Nasionalisasi Dalam Pandangan Aliran Pragmatis Kontemporer

pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh pemerintahan Sukarno dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo kolonialisme dan neo imperialisme. 2 Secara sederhana dari awal kemerdekaan pasca reformasi, ada dua arus pemikiran utama yang berkembang dan sangat mempengaruhi eksistensi investasi asing. Pertama, pemikiran Hatta dan Soekarno dan para ekonom lainnya seperti Syafruddin Prawinegara Gubernur BI 1953-1958 yang berpandangan pragmatis bahwa kapital dan modal asing masih diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini melahirkan berbagai bentuk kebijakan yang cukup menuai respon positif, dikarenakan serangan dan konfrontasi baik berbentuk nasionalisasi maupun ekspropriasi hanya perlu dilakukan kepada kapitalisme jahat yang dilakukan para imperialis yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kedua, pemikiran Tan Malaka, para ekonom dan politikus sepemahaman, serta kaum serikat buruh yang berpandangan lebih radikal kontemporer bahwa penyitaan Nasionalisasi ekspropriasi seluruh kekayaan dan aset-aset asing sajalah yang mampu membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan-hambatan kaum imperialis dan kolonialis. 3 2 Ibid. h. 3-4 3 Bodan kanumoyoso, Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 2-3 Di tengah perbedaan pendapat ini pemerintah mengambil kebijakan untuk tetap melakukan nasionalisasi demi mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Nasionalisasi yang dilakukan tentunya harus memenuhi prinsip-prinsip hukum internasional dan menghormati hak milik asing dengan tidak membabi buta dalam hal nasionalisasi. Kebijakan ini juga diselaraskan dengan tindakan indonesianisasi yang lebih intensif dalam era Kabinet Ali Satroamidjojo 1953-1955, hal yang terpenting dari program indonesianisasi ini adalah dengan memberikan bantuan kepada pengusaha-pengusaha pribumi untuk mengambil bagian yang lebih besar dari kegiatan ekonomi, seperti perdagangan impor, perbankan, perkapalan, dan penggilingan beras, yang saat itu masih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi Belanda dan Tionghoa. 4 Meskipun demikian, para pemimpin nasional Indonesia tersebut memiliki kesamaan ideologi yang anti kapitalis, neo liberalis, neo imperialis dan neo kolonialis. Akan tetapi, pandangan pragmatis Hatta dan Sukarno menyadari bahwa modal asing harus tetap dapat ditarik ke Indonesia dan tentunya dikontrol untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan perindustrian yang modern. Untuk itu maka pada tahun 1953 pemerintah Indonesia menyusun suatu rancangan undang-undang penanaman modal asing yang telah disetujui parlemen pada tahun 1958 disertai berbagai amandemen. 5 4 Ibid, h. 41 5 Hill, Hal Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1990, h. 15 Seiring berkembangannya berbagai kebijakan hukum ekonomi terkait penanaman modal asing, arus pemikiran baik pragmatis dan radikal kontemporer kian aktif mengkritisi kebijakan hukum ekonomi terkait penanaman modal asing ini. Penulis mengamati catatan sejarah yang memicu ledakan amarah untuk lepas dari neo kolonialisme adalah pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan era otoritarianisme. Hal-hal ini terlihat ketika Ketergantungan pada asing yang rentan mencapai klimaknya ketika di Korea dan Malaysia terjadi krisis moneter. Posisi pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto mengalami banyak kesulitan mengatasi “krisis moneter” yang telah berubah menjadi “krisis multidimensional”. Presiden selaku kepala pemerintahan Indonesia dipaksa untuk menandatangani agenda kekuatan politik ekonomi internasional yang diwakili oleh IMF dan Bank Dunia. Kebijakan ini pun serontak menyebabkan meluasnya arus kapitalisme dan neo imperialisme sehingga beberapa oknum pengusaha berjiwa kerdil tidak ragu menggunakan cara yang licik dan kejam. Mereka tidak ragu mengorbankan kedaulatan rakyat, kedaulatan negara selama kepentingan diri dan kelompoknya tercapai. 