Perkembangan Pendidikan Islam Pada Periode sebelum Indonesia Merdeka/Penjajahan (1900-menjelang 1945)

1. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Periode sebelum Indonesia Merdeka/Penjajahan (1900-menjelang 1945)

Bersamaan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka masuk pula kebudayaannya. Pengaruh kebudayaan Islam meliputi semua segi kehidupan, termasuk pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia muslim yang sholeh (berakhlak) yang baik. Ada dua lembaga pendidikan penting pada penyebaran agama Islam yakni : langgar dan pesantren disusul kemudian adanya madrasah. Pendidikan agama Islam tidak terbatas, siapapun boleh mengikuti lembaga pendidikan Islam, sifat pendidikan demokratis dan pengajaran untuk rakyat. Di suatu tempat seperti di Sumatera Barat tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren, di sini sekolah agama Islam disebut surau. Kemudian sekolah- sekolah Islam berkembang dan mendirikan bangunan sekolah yang disebut

74 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya : Pustaka Pelajar, 2003), hlm

69 75 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum ; Teori dan Praktik, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media,

2007), hlm 15 2007), hlm 15

Pada awal abad 20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan 77 , yaitu :

a) Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama/sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda.

b) Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja

Pada zaman Belanda, pendidikan kolonial sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pelaksanaan pendidikan dan persekolahan yang dikelola pemerintah kolonial mempunyai ciri khas, yang mana isi pendidikannya berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi yaitu pendidikan umum. Kurikulum pendidikan pada masa itu diwarnai oleh misi penjajahan Belanda, begitu juga halnya dengan kurikulum zaman Jepang, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan atau tujuan pendidikan pada zaman ini adalah untuk menciptkan sumber daya manusia yang dapat membantu misi penjajahan di tanah air. Belanda, misalnya dengan memanfaatkan pribumi untuk mengeruk kekayaan alam seoptimal mungkin, sedangkan Jepang dikenal dengan Asia Timur Raya

76 Historis Pendidikan

(http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_13.html, diakses 13 Maret 2009 )

77 Muhaimin, Op.Cit., hlm 70 77 Muhaimin, Op.Cit., hlm 70

Isi kurikulum pendidikan masa penjajahan Belanda berorientasikan kepada tujuan untuk mempersiapkan tenaga pegawai yang diperlukan oleh pemerintah Belanda. Tujuan pendidikan pada masa itu adalah untuk memperoleh tenaga kerja murah dan cenderung memberi peluang bagi pelaksana pendidikan menjalankan kebijaksanaan yang sering bertentangan dengan prinsip moral. Ciri-ciri umum pendidikan kolonial Belanda adalah gradualisme, dualisme, pengawasan pusat yang ketat, pendidikan pegawai lebih diutamakan, konkordansi, dan tidak ada

perencanaan yang sistematis bagi pendidikan pribumi 79 . Pada masa penjajahan Jepang, perkembangan pendidikan

mempunyai arti tersendiri bagi bangsa Indonesia, yakni terjadinya keruntuhan sistem pemerintahan kolonial Belanda. Jenis pendidikan pada masa ini kurang memperhatikan isinya. Isi kurikulumnya bertujuan untuk membantu kelancaran dan pertahanan Jepang selama mereka berada di Indonesia. Anak didik pada waktu itu harus membantu Jepang dalam peperangan sehingga anak-anak pribumi harus mengikuti latihan militer di sekolah. Karena itu yang diajarkan pada masa pemerintahan Belanda diubah sesuai dengan keinginan bangsa Jepang. Jadi, pada masa penjajahan Jepang tujuan pendidikan yang dilaksanakan adalah untuk mendapat tenaga kerja rendahan (murah) dan untuk membentuk tentara

78 Abdullah Idi, Op.Cit., hlm 15 79 Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 2003), Hlm 5-6.

yang siap melawan sekutu. 80 Sedangkan lembaga pendidikan Islam atau pesantren pada masa

penjajahan lebih ditekankan pada pengetahuan dan keterampilan berguna bagi penghayatan agama. Ciri-ciri lembaga pendidikan Islam atau pesantren pada masa itu adalah :

a) Menyiapkan calon kyai atau ulama yang hanya menguaasi masalah agama semata.

b) Kurang diberikan pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan.

c) Sikap isolasi yang disebakan karena sikap non kooperasi secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau Barat.

Sedangkan ciri-ciri pendidikan sekolah Barat pada masa penjajahan adalah :

a) Hanya menonjolkan intelek dan sekaligus hendak melahirkan golongan intelek.

b) Pada umumnya bersikap negatif terhadap agama Islam.

c) Alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.

Rencana pelajaran (kurikulum) di pesantren ditetapkan oleh kyai dengan menunjuk kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang ditelaah setelah kitab- kitab sebelumnya selesai dipelajarinya ukuran kealiman seorang santri

80 Abdullah Idi, Op.Cit., hlm 18-19 80 Abdullah Idi, Op.Cit., hlm 18-19

Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai Ilahi dan insani sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu. Fungsi ini melekat pada setiap komponen aktivitas pendidikan Islam. Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama terdahulu serta tertanamnya perasaan agama yang mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat pendidik adalah orang yang mampu memahami kitab-kitab keagamaan yang sulit dan mampu mengajarkanya kepada pihak lain. Hakikat peserta didik adalah seseorang yang sedang belajar memahami agama dan mengembangkan perasaan beragama yang mendalam. Kurikulum adalah rencana pelajaran sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab keagamaan produk ulama terdahulu. Evaluasi adalah penilaian terhadap kemampuan santri akan kitab-kitab yang dipelajari untuk selanjutnya meningkat dalam mempelajari kitab yang baru dan

ditetapkan oleh kyai. 81

Menyadari keadaan pendidikan pada masa penjajahan yang sangat merendahkan martabat bangsa sendiri, maka muncul tokoh-tokoh masyarakat yang berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan

81 Muhaimin, Op.Cit., hlm 73-74 81 Muhaimin, Op.Cit., hlm 73-74

Adapun tokoh Moch. Syafei mendirikan Perguruan Ruang Pendidik INS Kayutanam (1926) di Sumatra Barat, ia menantang pendidikan kolonial yang verbalistik-intelektualistik. Sekolah INS Kayutanam memakai konsep John Dewey yaitu; "learning by doing". Jadi INS Kayutanam mementingkan keterampilan bekerja dari pada keterampilan berfikir murni, tetapi bukan berarti tidak rasional, justru INS mementingkan cara berfikir yang akaliah (rasional). Konsep ini tampak pada tujuan pendidikan yaitu : 1) mendidik anak untuk berfikir rasional, 2) mendidik anak bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, 3) membentuk anak-anak menjadi manusia yang berwatak dan 4)

menanamkan perasaan persatuan. 82