Kinerja Aspek Ekonomi Kehutanan

3.3.4 Kinerja Aspek Ekonomi Kehutanan

Produksi kayu bulat dari kegiatan pemanenan hutan alam terus meningkat dan relatif stabil sejak 1980 hingga 1998, berkisar 22-30 juta m 3 . Produksi kayu dari hutan alam yang legal menurun sejak krisis ekonomi menerpa Indonesia di tahun

1997, khususnya pada tahun 2000 3 – 2004, berkisar 8-13 juta m . Setelah 2004, produksi kayu bulat mulai meningkat hingga mencapai 42 juta m 3 . Hal ini karena

tambahan dari produksi kayu HTI, yang diperkuat oleh data peningkatan produksi pulp. Fenomena produksi kayu bulat hutan Indonesia disajikan pada Gambar 3.5.

Kayu Bulat (m3)

Pulp (ton)

a y 15.000.000

Sumber : diolah dari data statistik kehutanan 1966-2010.

Gambar 3.5. Perkembangan produksi kayu bulat dan pulp Indonesia. Pendapatan sektor kehutanan meningkat terus sampai pada akhir pemerintahan

Orde Baru. Disamping itu, pembukaan jumlah usaha kehutanan sangat banyak dan mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga pendapatan masyarakat naik akibat kegiatan pengusahaan hutan tersebut. Simangunsong (2004) menyajikan analisis kinerja ekonomi sektor kehutanan mulai tahun 1980 sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 kontribusi industri kehutanan hampir 30% dan kemudian menurun hanya sekitar 15% pada awal era reformasi dan mengalami penurunan terus menerus (Anonim, 2007).

Pada Era Reformasi, ekonomi kehutanan sangat menurun sesuai dengan perubahan kebijakan dalam kegiatan kehutanan. Bahan baku kayu yang digunakan oleh industri kehutanan mulai menyusut bahkan kemudian menjadi langka sehingga banyak industri pengolahan kayu yang tidak mampu menjalankan kegiatannya dan akhirnya industri tersebut ditutup. Gambaran penurunan kontribusi industri kehutanan terhadap pendapatan ekspor hasil industri yang disitir oleh KADIN dari tahun 1985, 1990, 1995, 2000 dan 2005 adalah 27,9%, 28%, 17%, 8,5% dan 5,6% secara berturutan (Anonim, 2007).

Gambaran penurunan produksi pengolahan kayu andalan Indonesia yang diorientasikan ekspor, yaitu kayu lapis, adalah sebagai berikut. Kebijakan pemerintah mendorong industri kayu lapis trade off terhadap produksi kayu gergajian (persaingan alokasi bahan baku kayu bulat). Sehingga sejak larangan ekspor log (1985), produksi kayu lapis meningkat, tetapi peningkatan itu gagal dipertahankan, karena produksi kayu bulat yang berlebihan ( legal dan illegal), yang puncaknya di masa krisis ekonomi. Kelangkaan kayu bulat berdampak pada tutupnya pabrik pengolahan atau pabrik berproduksi dibawah kapasitas sehingga banyak tenaga kerja diberhentikan. Gambar berikut menyajikan fakta itu (diolah dari statistik kehutanan).

Sawn Timber (m3)

Plywood (m3)

10.000.000 Sawmill HPH (unit)

Plywood (unit)

6.000.000 ks u d

Sumber : diolah dari statistik kehutanan Indonesia 1974-2010 Gambar 3.6

Perkembangan produksi kayu olahan (kiri) dan jumlah unit industri (kanan).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pemerintah mulai melakukan perubahan kebijakan untuk mendorong kembali industri pengolahan hasil hutan ini. Kamar Dagang Industri (KADIN) pada tahun 2007 mengelompokkan industri kehutanan dalam 3 kelompok industri yang hanya mampu berperan dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan penurunan angka kemiskinan. Klaster industri ini terdiri atas industri kehutanan, kemaritiman dan industri kelautan, pertanian, perkebunan, pengolahan hasil pertanian serta industri berbasis tradisi dan budaya seperti jamu, kerajinan kulit, kayu, rokok, batik dan tenun ikat (Anonim, 2007).

