Permasalahan Pembangunan Kehutanan

3.4 Permasalahan Pembangunan Kehutanan

3.4.1 Aspek Legal

Landasan hukum pengurusan hutan di Indonesia untuk periode dekade 1980 sampai dengan dekade 1980 didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kehutanan, dan kemudian sejak akhir dekade 1990 menggunakan landasan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dinamika kehidupan berbangsa menciptakan situasi berbeda yang melatarbelakangi kedua landasan hukum pengurusan hutan tersebut. Keinginan pemerintahan di awal masa Orde Baru untuk stabilisasi kondisi perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena jatuhnya perekonomian Indonesia di akhir masa Orde Lama, menjadi latar belakang utama konstruksi Undang-Undang No. 5 tahun 1967. Terjadi hiperinflasi sebesar 650% pada masa orde baru, yaitu tahun 1966, kemudian menurun menjadi 120% pada tahun 1967 dan semakin menurun menjadi 85% pada tahun 1968, menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi menjadi fokus utama pembangunan saat itu. Pada saat yang sama, pandangan atas kelimpahan potensi sumberdaya alam, baik minyak, hutan maupun pertanian, mendorong sumberdaya alam sebagai basis utama upaya stabilisasi dan peningkatan perekonomian nasional saat itu. Undang-Undang No. 5 tahun 1967 dibangun dalam situasi seperti itu. Landasan hukum pengurusan hutan inipun juga telah dilandaskan pada paradigma bahwa Landasan hukum pengurusan hutan di Indonesia untuk periode dekade 1980 sampai dengan dekade 1980 didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kehutanan, dan kemudian sejak akhir dekade 1990 menggunakan landasan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dinamika kehidupan berbangsa menciptakan situasi berbeda yang melatarbelakangi kedua landasan hukum pengurusan hutan tersebut. Keinginan pemerintahan di awal masa Orde Baru untuk stabilisasi kondisi perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena jatuhnya perekonomian Indonesia di akhir masa Orde Lama, menjadi latar belakang utama konstruksi Undang-Undang No. 5 tahun 1967. Terjadi hiperinflasi sebesar 650% pada masa orde baru, yaitu tahun 1966, kemudian menurun menjadi 120% pada tahun 1967 dan semakin menurun menjadi 85% pada tahun 1968, menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi menjadi fokus utama pembangunan saat itu. Pada saat yang sama, pandangan atas kelimpahan potensi sumberdaya alam, baik minyak, hutan maupun pertanian, mendorong sumberdaya alam sebagai basis utama upaya stabilisasi dan peningkatan perekonomian nasional saat itu. Undang-Undang No. 5 tahun 1967 dibangun dalam situasi seperti itu. Landasan hukum pengurusan hutan inipun juga telah dilandaskan pada paradigma bahwa

Ditetapkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), serta eksploitasi kayu dari sektor kehutanan menjadi salah satu sasaran pembangunan, mendorong pengelolaan hutan pada awal masa orde baru dilaksanakan dengan instrumen yang terbatas untuk menjamin terwujudnya aspek multifungsi dan kelestarian. Kemudian untuk memberikan landasan kebijakan pengusahaan hutan, sebagai penjabaran ketentuan pengusahaan hutan dalam UU No. 5 tahun 1967, ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 juncto Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Instrumen ini ditetapkan 4 tahun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan Hutan pada tahun 1971 dan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tentang Perlindungan Hutan pada tahu 1985. Kebijakan perencanaan hutan seharusnya telah mampu memberikan landasan operasional asas kelestarian dalam pengusahaan hutan, yang dilaksanakan di kawasan hutan produksi. Demikian juga dengan adanya instrumen perlindungan hutan, pengelolaan hutan baik di kawasan hutan lindung, hutan produksi dan hutan suaka alam, seharusnya dapat menjamin terjaganya fungsi-fungsi hutan tersebut. Namun paradigma pertumbuhan ekonomi yang melandasi dan mendominasi interpretasi UU No. 5 tahun 1967, membangun persepsi bahwa kawasan hutan produksi tidak memiliki fungsi ekosistem hutan lainnya, antara lain fungsi lindung dan fungsi suaka alam. Sehingga peraturan pemerintah tentang perlindungan hutan tidak sepenuhnya diinterpretasikan sebagai perlindungan semua fungsi hutan di semua kawasan hutan, bahkan digunakan untuk melindungi paradigma ekonomi dalam pengusahaan hutan, khususnya di kawasan hutan produksi.