6 Situasi ini pun diperparah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 Sebagai Peraturan Pelaksana Penanaman Modal Asing yang melahirkan 6 Hariyono, “Kedaulatan Indonesia dalam Perjalanan Sejarah Politik”. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang. Malang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang , Rabu, 14 Desember 2011, h. 34-35 kebijakan liberalistik, kapitalistik, neo kolonialistik, dan neo imperialistik. Diantaranya adalah: 1. Sektor-sektor usaha yang dapat dimasuki investasi asing semakin banyak. Meluasnya sektor usaha bagi penanaman modal asing akan menambah ruang gerak Penanaman modal asing. Sektor-sektor modal asing dapat sampai l00, antara lain perkebunan, perikanan usaha perikanan tangkap terpadu dan budi daya ikan, kehutanan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan pembenihan tanaman hutan, pertambangan usaha pengeboran minyak dan gas bumi, perhubungan pembangunan dan pengusahaan pelabuhan laut dan udara, pekerjaan umum pengolahan dan penyediaan air bersih untuk umum, kesehatan Pelayanan medis, meliputi pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit, medical check up, laboratorium klinik, pelayanan rehabilitasi, dan bidang usaha komunikasi peralatan jasa dan jaringan telekomunikasi. 2. Liberalisasi dalam pemilikan saham asing. Dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994, penanaman modal asing dapat menguasai sepenuhnya saham yang ada tanpa harus bermitra bisnis dengan pemodal Indonesia. Kesempatan ini, paling tidak sampai lima beias tahun pertama setelah berproduksi secara komersial. 7 Demikian halnya, apabila kita memperhatikan Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No. 1055KMK.0131989 yang membatasi kepemilikan asing di Pasar Modal hanya sampai 49. Peraturan ini dicabut berdasarkan Keputusan Menteri 7 Erman Rajagukguk “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing, h. 8-10 Keuangan No. 455KMK.011997. Tidak tunduknya asing pada ketentuan mengenai pembatasan bidang usaha yang tertutup danatau terbuka dengan pembatasan bagi penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman modal menyebabkan pihak asing dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dalam negeri. 8 Hal ini semakin mempertegas ketergantungan terhadap modal asing yang menyetir Bangsa Indonesia dalam naungan neo kolonialisme. Pada masa orde baru, nasionalisme kita baru saja terusik ketika aset dan saham perusahaan Indonesia diborong oleh orang atau perusahaan asing. Di era reformasi, banyak yang meneliti bahwa tren privatisasi BUMN sekarang direduksi menjadi “asingisasi”, penjualan saham BUMN kepada investorperusahaan asing. 9 Hal itupun seakan tak menghormati jerih payah Founding Fathers kita yang telah mendirikan perusahan milik negara sekarang BUMN sebagai wujud nasionalisme. Era reformasi yang banyak memberi kekebasan pada awalnya memberikan suatu harapan yang besar bagi masyarakat. Dibuai oleh wacana pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan deregulasi masyarakat dan pemerintah memberi kesempatan pada para pedagang lokal dan internasional bergerak bebas mencari keuntungan. Mereka yang menghalangi dianggap sebagai musuh peradaban. Negara yang tidak mendukung kebebasan pun dianggap 8 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal Modul Kuliah 2, Pasal 1 sd Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, h. 6 9 Dadang Supardan, Tantangan Nasionalisme Indonesia Dala Era Globalisasi, Bandung: Univesitas Pendidikan Indonesia,, h. 17 melanggar ”Washington Consensus”. 10 Konsekuensinya seiring berjalannya sejarah, kedaulatan diri, bangsa dan negara justru makin memprihatinkan. Kita terasa menjadi bangsa yang makin “lembek”. Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia makin bersifat masif. Pemikiran ekonom Indonesia yang dominan di era reformasi masih didominasi oleh pemikir penganut neoklasik. Usaha mencari pinjaman untuk menopang pembangunan sekaligus mengurangi peran negara makin berjalan cepat. reformasi usaha mencari pinjaman makin bersemangat. Proses penjualan aset negara makin gencar dan meriah dipasarkan. Usaha mengurangi peran negara juga makin meningkat. Pelbagai kebijakan sejak Presiden Habibie Golkar, Abdurahman Wahid PKB, Megawati Sukarnoputri PDI-P, hingga Susilo Bambang Yudoyono PD banyak yang memberi ruang keterlibatan swasta asing. Menguatnya kebijakan neoliberal di era reformasi yang sulit dikendalikan oleh Presiden menurut Kwik Kian Gie disebabkan oleh ”kecerdikan” ekonomi penganut ideologi neoliberal. Pada masa pemerintahan Abdurahman mereka masuk pada badan penasehat atau tim asistensi. Pada masa pemerintahan Megawati mereka mengendalikan eselon 1 dan II dari semua departemen secara rapi. 11 Sedangkan di akhir era SBY, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2014 Tentang 10 Washington Consensus pertama kali dimunculkan oleh Jhon Williamson pada tahun 1989 sebagai simbol dari liberalisasi perdagangan internasional. Istilah Washington merujuk kepada lembaga keuangan yang berada di Washington DC IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS. 11 Kwik Kian Gie, Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa. Dalam I. Wibowo F. Wahono. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003 h, 331 Daftar Negatif Investasi memperkaya kebijakan liberalistik di mana adanya peningkatan kepemilikian asing di sektor Sumber daya mineral, Perhubungan, Kesehatan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif. Dalam pembangkit listrik 10 MW dan transmisi distribusi tenaga listrik misalnya, kepemilikan modal asing adalah maksimal 100. Hal ini tentu semakin menyempitkan kesempatan pengusaha- pengusaha lokal untuk bersaing. 12 Kebijakan penanaman modal asing di Indonesia dewasa ini masih belum mencerminkan hukum dasar perekonomian nasional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 33 UUD RI Tahun 1945. Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 harus ditafsirkan secara jernih dengan memperhatikan aspek historis perumusannya untuk selanjutnya dipegang teguh sebagai hukum dasar penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia. Perubahan fundamental melalui nasionalisasi atau ekspropriasi terhadap perusahaan-perusahaan asing khususnya pengaturan cabang- cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus menjadi pertimbangan, guna mengembalikan tujuan kemakmuran rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam yang begitu berlimpah di tanah air tercinta ini.

B. Makna Kemandirian Ekonomi Dari Perspektif Hukum Ekonomi Pembangunan

Negara-negara yang sekarang ini disebut negara-negara maju Developed Countries telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat ; unifikasi, 12 Leks C0 Law Firm, Artikel “Pemerintah Menerbitkan Daftar Negatif Indonesia Terbaru” Artikel Diakses Pada 10022015 dari http:hukumpenanamanmodal.com. industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesaman nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk ekonomi dan modernisasi politik. Akhimya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan consecutive dan memakan waktu yang relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi. Indusirialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan Walfare State. 13 Negara-negara berkembang Developing Countries memiliki tujuan yang sama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi kadang kala timbul pebedaan pemahaman cara untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Pengaruh yang terbesar dirasakan oleh negara-negara berkembang yaitu ketika mereka dipaksa mengikuti dan mengadopsi segala sistem politik dan ekonomi hingga budaya melalui penjajahan kolonialisme untuk mencapai ketiga tingkatan tersebut. Sehingga ketika mereka ingin mencapai tingkatan industrialisasi pasca kesatuan nasionalisme kemerdekaan, hanya tersisa pilihan untuk tetap statis meneruskan sistem 13 Erman Rajagukguk “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”. Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 4 Januari 1997, h. 1