Kerangka Teoritis dan Konsepsi 1.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah : a. Bagaimanakah kedudukan dan peran Direksi BUMN dalam pengurusan BUMN? b. Bagaimanakah pertanggung jawaban Direksi BUMN dalam pengurusan dan pengelolaan BUMN? c. Apakah pengaturan internal BUMN yang dibuat oleh Direksi dapat dianggap sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku atau merupakan bagian dari hukum administrasi negara? Dilihat dari permasalahan masing-masing penelitian diatas, terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, karena penelilitian ini akan lebih menekankan kepada tanggung jawab Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit. Kemudian dapat ditambahkan bahwa, belum ada tesis yang membahas tentang tanggung jawab Direksi Perseroan yang mengalami pailit dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan asli, baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi 1.

Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data. 27 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. 28 Teori hukum mengatakan jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah orang secara fisik physical person, dan apabila pemegang hak dan kewajiban itu entitas lain, berarti yang dibicarakan teori tradisional itu adalah badan hukum juristic person. 29 Beberapa teori pertanggungjawaban badan hukum yang mampu menjawab permasalahan ini antara lain adalah : 1. Teori Perumpamaan Fictie Theory 30 Teori ini menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang kongkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberikan hak- hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa wilsmacht. Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986, hal. 122. 28 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006, hal. 6. 29 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Barkely : Universitas California Press, 1978, terjemahan oleh Raisal Muttaqien, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung : Nusameia Nuansa, 2006, hal. 194. 30 Teori ini di pelipori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny, tokoh utama aliranmazhab sejarah pada permulaan abad ke-19. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Dengan kata lain sebenarnya menurut alam hanya manusia selaku subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak nyata tersebut tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. 31 2. Teori Peralatan Organ Theory 32 Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis diatas kertas. Apa yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum itu. Dengan demikian menurut teori organ badan hukum bukanlah suatu yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah sesuatu yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang nyata, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan fungsinya manusia. 31 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung : PT. Alumni, 1991, hal.31. 32 Sebagai reaksi terhadap teori fiksi maka muncullah teori organ Organ Theory. Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 Jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia. Oleh karena itu dapat disimpukan bahwa tiap-tiap perkumpulan atau perhimpunan adalah badan hukum. 33 3. Teori Pemilikan Bersama Theory Propriete Cellective 34 Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupaka harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Bahwasannya orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi, yang dinamakan badan hukum. 35 Ketiga teori ini tidak terlepas dari teori hukum tentang hak dan kewajiban yang sering dikaitkan dengan suatu pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini anggota Direksi berkewajiban melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Memenuhi kepentingan itu merupakan kewajiban, sedangkan melalaikannya adalah kesalahan. Namun walaupun begitu, apakah teori hukum seperti itu dapat diterapkan kepada Direksi yang dalam hubungan hukum hanya merupakan organ dari suatu Perseroan? Persoalan ini akan lebih tajam dibahas ketika diajukan pertanyaan siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan pengelolaan Perseroan yang 33 Chidir Ali, Badan Hukum, op. cit., hal. 32. 34 Teori ini dikemukakan oleh Marcel Planiol. 35 Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung : Alumi, 1986, hal.11. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 dilakukan Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit. Jawaban atas persoalan tersebut dapat ditinjau dari teori-teori dibawah ini, diantaranya : Teori fiduciary duty, teori ini di Indonesia masih relatif baru berkembang sehingga masih diperlukan pengembangan dan aplikasi yang tepat dalam sistem hukum Indonesia. Prinsip Direksi sebagai pemegang amanah karena sumber kewenangan Direksi berasal dari trust atau fiducia, tetapi amanah yang diemban Direksi Perseroan adalah amanah Perseroan dan bukan amanah dari pemegang saham yang hendak menciptakan Direksi boneka. Pemikiran ini berakibat perlunya kualifikasi tertentu dari Direksi, baik syarat menjadi Direksi dan atau prosedur pemilihannya. Dalam opini demikian maka Direksi seakan-akan mirip dengan profesional. 