Dalam bidang hasil hutan bukan kayu (HHBK), Setiadi (2006) menyitir analisis kepakaran tentang kendala, kebijakan dan peluang pengembangan untuk meningkatkan kinerja ekonomi kehutanan. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari dan kesejahteraan jutaan masyarakat di hampir seluruh dunia. Masyarakat pedesaan dan miskin umumnya sangat tergantung akan HHBK ini sebagai sumber makanan, obat, getah, dan lain-lain; hampir 80% dari populasi dunia berkembang mengandalkan HHBK untuk kesehatan dan gizinya. Perdagangan HHBK dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sumber mata pencaharian, pendapatan khususnya bagi masyarakat pedesaan (FAO, 2001).

Kebanyakan HHBK digunakan untuk pemenuhan kebutuhan subsisten, dilakukan dalam skala kecil dan industri rumah tangga. Padahal mayoritas HHBK digunakan oleh industri skala besar seperti industri makanan dan minuman, pakaian, parfum, obat, cat dan politur. Oleh karena itu dalam perdagangan internasional HHBK banyak terdapat dalam berbagai level pengolahan, sedikitnya terdapat 150 jenis HHBK dengan nilai sekitar US$ 11 billion, sekitar 60 persen diimpor oleh EU, USA dan Jepang. Secara umum arah perdagangan tersebut adalah dari negara berkembang ke negara maju (FAO, 1995).

HHBK banyak diperdagangkan dalam jumlah kecil, tetapi seperti madu, walnuts, gum turpentine, resin, rotan dan gum arabic mencapai level perdagangan yang cukup besar. Diketahui pula sekitar 2500 jenis tanaman obat dan aromatik terdapat dalam perdagangan internasional saat ini (Schippmann et al., 2003).

Beberapa studi mencoba mengkaji nilai potensial HHBK sebagaimana dilaporkan oleh FAO (2003) menunjukkan bahwa hasil per tahun per hektar berkisar antara US$0,75 and US$420. Penelitian lain di Peru, menyimpulkan bahwa hasil buah dan getah mencapai US$6.330 selama periode 50 tahun, dibandingkan dengan US$ 2960 hasil penggembalaan ( grazing) dan US$ 1.000 dari perdagangan kayunya. Namun, pada dasarnya sangat sulit untuk mengevaluasi nilai potensi HHBK; demikian juga untuk memprediksi supply dan demand termasuk harganya.

Produksi HHBK Indonesia belum optimal, produk yang dilakukan oleh perusahaan Hutan Tanaman Perum Perhutani di antaranya gondorukem, kopal, dan terpentin. Produk HHBK lainnya lebih banyak dilakukan masyarakat, tetapi kebijakan sektor kehutanan belum mendorong optimalisasi HHBK ini. Ini terlihat dari lemahnya sistem pendataan HHBK. Data produksi dari catatan statistik kehutanan HHBK banyak yang tidak terdata, sementara itu data dari perdagangan atau BPS menunjukkan cukup banyak HHBK yang diekspor. Data ekspor HHBK disajikan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 3.14

Perkembangan ekspor hasil hutan non kayu 2007-2009 Type

2009 (USD) Natural honey

4,063,250 4,642,039 Gum: dammar, resin etc

54,684,787 63,345,446 Bamboos plait &other

27,948,348 26,901,677 Terpunten oil

32,203,313 42,281,410 Fuel wood:log, billet

6,529,385 9,504,630 Total (US$)

Sumber : Kemenhut. 2010. Ekspor impor komoditas kehutanan 2007-2009

Gambar di bawah ini menunjukkan implikasi dari kegagalan mempertahankan atau menjaga stok hutan, sehingga telah melemahkan ekonomi kehutanan; pertumbuhan ekonomi sektor kehutanan maupun kontribusi kehutanan terhadap PDB Indonesia semakin menurun. Pertumbuhan PDB kehutanan negatif pada kurun waktu 2005-2008, di tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kehutanan berkisar 1-2%/tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 6%/tahun.

