31
13. Mugni al- Muhtaj
25
Dengan merujuk 13 buah kitab yang dianjurkan ini, maka langkahkearah kepastian hukum semakin nyata.
Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik
merupakan pergeseran bagian dari hukum Islam kearah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, dan
lain-lain yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama masih berada di luar hukum tertulis.
26
Menurut Abdurrahman dalam bukunya yang dalam bukunya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menguti dari Bustanul Arifin
menjelaskan bahwa dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya
keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakain kitabpendapat yang tidak menguntungkanya itu, seraya menunjuk
kitabpendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan diantara ke 13 kitab pegangan itu jarang digunakan sebagai rujukan dan
sering pula terjadi perselisihan diantara para hakim perihal kitab mana yang menjadi rujukan. Peluang demikian tidak akanterjadi di Peradilan Umum,
sebab setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan” meskipun Hakim tidak menutupkemungkinan setuju dengan
25
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media Offset,
2001, h. 85-86.
26
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h. 7
32
pendapat pengarang sebuah buku doktrin hukum yang mempengaruhi putusannya.
27
Sementara Masrani Basran mengemukakan beberapa hal yang melatar belakangi diadakannya Kompilasi Hukum Islam KHI. Pertama, adanya
ketidak jelasan persepsi antara syari‟ah dan fiqh. Hal ini menurutnya akan
dan telah menyebabkan hal-hal : 1 ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan hukum Islam 2 kita tidak mampu
menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.
28
Kedua, situasi hukum Islam di Negara Indonesia. Menurutnya bahwa situasi hukum Islam di Indonesia tidak berbeda
dengan Negara- negara lain, yaitu tetap tinggal dalam “kitab-kitab kuning”
yang merupakan karangan dan bahasan sarjana-sarjana hukum Islam, yang tiap-tiap kitab kuning diwarnai dengan pendapat dan pendirian masing-
masing pengarangnya. Oleh sebab itu, dalam memandang hal ini, Basran menemukan dua kesulitan 1 mengenai bahasa dari kitab kuning yang tidak
semua orang dapat memahaminya 2 persepsi yang belum seragam mengenai din, syari‟ah dan fiqh, terutama sejak abad-abad kemunduran umat Islam di
segala bidang.
29
Maka tujuan diadakannya Kompilasi Hukum Islam menurut Yahya Harahap adalah melengkapi pilar Peradilan Agama, menyamakan persepsi
penetapan hukum, mempercepat proses taqrib bayna al-ummah, dan
27
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Presindo,1992,h. 23
28
Ibid.
29
Ibid., 24-25
33
menyingkirkan faham-faham private affairs.
30
Di samping masih adanya tarik ulur dalam memahami kitab fiqh.
31
Kalau kita cermati secara seksama dari 13 rujukan kitab yang disarankan, kesemuannya lebih bersifat eksklusif. Ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan
tersebut merupakan kitab- kitab yang bermazhab Syafi‟i. Kecuali untuk kitab
nomor 12 yang termasuk kedalam kitab komparatif perbandingan madzhab. Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab kecuali kitab
Nomor 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.
32
H. Pembahasan Qadha shalat dan fidyah dalam Kitab Fathul Muin
Shalat adalah suatu kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal dan normal
tidak gila sesuai dengan kemampuanya. Shalat merupakan sendi agama didalam syari‟at Islam dan bisa dijadikan standar ibadah-ibadah lain. Begitu
pentingnya shalat, sehingga kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu tidak terbatas pada saat badan sehat, namun dalam kondisi sakit sekalipun
belum gugur kewajiban untuk shalat, akan tetapi dalam kondisi tersebut ada keringanan-keringanan bagi orang sakit di dalam menjalankan shalatnya,
diterangkan di dalam al- Qur‟an:
30
Yahya Harahap. “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam. Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam” dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam Jakarta: Yayasan
al-Hikmah, 19931994, 149-157.
31
Fiqh hanya dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapatfatwa. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalamTata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, h 144-145.
