1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penanaman modal pada dasarnya, diperlukan untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil. Apabila modal yang berasal dari dalam
negeri belum mencukupi, maka suatu negara akan berusaha untuk menarik modal asing sebagai pelengkap. Kendatipun diniatkan sebagai pelengkap, tetapi modal
asing ini seringkali mempunyai peran sangat penting, sehingga dapat mempercepat pembangungan dalam perekonomian suatu negara. Dalam konteks ini, ekonomi
global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh modal global, selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktif suatu negara terhadap modal
asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal global berperan dalam modernisasi ekonomi negara tersebut, serta memajukan sektor-sektor utama
dalam ekonomi, terutama industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain.
1
Terdapat dua aliran dalam memandang keberadaan penanaman modal asing. Pertama adalah aliran liberal yang berpendapat bahwa penanaman modal asing
bermanfaat bagi kemakmuran ekonomi Negara penerima, dan kedua adalah aliran penganut teori ketergantungan dependenciadependency theory yang berpendapat
bahwa penanaman modal asing akan melahirkan dominasi dan ketergantungan pada
1
Didik J. Rachbini, Arsitektur Hukum Investasi Indonesia Analisis Ekonomi Politik, Jakarta: PT Indeks, 2008. h. 62-63.
perusahaan asing sehingga merugikan masyarakat. Sebagai jalan tengah di antara kedua aliran itu, Negara-negara penerima penanaman modal asing berusaha menarik
modal asing untuk dimanfaatkan guna mendorong kemajuan ekonomi negara yang bersangkutan seraya meminimkan dampak negatifnya yang merugikan kepentingan
ekonomi nasional.
2
Filosofi yang melatarbelakangi kebijakan dalam penanaman modal asing adalah bahwa modal asing diperlukan guna melengkapi modal dalam negeri yang
tidak mencukupi untuk memutar roda perekonomian suatu negara. Akan tetapi manakala modal asing tersebut kemudian menjadi pendorong utama perekonomian
negara, dan bahkan menyebabkan ketergantungan secara ekonomi, sering timbul sikap permusuhan terhadap penanaman modal asing. Sikap tidak bersahabat ini dapat
diwujudkan dalam suatu keputusan politik hukum untuk menasionalisasi atau mengambilalih modal asing.
Sejarah mencatat, kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional secepatnya pada masa orde lama, sebagian besar ditafsirkan oleh para
pemimpin Indonesia sebagai kegagalan mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani para pemimpin Republik di
Den Haag pada tahun 1949 memuat jaminan bahwa hak-hak yang diberikan kepada modal asing akan dihormati. Mengacu kepada konferensi tersebut, perusahaan-
perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama,
2
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, Jakarta: Penerbit Kuwais, 2012. h. 5.
sehingga perkembangan ekonomi pasca penyerahan kedaulatan tidak mengalami perubahan dari periode kolonial Hindia-Belanda. Hal itu dikarenakan, perusahaan-
perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor perekonomian utama yang meliputi kegiatan ekspor dan impor. Ketimpangan ekonomi ini menyebabkan rasa frustasi
bagi sebagian besar pemimpin Indonesia. Upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional akan selalu terhalang selama modal asing, dalam hal ini Belanda, masih
beroperasi di Indonesia.
3
Berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1985 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Wilayah Republik Indonesia
Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, membuktikan keinginan Indonesia untuk lepas dari kekuatan ekonomi kolonial, sehingga melaksanakan
nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, tindakan nasionalisasi ini
mengakibatkan Indonesia dituntut dalam litigasi internasional di Republik Federasi Jerman dalam perkara yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut kasus
Tembakau Bremen Bremen Tobacco Case. Dalam perkara ini, Indonesia tetap berargumen bahwa nasionalisasi merupakan tindakan sah Negara yang berdaulat
dalam rangka perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi kolonial ke struktur
3
Budiman Ginting, “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia: Suatu
Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi Di Indonesia .” JURNAL
EQUALITY, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, h. 104.
ekonomi nasional.
4
Hal-hal di atas dapat kiranya menjadi pelajaran bagi pemerintah saat ini untuk berani mengambil tindakan nasionalisasi demi percepatan kemandirian
ekonomi nasional namun juga harus bijak dalam menghadapi setiap resiko hukum dan ekonomi yang terjadi.
Nasionalisasi modal asing dalam perkembangannya, diatur tersendiri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing UUPMA,
tepatnya pada Pasal 21 dan Pasal 22 yang mana pengaturannya lebih generalis dan tidak terpaku pada tindakan dekoloniasisasi semata terhadap perusahaan milik asing
Belanda seperti yang diatur sebelumya dalam Undang-Undang No 68 Tahun 1958. Sedangkan di era kekinian, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal UUPM yang menentukan bahwa nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal tidak akan dilakukan
kecuali dengan undang-undang dan disertai dengan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Apabila tidak tercapai kesepakatan tentang
kompensasi atau ganti rugi, maka akan dilakukan penyelesaian melalui arbitrase. Sayangnya, tidak dicantumkan alasan hukum apa saja yang menjadi pijakan bagi
Indonesia untuk dapat menasionalisasi aset asing, serta bentuk pasalnya yang bersifat konstitusional bersyarat dan merupakan bentuk larangan untuk bertindak, sehingga
hal-hal ini semakin memperjelas kecenderungan dan keberpihakan Indonesia terhadap modal asing.
4
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, h. 10.
Dalam perkembangan politik hukum ekonomi di Indonesia timbul berbagai pendapat mengenai kemandirian suatu bangsa dalam membangun perekonomian
yang efesien guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pandangan ekstrim pun berkembang di mana wujud ekonomi nasional yang semakin hari cenderung liberal
dan berpihak kepada asing, harus direalisasikan dengan kemandirian dalam mengelolah sumber daya alam dan permodalan. Dengan salah satu cara melahirkan
kebijakan hukum menasionalisasi seluruh atau sebagian secara bertahap atau sekaligus aset asing untuk dikuasai dan dikelola semaksimalkan mungkin untuk
hajat hidup bangsa sendiri. Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih mendalami terkait dengan asas kemanfaatan dan keadilan dalam menasionalisais modal asing yang selalu diusung oleh founding father dalam
perspektif hukum ekonomi pembangungan dan juga apa yang dicantumkan dalam pasal 33 UUD terkait asas kemandirian dan penguasaan sumber daya alam yang vital
bagi kemakmuran rakyat. B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan investasi atau penanaman modal, dan juga melihat luasnya definisi modal asing dalam disiplin Hukum Perdagangan dan
Hukum Penanaman Modal, maka di sini penelitian akan difokuskan pada tindakan nasionalisasi investasi asing yang berkaitan dengan investasi langsung direct
Investment dan tinjauan yuridis ambiguitas pemahaman realisasi asas kemandirian dan kemanfaatan dari sudut hukum ekonomi pembangunan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:
a. Bagaimana keterkaitan pemahaman antara perspektif hukum Indonesia dan
perspektif hukum internasional dalam pelaksanaan nasionalisasi modal asing? b.
Bagaimana konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan? c.
Apa saja dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum ekonomi dalam aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian