkan atau setelahnya yang dilaksanakan oleh ahli warisnya. Bahkan dalam prosesi pembayaran fidyah tersebut masih memakai tradisi budaya adat sekitar.
Al-„Alamah Abi Bakri Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati
al-Bakri dalam kitabnya “I‟anatu Thalibin Syarah dari Fathul Mu‟in” menjelaskan, “Barang siapa meninggal dan masih berkewajiban shalat, maka tidak ada qadhanya dan fidyahnya”. Kemudian ulama Syafi‟iyah sepakat memilih kewajiban shalat yang ditinggalkan orang yang mati dan dilimpahkan bebannya kepada ahli warisnya. Ibnu Burhan menukil dari qaul qadimnya imam Syafi‟I, “ditetapkan bagi wali si mayit supaya menyisipkan harta peninggalan si mayit untuk membayar shalat yang telah ditinggalkannya seperti halnya puasa. Sedangkan imam Abu Hanifah r.a mengharuskan melakukan pembayaran fidyah dari shalat yang telah ditinggalkan mayit jika mayitnya berwasiat, dan setelah itu tidak diharuskan mengqadha.7
Namun permasalahan fidyah sebagai penganti shalat ini menjadi perdebatan, karena baik di al-Qur‟an maupun hadits tidak secara detail menjelaskan tentang hal ini. Al-quran sendiri hanya memberikan penjelasan mengenai keringanan-keringanan shalat bagi orang yang mengalami kesulitan melakukan shalat dikarenakan sakit. Sedangkan dalam hadits dijelaskan tentang adanya pengganti shalat atau mengqadha shalat yang disebabkan karena lalai atau tertidur.
Al-Quran memang menerangkan masalah fidyah, tetapi hanya dalam
7
Al-„Alamah Abi Bakri Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Bakri, “I‟anatu
(18)
7
masalah puasa, ini sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184:
…
Artinya: “dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.”
Dalam ayat di atas diterangkan bahwa kewajiban membayar fidyah hanya bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa dengan memberi makan seorang miskin. Sedangkan mengenai pembayaran fidyah sebagai pengganti shalat tidak ada keterangan, baik di al-Qur‟an maupun hadits, sehingga dalam menanggapi permasalahan fidyah shalat sebagian fuqaha (ahli hukum Islam) ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Dari beberapa kenyataan di atas, penulis tertarik untuk melihat secara lebih mendalam dan mendasar mengenai fidyah. Penulis akan mengulasnya dalam kripsi ini dengan judul “Implementasi Pemikiran Zainuddin Al-Malibarri terhadap Praktik Qadha dan Fidyah Shalat di Masyarakat Kelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Mengapa masyarakat Cibadak membayar Fidyah bagi orang yang wafat? 2. Apa dasar hukum membayar fidyah?
3. Berapa ukuran fidyah untuk satu shalat?
(19)
5. Masyarakat Cibadak menganut mazhab apa?
6. kitab Muktabaroh apa saja yang dipakai di Cibadak? 7. Mengapa kitab Fathul Mu‟in ini dipakai di Cibadak?
8. Dalam masalah Qadha dan Fidyah Shalat apakah memakai kitab Fathul Mu‟in atau kitab yang lain?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Mengacu kepada realitas-realitas sekitar fidyah di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah fidyah yang dilakukan oleh warga Cibadak sesuai dengan aturan fiqih?
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Apa alasan masyarakat Cibadak membayar Fidyah shalat bagi orang yang sudah wafat?
2. Apa yang menjadi sumber atau landasan pendapat masyarakat Cibadak? 3. Apa relevansinya fidyah yang dilakukan warga Cibadak dengan pendapat
Zainuddin al-Malibari?
4. Apa alasan kitab Fathul Mu‟in dijadikan rujukan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui alasan masyarakat Cibadak membayar Fidyah shalat bagi orang yang sudah wafat
(20)
9
c. Untuk mengetahui relevansinya fidyah yang dilakukan warga Cibadak dengan pendapat Zainuddin al-Malibari
d. Untuk mengetahui alasan kitab Fathul Mu‟in dijadikan rujukan 2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
a. Memberikan tuntunan pengetahuan kepada pembaca mengenai qadha dan fidyah shalat
b. Untuk mengetahui landasan hukum perbedaan pendapat terhadap praktik qadha dan fidyah shalat
c. Sebagai khazanah bagi peneliti dan masyarakat terhadap praktek fidyah yang terjadi di Kelurahan Cibadak Kec.Tanah Sareal
d. Agar dijadikan rujukan sebagai bahan data skripsi untuk priode berikutnya.
E. Metode Penelitian
Dalam pembahasan masalah-masalah dalam penyusunan skripsi ini, diperlukan suatu penelitian tidak lain untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan gambaran dan masalah tersebut secara jelas dan akurat. Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain :
1. Jenis Penelitian.
Dalam skripsi ini peneliti berusaha mengupas secara konprensif tentang analisis pendapat Syaik Zainuddin al-Malibari tentang praktik
(21)
qadha dan fidyah shalat. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan kajian pustaka, yaitu cara menuliskan, mereduksi, dan menyajikan data-data. 8 Pendekatan yang dilakukan penulis adalah pendekatan survey terhadap masyarakat Cibadak dalam persoalan fidyah yang terjadi.
2. Jenis Data
Dalam penelitian ini menggunakan “orang” dan “tempat”. Keduanya merupakan objek untuk menggunakan metode observasi. Metode observasi dilakukan di wilayah Kelurahan Cibadak. Data-data yang penulis dapat adalah :
a. Primer, adapun data primer berasal dari observasi, wawancara, dimana observasi dilakukan di Kelurahan Cibadak. Sedangkan mengenai wawancara, penulis menggunakan wawancara terstruktur yaitu wawancara yang pewawancaraannya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan.9 Wawancara dilakukan dengan ulama salafi yang berpedoman kepada kitab fiqh yang berada di kelurahan Cibadak dan tokoh masyarakat. Wawancara ini guna untuk mendapatkan informasi mengenai letak geografis dan kondisi sosiologis, argumentasi terhadap pelaksanaan membayar fidyah.
b. Sekunder, sedangkan data sekunder yaitu didapat dari buku-buku, artikel, dan dokumen yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. c. Tersier, sumber data tersier adalah sumber data yang diharapkan
8
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rake Sarasin, 1993), h. 21
9
Burhan Burgin, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 109.
(22)
11
mendukung dalam penulisan skripsi ini seperti: kamus-kamus, Koran, majalah dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui
Indepth Interview (wawancara mendalam) dengan mengajukan pertanyaan
secara lisan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan kepada seseorang yang menunaikan fidyah itu sendiri.10
4. Analisis Data
Data-data yang ditemukan dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskritif analisis yaitu memaparkan terlebih dahulu data-data yang ditemukan kemudian dianalisis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat dipahami serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah terhadap permasalahan yang penulis ambil.
