Kondisi yang Diinginkan

5.1 Kondisi yang Diinginkan

Kondisi yang diinginkan adalah wujud kehutanan di masa akan datang, yang diharapkan dapat dicapai melalui proses secara bertahap dalam pembangunan kehutanan jangka panjang (20 sampai 25 tahun). Kondisi yang diharapkan ini dibangun atas pertimbangan kondisi sumberdaya hutan, kinerja pembangunan kehutanan dan permasalahannya saat ini, serta berbagai ide yang sedang berkembang hingga saat ini seperti road map revitalisasi industri kehutanan Indonesia (2007), roadmap pembangunan kehutanan berbasis hutan tanaman dan taman nasional (2011), rencana investasi kehutanan Indonesia (2012), rencana makro pemantapan kawasan hutan (2013), Nota Kesepahaman Bersama 12 Kementerian/Lembaga (2013). Secara garis besar kondisi dimaksud dikelompokkan ke dalam kawasan hutan, pengelolaan, produktivitas, industri, akses masyarakat, ekonomi dan lingkungan.

1. Kawasan hutan dalam 20-25 tahun yang akan datang

a. Luas kawasan hutan yang akan dipertahankan dan mendapat kesepakatan para pihak seluas 112,34 juta ha dan terbagi habis di dalam KPH

b. Kawasan hutan sebagai hutan tetap status kepemilikannya diidentifikasi dan dikukuhkan untuk kepastian tenurial jangka panjang.

c. Luas kawasan hutan konservasi (HK) dipertahankan/dijaga keberadaannya dan permasalahan hak-hak pihak ketiga serta konflik jangka panjang dapat terselesaikan

d. Luas kawasan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) dipertahankan dan dimanfaatkan dengan perubahan peruntukan/fungsi tidak lebih dari 20% dan tidak ada tumpang tindih areal pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan;

e. Perubahan peruntukan dan penggunaan kawasan hutan sinergis dengan pembangunan di luar sektor kehutanan.Perubahan peruntukkan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan dalam rangka kepentingan pembangunan nasional dan daerah direncanakan maksimal 18,34 juta ha, dari alih fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Rencana perubahan peruntukan kawasan hutan dipetakan di setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

2. Pengelolaan hutan, terkait dengan kinerja organisasi pada aspek ekonomi, lingkungan, konservasi dan sosial:

a. Seluruh kawasan hutan (hutan tetap) milik negara direncanakan terbagi atas lebih kurang 600 KPH. Sampai saat ini yang sudah ditetapkan untuk dikelola adalah 519 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPHP 311 unit, KPHL 170 unit, KPHK 38 unit); sedangkan hutan milik (masyarakat adat, rakyat) dikelola oleh pemilik untuk menjamin pengelolaan secara lestari.

b. Seluruh kawasan hutan dikelola dengan prinsip berbasis ekosistem dengan manfaat ganda, dengan ciri sesuai fungsi pokok setiap hutan, dengan arah pemanfaatannya menjamin optimalisasi manfaat ekonomi, sosial budaya dan lingkungan yang sebesar-besarnya di dalam pembangunan daerah dan nasional:

i. Pengelolaan hutan produksi berbasis ekosistem untuk meningkatkan kinerja rehabilitasi dan pembangunan hutan, optimalisasi pemanfaatan hasil kayu dan bukan kayu serta jasa lingkungan secara terpadu

ii. Pengelolaan hutan konservasi berbasis ekosistem untuk meningkatkan kinerja konservasi dan rehabilitasi serta mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan, ekowisata dan hasil hutan bukan kayu.

iii. Pengelolaan hutan lindung berbasis ekosistem untuk meningkatkan kinerja reboisasi, mencegah degradasi dan deforestasi serta meningkatkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan

c. Dari kondisi tahun 2012 mengenai PHL yang telah bersertifikat, yaitu hutan alam sebanyak 39 unit (4,819 juta ha) dan hutan tanaman sebanyak 28 unit (3,560 juta ha), pada 5 tahun ke depan diharapkan seluruh unit manajemen hutan alam aktif (130 unit) dan hutan tanaman aktif (106 unit) telah bersertifikat PHL. Selanjutnya pada 10 tahun yang akan datang, seluruh unit manajemen hutan alam (292 unit dan 4 unit restorasi ekosistem) serta seluruh unit hutan tanaman (249 unit) telah bersertifikat PHL.

