Penyelesaian Sengketa Konsumen Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

rumah kaca. ternyata sebagian pecah pada waktu pengangkutan. Perlindungan hukum yang diberikan UUPK hanya berhak bagi individu konsumen akhir end users. 93

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Hakikatnya cara penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK dapat digunakan 2 jalur, yaitu: 1. Proses litigasi Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam Pasal 48 UUPK, yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.” Pasal 45 ayat 2 UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 ayat 1 UUPK, yaitu: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. 93 Yusuf shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Bandung: PT citra aditya bakti, 2008, hlm. 122-123. Universitas Sumatera Utara c. LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat 1 UUPK maksudnya adalah: a. Bahwa secara personal gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 ayat 1 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui BPSK sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan Peradilan Umum. b. Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat 1 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini. Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 ayat 1 UUPK, dalam Universitas Sumatera Utara Penjelasan Pasal 46 ayat 1 huruf b UUPK, ditegaskan bahwa: Undang-Undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action. Gugatan kelompok atau Class Action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum. Hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanya tiga macam gugatan, yaitu: 94 a. Small Claim dapat diartikan jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Dalam hukum perlindungan konsumen di berbagai negara, proses beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi luas. Ada tiga alasan fundamental mengapa small calim diizinkan dalam perkara konsumen yaitu : 1 kepentingan dari pihak penggugat konsumen tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugian, 2 keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya ternuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan 3 untuk menjaga integritas badan-badan peradilan. b. Class Action atau gugatan perwakilan kelompok diakomodir dalam Pasal 46 ayat 1 huruf b UUPK. Saat ini sudah ada beberapa undang-undang yang memberikan kemungkinan bagi masyarakat mengajukan gugatan dengan prosedur Class Action, yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 disebutkan dengan nama “ gugatan perwakilan 94 Shidarta, Op.Cit., hlm. 65-68. Universitas Sumatera Utara kelompok”. Selain dalam UUPK, Class Action juga diakomodasi antara lain dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutanan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengakomodasi gugatan Kelompok Class Action ini dalam Pasal 46 ayat 1 huruf b. Ketentuan ini menyatakan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Prinsip Class Action wajib memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam 23 US federal rule of Civil Procedure. Keempat syarat itu sebagai berikut. 1 Numerosity Jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendiri- sendiri tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien. 2 Commonality Adanya kesamaan soal hukum question of law dan fakta question of fact antara para pihak yang diwakilkan class members dan Pihak lain yang mewakilkannya Class representative 3 Typicality Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara class members dan class representative 4 Adequacy of representation Universitas Sumatera Utara Kelayakan class representative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim c. Legal standing selain Class Action UUPK juga mengakomodir proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu. Hal ini diatur rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 ayat 1 huruf c : “ LPKSM yang memenuh syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tesebut unutk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggatan dasar.” Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UUPK, jelas ada keinginan agar setiap LPKSM itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses beracara dipengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM . Secara administratif ada konsekuensi logis karena pendaftaran dan pengakuan ini dengan sendirinya dapat dicabut oleh pihak yang memberikan, dalam hal ini pemerintah, misalnya dengan LPKSM menyimpang dari fungsi dan tugas semula. Kewenangan demikian disatu sisi berguna untuk mencegah munculnya LPKSM gadungan yang berpotensi merugikan konsumen, tetapi disisi lain juga membuka kesempatan munculnya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap LPKSM tertentu yang kritis. 2. Proses non-litigasi Universitas Sumatera Utara Pencegahan dan penyelesaian sengketa, hendaknya di cermati, bahwa cara terbaik agar sengketa tidak terjadi adalah menjamin bahwa masing-masing pihak mengetahui apa yang diinginkan pihak lain dan menangkap dengan jelas, misalnya perjanjian tertulis diantara para pihak. Di samping itu meningkatkan pengetahuan masing-masing pihak tentang kepentingan orang lain akan dapat menurunkan peluang terjadinya suatu sengketa. Perlu diingatkan bahwa sengketa dapat dengan mudah terjadi, apabila masing-masing pihak tidak saling mengenal antara satu sama lain dan bila mereka memaksakan format bisnisnya yang baru atau bila mereka berasal dari budaya yang berbeda. Proses penyelesaian sengketanya menggunakan opsi atau kombinasi bentuk-bentuk ADR sebagai proses penyelesaian sengketa, tergantung pada tahap atau bentuk-bentuk mana akhirnya keputusan tercapai. Segi pembagian Alternatife Dispute Resolution, dibagi dalam dua bentuk yaitu Alternatif to Litigation terdiri atas negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan alternatife to adjudication terdiri atas negosiasi dan mediasi. Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa mediasi merupakan sarana penyelesaian sengketa dan suatu strategi dalam proses penyelesaian sengketa. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 ayat 2 UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian Universitas Sumatera Utara sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Berdasarkan Pasal 47 UUPK menyebutkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh dengan berbagai cara, yang dapat berupa artibrase, mediasi, konsiliasi, dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 huruf a menyebutkan melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi, tiga macam cara penyelesaian sengketa, yaitu: a. Mediasi Sebagai suatu strategi mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan dengan bantuan mediator bertujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat. Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Sesuai Universitas Sumatera Utara batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak. 95 Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya. Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah: karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi bebas yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berati penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan, tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional. 96 Mediasi sebagai sarana dan strategi penyelesaian sengketa maka akan didapatkan keuntungan seperti yang disebutkan oleh Christopher W. Moore, yaitu keputusan yang hemat, penyelesaian secara cepat, hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak, kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan Customized, Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif, tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga, pemberdayaan individu Personal Empowermen. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah, keputusan-keputusan 95 Agung Nugroho Nur Mega Sari, “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Peralatan Makanan yang Mengandung Melamin Palsu, ” Lex Jurnal, Volume VIII, No.2, Apr 2011, hlm. 175. 96 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang bisa dilaksanakan, kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang kalah, keputusan berlaku tanpa mengenal waktu. 97 Penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa disamping memiliki kelebihan-kelebihan, juga terdapat kelemahan-kelemahan mediasi dalam penyelesaian sengketa, yaitu: 98 1 Biasa memakan waktu yang lama. 2 Mekanisme eksekusi yang sulit, karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak. 3 Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai. 4 Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya. b. Arbirase Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat di Pasal 60 yang berbunyi 97 Rahmadi usman, Pilihan penyelesian sengketa diluar pengadilan Bandung: Citra aditya bakti , 2003, hlm. 83-85. 98 Ibid. Universitas Sumatera Utara “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekutan hukum tetap dan mengikat para pihak.” 99 c. Konsiliasi Konsiliasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK. Penyelesaian sengketa ini banyak kesamaan dengan arbiterase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbiterase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak. 100 Seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung ditengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan options penyelesian sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan bergerak mendekat moving closer dan selanjutnya dicapai suatu penyelesian yang memuaskan kedua belah pihak a measure of goodwill. Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsu, kini mereka berselisih, kini mereka berselisihbertengkar. Pandangan- pandangan yang coraknya di antara para pihak harus dipertemukan dengan teliti. 101 3. Kekuatan hukum yang melekat pada penetapan akta perdamaian 99 Agung Nugroho Nur Mega Sari, Op.Cit., hlm. 176. 100 Ibid. 101 Yusuf Shofie, Op.Cit., hlm. 22. Universitas Sumatera Utara Kekuatan hukum yang melekat pada putusan atau penetapan akta perdamaian diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata dan Pasal 130 ayat 2 dan 3 HIR. a. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1858 ayat 1 KUHPerdata, perdamaian diantara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat 2 HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, Undang-Undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian itu memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. 102 b. Mempunyai kekuatan eksekutorial Penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat 2 HIR. Kalimat terakhir Pasal tersebut menegaskan, putusan akta perdamaian: 1 berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan 102 Joni emirzon, Alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan negoisasi, Konsoliasi, Mediasi Arbitrase Jakarta: PT gramedia pustaka utama, 2001, hlm. 279. Universitas Sumatera Utara 2 juga berkekuatan eksekutorial executorial kracht sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sesaat setelah putusan dijatuhkan langsung melekat kekuatan eksekutorial padanya. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam peijanjian secara sukarela: 103 1 Dapat diminta eksekusi kepada Pengadilan Negeri PN. 2 Atas Permintaan itu Ketua PN menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuar Pasal 195 HIR. Hal itu sejalan dengan amar putusan akta perdamaian yang menghukum para pihak untuk menaati perjanjian yang mereka sepakati. Jadi dalam putusan tercantum amar kondemnator comdemnation, sehingga apabila putusan tidak ditaati dan dipenuhi secara sukarela, dapat dipaksakan pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan. c. Putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding Hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat 3 HIR. Putusan akta perdamaian, tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, telah berakhir segala upaya hukum. Demikian halnya dengan putusan akta perdamaian, selain dipersamakan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, Undang- Undang sendiri yang menegaskan, bahwa terhadapnya tidak bisa diajukan banding. Hal itu pun ditegaskan dalam Putusan MA Nomor 1038 KSip1973, 103 Ibid. Universitas Sumatera Utara bahwa terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan banding. Dalam Putusan MA Nomor 975 KSip1973 dijelaskan tidak dapat banding, yang mengatakan berdasarkan Pasal 154 RBG130 HIR, putusan perdamaian atau acte van vergelijk merupakan suatu putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya. Itu sebabnya secara teknis dan yuridis dikatakan, putusan akta perdamaian acte van vergelijk dengan sendirinya melekat kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 104

C. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dokumen yang terkait

Perlindungan Konsumen Pemakai Jasa Internet Dalam Hal Kerahasiaan Informal

25 156 79

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

6 80 130

KEKUATAN HUKUM EKSEKUTORIAL PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 6 17

PERAN YAYASAN LEMBAGA PEMBELAAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN JAWA TENGAH SEBAGAI LPKSM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSU

1 4 82

Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

1 1 53

Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Di Kota Semarang.

1 4 136

PELAKSANAAN FUNGSI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENEGAKAN HAK KONSUMEN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 9

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen Di Indonesia - Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomo

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 16

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN -

0 1 61