Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Internasional

pressing problem”, yang menyebabkan hingga masalah ini merupakan “question of very real moment” bahwa nasionalisasi adalah bagian “the growth of chauvinis following the rise of extreme nationalist movements, and the spread of communism in many countries formely under tutelage of the great powers”. 6 Dalam perkembangan Hukum ekonomi internasional istilah nasionalisasi, ekspropriasi dan konfiskasi sering dipertukarkan dan dianggap mempunyai makna serupa sebagai tindakan pengambilalihan “taking”, sebenarnya terdapat perbedaan di antara ketiganya. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk mengakhiri penanaman modal asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor ekonomi dalam negeri, sedangkan ekspropriasi mengacu pada pengambilalihan perusahaan tertentu demi kepentingan umum atau kepentingan ekonomi tertentu. Sementara itu konfiskasi adalah pengambilalihan hak milik yang dilakukan penguasa demi kepentingan pribadi. Konfiskasi biasa terjadi dinegara-negara yang dipimpin oleh diktator terhadap para pedagang-pedagang asing yang merambah antar mancanegara. Perlakuan konfiskasi ini selalu tidak diiringi dengan ganti rugi atau kompensasi diakibatkan pengambilalihannya secara paksa. Dengan demikian jelas Sornarajah berpendapat bahwa ketiga hal ini harus lah dibedakan dalam pendefenisian, pengaturan dan penerapannya. 7 6 Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, h. 1 7 M. Sornarajah, The International Law Of Foreign Invesment, Third edition, New York: Cambridge University Press, 2010, h. 364-367 Adriaanse sebagaimana telah dikutip oleh Sunarhayati memberikan perbedaan antara kofiskasi, eksproriasi dan nasionalisasi. Bahwa Confiscation merupakan “any gevernmental action by which private property is seized without compensation, no matter in what form or under what name.” Sedangkan expropriation adalah dipakai dalam arti expropriation for public utility against just compensation. Sedangkan dalam mengartikan nationalization, andriaanse sepaham dengan Gillian White bahwa “Nationalization is the term used to describe the process whereby property, and rights and interest in property are transfered from private public ownership by agents of the state acting on the authority of a legislative of executive measure. After transfer, the property remains in the ownership of, and is exploited by the state .” 8 Dalam Hukum Internasional, tindakan nasionalisasi dirasakan sebagai ancaman bagi setiap penanam modal asing yang sedang mengembangkan bisnisnya. Akan tetapi wujud nasionalisasi merupakan bukti kedaulatan suatu negara dalam pembangunan ekonomi dimana hal itu diakui dan dihormati oleh dunia internasional sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan bangsa. Akan tetapi dalam hal ini perlu diketahui pula, bahwa ada pandangan tradisional yang berpendapat bahwa seorang pemilik dengan cara dan alasan bagaimanapun juga tidak boleh dicabut hak miliknya karena hal ini merupakan suatu hak asasi, sehingga berdasarkan doktrin vested 8 Sunayati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung: Penerbit Binacipta, 1972, h. 174 right hak milik seseorang, baik warga negara maupun orang asing tidak dapat dinasionalisasi. 9 Begitu sakral hak milik seseorang sebagai hak asasi yang tidak dapat diambil oleh siapapun telah mengalami perubahan sejak ditinggalkannya politik laisez faire 10 dan digantikan dengan konsep negara kesejahteraan walfare state. Maka peranan pemerintah dalam menentukan dan menyelenggarakan kepentingan masayarakat sosial menjadi lebih besar. Akibatnya hak milik yang merupakan hak mutlak asasi baik warga negara maupun asing lambat laun dapat digugat jika hal itu melanggar ketertiban umum dan memiliki peran untuk melengkapi kepentingan sosial. Namun di era kekinian dari ketiga istilah pengambilalihan modal asing, hukum internasional hanya mengenal tindakan nasionalisasi dan ekspropriasi sebagai perbuatan yang legal jika dipenuhi beberapa persyaratan sesuai customary international law. Perserikatan Bangsa Bangsa PBB secara tegas mengakui sebuah kedaulatan ekonomi bangsa untuk melakukan tindakan nasionalisasi atau ekspropriasi sebagai hak negara tuan rumah penerima modal host country. Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara yang bersangkutan. United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource menyatakan bahwa: 9 Hilman Panjaitan dan Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, h. 207 10 laisez faire adalah adalah sebuah frasa bahasa Perancis yang berarti biarkan terjadi secara harfiah biarkan berbuat. istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Laissez-faire berarti bahwa mahzab pemikiran ekonomi neoklasik memegang pandangan pasar yang murni atau liberal secara ekonomi: bahwa pasar bebas sebaiknya dibiarkan pada seperti apa adanya. “Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interest, both domestic and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in accordance with the rules in force in the state taking such measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, the national jurisdiction of the state taking such measures shall be exhausted. However, upon agreement by sovereignty states and other parties concerned, settlement of the dispute should be made through arbitration or international adjudication”. 11 Demikian pula halnya dalam UNCTAD Series on issues in international investment agreements, dijelaskan bahwa pengambilalihan milik asing taking of foreign property telah diakui dalam dunia hukum internasional, dan dapat bersumber dari tindakan pengambilalihan oleh pemerintah terhadap aset asing di negara host country, dan pemilik perusahaan terhadap aset-asetnya di negara-negara penerima investasi dengan alasan penurunan nilai aset, signifikasi aset dan lain sebagainya. Pengambilalihan milik asing dapat berbentuk secara langsung direct taking such nationalization maupun tidak langsung indirect taking such creeping expropriation. 12 Hal ini lebih lanjut dijelaskan bahwa: “The taking of foreign property by a host country has constituted, at least in the past, one of the most important risks to foreign investment. The taking of property by Governments can result from legislative or administrative acts that 11 Lihat Paragraf 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource 12 Creeping expropriation adalah suatu kondisi dimana pengambilalihan tidak langsung dilaksanakan, kondisi di mana serangkaian tindakan langkah demi langkah yang merugikan investor karena menyebabkan operasi bisnis investor asing merugi. Dalam hal ini tindakan-tindakan ini harus dilakukan demi kepentingan umum, tidak diskriminatif dan disertai dengan jadwal divestasi yang dapat diterima serta diiringi dengan pemberian kompensasi. transfer title and physical possession. Takings can also result from official acts that effectuate the loss of management, use or control, or a significant depreciation in the value of assets. Generally speaking, the former can be classified as “direct takings” and the latter as “indirect takings”. Direct takings are associated with measures that have given rise to the classical category of takings under international law. They include the outright takings of all foreign property in all economic sectors, takings on an industry-specific basis, or takings that are firm-specific. Usually, outright takings in all economic sectors or on an industry-specific basis have been labeled “nationalizations”. Some particular types of such takings have been called “creeping expropriations”, while others may be termed “regulatory takings”. All such takings may be considered “indirect takings”.Firm specific takings on the other hand have often been called “expropriations”. Both nationalizations and expropriations involve the physical taking of property.” 13 Dengan demikian terlihat betul bagaimana para pakar hukum internasional dan kovensi-konvensi internasional membedakan pendefinisian antara konfiskasi, ekspropriasi, dan nasionalisasi. Sedangkan perihal nasionalisasi merupakan hak setiap negara yang berdaulat adalah mutlak adanya dan hal itu diakui oleh negara- negara yang beradab dan oleh hukum internasional. Begitu juga halnya dengan perbedaan pemahaman pemberian kompensasi atau ganti kerugian terhadap aset milik asing yang dinasionalisasikan, sekiranya telah menjadi syarat yang harus dipersiapkan oleh negara host country untuk menghormati keberadaan prinsip- prinsip negara yang beradab dan berkeadilan. 13 Lihat UNCTAD Series on issues in international investment agreements “Taking Property”, New York and Geneva: United Nation publication, 2000, h. 3-4