5. Teknik Menarik Kesimpulan
Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan, teori-teori dan kesimpulan yang bersifat umum serta melalui data-data yang diambil melalui wawancara atau buku-buku, artikel yang penulis dapat poin-poin penting dari data tersebut.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang
10
(23)
berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun buku acuan yang digunakan adalah Buku Pedoman Penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Studi Review Terdahulu
Dari judul di atas dapat dikorelasikan dengan literatur-literatur yangberhubungan dengan skripsi ini, seperti:
1. Pada tahun 2010 telah ditulis skripsi oleh Ruston Nawawi, mahasiswa jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora yang berjudul “Analisis Kalimat Efektif Bahasa Indonesia terhadap
Tarjemahan Irsyadul Ibad Ila Sabilirrosyad” karangan Syaik Zainuddin al-Malibari pada bab iman dan ilmu yang di dalamnya membahas secara rinci terjemahan dan penerjemah, biografi Zainuddin al-Malibari, dan gambaran umum kitab Irsyadul Ibad Ila
Sabilirrosyad.
2. Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqh as-Sunnah” yang membahas pemberian rukhsah pada orang yang sakit dalam menjalankan ibadah shalat. Barang siapa berhalangan shalat karena sakit dan karena itu ia tidak dapat berdiri dalam mengerjakan shalat fardhu maka diperbolehkan bagi penderita mengerjakan shalat dengan duduk. Kalau tidak mampu bisa dengan berbaring dan bila tidak
(24)
13
mampu lagi maka bisa dengan isyarat.11
3. Sedangkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” juga membahas seputar permasalahan fidyah. Dalam kitab ini Ibnu Rusyd membahas siapa saja orang-orang yang diwajibkan membayar fidyah, macam-macam fidyah, kadar fidyah, perbuatan yang bisa mengakibatkan seseorang harus membayar fidyah, tempat dan waktu memberikan fidyah.12
G. Sistematis Penulisan
Selanjutnya agar pembaca mudah memahami skripsi ini dan untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut.
Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi pustaka, metode penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, untuk memberikan gambaran yang memadai kepada pembaca agar lebih mudah memahami skripsi ini, maka terlebih dahulu penulis memberikan pengertian-pengertian mengenai isi dari apa yang akan ditulis yaitu mejelaskan tentang sejarah tentang pengarang kitab fathul muin, kitab fathul muin menjadi kitab muktabaroh di kalangan Fuqoha Indonesia dan Pengadilan Agama, dan pembahasan Shalat dan Qadha shalat didalam kitab
11
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah,, Jilid. I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), h. 234
12
(25)
Fathul Muin yang kemudian dalam bab ini penulis memberikan judul gambaran umum sekilas tentang Kitab Fathul Muin.
Bab III, untuk memberikan pemaparan tentang objek dan hasil penelitian kepada pembaca, maka penulis memberikan pemaparan mengenai pelaksanaan fidyah dan apakah pelaksanaan fidyah shalat yang dilaksanakan masyarakat Kampung Cibadak, memiliki landasan yang kuat, yang kemudian dalam bab ini penulis memberi judul Implementasi Pemikiran Zainuddin Al-Malibarri tentang kewajiban Fidyah Shalat di Masyarakat Cibadak Tanah Sareal Bogor .
Bab IV, Bab ini akan memuat dasar hukum yang digunakan dalam pembayaran fidyah oleh warga Islam Kelurahan Cibadak Kota Bogor dan analisis terhadap Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi dalam pelaksaan Fidyah di Kelurahan Cibadak Tanah Sareal.
Bab V, membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
(26)
15
BAB II
SEKILAS TENTANG KITAB FATHUL MU’IN A. KajianTeori
1. Kearifan Budaya Lokal
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi1 merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sedangkan dari sisi sosial, pengertian kebudayaan dapat digambaran dalam hubungan-hubungan kekerabatan baik individu maupun masyarakat dalam tradisi dan adat istiadat yang dipelihara dan terselenggara dalam kegiatan organisasi-organisasi, baik yang berdasarkan profesi, asal-usul keturunan, maupun hobi, yang kemudian membentuk struktur sosial kemasyarakatan, sehingga mencakup nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama anggota masyarakat.
Dari pengertian budaya secara umum, maka budaya lokal adalah budaya yang bersifat lokal (setempat) atau lokasi tertentu terdapat budaya regional atau bias disebut sebagai kebudaya antra disional suku-suku bangsa.2 1. Masyarakat dan Kebudayaan Sunda
Secara Antropologi Budaya bahwa yang disebut suku sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa bahasa sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah
1
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, “Setangkai Bunga Sosiologi”, dalam Afif dan SaifulBahri (ed), Harmoni Agama dan Budaya di Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Peelitian dan Pembangunan Agama, 2009), h. 19
2
Anisatun Muti‟ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia jilid I, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama), h. 20
(27)
Pasundan atau Tatar Sunda.3
Dalam lingkup Kebudayaan Sunda, terdapat sub kebudayaan Cirebon, sub kebuayaan Banten, dan sub kebuayaan Priangan. Namun pada akhir tahun 2000, pemerintah pusat telah meresmikan Banten menjadi Provinsi baru. Dengan demikian, secara administrative, pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya memiliki dau kebudayaan yaitu sub kebudyaan Cirebon dan sub kebudayaan Priangan.4
Menurut Juhaya S. Praja bahwa manusia Sunda dituntut untuk memiliki sifat-sifat Rasul, yakni shidiq, fathonah, amanah, yang tergambar dalam kalimat cageur, bageur, singer, tur pinter.5 Untuk mencapai sifat-sifat tersebut, manusia Sunda diwajibkan menuntut ilmu dan mencari rizki yang tercermin dalam kalimat ilmu tuntut dunya siar. Sedangkan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga maupun sebagai anggota masyarakat, maka ia harus melaksanakan apa yang wajib dan yang sunah secara berkesinambungan sebagaimana terungkap dalam pribahasa fardu kalaku sunah kalampah.
Pola hubungan Islam dengan budaya Sunda yang begitu dekat,
seperti ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” yang disampaikan
pertama kali oleh Endang Saefudin Anshori pada tahun 1967. Menurut Ajip Rosidi ungkapan tersebut merupakan strategi kebudayaan dalam upaya membendung gerak paham komunis yang mulai merajalela di tengah-tengah
3
Koentjaraningrat, ManusiadanKebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2010), h. 307
4
IyusRusliana, Wayang Wong Priangan Kajian Mengenai Petunjukan Drama tari Tradisional di Jawa Barat, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2002), h.23
5
(28)
17
masyarakat Sunda.6
B. Sejarah Zainuddin Al-Malibari
Syekh Zainuddin Al-Malibari, tak banyak riwayat yang menjelaskan ketokohan dari Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari, ulama asal Malabar, India selatan ini. Kalau ada, itu hanya sebatas mengungkapkan keterangannya dalam berbagai karya yang ditulisnya. Tak banyak diketahui secara percis, kapan Syekh Zainuddin Al-Malibari lahir.Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H dan di makamkan di pinggiran Koro Ponani, India.Beliau adalah cucu dari Syeh Zeinuddin bin Ali pengarang kitab Irsyadul Qoshidin ringkasan kitab munhajul Abidin, sejak kecil, Syeh Zaenuddin al-malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al Madrasy yang didirikan oleh kakek beliau, beliau juga berguru kepada beberapa Ulama' Arab, termasuknya adalah Ibnu Hajar al Haitami dan Ibnu Ziad.
