Kearifan Budaya Lokal Masyarakat dan Kebudayaan Sunda
59
padahal ia tahu bahwa shalat adalah wajib maka Nabi Saw mengklaim orang tersebut telah berbuat kekufuran.
Artinya: “pembatas antara seorang dengan kekufuran dan kekafiran
adalah meninggalkan shalat”.
11
Sebagai sebuahkewajiban, shalat tidak dapat ditinggalkan begitu saja, kewajiban shalatakan selalu melekat padadiri orang-orang Islam sampai akhir
hayat, kecuali bagi orang-orang yang telah hilang ingatannya gila dan belum akil baligh. Keyakinan akan arti penting atas kewajiban shalat dalam ajaran
Islam inilah yang melekat dalam hati orang-orang Islam warga Kelurahan Cibadak Kecamatan tanah Sareal Kota Bogor. Dalam survei di lapangan yang
penulis lakukan, orang-orang Islam warga Cibadak adalahorang-orang yang taat menjalankan perintah agama.
Sedangkandalam masalah
cara pembayaran
shalat yang
ditinggalkanmayit karena sakit dalam al- Qur’an dan hadits tidak diterangkan
dengan jelasseperti dalam permasalahan puasa. Namun di antara ulama ternyata tidak menjadi pembayaran fidyah sebagai satu-satunya jalan untuk
melakukanpembayaran atas shalat yang ditinggalkan si mayit. Imam
Syafi’i dalam permasalahan pembayaran shalat yang ditinggalkan mayit karena sakit pun ada dua pendapat yang bertentangan.
Dalam satu pendapat seperti yang dikutip Ibnu Burhan dari qaul qadim bahwa Imam Syafi’i mewajibkan seorang wali mengqadha shalat mayat, walaupun
11
Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung, al- Ma’arif, t.th., hlm. 49
60
mayat itu meninggalkan harta, hal ini seperti halnya dalam mengqadha puasa. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Subki untuk mengqadha shalat
sebagia kerabatnya.
12
Argumen yang mewajibkan qadha ini didasarkan pada salah satuhadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Daruqutni, bahwa
Rasulullah saatditanya seseorang tentang bagaimana ia berbuat baik kepada orang tuanyayang sudah meninggal Rasulullah menjawab:
Artinya: “Sesungguhnya ia harus shalat yang diniatkan untuk mereka, dan ia harus puasa
yang diniatkan untuk mereka”
13
Sedang dalam qaul fatwa jadid Imam Syafi’I mewajibkan wali mengeluarkan makanan fidyah sebanyak satu mud untuk satu salat fardhu.
14
Qa ul jadid imam Syafi’I ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Nasai’i:
Artinya: “Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk orang lain
dan seseorang tidak boleh melakukan puasa untuk orang lain, tetapi harus memberi makan sebagai gantinya setiap hari
dengan satu mud gandum” HR. an-Nasa’I.
15
Zainuddin al-Malibary dalam kitabnya berkata “Kalau seseorang
12
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in Bandung: Syirkah al- Ma’arif
Lithof’I Wannasyri , h. 3
13
Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung, al- Ma’arif, t.th, h. 647
14
Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung, al- Ma’arif, t.th, h. 49
15
Ahmad Zubaidi dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah., Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2001, h. 183
61
meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan:“Ada
pendapat yang menjadi pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk se
tiap shalat satu mud makanan”.
16
Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafii kepada kerabat-kerabatnya
yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam As-Subki meninggal, beliau mengqadha shalat yang pernah di tinggalkan oleh kerabatnya. Menurut
sebagian ulama, boleh difidyahkan dengan satu mud bagi setiap waktu shalat fardu.
17
Dari pendapat-pendapat di atas penulis berkesimpulan bahwa seorang wali dapat memilih alternatif seperti yang dikatakan Imam
Syafi’i. Sedangkan pembayaran fidyah meninggalkan shalat karena sakit
sebab adanya wasiat dari si mayit seperti yang dilakukan oleh orang Islam warga Cibadak Tanah Sareal Kota Bogor tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Pembayaran fidyah yang dilakukan karena adanya wasiat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, menurut beliau membayar fidyah diharuskan jika si
mayit berwasiat dan tidak diharuskan mengqadhanyasetelah itu.
18
16
Zainuddin al-Malibary, Fath al- Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin,
Semarang:Thaha Putra, Juz. II, h. 244
17
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2014 Cet ke-9, h. 20
18
Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha, loc.cit.