Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Nasional
Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, Istilah Nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 86 Tahun 1958
Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Pasal 1 UU No. 86 Tahun 58 menyebutkan bahwa Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di
wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara
Republik Indonesia. selanjutnya dalam penjelasan umum undang-undang ini menjelaskan bahwa yang dinasionalisasikan adalah pada dasarnya segala perusahaan
milik Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia, baik ia merupakan pusatnya maupun cabangnya.
Undang-undang di atas juga tidak dicantumkan secara jelas perihal batasan definisi dari makna tindakan nasionalisasi. Sehingga tidak hadirnya kepastian hukum
dan tujuan keadilan dalam tindakan nasionalisasi ini. Hanya saja penyusun undang- undang ini mengisyaratkan melalui beberapa pasalnya dan penjelasan umumnya
bahwa nasionalisasi adalah tindakan pengembilahan hak secara penuh terhadap seluruh aset asing berupa perusahaan dan modal asing peninggalan kolonial yakni
Belanda.
3
Ambiguitas dalam pendefinisian nasionalisasi di setiap negara berkembang pasti selalu timbul, begitu pun Indonesia. Dalam penyusunan UU Nasionalisasi ini,
3
Lihat penjelasan umum Undang-undang No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
banyak kalangan pejabat dan ahli hukum masa itu berdebat mengenai batasan definisi dan hak pemberian ganti rugi. Dalam risalah sementara Kabinet Kerja
Republik Indonesia yang telah menyusun UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958 ini terjadi perbedaan pemahaman mengenai konsep nasionalisasi milik asing. Menteri
Stabilisasi Ekonomi pada saat itu, Kolonel Suprajogi, Tertanggal 7 November 1958 kepada DPR mengatakan pendapatnya:
“Pemerintah memilih tindakan nasionalisasi karena tindakan ini diakui oleh hukum internasional. syarat sah terpenting adalah ganti kerugian dan ini akan
dilakukan oleh pemerintah. Maka jelaslah bahwa tuduhan seolah-olah pemerintah telah mensita bahk
an dikatakan mencuri adalah tidak benar.” Tidak hanya Kolonel Suprajogi, Mr. Sujarwo dan Ruslan Abdul Ghani juga
berpendapat demikian bahwa nasionalisasi yang menjadi hak negara berkembang harus disertai ganti kerugian. Berbeda halnya dengan beberapa anggota DPR seperti
H.A Chamid Widjaja, dan Nungtjik A.R yang berpendapat bahwa : ”Di dalam masyarakat ramai telah berkembang saran-saran dan pernyataan
dari masyarakat luas yang diajukan, agara supaya perusahaan-perusahaan itu disita saja, dala artian diambil-alih tanpa diberikan ganti kerugian. Sehingga
nasionalisasi yang diinginkan masyarakat luas adalah nasionalisasi tanpa
memberikan ganti kerugian”.
4
Dengan demikian, perbedaan pendefenisian dan aktualisasi nasionalisasi
hanyalah berputar dalam hal pengambilalihan dengan pemberian ganti rugi dan penyitaan tanpa ganti rugi konfiskasi.
4
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1960, h. 6-7
Selanjutnya pengaturan nasionalisasi terdapat pada Undang-undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Pasal 21 dan pasal 22. Pasal 21
berbunyi bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing
atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai danatau mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan
kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian. Selanjutnya Pasal 22 1 jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka Pemerintah wajib
memberikan kompensasi ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang
berlaku. Dalam perkembangannya UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing ini dirubah dan digantikan dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal. Perihal nasionalisasi dalam UU ini diatur dalam pasal 7 bahwa:
“1 Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-
undang. 2 Dalarn hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat I,
Pemerintah akan rnemberikan kompensasi yang jurnlahnya ditetapkan bcrdasarkan harga pasar.
5
3 Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kescpakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat 2, penyelesaiannya
dilakukan melalui arbitrase”.
5
Lihat penjelasan pasal 7 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Di mana harga pasar yang dimaksud dijelaskan sebagai harga yang ditentukan menurut cara yang
digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk olch para pihak.
Sekilas tidak ada yang terlalu berbeda antara pengaturan mengenai tindakan nasionalisasi dalam kedua UU tersebut. Hanya saja pada pasal 7 UU No. 25 Tahun
2007 lebih terdapat penekanan bahwa nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang. Hal ini menunjukan kedudukan pasal ini sebagai
konstitusional bersyarat dimana segala yang terkait dengan panafsiran dan pelaksanaanya akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam naskah akademik
undang-undang ini disebutkan bahwa tindakan nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang adalah semata-mata untuk mewujudkan kepastian
hukum bagi investor asing, sehingga kegiatan investasi yang dilaksanakan tidak dibayangi rasa takut akan diambilalih atau dinasionalisasi. Begitu pula dengan
pengaturan ganti rugi atau kompensasi yang akan diberikan oleh pemerintah sebagai konsekuensi dari tindakan nasionalisasi akan ditetapkan sesuai dengan harga pasar
yang diakui oleh hukum internasional. Hal ini adalah wujud dari penerapan asas keadilan dalam menjamin keamanan aset investor asing selama meninvestasikan
modalnya di Indonesia.