Syekh Zainuddin Al-Malibari merupakan keturunan bangsa Arab. Ia dikenal pula dengan nama Makhdum Thangal. Julukan ini dikaitkan dengan daerah tempat dirinya tinggal. Ada yang menyebutnya dengan nama Zainuddin Makhdum, atau Zainuddin Thangal atau Makhdum Thangal. Julukan ini mencerminkan keutamaan dan penghormatan masyarakat setempat kepada dirinya.
Masjid Agung Ponani atau Funani, adalah masjid Agung yang
6
Hasan Bisri, Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan Ke -1. Bandung: Kaki Langit. 2005, h. 139.
(29)
pertama kali dibangun oleh Makhdum Thangal. Ia termasuk seorang ulama
yang mengikuti madzhab Syaf‟i. tidak seperti masjid masa kini, masjid agung Ponani ini menggabungkan arsitektur lokal dengan arsitektur Hindu. Hal ini dikarenakan, islam masuk ke India yang di bawa oleh pedagang Arab yang datang melalui laut dan diterima oleh raja-raja Hindu setempat. Makam Syekh Zainuddin Al-Malibari terletak di samping masjid. Tak hanya arsitektur masjid, masyarakat Muslim di India ini juga mengadopsi gaya bangunan, pakaian dan makanan dengan menyesuaikan pada kondisi yang ada. Seperti kebanyakan ulama lainnya, Syekh Zainuddin Al-Malibari juga dikenal sebagai ulama yang sangat tegas, kritis, konsisten, dan memiliki pendirian yang teguh. Ia pernah menjadi seorang hakim dan penasehat kerajaan, dan diplomat.
C. Karya-karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari
Syaikh Zainuddin Al-Malibari selain dikenal sebagai ulama fiqih ia juga dikenal ahli tasawuf, sejarah dan sastra. Karya-karyanya adalah:
a. Fathul Muin ( pintu pertolongan), adalah syarahnya atas kitab Qurrat al-Ayan Hidayat al-Azkiyat ila Thariq
b. Irsyad al-Ibad ila Sabili al-Rasyad c. Tuhfah al-Mujahidin.
D. Kitab Fathul Muin
KitabFathul Mu‟in merupakan karya Syaikh Zainuddin Ibn Syaikh Abdul Aziz Ibn Zainuddin (pengarang Hidayah Adzkya Ila Tariqa al-Aulya) Ibn syeikh Ali Ibn Syaikh Ahmad Asy-Syafi‟i Al-Malibary al-
(30)
19
Fannani. Zainuddin lbn Abdul Aziz M. Malibary menyelesaikan karyanya ini pada hari Jum‟at, 24 Ramadhan 892 H.7
Kitab Fathul Mu’in terdiri dari 160 halaman yang memuat beberapa bab. Menelalah kitab Fathul Mu’in ini seakan-akan kita membaca banyak kitab, karena di samping memuat pendapat Imam Zainuddin al-Malibary sendiri juga disebutkan pendapat-pendapat lain dari berbagai sumber yang terkadang menjadi pro dan kontra dalam suatu masalah.
Namun demikian, sebagaimana dinyatakan Azyumardi Azra, bahwa dalam penulisan kitab kuning tidak disertakan rujukan (referensi) dan foot note dikarenakan tradisi akademik yang berlaku pada waktu itu belum terkondisikan seperti sekarang dengan demikian sulit untuk melacak secara pasti apakah yang ditulis di dalam kitab kuning merupakan pendapat pribadi atau pendapat orang lain.8
Kitab ini merupakan kitab fiqh yang tergolong lengkap, karena di dalamnya memuat berbagai permasalahan fiqh dengan berbagai hal, disertai dasar-dasar hukum al-Qur'an maupun al-Hadist serta pendapat-pendapat ulama mujtahid yang lain dan juga ijtihad pengarang sendiri.
Dalam penulisan kitab ini Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibary pada setiap bab menyebutkan al-Fashl9, aI-Fur‟i10, dan masalah-masalah
7
Zainuddin Ibn Abdulul Aziz al Malibary, Fathul Mu’in Bisyarhi Qurrata A-
„AinBiMuhimmati Al-Din, (Semarang Toha Putera, tt), hlm. 152..
8
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara Abad VII-IX, (Bandung : Mizan, 1998), h. 76.
9
Al-Fashl secara bahasa pemisah diantara dua hal, menurut istilah nama untuk kata-kata khusus yang mencakup Al-Far‟i dan masalah-masalah umum.
10
Al-Far‟i secara bahasa sesuatu yang dibangun pada sesuatu yang lain, menurut Istilah namauntuk kata-kata yang mencakup masalah-masalah umum.
(31)
umum, juga di tambahkan dengan al-Tanbih11, al-Khatmah12 dan Titima13. Adapun kajian dalam kitab Fathul Mu'in ini merupakan bahasan ilmu fiqih yang membahas berbagai permasalahan fiqih dalam madzhab Syafi'iyyah. Sebagaimana kitab-kitab fiqh Iainnya, Kitab Fathul Mu‟in secara garis besar ditulis dengan sistematika sebagai berikut :
1. Khutbah al-Kitab (Muqaddimah), dalam bagian ini Zainuddin Ibn Abdul Aziz AI-Malibary menguraikan tentang posisi kitab (sebagai syarah),isi tulisan, tujuan penulisan dan pengambilan sumber hukum.
2. Bab Shalat, dalam bagian ini diuraikan mengelul had orang yang meninggalkan shalat, syarat-syarat shalat, al-Thaharah (yang mengulas tentang wudhu, tayamum. mandi, pembahasan mengenai haid dan nifas najis cara buang air besar dan kecil). Lebih lanjut dalam bab ini diuraikan tentang rukun shalat. sunnah-sunnah shalat, sujud sahwi dan tilawah, hal-hal yang membatalkan shalat, adzan dan iqamat, shalat-shalat sunnah (shalat ied shalat gerhana dan shalat istisqa), shalat jamaah. shalat
jum‟at, shalat musafir dan di akhiri dengan shalat jenazah.
3. Bab zakat dalam bab ini diuraikan mengenai harta yang wajib di zakati zakat fitrah, orang-orang yang berhak menerima zakat (mastahiq al- zakat) dan macam-macam shadaqah.
11
Titel/Judul pembahasan yang sesuai dengan isyarah yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya yang dapat di pahami seara global
12
Nama untuk kata-kata khusus yang di letakan pada akhir kitab atau bab.
13
Akhir dari kitab atau bab, kata titimah sepadan dengan Al-Khatimah. Lihat syeik sayyid Al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, Op-Cit, hlm. 21.
(32)
21
4. Bab al-shaum, dalam bagian ini diuraikan tentang syarat-syarat puasa, i‟tikaf dan puasa sunnah.
5. Bab al-Hajj dan Umrah pada bagian ini dikaji seputar haji yakni rukun dan wajib haji, hal-hal yang diharamkan bagi orang yang ikhram, al-udhiyah dan al-aqiqah serta nadzar.
