Pandangan Para Pemikir Islam Kontemporer Mengenai Pendidikan Islam

2. Pandangan Para Pemikir Islam Kontemporer Mengenai Pendidikan Islam

a. Muhammad Abduh (Modernisasi pendidikan)

Membincangkan modernisasi Islam tidak bisa melupakan jasa besar Muhammad Abduh. Ulama dan pemikir progresif asal Mesir ini telah menginspirasi hampir sebagian besar dunia Islam, tak terkecuali Indonesia, untuk melakukan reformasi total keagamaan.

Gagasan pembaruan Islam sesungguhnya muncul pada akhir abad

18 dan awal abad 19 Masehi. Dari sekian para pembaru, Muhammad Abduh (1849-1905) adalah tokoh yang monumental dan paling bersemangat melakukan pembaruan bagi dunia Islam. Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharuan dalam Islam patut dikenang dan diteladani, karena ia telah banyak berjuang untuk merobah kebiasaan

masyarakat yang sebelum bersikap statis menjadi dinamis. 57

Pemikiran Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam di awal abad 20. Pemikiran Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di majalah al-Manar dan al-’Urwat al-Wusqa menjadi rujukan para tokoh pembaharu dalam dunia Islam, hingga di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-

sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Abduh 58 . Perhatian Abduh untuk memperbarui pendidikan dan untuk

mencari apa yang bermanfaat dari Barat, juga diperkuat keinginannya

57 Ibid., hlm 250 58 Jalaluddin, Op.Cit., hlm 157 57 Ibid., hlm 250 58 Jalaluddin, Op.Cit., hlm 157

bagi masuknya musuh. 59 Muhammad Abduh menyadari bahwa kemajuan Barat harus

dilakukan secara selektif, karena pendidikan tidak memindahkan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga membentuk moralitas suatu bangsa. Pemikiran pendidikan Muhammad Abduh nampak jelas dalam kurikulum yang dirancangnya yang diharapkan dapat diterapkan di sekolah-sekolah umum, kejuruan dan pendidikan agama. Adapun tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh Muhammad Abduh ditekankan kepada pendidikan akal, yang dianggap sama pentingnya dengan pendidikan agama. Ia mengakui kemajuan Barat dan umat Islam harus mempelajari sebab-sebab yang membawa bangasa Barat maju baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam bidang peradaban.

Pemikiran pendidikan Muhammad Abduh tampaknya dilatar belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Krisis yang menimpa umat Islam saat itu bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tetapi juga bidang akhlak dan moral.

Dari situlah melahirkan pemikiran Abduh dalam bidang pemikiran pendidikan formal dan non formal. Ia bertolak dari tujuan pendidikan

59 Suwito,dkk, Op.Cit, hlm 88 59 Suwito,dkk, Op.Cit, hlm 88

mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat.” 60 Maksud dari rumusan tujuan pendidikan tersebut adalah bahwa ia

menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Pendidikan akal ditujukannya sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dengan yang membawa kemelaratan diri. Sedangkan pendidikan spiritual ditujukannya, karena ia tidak hanya mengharapkan lahirnya generasi yang mampu berpikir, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih, juga membentuk moral yang tinggi.

Muhammad Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari Barat, termasuk di sekolah formal. Pendidikan akal dapat dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap fenomena-fenomena alam, sebagaimana yang banyak diungkapkan dalam ayat-ayat Al Quran. Ia berpandangan bahwa Allah menurunkan dua buah kitab, yakni kitab yang diciptakan berupa alam semesta dan kitab yang diwahyukan berupa Al Quran.

60 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbadingan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm 156

Adapun rincian kurikulum yang dirumuskan oleh Muhammad Abduh pada dasarnya disesuaikan dengan tingkat jenjang pendidikan, yaitu tingkat sekolah dasar, tingkat menengah dan pendidikan tingkat atas. Dalam hal ini Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu Barat ke dalam kurikulum yang direncanakannya. Menurutnya, ilmu-ilmu tersebut, seperti ilmu pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu dalam kurikulum yang telah dirumuskan. Kurikulum yang dikehendakinya dari pemberian pelajaran adalah penanaman pengertian, contoh teladan, dan semangat. Abduh berusaha mencoba menghilangkan dualisme dalam pendidikan yang ada pada saat itu dengan kurikulum yang dirumuskan.

Pada aspek metode pengajaran abduh mengenalkan metode baru dalam pendidikan dan pengajaran pada saat itu, yaitu menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada

murid. 61 Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor dan mencakup pendidikan universal bagi semua anak

baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya semua masyarakat harus mempunyai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Di samping itu juga harus mendapat pendidikan agama. Materi dan lama pendidikan harus beragam, sesuai dengan profesi dan keahlian yang

dikehendaki oleh pelajar. 62

61 Ibid., hlm 160 62 Abdul Kholiq, Op.Cit., hlm195 61 Ibid., hlm 160 62 Abdul Kholiq, Op.Cit., hlm195

Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889–26 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata,

Yogyakarta. 63 Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah "Seandainya

Aku Seorang Belanda" (judul asli: Als ik eens Nederlander was ), dimuat dalam surat kabar de Expres milik Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel ini ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Kutipan tulisan tersebut antara lain:

"Sekiranya

aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan dinegeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan

63 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja GRafindo Persada, 2005), hlm 128.

kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia

sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun". 64

Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang berciri khas kebangsaan. Maksud dari konsep tersebut adalah menanamkan nilai-nilai kebangsaan dalam praktik pendidikan nasional. Tujuannya agar setiap penduduk memiliki semangat kebangsaan untuk membela negara dengan jiwa patriotisme yang tinggi untuk mencapai kemerdekaan.

Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara berasaskan pada kodrat alam, dan kemerdekaan. Dijelaskan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan yang mempunyai kekuatan kodrati untuk berkembang, serta meyakini bahwa manusia dapat tumbuh serta memelihara dan mengembangkan hidupnya sendiri dengan memanfaatkan kreatifitas yang dipunyai. Tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah untuk mengembangkan manusia agar menjadi pribadi yang kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan zaman, dan dengan sumber daya yang dimilikinya dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk kebaikannya, serta menciptakan keadilan,

kemajuan, dan keteraturan dunia 65 , atau tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara selain itu adalah memanusiakan manusia muda. Oleh

karena itu, pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang

64 Filsafat Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) , (http://aadany- khan.blogspot.com/2008/06/filsafat-pendidikan-islam-menurut-kh.html, diakses 28 Februari 2009)

65 (http://en.netlog.com/nuyawa/blog, di akses 15 Maret 2009) 65 (http://en.netlog.com/nuyawa/blog, di akses 15 Maret 2009)

Menurutnya, dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang dan menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif), singkatnya, “ educate the head, the heart, and the hand ” .

Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,

Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam ( natural law ), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan.

Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya

memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among, yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh ( care and dedication based on love ). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan mampu menghargai dan

menghormati kemanusiaan setiap orang. 66

c. Hasan Langgulung (Pengembangan sumber daya manusia)

Hasan Langgulung adalah seorang Ilmuwan Indonesia yang menekuni dunia pendidikan dan psikologi. Beliau lahir pada tanggal 16 Oktober 1934 di Rappang, sebuah bandar kecil di Sulawesi Selatan. Banyak sekali karya beliau yang telah diterbitkan oleh para penerbit,

baik berupa buku, artikel-artikel di majalah. Salah satu di antaranya 67 adalah :

66 Dadan Wahidin, 2008, Pemikiran Ki Hahar Dewantara tentang Pendidikan (http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/11/08/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-

pendidikan/, diakses 15 Maret 2009) 67 Abdul khaliq, Op.Cit., hlm 35-36

1. Falsafah Pendidikan Islam , Bulan Bintang, Jakarta, 1979.

2. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, al-Ma’arif, Bandung, 1980.

3. Beberapa Tinjauan tentang Pendidikan Islam , Pustaka Antara, Kuala Lumpur, 1981.

4. Pengenalan Tamaddun Islam dalam Pendidikan , Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1986.

5. Pendidikan Menjelang Abad ke 21 , UKM Bangi, 1986. Membahas tentang pendidikan Islam tidak akan lepas dari

pengertian pendidikan secara umum, sehingga akan diperoleh batasan- batasan pengertian pendidikan secara jelas. Menurut Hasan Langgulung bahwa pengertian pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut pandangan masyarakat dan dari sudut pandangan individu.

Masyarakat memandang pendidikan sebagai warisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya, baik yang bersifat intelektual keterampilan, keahlian dan generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Sedangkan dari segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan Masyarakat memandang pendidikan sebagai warisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya, baik yang bersifat intelektual keterampilan, keahlian dan generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Sedangkan dari segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan

Setiap usaha pendidikan sangat memerlukan dasar sebagai landasan berpijak dalam penentuan materi, interaksi, inovasi dan cita- citanya. Dasar-dasar pendidikan yang dimaksud adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa-bangsa di mana pendidikan itu berlangsung. Berkaitan dengan pendidikan Islam, maka pandangan hidup yang mendasari seluruh pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang Islami yang merupakan nilai luhur yang bersifat transenden, eternal, dan universal.

Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi

manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. 69

Menurutnya, ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam, yaitu Al Quran dan Sunnah sebagai sumber asal atau sumber nilai Islam yang paling utama, kemudian qiyas artinya membandingkan masalah yang disebutkan oleh Al Quran atau Sunnah dengan masalah yang dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam Al Quran tidak ada, kemudian yang tidak bertentangan dengan nash . Sedangkan sumber nilai Islam yang kelima adalah ijma’ ulama dan ahli fakir Islam yang sesuai dengan sumber dasar al Quran dan Sunnah Nabi Saw. Di dalam

68 Abdul Kholiq, dkk, Op.Cit., hlm 36-37 69 Imam Mawardi, 2008. Ilmu Pendidikan Islam

(http://mawardiumm.wordpress.com/2008/02/27/ilmu-pendidikan-islam/, diakses 15 Maret 2009 (http://mawardiumm.wordpress.com/2008/02/27/ilmu-pendidikan-islam/, diakses 15 Maret 2009

manusia, dan 70 rahmatan lil ‘alamin .

Berbicara tentang tujuan pendidikan, ia mengemukakan bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari pembahasan tentang tujuan hidup manusia, sebab pendidikan hanya lah alat yang digunakan oleh manusia untuk manusia memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk Allah. Sebagaimana kata Hasan Langgulung : “ Segala usaha untuk menjadikan manusia untuk menjadi ‘abid (penyembah Allah), inilah tujuan tertinggi pendidikan Islam” . Hal ini sejalan dengan firman Allah QS. Adz Dzariyat ayat 56:

ÇÎÏÈ Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 žwÎ) }§RM}$#ur £`Ågø:$# àMø)n=yz $tBur

Artinya : ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku . (QS. Adz Dzariyat :56)

Titik fokus pendidikan Islam tidak terbatas pada kemampuan beribadah, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian semua ilmu yang dikembangkan para ahli pikir Islam adalah

70 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Op.Cit, hlm 94 70 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Op.Cit, hlm 94

(#qßs|¡øù$$sù ħÎ=»yfyJø9$# † Îû (#qßs¡¡xÿs? öNä3s9 Ÿ@ŠÏ% #sŒÎ) (#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ öNä3ZÏB (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# ª!$# Æìsùö•tƒ (#râ“à±S$$sù (#râ“à±S$# Ÿ@ŠÏ% #sŒÎ)ur ( öNä3s9 ª!$# Ëx|¡øÿtƒ ÇÊÊÈ ×Ž•Î7yz tbqè=yJ÷ès? $yJÎ/ ª!$#ur 4 ;M»y_u‘yŠ zOù=Ïèø9$# (#qè?ré& tûïÏ%©!$#ur

Artinya : “ Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang- orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan .

Ia menyorot pendidikan sebagai hal yang bukan hanya sekedar pengetahuan, ada aspek lain. Dan mungkin aspek lain ini lebih penting dari pada pengetahuan. Aspek afektif dan aspek tingkah laku ( behaviour ) misalnya. Kita beranggapan bahwa orang yang tahu itu selalu mengamalkan perbuatannya. Di sinilah rupanya dugaan kita meleset. Hal yang terjadi adalah siswa belajar agama hanyalah untuk Ia menyorot pendidikan sebagai hal yang bukan hanya sekedar pengetahuan, ada aspek lain. Dan mungkin aspek lain ini lebih penting dari pada pengetahuan. Aspek afektif dan aspek tingkah laku ( behaviour ) misalnya. Kita beranggapan bahwa orang yang tahu itu selalu mengamalkan perbuatannya. Di sinilah rupanya dugaan kita meleset. Hal yang terjadi adalah siswa belajar agama hanyalah untuk

Dari banyak tulisannya, Hasan Langgulung menawarkan beberapa konsep untuk pendidikan perbaikan moral, di antaranya :

1. Dalam pendidikan harus ada seorang figure atau yang dapt ditiru dalam moral.

2. Pengajaran moral ini dimasukkan ke dalam rangkaian bahan pembelajaran yang akan diajarkan.

d. Naquib al-Attas ( Pendidikan adab/ta’dib )

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir di Bogor Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Hussein Al- Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Universitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Adapun karya-karya al Attas yang mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam upaya Islamisasi ilmu

maupun konsep-konsep yang melatarbelakanginya 71 , antara lain :

1. Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality , ABIM, Kuala Lumpur, 1976.

2. Preleminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, PMIM, Kuala Lumpur, 1977.

71 Abdul Khaliq, Op.Cit., Hlm 273-274

3. Islam and Secularism , ABIM, Kuala Lumpur, 1978.

4. Islam, Secularism, and Philosophy of the Nature , 1985

5. Dilema Kaum Muslimin , Surabaya.

6. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education , Kuala Lumpur.

7. Islam and the Philosophy of Science , di-Indonesiakan dengan judul Islam dan Filsafat Sains , Bandung. Selain yang tersebut, masih banyak tulisan-tulisan yang

dipresentasikan dalam seminar-seminar, symposium, konfrensi, dan lain-lain. Al Attas lebih menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Dikatakan bahwa sesuatu tidak bisa disebut sebagai kegiatan pendidikan mana kala tidak ada penanaman adab. Oleh karena itu, al Attas lebih suka menggunakan kata Ta’dib untuk mendefinisiskan pendidikan Islam, bukan tarbiyah yang umum dipakai di dunia Islam. Menurutnya kata tarbiyah mencerminkan konsep Barat dan secara kualitatif lebih ditonjolkan kasih sayang dari pada pengetahuan (ilmu), sedangkan dalam konsep ta’dib lebih ditonjolkan pengetahuan dari pada kasih sayang. Namun dalam struktur konseptualnya, ta’dib telah meliputi unsur-unsur pengetahuan, pengajaran ( ta’lim ), dan pengetahuan yang baik ( tarbiyah ), sehingga dipresentasikan dalam seminar-seminar, symposium, konfrensi, dan lain-lain. Al Attas lebih menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Dikatakan bahwa sesuatu tidak bisa disebut sebagai kegiatan pendidikan mana kala tidak ada penanaman adab. Oleh karena itu, al Attas lebih suka menggunakan kata Ta’dib untuk mendefinisiskan pendidikan Islam, bukan tarbiyah yang umum dipakai di dunia Islam. Menurutnya kata tarbiyah mencerminkan konsep Barat dan secara kualitatif lebih ditonjolkan kasih sayang dari pada pengetahuan (ilmu), sedangkan dalam konsep ta’dib lebih ditonjolkan pengetahuan dari pada kasih sayang. Namun dalam struktur konseptualnya, ta’dib telah meliputi unsur-unsur pengetahuan, pengajaran ( ta’lim ), dan pengetahuan yang baik ( tarbiyah ), sehingga

Istilah adab dan ta’dib yang dipertahankan Attas sebagai pendidikan bersandar kepada sabda Nabi Saw :

ْﻲِﺑ ِد ْﺄَﺗ َﻦَﺴﺣَﺄَﻓ ﻲﱢﺑَر ْﻲِﻨَﺑَّد َأ Artinya : “ Tuhanku telah mendidikku, dengan demikian menjadikan

pendidikanku yang terbaik “ . (HR. Ibnu Hibban)

ِﮫِﺘَﺑ ِد ْﺄَﻣ ْﻦِﻣ اﻮُﻤﱠﻠَﻌَﺘَﻓ ِضْرَﻷا ﻰﻓ ِﷲا ُﺔَﺑ َد ْﺄَﻣ نآ ﺮﻘﻟا ﺬھ ﱠنِإ Artinya : “ al Quran ini adalah (undangan) perjamuan Allah di atas

bumi, maka belajarlah dari perjamuan-Nya . (HR. al Darimi)

Format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yaitu tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal ( Al- Insan Al-Kamil ). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: Pertama , manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian, yaitu : a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah; dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan

72 Mulyadi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm 345- 347.

sosial alamnya. Kedua , manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya. Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.

Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.

Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.

Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom. Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal- hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, di mana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Hadist. Domain iman merupakan titik pusat yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dengannya pula menentukan nilai yang

dimiliki dan amal yang dilakukan. 73