Setelah reformasi, pada tahun 1999 ditetapkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Beberapa aspek baru yang dituangkan dalam Undang- Undang tersebut adalah pengelolaan, litbang, pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan. Instrumen pengusahaan dan perlindungan hutan dalam UU No. 5 Setelah reformasi, pada tahun 1999 ditetapkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Beberapa aspek baru yang dituangkan dalam Undang- Undang tersebut adalah pengelolaan, litbang, pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan. Instrumen pengusahaan dan perlindungan hutan dalam UU No. 5

41 tahun 1999 dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Namun paradigma ekonomi tetap dominan dalam pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, bahkan nilai-nilai ekonomi baru, yaitu jasa-jasa lingkungan yang telah memiliki nilai ekonomi baru dapat dimanfaatkan. Konsep pengelolaan yang mengandung aspek perlindungan, ternyata juga tidak berbeda dengan UU No. 5 tahun 1967, dimana perlindungan tetap diarahkan untuk menjamin terjaganya manfaat ekonomi dari kawasan hutan dan perlindungan fungsi di masing-masing kawasan hutan. Konsep perlindungan UU No. 41 tahun 1999 tetap belum diarahkan, secara sungguh-sungguh untuk menjamin terjaganya semua fungsi hutan di semua kawasan hutan. Secara menyeluruh, baik UU No. 5 tahun 1967 dan UU No. 41 tahun 1999, telah menuangkan dua aspek penting dalam pengurusan hutan, yaitu aspek multifungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Sebaliknya, dengan konsep penetapan suatu kawasan hutan berdasarkan satu fungsi hutan, kedua Undang-Undang tersebut dapat diinterpretasikan bahwa suatu kawasan hutan tidak harus memiliki semua fungsi hutan. Interpretasi ini menjadi sumber potensi permasalahan kelestarian hutan beserta berbagai fungsi ekosistemnya.

Dalam UU No. 41 tahun 1999, diatur pembentukan unit pengelolaan yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dengan konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dikelola secara efisien dan lestari. Seluruh kawasan hutan, baik kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi terbagi habis dalam KPH, yang meliputi KPH konservasi (KPHK), KPH lindung (KPHL), dan KPH produksi (KPHP). Masing-masing KPH adalah unit pengelolaan lestari terkecil dari suatu kawasan hutan, dimana KPHK adalah unit pengelolaan terkecil dari kawasan hutan konservasi, demikian juga KPHL dan KPHP adalah unit terkecil dari kawasan hutan lindung dan produksi. Sebagai turunan dari konsep kawasan hutan, yang ditetapkan berdasarkan fungsinya, konsep KPH dengan masing- masing fungsinya, belum mampu menjamin terjaganya berbagai fungsi hutan dalam suatu unit KPH. Seharusnya, sebagai suatu unit terkecil pengelolaan hutan yang lestari, kelestarian berbagai fungsi hutan di dalam wilayah KPH akan terjamin. Penetapan KPH yang didasarkan pada fungsi kawasan hutan dimana unit KPH tersebut berada, menjadi sumber potensi permasalahan baru kelestarian hutan beserta berbagai fungsinya.

Selain itu, landasan hukum yang ada saat ini masih melihat hutan dengan kacamata komoditas, dengan kayu sebagai komoditas primadonanya. Akibatnya, perizinan juga atas dasar komoditas. Pada tempat yang sama, pemerintah (pusat) dapat mengeluarkan izin untuk pemanfaatan kayu, izin jasa lingkungan Selain itu, landasan hukum yang ada saat ini masih melihat hutan dengan kacamata komoditas, dengan kayu sebagai komoditas primadonanya. Akibatnya, perizinan juga atas dasar komoditas. Pada tempat yang sama, pemerintah (pusat) dapat mengeluarkan izin untuk pemanfaatan kayu, izin jasa lingkungan

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (Pasal 24 UU 41 tahun 1999).