6. Bab al-Bai‟, dalam bab ini dibahas mengenai riba, Qiradl, al-rahn, orang yang bangkrut dalam usaha (al-muflis), hawalah, sulh,
wakalah, syirkah, syuf‟ah, ijarah, „ariyah, ghosob, hibah, wakaf,
ikrar dan wasiat.
7. Bab al-faraidh, dalam bagian ini dikaji tentang pembagian harta waris, hijab, ashabah, barang titipan, (wadi „ah) dan barang temuan (luqathah).
8. Bab al-Nikah, dalam bagian ini dikaji tentang syarat, rukun nikah,
kafa‟ah, mahar, walimah, ila, dhihar, thalak, ruju‟, nafaqah, dan
Hadhanah.
9. Bab al-Jinayat, pada bagian ini ditulis mengenai riddah, had,
ta‟zir, ash shiyal, jihad, qadha, gugatan (al-Da‟wa), pembuktian (albayyinat) kesaksian dan sumpah.
10. Bab memerdekakan budak, dalam bab terakhir ini dibahas mengenai al khitabah, aI-tadbir dan umm al walad.
11. Bagian penutup, yakni ucapan pujian dan shalawat atas selesainya penulisan kitab oleh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary dan harapan-harapannya dengan wujudnya kitab Fathul Mu‟in.
(33)
E. Sejarah Kitab Kuning di Indonesia
Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai
merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati pisisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan al -Sunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum.
Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning
ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan madzhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam madzhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,14 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi.
Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas
“memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madzhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas
dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermazhab
14
Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarh dan Hasyiah dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi
Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 314.
(34)
23
di kalangan umat Islam pada umumnya.
Terminologi “kitab kuning”, penyusun yakin, hanya dikenal di
Indonesia, terutama di dunia pesantren. Ia menunjuk kepada buku-buku bahasa Arab karya ulama-ulama Sunni Timur Tengah abad pertengahan, dan meliputi berbagai disiplin keilmuan, seperti teologi, akhlaq-tasawuf, fiqh, tafsir dan teori bahasa Arab. Buku-buku tersebut kemudian mereka sebut sebagai al-kutub al-mu’tabara (buku-buku yang layak dipelajari dan
dipedomani). Sedangkan label “kuning” dalam termonologi tersebut lebih
disebabkan karena buku-buku yang ada kebanyakan dicetak dengan kertas berwarna kuning.
Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab
fiqh bermadhhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermadhhab Shāfi„ī, itu
berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad-abad awal Hijriyah atau abad-abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula-mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab,15 dan harus diingat, para pedagang kan kaum sufi tadi rata-rata bermadzhab fiqh Shāfi„ī. Ibn Batūta (W. 1378), tokoh ekspedisi terkemuka yang menulis Tuhfa al-Nazzār fī Gharā’ib al- Amsār wa „Ajā’ib al-Asfār atauRihla Ibn Batūta (Ekspedisi Ibn
15
Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 26-27.
(35)
Batūta),16 ketika, pada 1345, mengunjungi wilayah Pasai, sangat terkagum-kagum kepada Sultan Malik al-Zāhir , seorang penguasa Kerajaan Samudera Pasai, dalam berdiskusi mengenai masalah-masalah Islam dan hukum Islam
madhhab Shāfi„ī. Terlebih-lebih, pada dekade tersebut, Pasai telah menjalin komunikasi diplomatis dengan Gujarat yang masyarakatnya mayoritas
bermadhhab Shāfi„ī.17
Demikianlah, madzhab Shāfi„ī, bersama literatur-literatur standarnya, terus menyebar dan bertahan hingga sekarang. Setidaknya, ada tiga faktor mengapa madzhab Shāfi„ī begitu kuat dan sulit digeser oleh madzhab yang lain. Pertama, jaringan intelektual antara Nusantara dan Timur Tengah terjalin antara ulama-ulama yang bermadhhab Shāfi„ī. Kedua, letak geografis yang begitu jauh dengan tempat asal dan pusat madhhab Shāfi„ī itu sendiri, yaitu Timur Tengah, menyebabkan perkembangan madhhab di Indonesia relatif tidak memiliki akses terhadap wacana hukum Islam kemadzhaban yang berkembang di dunia luar. Jadi, ini berkait erat dengan masalah keterbatasan literatur. Ketiga, dalam madzhab Shāfi„ī sendiri, terdapat aturan main yang ketat dalam bermadzhab. Disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan bermadzhab (al-„āmī) diwajibkan ber-taqlīd kepada salah satu dari madzhab empat (madhāhib arba„a). Selain empat madzhab tersebut tidak boleh dianut, karena tidak didokumentasikan secara utuh dari
16
Ferdinaud Toutle, al-Munjid fī al-Adab Wa al-„Ulūm: Mu„jam li A„lām al-Sharq wa
al-Gharb (Beirut:Al-Matba„a al-Kāthūlīkiyya, 1975), h. 78.
17
Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tjun Surjaman (ed. ), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, ctk. 1 (Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya, 1991), h.69.
(36)
25
sistematis (lam yudawwan). Selain itu, pindah madhhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu (1)
talfīq, yakni menggabung dua mazhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, (2) tatabbu„ al-rukhas, mencari-cari pendapat yang ringan.18
Hanya saja, perpindahan madzhab kemudian terkesan negatif, manakala dihubungkan dengan “doktrin” kemadzhaban bahwa, misalnya, bermakmum kepada seorang bermadzhab Hanafī yang telah menyentuh lawan jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madzhab Shāfi„ī, menyentuh
lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudu‟. Persoalan bahwa
orang tersebut, berdasarkan ketentuan madzhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk perhitungan.19 Tiga faktor ini lah yang, pada akhirnya,
menyebabkan terminologi “kitab kuning” dalam bidang fiqh menunjuk
kepada buku-buku fiqh klasik bermadzhab Shāfī„ī.
F. Kitab fathul Muin sebagai Kitab Muktabaroh di Kalangan Fuqoha Indonesia
Kitab Fathul Mu’in merupakan kitab yang banyak dijadikan sebagai bahan rujukan di Indonesia, terutama oleh kaum nahdliyyin (warga Nahdlatul Ulama). Kitab ini juga banyak dipelajari di pondok-pondok pesantren baik pondok salaf maupun yang sudah menganut sistem pondok modern.
Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai
18
Abū Bakr ibn Muhammad Shatā al-Dimyātī, I„āna al-Tālibīn „ala Fath al-Mu„īn
(Mesir: Matba„a al-Maymaniyya, t.t.), IV: 218-219. 19
Ibrāhīm al-Bājūrī, Hāshia al-Bājūrī (Indonesia: Dār Ihya„ al- kutub al-„Arabiyya, t.t.), I: 198.
(37)
merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati posisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan al -Sunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan mazhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam mazhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,20 terutama pada abad pertengahan ketika
aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi
vital tadi.
Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas
“memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madhhab fiqh, dalam legislasi
hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermazhab di kalangan umat Islam pada umumnya.
Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermazhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermazhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak
20
M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 314.
(38)
27
abad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula-mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.21
Bagi kalangan Fuqoha Indonesia, tidak asing dengan kitab Fathul
Mu‟in. Kitab yang membahas seputar fikih bermadzhab Syafi‟i tersebut
seperti menjadi kitab pegangan wajib untuk dikaji dalam mengajar para santri.
Bahkan disebuah Pesantren sang Guru pernah berkata "Seorang santri belum bisa jadi Kiyai kalau dalam fiqihnya belum ngaji kitab Fathul Mu'in." Meski diungkapkan dengan nada yang tidak serius, namun ungkapan beliau nampaknya cukup untuk memberi makna untuk kitab yang dikarang oleh Syeikh Zanuddin Abdul Aziz Al-Malibary tersebut. Ungkapan beliau menandakan begitu pentingya kedudukan kitab Fathul mu'in dan pengaruhnya dalam fiqih Islam. Sehingga kajian-kajiannya apabila dapat dikuasai dan diamalkan cukup mampu untuk megantarkan seseorang pada pemahaman dalam fiqih.
Hampir seluruh pesantren yang ada di Indonesia kebanyakan semuanya menjadikan kitab Fathul Mu'in sebagai standarisasi kajian ilmu fiqihnya. Ini menunjukan kedudukan kitab Fathul Muin yang diangap mampu mewakili pelajaran ilmu fiqih secara mendasar.
21
Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 26-27.
(39)
Beberapa kesimpulan terhadap kitab yang sudah banyak di syarahi ini, diantanya:
1. Kitab ini memiliki penjelasan yang ringkas namun padat akan makna
2. Penggunaan bahasa arab yang mudah dimengerti serta didalamnya tidak banyak kosakata yang maknanya sulit diterjemahkan
3. Isi pembahasannya cukup lengkap
4. Penyusunannya sudah sistematis sesuai kebutuhan pembaca dan pembahasannya diurut sesuai tingkat kebutuhan dan kepentingan ilmu fiqih.
G. Kitab Fathul Muin menjadi Kitab Muktabaroh Pengadilan Agama Perjalanan sejarah kitab kuning dalam legislasi hukum Islam di Indonesia bisa dibedakan menjadi dua periode. Pertama, periode ketika kitab kuning menjadi sumber hukum formal dalam forum-forum pengadilan dan fatwa, dan, kedua, periode ketika ia menjadi sumber material hukum nasional. Peralihan dari periode pertama ke periode kedua dimulai ketika UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 diberlakukan, dan semakin berlanjut ketika, pada 1991, Kompilasi hukum Islam (KHI) diinstruksikan oleh Presiden RI agar disebarluaskan. Peralihan tersebut, bisa dikatakan, menandakan dimulainya era pembaruan hukum Islam di Indonesia, dari sistem hukum tradisional menuju sistem hukum modern.
Tahir Mahmood menuturkan, salah satu kriteria telah dilakukannya pembaruan hukum Islam di sebuah negara adalah dilakukannya kondifikasi
(40)
29
dan legislasi hukum, dari aturan-aturan hukum yang tersebar dalam berbagai teks fiqh klasik menjadi aturan hukum tertulis yang baku, semisal undang-undang, peraturan pemerintah, ordinasi, dekrit dan sebagainya.22
Dalam pengertian hukum, kompilasi adalah tidak lain dari sebuah bukuhukum ataubuku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahanhukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.23
Lebih jauh lagi Abdurrahman menjelaskan, dalam konteks KHI kompilasi diartikan sebagai upaya untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Bahan-bahan yang diangkat dari berbagaikitab yang bisadigunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapanhukum yang dilakukan oleh para hakim dan bahan-bahan lainya yangberhubungan dengan itu.24
Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam dapat kita artikan sebagaikumpulan atau ringkasan berbagai pendapat hukum Islam yang diambil dariberbagai sumber kitab hukum (fiqh) yang mu‟tabar yang dijadikan sebagai sumber rujukan atau untuk dikembangkan di Peradilan Agama yang terdiridari bab nikah, waris, dan wakaf.
Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agamadi semua tingkatan Peradilan menggunakan UU No. 1 tahun 1974 yang cenderung liberal dan sekuler untuk dijadikan sebagai sumber hukum
22
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comprative Analysis, ctk. 1 (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 1.
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.(Jakarta: Akademika Presindo,1992).h. 11.
24
(41)
materiil. Selain itu dalam memutuskan perkara para Hakim dilingkungan Peradilan Agama juga disarankan oleh pemerintah untuk menggunakan kitab-kitab mu’tabarsebagai pedoman rujukan hukum.
Sesuai dengan Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No.45
Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah
diluar Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini:
1. Al-Bajuri.
2. Fath al-Mu’in dan Syarah.
3. Syarqawi „Ala al-Tahrir.
4. Qalyubi /Al-Mahalli.
5. Tuhfah.
6. Tarqib al-Musytaq.
7. Al-Qawanin al-Syar’iyyah (li „Usman ibn Yahya).
8. Fath al-Wahab dan Syarahnya.
9. Al-Qawanin al-Syar’iyyah (li Sadaqah Dahlan).
10. Syamsuri li al-Faraid.
11. Bughyah al-Mustarsyidin.
(42)
31
13. Mugni al- Muhtaj25
Dengan merujuk 13 buah kitab yang dianjurkan ini, maka langkahkearah kepastian hukum semakin nyata.
Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik merupakan pergeseran bagian dari hukum Islam kearah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, dan lain-lain yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama masih berada di luar hukum tertulis.26
Menurut Abdurrahman dalam bukunya yang dalam bukunya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menguti dari Bustanul Arifin menjelaskan bahwa dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakain kitab/pendapat yang tidak menguntungkanya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan diantara ke 13 kitab pegangan itu jarang digunakan sebagai rujukan dan sering pula terjadi perselisihan diantara para hakim perihal kitab mana yang menjadi rujukan. Peluang demikian tidak akanterjadi di Peradilan Umum,
sebab setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan” meskipun Hakim tidak menutupkemungkinan setuju dengan
25
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media Offset,2001), h. 85-86.
