Kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Graetstar Perdana

2. Kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Graetstar Perdana

Indonesia 166 PT Indosurya Mega Finance PT IMF mengajukan permohonan pailit terhadap PT Greatstar Perdana Indonesia PT GPI, karena PT GPI belum membayar utangnya yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan perjanjian fasilitas anjak piutang sehubungan dengan penerbitan surat sanggup PT IMF adalah pemegang surat sanggup tertanggal 6 Februari 1998 dengan jumlah pokok Rp 2.000.000.000,- dua miliar rupiah yang diterbitkan oleh PT GPI dengan ketentuan jatuh tempo surat sanggup pada tanggal 6 Mei 1998, dengan demikian PT IMF berhak atas pembayaran surat sanggup tersebut. Akan tetapi sejak saat surat sanggup jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu pada tanggal 6 Mei 1998 sampai dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit ini ternyata PT GPI tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran atas surat sanggup tersebut kepada PT IMF. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut, maka PT IMF telah mengalami kerugian atas utang pokok berdasarkan surat sanggup sebesar Rp 2.000.000.000,- dua miliar rupiah dan hilangnya keuntungan yang selayaknya diterima dan dinikmati dari hasil pembayaran surat sanggup terhitung sejak tanggal jatuh temponya sampai dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit ini. PT GPI mempunyai kreditur lain yakni Bank Mandiri. 166 Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51pailit2000PN.NiagaJkt.Pst., tanggal 16 Agustus 2000 memutuskan mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan bahwa PT. Greatstar pailit. Atas putusan pengadilan niaga tersebut kemudian diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 30 KN2000 tanggal 12 September 2000 memutuskan menyatakan menerima kasasi dari PT. Greatstar sehingga membatalkan putusan pengadilan niaga serta menyatakan permohonan pailit terhadap PT. Greatstar ditolak. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 Namun PT GPI menolak keabsahan dari surat promes yang dijadikan dasar tagihan utang, karena surat itu tidak dibuat sebagaimana mestinya dan tidak ada persetujuan dari Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar PT GPI. Akhirnya, PT IMF mengajukan permohonan pailit terhadap PT GPI di Pengadilan Niaga. Atas permohonan pailit terhadap PT Greatstar Perdana Indonesia ini, majelis hakim Pengadilan Niaga dalam putusannya Nomor 51pailit2000PN.NiagaJkt.Pst tanggal 16 Agustus 2000 memutuskan mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan bahwa PT Greatstar pailit. Adapun pertimbangan hukum Majelis hakim niaga adalah bahwa anggaran dasar dari PT Greatstar Perdana Indonesia, dimana menurut ketentuan Pasal 15 Ayat 2 dan 4 dari anggaran dasar tersebut, memang benar Direksi harus mendapat persetujuan tertulis dari Komisaris dan kalau tidak, maka tindakan Direksi tidak sah terhadap Perseroan. Namun demikian, alasan tersebut tidak dapat diterima menurut hukum, karena pada prinsipnya anggaran dasar ataupun anggaran rumah tangga suatu persekutuan hanya mengikat dan berlaku internke dalam persekutuan tersebut dan tidak dapat mengikat dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga. Memang kadang kala untuk hal-hal tertentu perbuatan Direksi dibatasi oleh anggaran dasar suatu Perseroan, yang pada umumnya Direksi tidak boleh berbuat sendiri jika tidak bersama-sama dengan Komisaris atau setidaknya terlebih dahulu mendapat persetujuan Komisaris, biasanya dikatakan bahwa Direksi telah melampaui batas wewenangnya sehingga perbuatannya tidak sah terhadap Perseroan. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 Atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, PT Greatstar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis hakim kasasi dalam putusannya Nomor 30 KN2000 tanggal 12 September 2000 memutuskan menyatakan menerima kasasi dari PT Greatstar sehingga membatalkan putusan Pengadilan Niaga serta menyatakan permohonan pailit terhadap PT Greatstar ditolak. Pertimbangan hukum dari majelis kasasi adalah bahwa oleh karena dalam surat sanggup tanggal 6 Februari 1998 yang ditandatangani oleh Budi Handoko, Direktur PT Greatsta Perdana Indonesia, tanpa adanya persetujuan tertulis dari seorang Komisaris maka surat sanggup tersebut tidak mengikat termohon PT Greatstar Perdana Indonesia, melainkan hanya mengikat Budi Handoko pribadi dan karenanya permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon terhadap termohon harus ditolak.

3. Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. Melawan PT Dok Perkapalan