Pemberian Ganti Rugi Kompensasi Terhadap Milik Asing Sebagai

perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dan menetapkan besarnya ganti kerugian yang dapat diberikan. Pemilik perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dapat melaporkan besaran ganti kerugian kepada Panitia Penetapan Ganti Kerugian dengan membawa berkas-berkas dan bukti-bukti sah atas kepemilikan perusahaan beserta asetnya. 14 PP ini memiliki perbedaan dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam hal siapa yang berwenang dalam menentukan besaran ganti kerugian. Pasal 7 ayat 2 undang-undang ini tidak secara spesifik menentukan besaran kompensasi serta pihak siapa yang menjadi panitia penetapan ganti kerugian. Undang-undang ini menyatakan dalam hal terjadinya nasionalisasi pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dalam penjelasannya, harga pasar yang dimaksud adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh panitia independen yang ditunjuk oleh para pihak. Jadi secara tidak langsung, yang akan menentukan besaran ganti kerugian adalah pihak ketiga berdasarkan formula yang mereka tetapkan sendiri. 15 Terdapat hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang belum dimiliki oleh peraturan-peraturan 14 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Bandingkan dengan perihal pemberian ganti rugi dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 15 Lihat Pasal 7 Ayat 1,2,3 Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Selanjutnya d alam Penjelasan Ayat 2, yang dimaksud dengan “Harga Pasar” adalah Harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak. sebelumnya, yaitu pasal 7 ayat 3 yang menyatakan bahwa perihal apabila di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan mengenai besaran kompensasi, maka akan diselesaikan melalui arbitrase. 16 Penyelesaian melalui arbitrase ini memberikan makna tersendiri, dimana putusannya yang bersifat final memberikan kejelasan dan efesiensi waktu dalam menentukan besaran kompensasi yang adil dan wajar. Hal di atas berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, pasal 22 ayat 1 undang-undang ini menyatakan jika terjadi nasionalisasi, pemerintah wajib memberikan kompensasi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku. Dalam penjelasannya, pasal ini hanya sekedar menegaskan bahwa kompensasi tersebut diberikan sesuai prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Hal ini tentu saja memberikan kerancuan penafsiran, mengingat dalam dunia hukum internasional mengenal penerapan dua doktrin yang berbeda yaitu doktrin hull dan doktrin calvo 17 dalam hal kewajiban pemberian ganti kerugian serta besarannya. 16 Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase tertulis, di mana para pihak menyerahkan kewenangan penyelesaiannya kepada pihak yang netral yang disebut arbiter. Lihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 17 Doktrin Hull dikenal sebagai representative negara-negara maju pemilik modal asing, sedangkan Doktrin Calvo dikenal sebagai representative negara-negara berkembang penerima modal asing. Doktrin Hull dipopulerkan dari nama Menteri Luar Negeri Amerika Corden Hull 1930 an, maksud dari doktrin adalah hak negara untuk melakukan nasionalisasi tunduk pada hukum internasional. Nasionalisasi harus disertai dengan prompt, adequate, dan Affective compensation. Sedangkan Doktrin Calvo dipopulerkan dari nama Menteri Luar Negeri Argentina Carlos Calvo, maksud dari doktrin ini adalah sengketa mengenai penanaman modal asing PMA berada di bawah yurisdiksi pengadilan lokal. Investor asing tidak memerlukan proteksi internasional dan perlindungan diplomatik negara asalnya. PMA diperlakukan sesuai dengan prinsip national treatment juga dalam Dalam perkembangannya, apabila kita melirik kewajiban pemberian kompensasi dalam dunia hukum internasional, kita dapat mendapatkannya dalam Resolusi 1803 1962 dan Resolusi 3281 1974 Majelis Umum General Assembly Perserikatan Bangsa-Bangsa, memuat ketentuan kewajiban pemberian ganti rugi terhadap nasionalisasi, hal tersebut diwajibkan agal nasionalisasi dapat dikatakn sah menurut hukum. Lengkapnya Resolusi itu berbunyi: “The right of people and nations to permanent sovereignty over their natural wealth and resources must be exercised in the interest of their national development and of well-bein of the people of the state concerned. Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interest, both domestic and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in accordance with the rules in force in the state taking such measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, the national jurisdiction of the state taking such measures shall be exhausted. ..” 18 Pernyataan diatas menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya dan dapat pula melakukan nasionalisasi bila itu diperlukan, namun nasionalisasi dibatasi dengan kewajiban pembayaran ganti rugi, dalam hal ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional agar adil dan wajar. hal nasionalisasi, termasuk kompensasi untuk itu. Lihat Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, glosarium, h. 344. 18 Lihat Paragraf 1 dan 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource Kewajiban membayar ganti rugi terhadap kepemilikan asing yang dinasionalisasikan juga ditegaskan dalam Charter of Economics Rights and Duties of States Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 3281 Tahun 1974. Lengkapnya pernyataan itu dimuat dalam pasal 2 ayat 2 huruf c bahwa: “To nationalize, expropriate or transfer ownership of foreign property, in which case appropriate compensation should be paid by the state adopting such measures, taking into account its relevant laws and regulations and all circumstance that the state considers pertinent. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, it shall be settled under the domestic law of the nationalizing state and by its tribunals, unless it is freely and mutually agreed by all states concerned that other peaceful means be sought on the basis of the sovereignty equality of states and in accordance with the principle of free choice of means ”. 19 Beberapa negara maju seperti Belgium, Denmark, West Germany, Luxembourg, Great Britain and the United States menyatakan bahwa Charter 3281 ini sangat bersifat radikal, dan belum sepenuhnya menganut prinsip-prinsip tradisional hukum internasional seperti yang dijelaskan dalam Resolusi PBB 1083. Hal ini disebabkan oleh tercantumnya klausul secara eksplisit bahwa kompensasi wajib diberikan secara pantas dengan kenyataan yang ada dan sesuai dengan regulasi yang berlaku serta segala pertimbangan-pertimbangan dari negara yang menasionalisasikan. Negara yang melakukan ekspropriasi juga diberikan hak 19 Lihat pasal 2 ayat 2 huruf c, United Nations, Resolution over Charter of Economic Rights and Duties of The state, General Assembly Resolution 3281 12 December 1974 eksklusif untuk menentukan berapa banyak jumlah kompensasi yang akan diberikan. 20 Kedua Resolusi dan Charter di atas memiliki kesamaan tipe atau jenis kompensasi yang diadopsi yaitu konsep appropriate compensation. Konsep ini menjelaskan bahwa suatu kompensasi atau pemberian ganti rugi harus melihat sisi kepantasan dan keadilan dari kedua pihak. Konsep ini kurang lebih mirip dengan fair compensation yang dianut oleh negara-negara berkembang. Kedua konsep ini sangat bertolak belakang dengan konsep yang dianut oleh negara-negara barat negara- negara maju pengekspor modal seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, dimana pemberian ganti rugi harus memperhatikan prinsip prompt, adequate dan effective compensation 21 tepat waktu, cukup dan tetap sasaran. 20 Lee A. OConnor, The International Law of Expropriation of Foreign-Owned Property: The Compensation Requirement and the Role of the Taking State, Los Angeles: Loyola Marymount University and Loyola Law School, 1983, h. 362. 21 Yang dimaksud dengan adequate compensation adalah ganti rugi secara penuh yang dalam praktik jarang terjadi, sedangkan effective compensation adalah valuta yang dipergunakan untuk pembayaran ganti rugi yang umumnya mempergunakan valuta dari Negara yang mengajukan tuntutan, sedangkan prompt compensation adalah pembayaran ganti rugi yang dilakukan secara seketika dan sekaligus yang dalam praktik lebih banyak dilakukan secara mencicil. 49