26
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
(43)
pendapat pengarang sebuah buku (doktrin hukum) yang mempengaruhi putusannya.27
Sementara Masrani Basran mengemukakan beberapa hal yang melatar belakangi diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pertama, adanya ketidak jelasan persepsi antara syari‟ah dan fiqh. Hal ini menurutnya akan dan telah menyebabkan hal-hal : (1) ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan hukum Islam (2) kita tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.28Kedua, situasi hukum Islam di Negara Indonesia. Menurutnya bahwa situasi hukum Islam di Indonesia tidak berbeda dengan Negara-negara lain, yaitu tetap tinggal dalam “kitab-kitab kuning” yang merupakan karangan dan bahasan sarjana-sarjana hukum Islam, yang tiap-tiap kitab kuning diwarnai dengan pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya. Oleh sebab itu, dalam memandang hal ini, Basran menemukan dua kesulitan (1) mengenai bahasa dari kitab kuning yang tidak semua orang dapat memahaminya (2) persepsi yang belum seragam mengenai
din, syari‟ah dan fiqh, terutama sejak abad-abad kemunduran umat Islam di segala bidang.29
Maka tujuan diadakannya Kompilasi Hukum Islam menurut Yahya Harahap adalah melengkapi pilar Peradilan Agama, menyamakan persepsi penetapan hukum, mempercepat proses taqrib bayna al-ummah, dan
27
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Akademika Presindo,1992),h. 23
28 Ibid. 29
(44)
33
menyingkirkan faham-faham private affairs.30
Di samping masih adanya tarik ulur dalam memahami kitab fiqh.31 Kalau kita cermati secara seksama dari 13 rujukan kitab yang disarankan, kesemuannya lebih bersifat eksklusif. Ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan tersebut merupakan kitab-kitab yang bermazhab Syafi‟i. Kecuali untuk kitab nomor 12 yang termasuk kedalam kitab komparatif (perbandingan madzhab). Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab kecuali kitab Nomor 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.32
H. Pembahasan Qadha shalat dan fidyah dalam Kitab Fathul Muin
Shalat adalah suatu kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal dan normal (tidak gila) sesuai dengan kemampuanya. Shalat merupakan sendi agama
didalam syari‟at Islam dan bisa dijadikan standar ibadah-ibadah lain. Begitu pentingnya shalat, sehingga kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu tidak terbatas pada saat badan sehat, namun dalam kondisi sakit sekalipun belum gugur kewajiban untuk shalat, akan tetapi dalam kondisi tersebut ada keringanan-keringanan bagi orang sakit di dalam menjalankan shalatnya, diterangkan di dalam al-Qur‟an:
30Yahya Harahap. “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam. Mempositifkan Abstraksi
Hukum Islam” dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993/1994), 149-157.
31
Fiqh hanya dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat(fatwa). Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalamTata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h 144-145.
32
(45)
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa)”. (Q.S.:an-Nisa’: 103)
Pemberian Rukhshah juga telah diungkapkan Nabi dalam beberapa hadits:
Artinya: “Dari Amran bin Hushain r.a. menceritakan bahwa dia ditimpa penyakit bawasir, lalu ia menanyakan bagaimana
caranya shalat. Rasulullah SAW menjawab:“ shalatlah
sambil berdiri! bila anda tidak mampu, maka shalatlah sambil duduk! bila tidak mampu, maka shalatlah sambil
berbaring!”.33
Para ulama sepakat pendapatnya bahwa orang yang sakit diperintahkan mengerjakan shalat, dan bahwa kewajiban berdiri hapus dari padanya, jika tidak dapat berdiri dan ia dalam hal ini shalat dalam keadaan
duduk. Demikian kewajiban ruku’ dan sujud hapus dari padanya, apabila ia
tidak dapat mengerjakan kedua-keduanya atau salah satunya dan sebagai gantinya berisyarat.34
Dari hadits di atas, kita dapat melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa dilakukan dengan berdiri, duduk ataupun berbaring, bahkan dengan isyarat sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka, menurut pendapat yang
33
Muhammah bin Ismail al-Yamani ash-Shon’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulughul al- Maram, (Jeddah, al-Haramain, t.th.), h. 453.
34
(46)
35
mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya.
fidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits. Sedangkan fidyah shalat, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama.
Masalah qadha dan fidyah terhadap shalat yang ditinggalkan mayyit terdapat Khilafiyah (perbedaan pendapat) dikalangan Ulama. Berikut pendapat ulama mengenai hukum fidyah shalat, antara lain :
1. Berkata Zakariya Anshary :
“Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara’ menggantikannya
kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia”35
2. Berkata al-Kurdy :
“al-Khuwarizmy pernah mengatakan : “Aku pernah melihat ulama
dari sahabat-sahabat kita di Khurashan yang berfatwa dengan memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya.”36
3. Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan:“Ada pendapat yang menjadi pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu
35
Zakariya Anshary, Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, h. 66 36
(47)
mud makanan”.37
Di dalam kitab fathul muin dijelaskan
، ع فت قت رف اص ع ا
ع عفت ا أ ق ف
-
عفاش ا ع ا ع ا ا ح ا ا أ ا ب ص أ
، ف ر
براقأ عب ع س ا ب عف
Artinya: “Orang yang mati (mayyit) dan masih memiliki tanggungan shalat fardhu, maka shalat tersebut tidak bisa di qadha dan tidak bisa dibayarkan fidyah, sebagaimana yang disebutkan diatas. Namun, dikatakan pula bahwa terdapat ada sebuah pendapat bahwa shalat harus diqadha' oleh orang lain, baik si mayyit berwasiat maupun tidak, berdasarkan pada sebuah hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi
dari Al-Imam Asy-Syafi'I”.38
Demikian juga Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i kepada kerabat-kerabatnya yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam As-Subki meninggal, beliau mengqadha' shalat yang pernah ditinggalkan oleh kerabatnya. Menurut sebagian ulama, boleh difidyahkan dengan satu mud bagi setiap waktu shalat fardu.39
Maksud dari kalimat di atas adalah, jika mengacu pada dalil al-Qur’an dan hadits jelas, bahwa orang meninggalkan shalat sampai saat kematian datang maka tidak wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah sebagaimana dalam masalah puasa. Karena dalam puasa jelas bahwa orang yang meninggalkan puasa sampai kematiannya datang, maka wajib baginya membayar fidyah, ini seperti yang telah diterangkan di atas. Tetapi menurut
37
Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin,Thaha Putra, Semarang, Juz. II, h. 244.
38
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in (Bandung: Syirkah al- Ma’arif
Lithof’I Wannasyri ), h. 3 39
(48)
37
pendapat yang dapat dipercaya, seperti yang dinukil Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, diharuskan ahli waris si mayit melaksanakan shalat yang ditinggalkan mayit (mengqadhanya) baik itu diwasiatkan oleh mayit ataupun tidak diwasiatkan. Hal senada juga diterangkan dalam kitab “I’anatuth Thalibin” syarah dari kitab “Fathul Mu’in”:
Artinya: “Faedah : barang siapa yang mati dan dia mempunyai
kewajiban shalat (yang tertinggal), tidak diharuskan
mengqadha dan tidak pula fidyah (baginya, sebab yang demikian itu tidak wajib). Menurut satu qaul (pendapat), sebagaimana banyak pendapat para mujtahid. Yang demikian itu harus mengqadhakan karena ada hadits Bukhari dan lainnya”.40
Tetapi ungkapan “ahli warits harus menqadha” tersebut ternyata tidak hukum yang patent, karena Imam Syafi’I dalam qaul qadimnya (fatwanya yang lama) mengharuskan bagi walinya supaya menyisihkan harta peninggalan orang yang telah mati atau mayit untuk shalat yang ditinggalkan seperti halnya puasa (untuk membayar fidyah). Imam Syafi’I mengharuskan ahli waris (wali) mengeluarkan makanan (fidyah) sebanyak satu mud (untuk fidyah) untuk setiap shalat fardu. Ini seperti yang diungkapkan oleh Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha:
Artinya: Ibnu Burhan mengutip darikaul Qadim (imam Syafi’I),
“ditetapkan bagi walinya supaya menyisihkan harta peninggalan
40
Al-„Alamah Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Bakri, I’anat ath-
(49)
orang yang telah mati atau mayit untuk shalat yang ditinggalkan seperti puasa”.41
Orang-orang yang dibolehkan oleh Syari’at (Islam) untuk tidak berpuasa Ramadhan, dan mereka diwajibkan untuk mengqadha’nya di hari lain di luar bulan Ramadhan, Mereka yaitu: “Musâfir42, orang yang sakit yang masih memiliki harapan untuk sembuh43, wanita yang sedang haidh (menstruasi), dan nifas44”. Sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. {Surat al-Baqarah (2),
Ayat: 184}.