36 Undang-Undang Perseroan Terbatas mensyaratkan bahwa anggota Direksi haruslah orang perseorangan. Ini berarti dalam sistim hukum Perseroan Indonesia tidak dikenal adanya pengurusan Perseroan oleh badan hukum Perseroan lainnya maupun oleh badan usaha lain, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Selanjutnya orang perorangan tersebut adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum, tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maupun yang menjadi anggota Direksi atau Dewan Koisaris Perseroan lain yang pernah dinyatakan bersalah menyebabkan kepailitan Perseroan tersebut, dan belum pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara 36 Try Widiyono, op. cit., hal. 40. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 dalam jangka waktu 5 lima tahun terhitung sejak tanggal pengangkatannya. Setiap anggota Direksi yang bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dalam melakukan kepengurusan Perseroan untuk kepentingan dan usaha Perseroan akan bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk seluruh harta kekayaannya. 37 Dalam menjalankan tugasnya mengurus Perseroan, Direksi tidak boleh menerima manfaat terhadap dirinya sendiri. Ini berarti bahwa kepentingan Perseroan harus didahulukan. Tanggung jawab mengurus Perseroan yang di bebankan kepada Direksi tidak mungkin dapat dijalankan oleh Direksi sendiri. Dalam banyak hal seluruh pekerjaan Direksi dilimpahkan kepada keryawannya atas dasar kuasa dari Direksi. Berarti tidak mungkin ada karyawan tanpa adanya Direksi dan tidak mungkin Direksi dapat menjalankan tugasnya tanpa ada karyawan. Oleh karena itu antara Direksi dan karyawan mempunyai hubungan fiducia, yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. 38 Dalam teori tentang Perseroan Terbatas mengenai kewajiban Direksi Perseroan, dianut pendapat bahwa Direksi Perseroan memiliki 2 dua macam kewajiban, yaitu kewajiban berdasarkan statutory duties dan kewajiban berdasarkan fiduciary duty. 39 Kewajiban Direksi Perseroan berdasarkan statutory duties adalah suatu kewajiban dari Direksi yang secara tegas dinyatakan dalam perundang-undangan dan 37 Ahmad Yani Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 98. 38 Try Widiyono, op. cit., hal. 40. 39 Denis Keenan Josephine Bisacre, Smith Keenan’s Company Law For Studens, Financial Times : Pitman Publishing, 1999, hal. 317. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 anggaran dasar Perseroan. Sedangkan kewajiban Direksi Perseroan berdasarkan fiduciary duty adalah, suatu kepecayaan yang diberikan dari pihak Perseroan kepada Direksi untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan loyalitas yang tinggi. 40 Phillip Lipton dan Abraham Herzberg membagi fiduciary duty kedalam : a. Duty to Act Bona Fide in the interes of the Company Kewajiban Direksi untuk melakukan kepengurusan Perseroan hanya untuk kepentingan Perseroan semata-mata. Untuk menentukan sampai seberapa jauh suatu tindakan yang diambil oleh Direksi Perseroan telah dilakukan untuk kepentingan Perseroan, maka hal tersebut harus dipulangkan kembali Kepada Direksi Perseroan. Direksi Perseroan harus mengetahui dan memiliki penilaian sendiri tentang tindakan yang menurut pertimbangannya adalah sesuatu yang harus atau tidak dilakukan untuk kepentingan Perseroan. 41 b. Duty to Exercise Power for Proper Purposes Kewajiban Direksi untuk mengelola harta kekayaan Perseroan, karena Direksi sebagai organ dalam Perseroan yang diberikan hak dan wewenang untuk bertindak, untuk dan atas nama Perseroan serta bagi kepentingan Perseroan. Hal ini membawa konsekwensi bahwa jalannya Perseroan, temasuk pengelolaan harta kekayaan Perseroan bergantung sepenuhnya pada Direksi Perseroan. Sebagai orang kepercayaan Perseroan, yang di angkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham untuk 40 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, op. cit., hal. 52. 41 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. op. cit., hal. 50. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 kepentingan para pemegang saham secara keseluruhan, Direksi diharapkan dapat bertindak adil dalam memberikan manfaat yang optimum bagi pemegang saham. 42 c. Duty to retain discretion Direksi, dalam Undang-undang dan anggaran dasar dan kadang kala melalui Rapat Umum Peegang Saham telah diberikan kewenangan Fiduciary untuk bertindak seluas-luasnya, namun demikian hal tersebut haruslah dilakukan dan diselenggarakan untuk kepentingan Perseroan, dan oleh karena itu maka tidak selayaknya jika Direksi kemudian melakukan pembatasan diri, atau membuat suatu perjanjian yang akan mengekang kebebasan mereka untuk bertindak untuk tujuan dan kepentingan perseroan. Pada saat perjanjian yang mengikat tersebut dibuat dan ditandatangani, Direksi sudah harus memiliki pandangan, sikap, dan kepastian bahwa tindakan yang dilakukan tersebut hanya memberikan manfaat bagi kepentingan Perseroan semata- mata. 43 d. Duty to avoid conflict of Interest Kewajiban Direksi untuk menghindari diadakan, dibuat, atau ditandatanganinya perjanjian, atau dilakukannya perbuatan yang menempatkan Direksi tersebut pada suatu keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk bertindak secara wajar demi tujuan dan kepentingan Perseroan. Kewajiban ini bertujuan untuk mencegah Direksi secara tidak layak memperoleh keuntungan dari Perseroan, yang mengangkat dirinya menjadi Direksi. Lebih jauh lagi kewajiban ini 42 Ibid. 43 Ibid. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 sebenarnya melarang dengan mencegah Direksi bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, pada saat yang bersamaan mereka harus bertindak mewakili untuk dan atas nama Perseroan. Sesungguhnya kewajiban tersebut bukan untuk melakukan penghukuman atas terjadinya suatu tindakan yang mengandung unsur benturan kepentingan, melainkan merupakan suatu bentuk pencegahan sebelum suatu tindakan, perbuatan atau keputusan tersebut dilaksanakan. 44 e. Duties of Care and Duties of Diligence Direksi sebagai organ kepercayaan Perseroan diharapkan dapat menjalankan hingga memberikan keuntungan bagi Perseroan. Direksi diberikan fleksibilitas dalam bertindak untuk melaksanakan fungsi kegiatan manajemen, dengan mengambil risiko dan peluang dimasa depan. Ini berarti Direksi tidak hanya semata-mata mengambil keputusan bagi jalannya usaha untuk kepentingan Perseroan yang sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, namun demikian Direksi juga berkewajiban untuk melakukan pengawasan atas seluruh jalannya Perseroan dengan baik. 45 Secara historis, pada prinsipnya teori fiduciary duty dalam ilmu hukum perusahaan dibebankan kapada Direksi. Karna itu banyak argumentasi, pengaturan dan yurisprudensi yang telah dibuat untuk tanggung jawab Direksi dalam hubungan dengan pelaksanaan tugas fiduciary berdasarkan hubungan fiduciary antara Direksi dengan Perseroan ini. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, prinsip fiduciary duty oleh Direksi ini sampai batas-batas tertentu dikembangkan dan 44 Ibid. 45 Ibid. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 diterapkan pula terhadap beberapa pihak lain dalam Perseroan, yaitu pihak pemegang saham dan pekerja di perusahaan tersebut. Dengan demikian, yang harus diperhatikan dari seorang Direksi bukan hanya perusahaan yang dipimpinnya, melainkan juga kepentingan pemegang saham dan kepentingan pekerja di perusahaan tersebut. 46 Dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan, Direksi harus bertindak secara hati-hati, patut atau sebaik-baiknya sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar. Seandainya dalam pengurusan dan perwakilan Perseroan tersebut Direksi melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar batas kewenangan atau sesuatu ketentuan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar, kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi oleh pihak ketiga, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk seluruhnya. Perseroan tidak bertanggung jawab atas perbuatan Direksi yang melampaui wewenang yang diberikan anggaran dasar kepadanya. Kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggung jawab Perseroan, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi dari Direksi seluruhnya. Sebaliknya, Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat membuktikan bahwa Direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenang yang diberikan anggaran dasar. Dalam keadaan demkian, Perseroanlah yang memikul tanggung jawab atas segala akibat hukum dari perikatan Perseroan yang dilakukannya dengan 46 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, op. cit., hal. 65. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 pihak ketiga dan Direksi terbebas dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan dengan Perseroan. 47 Sebagai konsekuensi dari pemberlakuan teori fiduciary duty ini, maka lahirlah teori business judgment rule, teori ini berasal dari Amerika. Bertujuan mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan Perseroan. 48 Aturan business judgment rule didasarkan pada konsepsi bahwa Direksi lebih tahu dari siapapun juga mengenai keadaan perusahaannya dan karenanya landasan dari setiap keputusan yang diambil olehnya. Untuk itu maka Direksi selama dan sepanjang dalam mengambil keputusan, Direksi tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang memberikan manfaat pribadi atau tidak mempunyai kepentingan pribadi dan telah melaksanakan prinsip kehati-hatian dengan itikad baik. 49 Doktrin business judgment rule ini berkaitan erat dengan doktrin fiduciary duty. Guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh Perseoan kepada Direksi, berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagai mana maksud dan tujuan Perseroan, Direksi tentu dihadapkan 47 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung : PT. Alumni, 2004, hal. 179. 48 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, op. cit., hal. 37. 49 Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 67. Bustanul Arifin : Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit, 2009 kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada diluar kemampuan maksimal Direksi. Oleh Karena itu, guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi oleh doctrine business judgment rule. 50 Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang Direksi bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahaya, karena kekeliruan adalah kelengkapan manusia. Jadi, sudah sepantasnya seorang Direksi Perseroan tidak di generalisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doctrine business judgment rule memberikan perlindungan kepada Direksi Perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi. 51

2. Kerangka Konsepsi