Karya-karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari Kitab Fathul Muin

21 4. Bab al-shaum, dalam bagian ini diuraikan tentang syarat-syarat pu asa, i‟tikaf dan puasa sunnah. 5. Bab al-Hajj dan Umrah pada bagian ini dikaji seputar haji yakni rukun dan wajib haji, hal-hal yang diharamkan bagi orang yang ikhram, al-udhiyah dan al-aqiqah serta nadzar. 6. Bab al- Bai‟, dalam bab ini dibahas mengenai riba, al-Qiradl, al- rahn, orang yang bangkrut dalam usaha al-muflis, hawalah, sulh, wakalah, syirkah, syuf‟ah, ijarah, „ariyah, ghosob, hibah, wakaf, ikrar dan wasiat. 7. Bab al-faraidh, dalam bagian ini dikaji tentang pembagian harta waris, hijab, ashabah , barang titipan, wadi „ah dan barang temuan luqathah. 8. Bab al-Nikah, dalam bagian ini dikaji tentang syarat, rukun nikah, kafa‟ah, mahar, walimah, ila, dhihar, thalak, ruju‟, nafaqah, dan Hadhanah. 9. Bab al-Jinayat, pada bagian ini ditulis mengenai riddah, had, ta‟zir, ash shiyal, jihad, qadha, gugatan al-Da‟wa, pembuktian albayyinat kesaksian dan sumpah. 10. Bab memerdekakan budak, dalam bab terakhir ini dibahas mengenai al khitabah, aI-tadbir dan umm al walad. 11. Bagian penutup, yakni ucapan pujian dan shalawat atas selesainya penulisan kitab oleh Zainuddin Ibn Abdulul Aziz Al-Malibary dan harapan- harapannya dengan wujudnya kitab Fathul Mu‟in. 22

E. Sejarah Kitab Kuning di Indonesia

Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktifitas ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati pisisi yang vital dan “sedikit” menggeser posisi al-Qur‟an dan al- Sunna sebagai rujukan utama dalam setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami al- Qur‟an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan madzhab fiqh, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam madzhab fiqh. Maka, merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia, 14 terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai te rasa “asing”, merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi. Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas “memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madzhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermazhab 14 Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarh dan Hasyiah dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 314. 23 di kalangan umat Islam pada umumnya. Terminologi “kitab kuning”, penyusun yakin, hanya dikenal di Indonesia, terutama di dunia pesantren. Ia menunjuk kepada buku-buku bahasa Arab karya ulama-ulama Sunni Timur Tengah abad pertengahan, dan meliputi berbagai disiplin keilmuan, seperti teologi, akhlaq-tasawuf, fiqh, tafsir dan teori bahasa Arab. Buku-buku tersebut kemudian mereka sebut sebagai al-kutub al- mu’tabara buku-buku yang layak dipelajari dan dipedomani. Sedangkan label “kuning” dalam termonologi tersebut lebih disebabkan karena buku-buku yang ada kebanyakan dicetak dengan kertas berwarna kuning. Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermadhhab Shāfi„ī. Persoalan mengapa hanya bermadhhab Shāfi„ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad- abad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula- mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab, 15 dan harus diingat, para pedagang kan kaum sufi tadi rata-rata bermadz hab fiqh Shāfi„ī. Ibn Batūta W. 1378, tokoh ekspedisi terkemuka yang menulis Tuhfa al- Nazzār fī Gharā’ib al- Amsār wa „Ajā’ib al-Asfār atau Rihla Ibn Batūta Ekspedisi Ibn 15 Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,ctk. IV Bandung: Mizan, 1998, hlm. 26-27. 24 Batūta, 16 ketika, pada 1345, mengunjungi wilayah Pasai, sangat terkagum- kagum kepada Sultan Malik al- Zāhir , seorang penguasa Kerajaan Samudera Pasai, dalam berdiskusi mengenai masalah-masalah Islam dan hukum Islam madhhab Shāfi„ī. Terlebih-lebih, pada dekade tersebut, Pasai telah menjalin komunikasi diplomatis dengan Gujarat yang masyarakatnya mayoritas bermadhhab Shāfi„ī. 17 Demikianlah, madz hab Shāfi„ī, bersama literatur-literatur standarnya, terus menyebar dan bertahan hingga sekarang. Setidaknya, ada tiga faktor mengapa madz hab Shāfi„ī begitu kuat dan sulit digeser oleh madzhab yang lain. Pertama, jaringan intelektual antara Nusantara dan Timur Tengah terjalin antara ulama- ulama yang bermadhhab Shāfi„ī. Kedua, letak geografis yang begitu jau h dengan tempat asal dan pusat madhhab Shāfi„ī itu sendiri, yaitu Timur Tengah, menyebabkan perkembangan madhhab di Indonesia relatif tidak memiliki akses terhadap wacana hukum Islam kemadzhaban yang berkembang di dunia luar. Jadi, ini berkait erat dengan masalah keterbatasan literatur. Ketiga, dalam madz hab Shāfi„ī sendiri, terdapat aturan main yang ketat dalam bermadzhab. Disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan bermadzhab al- „āmī diwajibkan ber-taqlīd kepada salah satu dari madzhab empat madhāhib arba„a. Selain empat madzhab tersebut tidak boleh dianut, karena tidak didokumentasikan secara utuh dari 16 Ferdinaud Toutle, al- Munjid fī al-Adab Wa al-„Ulūm: Mu„jam li A„lām al-Sharq wa al- Gharb Beirut:Al- Matba„a al-Kāthūlīkiyya, 1975, h. 78. 17 Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tjun Surjaman ed. , Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, ctk. 1 Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya, 1991, h.69. 25 sistematis lam yudawwan. Selain itu, pindah madhhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu 1 talfīq, yakni menggabung dua mazhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, 2 tatabbu„ al-rukhas, mencari-cari pendapat yang ringan. 18 Hanya saja, perpindahan madzhab kemudian terkesan negatif, manakala dih ubungkan dengan “doktrin” kemadzhaban bahwa, misalnya, bermakmum kepada seorang bermadz hab Hanafī yang telah menyentuh lawan jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madz hab Shāfi„ī, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudu‟. Persoalan bahwa orang tersebut, berdasarkan ketentuan madzhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk perhitungan. 19 Tiga faktor ini lah yang, pada akhirnya, menyebabkan terminologi “kitab kuning” dalam bidang fiqh menunjuk kepada buku-buku fiqh klasik bermadz hab Shāfī„ī. F. Kitab fathul Muin sebagai Kitab Muktabaroh di Kalangan Fuqoha Indonesia Kitab Fathul Mu’in merupakan kitab yang banyak dijadikan sebagai bahan rujukan di Indonesia, terutama oleh kaum nahdliyyin warga Nahdlatul Ulama. Kitab ini juga banyak dipelajari di pondok-pondok pesantren baik pondok salaf maupun yang sudah menganut sistem pondok modern. Semenjak abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai 18 Abū Bakr ibn Muhammad Shatā al-Dimyātī, I„āna al-Tālibīn „ala Fath al-Mu„īn Mesir: Matba„a al-Maymaniyya, t.t., IV: 218-219. 19 Ibrāhīm al-Bājūrī, Hāshia al-Bājūrī Indonesia: Dār Ihya„ al- kutub al-„Arabiyya, t.t., I: 198.