Orang-orang yang dibolehkan oleh Syari’at (Islam) untuk tidak berpuasa Ramadhan, dan mereka diwajibkan untuk membayar Fidyah (tebusan) Mereka adalah: “Orang-orang yang telah lanjut usia (tua), orang-orang yang tidak memiliki harapan lagi untuk sembuh, wanita hamil dan
41Ibid.
42
Musâfir adalah: Seseorang yang sedang menempuh perjalanan menuju suatu tempat atau orang yang sedang bepergian menuju suatu tempat.
43Menurut Madzhab Bukhârî, „Athâ’ dan Ahlu Zhâhir: “Sakit apapun bentuknya maka
dperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan, dan diwajibkan menqadha’ (membayar ataupun
mengganti) puasa Ramadhan yang telah dtinggalkannya”. {Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 180-181}.
44
Nifas yaitu: Seorang wanita yang sedang melahirkan maupun pasca (setelah) melahirkan hingga ia (wanita yang melahirkan tersebut) suci. Mengenai tuntunan (aturan) Islam
bahwa wanita hamil diharuskan mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa bulan
Ramadhan (bukan diharuskan membayar fidyah) itu diqiyaskan (dianalogikan) kepada wanita yang sedang haidh (menstruasi).
(50)
39
wanita yang sedang menyusui, serta orang-orang yang melakukan pekerjaan yang berat seperti: kuli bangunan, kuli pelabuhan, supir angkutan berat antar kota dan provinsi, tukang becak, pekerja tambang, cleaning service dan sebagainya”.
Dalam Tafsîr al-Manar karya Syaikh Muhammad „Abduh ditegaskan bahwa: “Al-ladzîna yuthîqûnahu bermakna: “Orang-orang yang sangat berat dan sangat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan, akan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat maupun sukar) yang besar”.45
Sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: “….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar Fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”. {Q.S: al-Baqarah (2), Ayat: 184}.
I. Pendapat Ulama Tentang Kadar Fidyah
Mengenai berapa kadar makanan yang diberikan kepada tiap-tiap orang miskin terdapat perbedaan pendapat mengenai berapa kadar makanan yang harus diberikan kepada orang miskin.
Menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i serta para pengikutnya kadar makanan yang harus diberikan kepada orang miskin adalah sebayak satu mud (0,6875 liter) .46
45
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Manar, Juz II, h. 126
46
Zurinal z, Amiudin. Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 152
(51)
Jumhur ulama berijtihad menyamakan kadar (jumlah) fidyah dengan kifarat, yaitu 1 mud biji gandum (makanan pokok seperti beras) untuk setiap hari.47 Dan kadar 1 mud ini sesuai dengan beberapa riwayat seperti hadis riwayat Imam ad-Daruqutuni:
ٌ س
ا س تس عطت
Artinya: (Engkau memberi makan enam puluh orang miskin, untuk
setiap seorang miskin satu mud).
Dan juga dalam hadis lain yang juga riwayat Imam ad-Daruqutuni disebutkan:
ا س تس عطأ
اقف اعاص رشع س ب تأف
Artinya: Maka dibawakan kepada Nabi SAW lima belas sha` kurma,
dan Nabi SAW bersabda [kepada lelaki yang bertanya],
berikanlah ini untuk dimakan oleh enam puluh orang miskin.48
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha„ setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha„ itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha„ setara dengan 2,75 liter.49
Kesimpulan diatas berdasarkan hadits riwayat an-Nasai dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (IV/43) dan at-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/141). Begitu juga Ibn al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh (hal. 239). Semuanya berasal dari Ibnu Abbas ra. Hadits tersebut berbunyi :
47
Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah, j.5), h.608.
48
Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bakhaariy, j.4, h. 676.
49
(52)
41
ٰ حأ ع حأ
ا
ك اكا ع عط
اط خ اً
Artinya:“Seseorang tidak dapat menggantikan shalat atau puasa orang lain, tetapi dia dapat menggantinya (berupa fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud (±1 liter) gandum.”50
Hadits ini sanadnya shahih namun mauquf sebab bersandar pada seorang sahabat, Ibnu Abbas R.A 51
Kendati demikian, kita tetap harus menghormati saudara-saudara kita yang membayar fidyah untuk mengganti shalat atau puasa orang yang meninggal. Karena mereka memiliki landasan dan dalil di atas. Tentu dengan catatan, hadits Ibnu Abbas itu tidak dapat dijadikan dalil kebolehan meninggalkan shalat tanpa udzur, kemudian diganti fidyah. Dengan adanya saling pengertian ini, maka pintu perpecahan antar kelompok umat Islam akan semakin tertutup rapat.
50
Ahmad Zubaidi dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah., (Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2001), hlm. 183
51
Ibnu Abi al-’Izz al-Hanafi dalam kitabnya Syarh al-„Aqiqoh al-Thahawiyah, editor Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, Dar’Alam al-Kutub, (Riyadh, 1418H/1997M), cet. Ke-3, h. 664-676.
(53)
42
KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA BOGOR
A. Kondisi Geografi dan Sosial Kultural 1. Lokasi dan Luas Kelurahan
Kelurahan Cibadak merupakan salah satu Kelurahan yang terletak di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Kelurahan Cibadak terdiri atas satu wilayah, dan Kelurahan Cibadak mempunyai luas wilayah Kelurahan 464-700 Ha. Untuk tanah asset Pemerintahan Provinsi 2 Ha, kota 2 Ha.
Adapun wilayah Kelurahan Cibadak berbatasan : a. Sebelah Utara : Kelurahan Kayu Manis b. Sebelah Selatan : Kelurahan Suka Darmai c. Sebelah Barat : Kelurahan Curug
d. Sebelah Timur : Kelurahan Mekar Wangi 2. Topografi dan Keadaan Alam
Wilayah Kelurahan Cibadak memiliki ketinggian kurang lebih 200003 M di atas permukaan laut, dan Tofografi daratan tinggi.
3. Keadaan Penduduk
Jumlah dan perkembangan penduduk di Kelurahan Cibadak pada tahun 2016 mencapai jumlah penduduk sebanyak 23.218 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 6.636 untuk lebih jelas mengenai jumlah penduduk dapat dilihat dalam tabel berikut.
(54)
43
Tabel 1.1.
Jumlah Penduduk Kelurahan Cibadak Tahun 2016 No Jenis kelamin Jumlah penduduk (jiwa)
1 Laki-laki 11.832
2 Perempuan 11.386
Jumlah 23.218
Sumber monografi Kelurahan Cibadak tahun 2016 4. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Cibadak sebagian besar berupa Pedagang/wiraswasta mengingat letak dan kondisi Kelurahan yang berdekatan dengan Pusat Kota. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.2.
Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Cibadak tahun 2016 No Mata pencaharian Jumlah (jiwa) 1 Karyawan
a. PegawaiNegriSipil b. TNI
c. Polri
d.Swasta BUMN/BUMD
45 5 10 2671
2 Tani 25
3 Pertukangan 15
(55)
5 Pensiunan 203
6 Jasa/lain-lain 178
Jumlah 9878
5. Pendidikan dan Agama
Penduduk Kelurahan Cibadak tingkat pendidikan yang paling dominan adalah tamatan SD yaitu sebanyak 4.901 jiwa, tamat SMP 3.222 jiwa, tamat SMA 3.812 jiwa, tamat D3 172 jiwa, tamat Sarjana 224 Jiwa. Agama masyarakat Kelurahan Cibadak adalah muslim, sebagai mana dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1.3.
Agama Penduduk Kelurahan Cibadak tahun 2016 No Jenis Kelamin Jumlah jiwa
1 2 3 4 5
Islam Kristen Katolik Hindu Budha
20.536 1.414
753 291 224
Jumlah 23.218
6. Keadaan Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
Kehidupan mayoritas masyarakat Kelurahan Cibadak sepenuhnya menggantungkan potensi wiraswasta, 4251 jiwa penduduknya adalah
(56)
45
bermata pencaharian wiraswasta/pedagang, dapat dikatakan bahwa kondisi social ekonomi masyarakat Kelurahan Cibadak pada umumnya adalah makmur dan sejahtera.
Sedangkan mengenai keadaan social budaya, masyarakat Kelurahan Cibadak masih kental dengan nuansa gotong royongnya. Dimana hal ini tercermin dengan adanya tradisi sambatan antar warga, baik yang bertujuan untuk membangun masjid atau untuk orang gawe bahkan untuk biaya orang sakit, untuk orang yang akan melaksanakan hajat, membangun rumah dan dalam upacara pernikahan masing kental dengan budaya adat set empat.
Sosial budaya masyarakat Kelurahan Cibadak tidak dipengaruhi budaya mereka, kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib sudah tidak relatife tinggi, tidak seperti dahulu mungkin saat ini hanya beberapa orang saja yang masih percaya akan mitos. Mayoritas warga sudah memiliki pola fikir yang rasional karna saat ini tingkat pendidikan warga sudah lebih baik dan letak geografisnyapun berada di tengah perkotaan. Dalam penggunaan bahasapun meski letak Kelurahan Cibadak berada di Bogor tapi tidak seluruh warga menggunakan bahasa Sunda, terkecuali warga pribumi dan orang-orang tua. Bahasa yang sering digunakan sehari-hari adalah bahasa betawi.
B. Peran Ulama Bagi Masyarakat Kelurahan Cibadak
Ulama merupakan elemen yang paling esensial dari suatu masyarakat. Keberadaan seorang ulama dalam lingkungan masyarakat adalah laksana
(57)
jantung dalam kehidupan manusia. Begitu urgen dan esensialnya seorang ulama.
Secara ideal seorang ulama diharapkan sebagai figure panutan serta tokoh sentral dalam masyarakatnya, sebab di bahu merekalah terletak cita-cita dan eksistensi umat.
Kelompok ulama saat ini merupakan kelompok elit di masyarakat, dalam kehidupan utama di pedesaan memiliki cultural dengan karekretistik tersendiri, yang selama ini kedudukan mereka dikukuhkan oleh tradisi social dan keyakinan budaya setempat.
Dalam masyarakat Cibadak bahwa peran ulamanya sangat tinggi dan lingkungannya agamis, sebab dalam setiap wilayah ini ulamaya banyak melakukan kegiatan-kegiatan seperti pengajian, majlis taklim, dan lain-lain. Sehingga permasalahan-permasalahan kehidupan agama cukup kondusif dan tidak ada permasalahan yang merugikan orang lain. Terbukti Kelurahan Cibadak dapat menjadi juara dalam MTQ Tingkat kecamatan Tanah Sareal.1
Dalam semua aspek kehidupan masyarakat Cibadak itu tidak terlepas dari peran ulama setempat. Ulama-ulama di Kelurahan Cibadak selalu berupaya agar lingkungan Cibadak meski sudah modern tetapi nilai agama islam masih tetap terjaga. Mulai dari kalangan kanak-kanak sampai orang tua di Cibadak masih teradapat pengkajian ilmu Agama.
Kelurahan Cibadak memiliki pendidikan Agama Formal dan Non formal, seperti Madrastah dan Pesantren.Ruang lingkup pesantren ini tidak
1
Wawancara langsung dengan kepalaKelurahan Cibadak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor yaitu UaySutiawan pada 29 Maret 2016 pukul 10.00 WIB.
(58)
47
hanya sekedar kalangan warga Cibadak saja tetapi sudah meluas diluar dari lingkup warga Cibadak.
C. Kedudukan Kitab Kuning dalam Pengkajian dan Fatwa Ulama di Cibadak
Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera
menempati pisisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur’an dan al
-Sunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al-Qur’an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan mazhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam mazhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,2 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi.
Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermazhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermazhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad-abad awal Hijriyah atau abad-abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi
2Nurcholis Madjid, “Tradisi
Syarh dan Hasyiah dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi
Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 314.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI 1. Nama Lengkap : DELY FADLI
Nama Panggilan : DELY
2. Tempat/Tgl.Lahir : Bogor, 10 Desember 1990 3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Tinggi & Berat Badan : 163 cm / 62 kg 5. Status Perkawinan : Menikah
6. Agama : Islam
7. Kewarganegaraan : Indonesia
8. Nomor KTP : 3201011012900009
9. Alamat lengkap : Jl. M. Sanun Rt 01/08 no. 05 Kel. Harapan Jaya Kec. Cibinong Kab. Bogor Prov. Jawa Barat 10. Email : [email protected]
11. Nomor Telepon : +628991626700 12. Golongan Darah : -
13. Blackberry PIN :
II. DATA PRIBADI
1. Nama Ayah : H. Ahmad Riva’i 2. Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 24 April 1957 3. Pekerjaan : Wiraswasta
(6)
5. Alamat : Jl. M. Sanun Rt 01/08 no. 05 Kel. Harapan Jaya Kec. Cibinong Kab. Bogor Prov. Jawa Barat 6. Nama Ibu : Hj. Ahyana
7. Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 17 Februari 1962 8. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
9. Agama : Islam
10. Alamat : Jl. M. Sanun Rt 01/08 no. 05 Kel. Harapan Jaya Kec. Cibinong Kab. Bogor Prov. Jawa Barat
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
Pendidikan Formal
Tingkat Nama Sekolah Kab. Jurusan Dari Th Sampai Th
SD SDN Cikaret 1 Bogor - 1997 2003
SLTP
MTsS Nurul Furqon
Bogor Mts 2003 2006
SLTA
MAS Nurul Furqon
Bogor IPS 2006 2009
Universitas
UIN Syarif Hidahatullah