C. Pemberian Ganti Rugi Kompensasi Terhadap Milik Asing Sebagai

Konsekuensi Nasionalisasi Dalam sejarah perkembangan hukum nasional Indonesia, istilah kompensasi atau pemberian ganti rugi sebagai akibat tindakan nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Tepatnya Pasal 2 undang-undang ini menyatakan bahwa, Kepada pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dalam pasal 1 yakni perusahaan-perusahaan yang dilakukan nasionalisasi diberi ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitia yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah. Selanjutnya dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 Tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda menyatakan bahwa, Panitia Penetapan Ganti Kerugian seperti tersebut dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 sekurang-kurangnya terdiri dari : a. Wakil Kementerian Kehakiman sebagai anggota merangkap Ketua; b. Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota merangkap Wakil Ketua c.Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota. Panitia penetapan ganti kerugian di atas memiliki tugas kewajiban yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Rumusan Peraturan Pemerintah ini memerintahkan Panitia Penetapan Ganti Kerugian untuk bertugas mengadakan pemeriksaan seperlunya tentang keadaan perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dan menetapkan besarnya ganti kerugian yang dapat diberikan. Pemilik perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dapat melaporkan besaran ganti kerugian kepada Panitia Penetapan Ganti Kerugian dengan membawa berkas-berkas dan bukti-bukti sah atas kepemilikan perusahaan beserta asetnya. 14 PP ini memiliki perbedaan dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam hal siapa yang berwenang dalam menentukan besaran ganti kerugian. Pasal 7 ayat 2 undang-undang ini tidak secara spesifik menentukan besaran kompensasi serta pihak siapa yang menjadi panitia penetapan ganti kerugian. Undang-undang ini menyatakan dalam hal terjadinya nasionalisasi pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dalam penjelasannya, harga pasar yang dimaksud adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh panitia independen yang ditunjuk oleh para pihak. Jadi secara tidak langsung, yang akan menentukan besaran ganti kerugian adalah pihak ketiga berdasarkan formula yang mereka tetapkan sendiri. 15 Terdapat hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang belum dimiliki oleh peraturan-peraturan 14 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Bandingkan dengan perihal pemberian ganti rugi dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 15 Lihat Pasal 7 Ayat 1,2,3 Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Selanjutnya d alam Penjelasan Ayat 2, yang dimaksud dengan “Harga Pasar” adalah Harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak.