Pandangan Para Pemikir Islam Klasik Mengenai Pendidikan Islam

1. Pandangan Para Pemikir Islam Klasik Mengenai Pendidikan Islam

a. Ibnu Maskawaih (Konsep manusia dan konsep akhlak)

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih dikenal adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Ia dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat

pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M. 44

Ibn Miskawaih menelurkan karya monumental yaitu Tahdib al- Akhlaq (pembinaan akhlak). Dalam kitab yang terdiri atas tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat. Hal ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral atau etika memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.

44 “Pemikiran Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail (http://www.averroes.or.id/thought/pemikiran- ibnu-maskawaih-dan-ibnu-thufail.html, diakses 15 Maret 2009)

Sejalan dengan karyanya Tahdib al-Akhlaq, maka terdapat pula sejumlah pemikiran yang mendasari pemikiran Ibnu Maskawaih dalam bidang pendidikan. Pemikirannya dalam pendidikan tidak dapat

dilepaskan dari konsepnya tentang 45 manusia dan akhlak . Ibnu Maskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki

macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya, yaitu a) daya bernafsu ( an-nafs al-bahimiyyat ) sebagai daya terendah;

b) daya berani ( an-nafs as-sabu’iyyat ) sebagai daya pertengahan, dan

c) daya berpikir ( an-nafs an-nathiqah ) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda.

Pemikiran Ibn Maskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasai konsepnya dalam bidang pendidikan. Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, Ibn Maskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Ia memberi pengertian jalan tengah tersebut dengan keseimbangan, harmoni, atau poros tengah antara dua ekstrem. Ia menegaskan bahwa setiap keutamaan memiliki dua sisi ekstrem, yang tengah bersifat terpuji dan ektrem tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, ia tidak membawa satu ayat pun dari al Quran dan tidak pula membawa dalil hadits. Namun demikian, menurut penilaian Abd al

45 Suwito, dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm 79

Halim Mahmud dan al Ghazali, bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi pada QS. Al Isra’ ayat 29 dan QS. Al Furqan 67 :

y‰ãèø)tFsù ÅÝó¡t6ø9$# ¨@ä. $ygôÜÝ¡ö6s? Ÿwur y7É)ãZãã 4’n<Î) »'s!qè=øótB x8y‰tƒ ö@yèøgrB Ÿwur ÇËÒÈ #·‘qÝ¡øt¤C $YBqè=tB

Artinya :“ Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya [Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah] Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” . (QS al Isra’ : 29)

$YB#uqs% š•Ï9ºsŒ šú÷üt/ tb%Ÿ2ur (#rçŽäIø)tƒ öNs9ur (#qèùÌ•ó¡ç„ öNs9 (#qà)xÿRr& !#sŒÎ) tûïÏ%©!$#ur

Artinya : “ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” . (QS al Furqan : 67)

Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, sungguhpun Ibn Maskawaih tidak menggunakan dalil ayat al Quran dan Hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Maka dari itu, pendidikan yang dibangunnya pun tentang pendidikan akhlak itu meliputi tujuan Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, sungguhpun Ibn Maskawaih tidak menggunakan dalil ayat al Quran dan Hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Maka dari itu, pendidikan yang dibangunnya pun tentang pendidikan akhlak itu meliputi tujuan

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Maskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Maskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Ia menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya, yaitu : a) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, b) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan c) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurutnya dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama , ilmu- ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut al- ulum al-fikriyah , dan kedua , ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat .

Adapun aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) juga mendapat perhatian khusus dari Ibn Maskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidikannya, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan

46 Ibid., hlm 80 46 Ibid., hlm 80

Ia juga berpendapat ada tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Keseluruhan lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan. Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Maskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama , adanya kemauan yang sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua , dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan

dan keburukan bagi manusia. 47

47 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam : Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam , (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 7-99.

b. Al-Ghazali (Pendidikan terhadap anak didik)

Abu Hamid ibn Muhammad al-Tusi Al-Ghazali itulah tokoh yang dilahirkan di Thus di Khurasan, pada tahun 450 Hijrah atau 1058 Masehi. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kemampuan yang luar biasa dengan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terulung.

Di antara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al Kitab, Ayyuha al Walad , dan Ihya ’Ulum al-Din . Dari karangan-karangan inilah terlihat jelas bahwa al Ghazali merupakan sosok ulama yang menaruh perhatiannya terhadap proses transinternalisasi ilmu dan pelaksana pendidikan.

Al-Ghazali banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, dikarenakan ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan

anaknya yang mendidiknya 48 . Ia juga mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik,

begitupun sebaliknya. Hal ini sejalan dengan dengan pesan Rasulullah Saw yang menegaskan :

48 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos wacana Ilmu, 1997,), hlm 161

Artinya : “ Setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (perasaan percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi” . (HR Baihaki)

Berdasar pada Hadits tersebut, maka aspek-aspek pendidikan yang lebih ditekankan terhadap anak didik 49 , yaitu :

a) Pendidikan keimanan Al Ghazali mengatakan, ” Iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota” . Prinsip-prinsip keimanan harus didasarkan kepada syahadatain. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang pembinaan iman harus didasarkan empat rukun, yaitu makrifat kepada Dzat- Nya, sifat-sifat-Nya, dan mengenai syariat, kemudian masing- masing rukun perinciannya meliputi sepuluh pokok.

Dalam kitabnya, ia menganjurkan tentang asas pendidikan keimanan agar diberikan kepada anak-anak sejak dini, karena akidah tauhid yang tertanam kokoh dalam jiwa anak akan mewarnai kehidupannya sehari-hari, karena terpengaruh oleh suatu pengakuan tentang adanya kekuatan yang menguasasinya yaitu Tuhan sehingga timbul rasa takut berbuat kecuali yang baik-aik

49 Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm 235-260.

dan semakin matang perasaan ketuhanannya, semakin baik pula segala perilakunya.

b) Pendidikan akhlak Ia mengartikan pendidikan akhlak sebagi usaha sungguh untuk merubah akhlak yang buruk ke arah akhlak yang baik dengan cara mujahadah dan riyadhah . Mujahadah adalah mencegah dan menghilangkan sifat-sifat manusia yang buruk, sedangkan riyadhah adalah membawa diri ke arah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang baik.

Dengan pendidikan akhlak, maka belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah , sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak karimah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS al- An’am ayat 162 dan QS. Adz Dzariyat ayat 56 :

ÇÊÏËÈ tûüÏHs>»yèø9$# Éb>u‘ ¬! † ÎA$yJtBur y“$u‹øtxCur ’Å5Ý¡èSur ’ÎAŸx|¹ ¨bÎ) ö@è%

Artinya : ” Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam . (QS. Al- An’am : 162)

ÇÎÏÈ Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 žwÎ) }§RM}$#ur £`Ågø:$# àMø)n=yz $tBur

Artinya : ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku . (QS.Adz Dzariyat :56) Artinya : ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku . (QS.Adz Dzariyat :56)

Pendidikan akal dapat dilaksanakan dengan cara mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya dan menguasinya secara intens dan akurat, mengadakan pengamatan atau penelitian atau tafakur terhadap alam semesta dengan berbagai macam kegiatan, dan mengamalkan semua ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan untuk pengabdian pada Khaliqul Alam .

Ia juga mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat. Hal ini di pahaminya berdasar pada isyarat QS. Al Hadid ayat 20 dan QS. Al Dluha ayat 4 :

Ö•èO%s3s?ur öNä3oY÷•t/ 7•äz$xÿs?ur ×puZƒÎ—ur ×qølm;ur Ò=Ïès9 $u‹÷R‘‰9$# äo4qu‹ysø9$# $yJ¯Rr& (#þqßJn=ôã$#

ßk‹Íku‰ §NèO ¼çmè?$t7tR u‘$¤ÿä3ø9$# |=yfôãr& B]ø‹xî È@sVyJx. ( ω»s9÷rF{$#ur ÉAºuqøBF{$# ’Îû

×ot•ÏÿøótBur Ó‰ƒÏ‰x© Ò>#x‹tã Íot•ÅzFy$# ’Îûur ( $VJ»sÜãm ãbqä3tƒ §NèO #v•xÿóÁãB çm1uŽtIsù

ÇËÉÈ Í‘rã•äóø9$# ßì»tFtB žwÎ) !$u‹÷R‘$!$# äo4qu‹ysø9$# $tBur 4 ×bºuqôÊÍ‘ur «!$# z`ÏiB

Artinya : ” Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS al Hadid : 20)

ÇÍÈ 4’n<rW{$# z`ÏB y7©9 ׎ö•y{ äot•ÅzEzs9ur

Artinya : ” Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) . (QS. Ad Dluha : 4 )

d) Pendidikan sosial Kecenderungan manusia untuk bergaul dapat diamati sejak kecil. Anak-anak membutuhkan pertolongan orang yang lebih dewasa untuk memenuhi segala kebutuhannnya. Dengan konsep pendidikan sosial dapat membatasi pergaulan anak-anak, mengawasinya, dan memilihkan teman bergaul yang sebaik- baiknya, karena lingkungan pergaulan itu besar sekali pengaruhnya terhadap perilaku anak.

e) Pendidikan jasmaniah Al Ghazali sangat memperhatikan dan menekankan aspek jasmaniahnya untuk mencapai keutamaan-keutamaan rohaniah. Tujuan pendidikan jasmaniah adalah untuk mengadakan keselarasan antara jiwa dan raga, antara jasmani dan rohani. Bahkan ia memandang aspek jasmaniah sebagai sarana untuk mencapai maksud manusia, dan sarana untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

c. Ibnu Khaldun (Konsep sosial)

‘Abd al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun (lebih dikenal dengan Ibnu Khaldun) lahir di Thunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M, dan meninggal di Cairo

tanggal 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M 50 . Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh besar di dunia Islam yang telah berhasil memaparkan

buah pikirannya dalam kitab Mukaddimah sebagai karya monumental yang mengangkat nama dan martabatnya di dunia keilmuan sebagai bapak sosiologi dan antropologi.

Ketenaran Khaldun sebagai ilmuwan dapat dilihat dari karya monumentalnya, al Mukaddimah . Kitab ini sesungguhnya merupakan pengantar bagi karya universalnya yang berjudul kitab al-ibar wa diwan al-mubtada’ wa al-khabar fi ayyami al-arab wa al-ajam wa al-

50 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hlm 91.

barbar wa man ‘asarahun min dzami as-sulthan al-akbar . Seluruh bangunan ilmunya dalam kitab al-Mukaddimah memaparkan tentang ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah. Sementara cakupan al-ibar merupakan bukti empiris-historis dari teori yang dikembangkannya. Orisinalitas dan kedalaman pemikirannya telah berhasil meletakkan karyanya al-Mukaddimah sebagai karya besar yang unik dan

melampaui zamannya 51 . Menurut pandangannya, ilmu dan pendidikan merupakan dua anak

yang lahir dari kehidupan yang berkebudayaan dan bekerja untuk melestarikan dan meningkatkannya. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, maka pendidikan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, atau pendidikan juga dapat diartikan mentransformasikan nilai-nilai dari pengalaman untuk berbuat dan bertindak yang didasarkan kepada pengetahuan, pengalaman, pergaulan dan sikap mental serta kemandirian yang biasa disebut sebagai sumber daya manusia yang

berkualitas. 52 Dalam melihat manusia, ia tidak terlalu menekankan kepada

kepribadiannya akan tetapi kepada hubungannya dan interaksinya

51 Ibid., hlm 92-93 52 Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,

(Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Pustaka Pelajar, 1999), hlm 4 (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Pustaka Pelajar, 1999), hlm 4

dari manusia yang lain 54 . Ia berpandangan bahwa manusia adalah makhluk berpikir, dan pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan

dipengaruhi oleh peradaban. Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses

berpikir. Ada tiga tingkatan proses berpikir menurut Ibnu Khaldun 55 , yaitu :

a) Al-‘Aqlu al tamyizi , yaitu pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan yang berubah, dengan maksud supaya manusia mampu menyeleksinya dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi ( tashawwur ), yang dapat membantu manusia membedakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dengan menolak yang tidak bermanfaat.

b) Al-‘Aql al-tajribi , yaitu pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan prilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini kebanyakan berupa apersepsi ( tashdiq ) yang dicapai manusia melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya.

53 Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Op.Cit, hlm 87 54 Hamdani Ihsan, Op.Cit, hlm 255 55 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Ar-Ruz, 2006), hlm 240-241.

c) Al-‘Aql al-nazhari , yaitu pikiran yang melengkapi manusia dengan pengetahuan hipotesis ( dzat ) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Bentuk pemikiran seperti ini merupakan gabungan persepsi dan apersepsi yang tersusun secara khusus yang dapat membentuk sebuah pengetahuan. Dengan pengetahuan semacam ini, manusia mencapai kesempurnaan realitasnya yang disebut al- haqiqah al-insaniyyah . Ketiga tingkatan yang disebut berpikir ini merupakan pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Dengan tiga tingkatan cara memperoleh ilmu pengetahuan tersebut,

Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan dalam dua kategori, yaitu 1) al-ulum al-aqliyah , bersifat alami ( thabi’i ) yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikirnya. Inilah ilmu-ilmu hikmah falsafi yang menjadi milik semua peradaban manusia. 2) al-ulum al-naqliyah , bersifat wadh’i (berdasarkan otoritas syariat) yang dalam batas-batas tertentu, akal tidak mendapat tempat, dan berbagai ilmu alat yang

menyertainya 56 .

56 Ibid., hlm 241-242