Gambar 3.7. Perkembangan kontribusi ekonomi kehutanan terhadap PDB total Meskipun produksi kayu bulat meningkat menjadi 45 juta m 3 , tetapi sebagian besar adalah kayu bulat serpih untuk bahan baku industri pulp, yang nilai per

unit lebih rendah dari nilai per unit kayu bulat hutan alam kelompok Meranti dan lain-lain. Penurunan nilai total produksi kayu bulat ini gagal diikuti oleh peningkatan nilai tambah dari sektor pengolahan kayu. Nilai ekspor kayu lapis dan kayu gergajian cenderung menurun, sedangkan nilai ekspor pulp meningkat tetapi tidak memberi peningkatan secara total ekonomi kehutanan. Sehingga PDB kehutanan terus menurun dan kontribusinya terhadap PDB Indonesia kurang dari 1%.

Berdasarkan Statistik PDRB di setiap provinsi, menunjukkan gambaran ekonomi kehutanan di setiap provinsi juga menunjukkan kontribusi yang kecil dan terus menurun. Wilayah provinsi yang mempunyai kontribusi ekonomi kehutanan terhadap ekonomi wilayah 4-8%, sangat terbatas, yaitu hanya di Provinsi Riau, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Papua Barat. Yang mempunyai kontribusi ekonomi wilayah 2-4%, adalah Provinsi Kalteng, Kaltim, Maluku Utara dan Papua, sedangkan provinsi lainnya memiliki kontribusi 0,1 – 1,9%. Perkembangan ekonomi kehutanan di semua wilayah provinsi cenderung menurun, seiring dengan peningkatan kerusakan hutan. Kondisi ini ditunjukkan pada Tabel 3.15, sedangkan secara rinci setiap provinsi disajikan pada Lampiran 3.4.

Tabel 3.15 Besar dan tren kontribusi ekonomi kehutanan terhadap ekonomi wilayah provinsi tahun 2007-2011

Kontribusi Kehutanan thd Ekonomi NO

PROVINSI Wilayah (%)

1 Papua Barat

3 Sulawesi Tengah

4 Kalimantan Tengah

6 Maluku Utara

7 Kalimantan Timur

8 Lainnya (rataan)

Sumber: Diolah dari Statistik PDRB (BPS, 2012) Berdasarkan kegiatan produksi hasil hutan di setiap provinsi, dan nilai PDRB

kehutanan digunakan sebagai pendekatan nilai ekonomi lahan hutan di setiap provinsi, nilainya masih rendah, berkisar Rp 1,23 juta/ha sampai Rp 1,65 juta/ha. Sedangkan pertumbuhan produksi kehutanan relatif stagnan, dengan nilai lahan relatif konstan Rp 0,6 juta/ha (Tabel 3.16).

Tabel 3.16 Nilai lahan hutan rata-rata seluruh provinsi, menurut harga berlaku dan konstan tahun 2007-2011

Nilai lahan hutan (juta rupiah/ha) PDRB berdasarkan harga

2010 2011 Harga berlaku

1.23 1.39 1.46 1.55 1.65 Harga konstan

Sumber: Diolah dari Statistik PDRB (BPS, 2012) Potensi HHBK apabila dikelola sebagai suatu unit usaha/bisnis, memberi

kontribusi yang signifikan. Sebagai gambaran, studi yang dilakukan Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan AFD dan Burung Indonesia (2009) menunjukkan bahwa pengelolaan restorasi ekosistem seharusnya dilakukan melalui model pengelolaan multiple use. Dalam jangka pendek, HTI dengan produk tunggal kayu lebih menguntungkan, tetapi dalam jangka panjang model multiple use lebih unggul dari HTI. HHBK yang dikaji di dalam model multiple use adalah getah jelutung, buah tengkawang, cendana, gaharu, damar, kopal, jernang, minyak kayu putih. Adapun jasa lingkungan mencakup ekowisata dan wisata buru, pelestarian keanekaragaman hayati, dan reduksi emisi karbon (REDD+).

Tabel 3.17. Komparasi model pengelolaan restorasi ekosistem hutan alam yang single dan multiple product dengan model IUPHHK konvensional

Net Present Value selama 60 tahun (Rp Model

milyar)

No pengelolaan

RE-Wil

RE Wil

IUPHHK- IUPHHK-