Sejarah Kitab Kuning di Indonesia

25 sistematis lam yudawwan. Selain itu, pindah madhhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu 1 talfīq, yakni menggabung dua mazhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, 2 tatabbu„ al-rukhas, mencari-cari pendapat yang ringan. 18 Hanya saja, perpindahan madzhab kemudian terkesan negatif, manakala dih ubungkan dengan “doktrin” kemadzhaban bahwa, misalnya, bermakmum kepada seorang bermadz hab Hanafī yang telah menyentuh lawan jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madz hab Shāfi„ī, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudu‟. Persoalan bahwa orang tersebut, berdasarkan ketentuan madzhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk perhitungan. 19 Tiga faktor ini lah yang, pada akhirnya, menyebabkan terminologi “kitab kuning” dalam bidang fiqh menunjuk kepada buku-buku fiqh klasik bermadz hab Shāfī„ī. F. Kitab fathul Muin sebagai Kitab Muktabaroh di Kalangan Fuqoha Indonesia Kitab Fathul Mu’in merupakan kitab yang banyak dijadikan sebagai bahan rujukan di Indonesia, terutama oleh kaum nahdliyyin warga Nahdlatul Ulama. Kitab ini juga banyak dipelajari di pondok-pondok pesantren baik pondok salaf maupun yang sudah menganut sistem pondok modern. Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai 18 Abū Bakr ibn Muhammad Shatā al-Dimyātī, I„āna al-Tālibīn „ala Fath al-Mu„īn Mesir: Matba„a al-Maymaniyya, t.t., IV: 218-219. 19 Ibrāhīm al-Bājūrī, Hāshia al-Bājūrī Indonesia: Dār Ihya„ al- kutub al-„Arabiyya, t.t., I: 198. 26 merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati po sisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan al- Sunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Is lam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al- Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan mazhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam mazhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia, 20 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi. Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas “memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madhhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan be tapa dominannya “doktrin” bermazhab di kalangan umat Islam pada umumnya. Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermaz hab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermazhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad- 20 M. Wahyuni Nafis ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 314. 27 abad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula- mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab. 21 Bagi kalangan Fuqoha Indonesia, tidak asing dengan kitab Fathul Mu‟in. Kitab yang membahas seputar fikih bermadzhab Syafi‟i tersebut seperti menjadi kitab pegangan wajib untuk dikaji dalam mengajar para santri. Bahkan disebuah Pesantren sang Guru pernah berkata Seorang santri belum bisa jadi Kiyai kalau dalam fiqihnya belum ngaji kitab Fathul Muin. Meski diungkapkan dengan nada yang tidak serius, namun ungkapan beliau nampaknya cukup untuk memberi makna untuk kitab yang dikarang oleh Syeikh Zanuddin Abdul Aziz Al-Malibary tersebut. Ungkapan beliau menandakan begitu pentingya kedudukan kitab Fathul muin dan pengaruhnya dalam fiqih Islam. Sehingga kajian-kajiannya apabila dapat dikuasai dan diamalkan cukup mampu untuk megantarkan seseorang pada pemahaman dalam fiqih. Hampir seluruh pesantren yang ada di Indonesia kebanyakan semuanya menjadikan kitab Fathul Muin sebagai standarisasi kajian ilmu fiqihnya. Ini menunjukan kedudukan kitab Fathul Muin yang diangap mampu mewakili pelajaran ilmu fiqih secara mendasar. 21 Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV Bandung: Mizan, 1998, hlm. 26-27. 28 Beberapa kesimpulan terhadap kitab yang sudah banyak di syarahi ini, diantanya: 1. Kitab ini memiliki penjelasan yang ringkas namun padat akan makna 2. Penggunaan bahasa arab yang mudah dimengerti serta didalamnya tidak banyak kosakata yang maknanya sulit diterjemahkan 3. Isi pembahasannya cukup lengkap 4. Penyusunannya sudah sistematis sesuai kebutuhan pembaca dan pembahasannya diurut sesuai tingkat kebutuhan dan kepentingan ilmu fiqih.