1. Hutan produksi: (1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 28 ayat (1) UU 41 tahun 1999), (2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Pasal 28 ayat (2) UU 41 tahun 1999), (3) Pemanfaatan hutan produksi masih sangat berorientasi pada kayu, sementara hasil hutan lainnya masih kurang mendapat perhatian yang serius. Pemanfaatan kayu dari hutan produksi dilakukan melalui pemberian izin, terutama izin skala besar yang disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Meskipun Pasal 29 ayat (4) UU 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa IUPHHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, sebagian besar izin diberikan kepada badan usaha milik swasta Indonesia. Izin yang diberikan tersebut berupa izin kawasan yang mengandung kayu yang hendak dipungutnya, dan (5) Meskipun izin yang diberikan merupakan izin pemanfaatan kayu, dalam praktek pemegang izin masih dibebani dengan berbagai kewajiban yang sebenarnya merupakan unsur kegiatan pengelolaan hutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UU 41 tahun 1999.

2. Hutan lindung: (1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (Pasal 26 ayat (1) UU 41 tahun 1999). Pasal yang sama ayat (2) menyatakan bahwa pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu, (2) Meskipun siapa yang dapat memperoleh izin dibedakan sesuai dengan jenis pemanfaatan yang diberikan, dari struktur bahasa yang digunakan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya izin pemanfaatan hutan lindung dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, dan badan usaha milik daerah.

3. Hutan konservasi: (1) Pasal 25 UU 41 tahun 1999 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat 3. Hutan konservasi: (1) Pasal 25 UU 41 tahun 1999 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat

3.4.2 Kelembagaan dan Tata Kelola

Lingkup permasalahan kelembagaan meliputi permasalahan birokrasi, tata kerja dan peran serta masyarakat. Fokus area permasalahan kelembagaan dan tata kelola yang tertuang dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, mengidentifikasi 6 area permasalahan birokrasi, yaitu (1) organisasi, (2) peraturan perundangan, (3) SDM Aparatur, (4) Kewenangan, (5) pelayanan publik, dan (6) pola pikir dan budaya kerja.

Berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 dan Pedoman Pelaksanaan Manajemen Perubahan, Kementerian Kehutanan pada tahun 2012 menyusun Rencana Manajemen Perubahan Kementerian Kehutanan. Ruang lingkup Manajemen Perubahan meliputi (1) Rencana Manajemen Perubahan, (2) Pengelolaan Perubahan, dan (3) Penguatan Hasil Perubahan, dengan fokus pengelolaan perubahan adalah 8 area perubahan, yaitu organisasi, tata laksana, peraturan perundangan, sumberdaya manusia, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta monitoring, evaluasi dan pelaporan.

Tantangan utama dari manajemen perubahan yang dicanangkan oleh Kementerian Kehutanan adalah bahwa perubahan dilakukan oleh birokrasi dan kepemimpinan dengan integritas yang rendah. Untuk mendorong perubahan dan membangun integritas birokrasi, peran masyarakat telah dimuat dalam UU No.

41 tahun 1999, namun belum didukung instrumen untuk operasionalisasinya. Integritas adalah akar permasalahan kelembagaan dan tata kelola atau

pelaksanaan kewenangan pengurusan hutan yang mengakibatkan berbagai kewenangan pengurusan hutan oleh Kementerian Kehutanan tidak terlaksana dengan baik. Akibatnya terjadi penurunan kontribusi ekonomi sektor kehutanan, penurunan fungsi ekosistem hutan, antara lain kerusakan habitat, tata air, serta terganggunya fungsi-fungsi kultural masyarakat sekitar hutan dan lainnya. Demikian juga daya dukung Daerah Aliran Sungai semakin menurun, yang terlihat dari terbentuknya DAS-DAS kritis.

3.4.3 Desentralisasi Kehutanan

Kebijakan desentralisasi pengurusan kehutanan dilaksanakan dalam era reformasi yang dimulai tahun 1998. Kebijakan ini sejalan dengan perkembangan politik demokrasi saat ini. Pada tahun 2009 Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan pelimpahan urusan pemerintahan (dekonsentrasi) bidang kehutanan Kebijakan desentralisasi pengurusan kehutanan dilaksanakan dalam era reformasi yang dimulai tahun 1998. Kebijakan ini sejalan dengan perkembangan politik demokrasi saat ini. Pada tahun 2009 Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan pelimpahan urusan pemerintahan (dekonsentrasi) bidang kehutanan

3.4.4 Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan dan pemanfaatan hutan secara formal masih sangat terbatas. Masyarakat sekitar hutan masih dipandang sebagai musuh hutan ketimbang potensi yang mendukung pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari. Tahun 2007 pemerintah meluncurkan program Hutan Tanaman Rakyat, tetapi prosedur untuk mengakses kesempatan ini sangat rumit bagi petani hutan yang umumnya memiliki sumberdaya yang terbatas. Akibatnya, hingga hari ini HTR nyaris mandeg total.

3.4.5 Akar Masalah Pembangunan

Uraian tentang kinerja pembangunan kehutanan yang masih rendah dapat dikerucutkan menjadi satu pernyataan bahwa “Indonesia mempunyai

potensi sumberdaya hutan yang luar biasa besar tetapi telah gagal mengkapitalisasinya menjadi kemakmuran rakyat yang berkeadilan

dan berkelanjutan .” Berdasarkan penelaahan berbagai laporan dan hasil lokakarya selama 3 dekade terakhir, serta konsultasi pakar diketahui bahwa akar penyebab kegagalan tersebut adalah buruknya tata kelola dan tata kuasa kehutanan yang berakibat pada tidak lestarinya pengelolaan hutan di Indonesia. Gambar 5 menyajikan hasil analisis akar masalah pembangunan kehutanan.

Gambar 3.8. Akar masalah pembangunan kehutanan.

Berdasarkan analisis akar masalah di atas, dapat dijabarkan beberapa masalah pokok yang selama ini berkontribusi nyata kepada kegagalan pembangunan kehutanan Indonesia, yaitu:

1. Paradigma pembangunan kehutanan yang tidak berbasis ekosistem, melainkan berbasis komoditi (kayu, non kayu, jasa lingkungan, kawasan) melalui instrumen perizinan pemanfaatan komoditi; satu komoditi satu izin dan izin pemanfaatan komoditi tersebut juga dipisah-pisahkan menurut fungsi hutan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa perizinan bidang kehutanan telah menimbulkan biaya transaksi yang sangat tinggi. Akibatnya, efisiensi dan optimalisasi pengelolaan sulit dicapai dan kemungkinan terjadi tumpang tindih antar izin sangat besar.

2. Paradigma pembangunan kehutanan tidak berlandaskan keadilan dalam konteks keberpihakan pada pelaku usaha akibat bias pemahaman skala usaha yang diidentikkan dengan pelakunya, sehingga skala kecil disamakan dengan pengelolaan oleh masyarakat yang cenderung hanya untuk subsisten. Sistem perizinan yang ada memprioritaskan pengusahaan hutan skala besar yang cenderung mengabaikan kapital sosial lokal yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan. Implikasinya alokasi kawasan hutan untuk pengelolaan atau pemanfaatan oleh masyarakat sangat rendah dan upaya pemerintah di dalam peningkatan kapasitas masyarakat untuk pengelolaan hutan juga sangat lemah.

3. Paradigma command and control yang sangat kaku. Akibat dari paradigma ini adalah penggunaan instrumen perizinan sebagai andalan utama bagi pengelolaan sumberdaya hutan; sementara itu, instrumen dalam bentuk insentif dan disinsentif sangat kurang berkembang. Pada dasarnya pemegang izin hanya melaksanakan apa yang telah digariskan oleh pemerintah. Implikasi dari perizinan adalah perlunya birokrasi pengawasan yang membutuhkan anggaran yang besar. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa birokrasi pengawasan yang ada belum dapat menunjukkan akuntabilitas dengan kinerja yang baik.

4. Kawasan hutan masih belum memiliki kepastian untuk mendukung penguatan pencapaian kinerja pembangunan, bahkan setelah Keputusan MK No 45/PUU-IX/2011 dan MK N0 35/PUU-IX/2012, penafsiran tentang kawasan hutan membutuhkan penafsiran baru untuk menguatkan legitimisasinya. Keengganan Kementerian Kehutanan untuk membuka dialog dengan sektor lain justru akan melemahkan dukungan kepada sektor kehutanan. Tumpang tindih penggunaan lahan dan tenurial sangat banyak terjadi, bahkan seringkali melibatkan kekerasan yang memakan korban jiwa.

5. Peraturan pada level Peraturan Menteri sering berubah sehingga menimbulkan ketidakpastian, baik hukum maupun usaha. Sangat lazim disuarakan oleh pelaksana di lapangan bahwa pekerjaan mereka adalah menunggu peraturan yang baru, karena sebelum peraturan lama dimengerti dan dijalankan sudah muncul peraturan baru.

6. Regulasi yang berlebihan dan kurang tepat sehingga menyulitkan dunia usaha untuk melakukan inovasi dan terobosan. Produksi bahan baku sulit 6. Regulasi yang berlebihan dan kurang tepat sehingga menyulitkan dunia usaha untuk melakukan inovasi dan terobosan. Produksi bahan baku sulit

7. Ketiadaan pengelola hutan yang efektif di lapangan, sehingga menyebabkan sekitar 22,8 juta ha kawasan hutan produksi dan 28,8 juta ha kawasan hutan lindung seolah “tidak bertuan”. Kondisi telah mendorong maraknya aktivitas illegal, seperti pembalakan liar, pembukaan kebun, pertambangan, dan sebagainya. Organisasi KPH yang diharapkan mampu menjadi pengelola hutan di lapangan hingga saat ini masih belum menunjukkan kinerja yang diharapkan.

8. Organisasi kehutanan tidak efektif, dicirikan oleh pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah yang belum membagi habis pengurusan hutan dan terkonsentrasinya pelaksanaan kewenangan pengurusan kehutanan pada pemerintah pusat. Selain itu, organisasi kehutanan, baik pusat maupun daerah, memiliki ciri organisasi birokratik yang kaku dengan kompetensi SDM yang dinilai kurang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya, serta sistem administrasi negara yang tidak transparan dan akuntabel. Dalam hal organisasi pengelola hutan di tingkat tapak, Permendagri 61/2010 memandatkan struktur organisasi KPH yang seragam dan belum sepenuhnya memberikan kewenangan pengelolaan otonom bagi organisasi KPH untuk mengelola hutan secara profesional. Selain itu, organisasi KPH belum didukung oleh kebijakan penyediaan SDM yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan.

9. Pasar kayu bulat yang sangat terdistorsi sehingga harganya terlalu rendah. Beberapa faktor yang berperan dalam mendistorsi pasar kayu bulat adalah integrasi vertikal, struktur industri yang tidak kompetitif, dan kebijakan larangan ekspor kayu bulat, termasuk kayu bulat dari hutan tanaman. Harga kayu bulat di dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan harga kayu bulat di pasar internasional. Implikasinya banyak perusahaan yang tidak berproduksi, realisasi produksi kayu bulat dibawah target, demikian juga pada industri pengolahan kayu, sehingga membuka peluang pasok kayu illegal.

10. Riap yang terlalu rendah, khususnya untuk hutan alam. Secara umum, laju pertumbuhan hutan alam adalah sangat rendah, sehingga kurang menarik untuk dipilih sebagai wahana investasi pengelolaan hutan lestari. Sebagai patokan, pemanenan kayu optimal terjadi ketika nilai laju pertumbuhan tegakan sama dengan tingkat suku bunga. Riap hutan alam yang sangat 10. Riap yang terlalu rendah, khususnya untuk hutan alam. Secara umum, laju pertumbuhan hutan alam adalah sangat rendah, sehingga kurang menarik untuk dipilih sebagai wahana investasi pengelolaan hutan lestari. Sebagai patokan, pemanenan kayu optimal terjadi ketika nilai laju pertumbuhan tegakan sama dengan tingkat suku bunga. Riap hutan alam yang sangat

11. Property rights yang tidak terdefinisi dengan baik. Pemberian konsesi atau izin pemanfaatan kayu di hutan alam tidak menghasilkan “property rights” yang terdefinisi dengan baik, dicirikan oleh beberapa unsur seperti dapat dipindahtangankan, dapat ditegakkan dan eksklusif. Tarif iuran izin yang sangat rendah mendorong peminat usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk dapat menguasai areal hutan yang sangat luas, melebihi kemampuan untuk menjaganya.

12. Lemahnya sinergi perencanaan sektor-sektor berbasis lahan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan penataan ruang dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sehingga tidak menjamin terwujudnya kawasan hutan tetap sebagai basis penegakan hukum. Implikasinya adalah lemahnya kepastian usaha dan penegakan hukum untuk mendukung dilaksanakannya pengelolaan jangka panjang.

13. Lemahnya sinkronisasi kebijakan kehutanan, perindustrian, dan perdagangan dalam mengembangkan iklim usaha yang menarik dan meningkatkan nilai tambah.

14. Rendahnya kapasitas pengelolaan kawasan konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Hingga saat ini pengelolaan kawasan konservasi yang cukup intensif baru dilakukan untuk kawasan taman nasional. Kawasan konservasi lain dan hutan lindung belum dikelola secara memadai. Demikian juga, konservasi berbagai jenis dilindungi dan/atau terancam punah masih sangat lemah.