BAB IV ANALISA YURIDIS KEMANDIRIAN EKONOMI DAN PERTIMBANGAN

HUKUM NASIONALISASI MODAL ASING

A. Nasionalisasi Dalam Pandangan Aliran Pragmatis Kontemporer

Dalam sejarah Indonesia pro-kontra modal asing mengalami pasang surut. Kebijakan anti modal asing dimulai dari perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat pada tahun 1958. Dalam sejarah Indonesia merdeka, Pemerintah pernah dua kali melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan undang- undang. Pertama, Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat dari Pendudukan Belanda. Perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi adalah perkebunan, yang setelah dinasionalisasi menjadi perusahaan negara sampai sekarang. Berkaitan dengan nasionalisasi, timbul gugatan Perusahaan tembakau Belanda di Bremen Jerman, ketika tembakau dari perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal dengan kasus tembakau Bremen. 1 Kedua, Pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika dan Inggris sebagai 1 Erman Rajagukguk “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing”, Disampaikan pada Diskusi Panel Kritik Atas Arah Kecenderungan Supremasi Hukum, Pasca 1998 Terkait Dengan Modal, diselenggarakan oleh ELSAM. HUMA, SAWIT WATCH, INFID, WALHI, AMAN, YLBHI, ICEL. Jakarta 5 -7 Agustus 2008. h. 3 pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh pemerintahan Sukarno dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo kolonialisme dan neo imperialisme. 2 Secara sederhana dari awal kemerdekaan pasca reformasi, ada dua arus pemikiran utama yang berkembang dan sangat mempengaruhi eksistensi investasi asing. Pertama, pemikiran Hatta dan Soekarno dan para ekonom lainnya seperti Syafruddin Prawinegara Gubernur BI 1953-1958 yang berpandangan pragmatis bahwa kapital dan modal asing masih diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini melahirkan berbagai bentuk kebijakan yang cukup menuai respon positif, dikarenakan serangan dan konfrontasi baik berbentuk nasionalisasi maupun ekspropriasi hanya perlu dilakukan kepada kapitalisme jahat yang dilakukan para imperialis yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kedua, pemikiran Tan Malaka, para ekonom dan politikus sepemahaman, serta kaum serikat buruh yang berpandangan lebih radikal kontemporer bahwa penyitaan Nasionalisasi ekspropriasi seluruh kekayaan dan aset-aset asing sajalah yang mampu membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan-hambatan kaum imperialis dan kolonialis. 3 2 Ibid. h. 3-4 3 Bodan kanumoyoso, Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 2-3