G. Kitab Fathul Muin menjadi Kitab Muktabaroh Pengadilan Agama

Perjalanan sejarah kitab kuning dalam legislasi hukum Islam di Indonesia bisa dibedakan menjadi dua periode. Pertama, periode ketika kitab kuning menjadi sumber hukum formal dalam forum-forum pengadilan dan fatwa, dan, kedua, periode ketika ia menjadi sumber material hukum nasional. Peralihan dari periode pertama ke periode kedua dimulai ketika UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 diberlakukan, dan semakin berlanjut ketika, pada 1991, Kompilasi hukum Islam KHI diinstruksikan oleh Presiden RI agar disebarluaskan. Peralihan tersebut, bisa dikatakan, menandakan dimulainya era pembaruan hukum Islam di Indonesia, dari sistem hukum tradisional menuju sistem hukum modern. Tahir Mahmood menuturkan, salah satu kriteria telah dilakukannya pembaruan hukum Islam di sebuah negara adalah dilakukannya kondifikasi 29 dan legislasi hukum, dari aturan-aturan hukum yang tersebar dalam berbagai teks fiqh klasik menjadi aturan hukum tertulis yang baku, semisal undang- undang, peraturan pemerintah, ordinasi, dekrit dan sebagainya. 22 Dalam pengertian hukum, kompilasi adalah tidak lain dari sebuah bukuhukum ataubuku kumpulan yang memuat uraian atau bahan- bahanhukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum. 23 Lebih jauh lagi Abdurrahman menjelaskan, dalam konteks KHI kompilasi diartikan sebagai upaya untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Bahan-bahan yang diangkat dari berbagaikitab yang bisadigunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapanhukum yang dilakukan oleh para hakim dan bahan-bahan lainya yangberhubungan dengan itu. 24 Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam dapat kita artikan sebagaikumpulan atau ringkasan berbagai pendapat hukum Islam yang diambil dariberbagai sumber kitab hukum fiqh yang mu‟tabar yang dijadikan sebagai sumber rujukan atau untuk dikembangkan di Peradilan Agama yang terdiridari bab nikah, waris, dan wakaf. Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agamadi semua tingkatan Peradilan menggunakan UU No. 1 tahun 1974 yang cenderung liberal dan sekuler untuk dijadikan sebagai sumber hukum 22 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comprative Analysis, ctk. 1 New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h. 1. 23 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Akademika Presindo,1992.h. 11. 24 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia …, h. 14. 30 materiil. Selain itu dalam memutuskan perkara para Hakim dilingkungan Peradilan Agama juga disarankan oleh pemerintah untuk menggunakan kitab- kitab mu’tabar sebagai pedoman rujukan hukum. Sesuai dengan Edaran Biro Peradilan Agama No. B1735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syar‟iah diluar Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan AgamaMahkamah Syar‟iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini: 1. Al-Bajuri. 2. Fath al- Mu’in dan Syarah. 3. Syarqawi „Ala al-Tahrir. 4. Qalyubi Al-Mahalli. 5. Tuhfah. 6. Tarqib al-Musytaq. 7. Al-Qawanin al- Syar’iyyah li „Usman ibn Yahya. 8. Fath al-Wahab dan Syarahnya. 9. Al-Qawanin al- Syar’iyyah li Sadaqah Dahlan. 10. Syamsuri li al-Faraid. 11. Bughyah al-Mustarsyidin. 12. Kitab al- Fiqh „ala al-Mazhabil al-Arba’ah. 31 13. Mugni al- Muhtaj 25 Dengan merujuk 13 buah kitab yang dianjurkan ini, maka langkahkearah kepastian hukum semakin nyata. Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik merupakan pergeseran bagian dari hukum Islam kearah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, dan lain-lain yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama masih berada di luar hukum tertulis. 26 Menurut Abdurrahman dalam bukunya yang dalam bukunya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menguti dari Bustanul Arifin menjelaskan bahwa dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakain kitabpendapat yang tidak menguntungkanya itu, seraya menunjuk kitabpendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan diantara ke 13 kitab pegangan itu jarang digunakan sebagai rujukan dan sering pula terjadi perselisihan diantara para hakim perihal kitab mana yang menjadi rujukan. Peluang demikian tidak akanterjadi di Peradilan Umum, sebab setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan” meskipun Hakim tidak menutupkemungkinan setuju dengan 25 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media Offset, 2001, h. 85-86. 26 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h. 7