32
Fiqh hanya dipandang sebagai …,h. 22
34
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat mu,
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah shalat sebagaimana biasa”.Q.S.:an- Nisa’: 103
Pemberian Rukhshah juga telah diungkapkan Nabi dalam beberapa hadits:
Artinya: “Dari Amran bin Hushain r.a. menceritakan bahwa dia
ditimpa penyakit bawasir, lalu ia menanyakan bagaimana caranya shalat. Rasulullah SAW menjawab
:“ shalatlah sambil berdiri bila anda tidak mampu, maka shalatlah
sambil duduk bila tidak mampu, maka shalatlah sambil berbaring
”.
33
Para ulama sepakat pendapatnya bahwa orang yang sakit diperintahkan mengerjakan shalat, dan bahwa kewajiban berdiri hapus dari
padanya, jika tidak dapat berdiri dan ia dalam hal ini shalat dalam keadaan duduk. Demikian kewajiban ruku’ dan sujud hapus dari padanya, apabila ia
tidak dapat mengerjakan kedua-keduanya atau salah satunya dan sebagai gantinya berisyarat.
34
Dari hadits di atas, kita dapat melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa
dilakukan dengan berdiri, duduk ataupun berbaring, bahkan dengan isyarat sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka, menurut pendapat yang
33
Muhammah bin Ismail al-Yamani ash- Shon’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulughul al-
Maram, Jeddah, al-Haramain, t.th., h. 453.
34
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, , _Semarang, Toha Putra, t.th. h.129
35
mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya.
fidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik di dalam Al-
Qur’an maupun hadits. Sedangkan fidyah shalat, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama.
Masalah qadha dan fidyah terhadap shalat yang ditinggalkan mayyit terdapat Khilafiyah perbedaan pendapat dikalangan Ulama. Berikut
pendapat ulama mengenai hukum fidyah shalat, antara lain : 1. Berkata Zakariya Anshary :
“Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara’ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia”
35
2. Berkata al-Kurdy : “al-Khuwarizmy pernah mengatakan : “Aku pernah melihat ulama
dari sahabat-sahabat kita di Khurashan yang berfatwa dengan memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang
ditinggal kannya.”
36
3. Berkata Zainuddin al-Malibary : “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang
ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan:“Ada pendapat yang menjadi
pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu
35
Zakariya Anshary, Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, h. 66
36
Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin,Thaha Putra, Semarang, Juz. II, h. 244
36
mud makanan”.
37
Di dalam kitab fathul muin dijelaskan
، ع فت قت رف اص ع ا ع عفت ا أ ق ف
- عفاش ا ع ا ع ا ا ح ا ا أ ا ب ص أ
، ف ر براقأ عب ع س ا ب عف
Artinya: “Orang yang mati mayyit dan masih memiliki tanggungan
shalat fardhu, maka shalat tersebut tidak bisa di qadha dan tidak bisa dibayarkan fidyah, sebagaimana yang disebutkan
diatas. Namun, dikatakan pula bahwa terdapat ada sebuah pendapat bahwa shalat harus diqadha oleh orang lain, baik
si mayyit berwasiat maupun tidak, berdasarkan pada sebuah hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi
dari Al-Imam Asy-SyafiI
”.
38
Demikian juga Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafii kepada
kerabat-kerabatnya yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam As- Subki meninggal, beliau mengqadha shalat yang pernah ditinggalkan oleh
kerabatnya. Menurut sebagian ulama, boleh difidyahkan dengan satu mud bagi setiap waktu shalat fardu.
39
Maksud dari kalimat di atas adalah, jika mengacu pada dalil al- Qur’an
dan hadits jelas, bahwa orang meninggalkan shalat sampai saat kematian datang maka tidak wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah
sebagaimana dalam masalah puasa. Karena dalam puasa jelas bahwa orang yang meninggalkan puasa sampai kematiannya datang, maka wajib baginya
membayar fidyah, ini seperti yang telah diterangkan di atas. Tetapi menurut
37
Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin , dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin,Thaha
Putra, Semarang, Juz. II, h. 244.
38
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in Bandung: Syirkah al- Ma’arif
Lithof’I Wannasyri , h. 3
39
Ibid. h. 3