d. Deforestasi dan degradasi hutan diminimalkan dengan laju deforestasi di kawasan hutan tetap semula 478.618 ha/thn diupayakan semakin turun menuju nol di hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi, seiring dengan kemantapan kawasan hutan di dalam tata ruang dan pembangunan rendah emisi karbon dari hutan.

e. Kebakaran hutan yang saat kini masih terjadi akibat tindakan para pemanfaat lahan dan hutan berkisar antara 2.600 sampai 7.620 ha per tahun (Statistik Kehutanan 2012), pada 5 tahun akan datang menurun 1.000 ha/tahun, dan 10 tahun akan datang tidak ada kebakaran hutan dan lahan yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan, seiring dengan kemantapan kelembagaan pengendalian kebakaran dan penegakan hukum.

f. Fungsi ekologis hutan pada skala bentang alam di wilayah kabupaten/ provinsi dipulihkan. Jumlah DAS prioritas I semula 386 DAS, prioritas II 1.432 DAS, prioritas III 1.499 DAS (Statistik Kehutanan 2012), menurun tingkat kekritisannya sehingga seluruh DAS prioritas I menjadi prioritas II, dan prioritas II menjadi prioritas III, dengan indikator indeks erosi < 1 dan indeks penggunaan air < 1. Lahan kritis berupa non hutan di KSA, KPA dan HL seluas 10,93 juta ha, 20 tahun akan datang dapat dipulihkan direhabilitasi/reboisasi 0,5 juta ha/tahun. Tutupan non hutan dalam areal HP (19,49 juta ha) direhabilitasi melalui realisasi penanaman HTI 5,92 juta

ha (total tanaman HTI/HTR11,7 juta ha), dan penanaman oleh unit manajemen hutan alam diasumsikan 20% dari 24,4 juta ha, serta unit ha (total tanaman HTI/HTR11,7 juta ha), dan penanaman oleh unit manajemen hutan alam diasumsikan 20% dari 24,4 juta ha, serta unit

3. Peningkatan produktivitas hutan alam dan tanaman

a. Peningkatan produktivitas hutan alam produksi dapat dicapai dengan penerapan multisistem silvikultur untuk mengoptimalkan produksi hasil hutan dengan berbagai komoditi kayu dan non kayu yang akandikembangkan sesuai dengan perkembangan IPTEK.

b. Berdasarkan kondisi pengelolaan hutan alam saat ini, kehutanan diharapkan dapat mempertahankan areal hutan alam produksi seluas 24,5

juta ha dengan produksi 14 juta m 3 . Selain itu, peningkatan produktivitas hutan alam juga perlu dilakukan dengan penerapan SILIN untuk

meningkatkan produksi kayu(Lampiran 5.1), khususnya kelompok meranti, pada areal seluas 3 juta ha. Dengan demikian, produksi hasil hutan kayu dari hutan alam pada 30 tahun ke depan diproyeksikan setidaknya 40 juta

m 3 /tahun.

c. Sesuai dengan Roadmap Pembangunan Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman dan Taman Nasional tahun 2011, peningkatan produksi kayu dari hutan tanaman luas neto 14,5 juta ha (luas bruto 19,5 juta ha), terdiri dari HTI (10 juta ha), HTR (1,7 juta ha) dan hutan rakyat (2,8 juta ha). Dengan luasan tersebut, produksi kayu dari hutan tanaman pada 10 tahun

ke depan diperkirakan akan mencapai 362,5 juta m 3 /tahun untuk berbagai penggunaan di sektor industri yang mencakup pulp, plywood, kayu

gergajian, dan bio-energi.

d. Produksi hasil hutan bukan kayu, antara lain rotan, jernang, gaharu, kemedangan, dammar, sagu, gondorukem, kopal, madu, terpentin, sutera, kayu putih, bambu, arang, memiliki nilai saat ini 9,5 triliun rupiah pertahun. Dalam 10 tahun yang akan datang akan meningkat minimal sepuluh kali menjadi 95 triliun rupiah per tahun melalui pembangunan (budidaya), antara lain terintegrasi dengan restorasi hutan alam (Berdasarkan rencana investasi kehutanan Indonesia, 2012, diperkirakan lebih dari 6,5 juta hektar lahan perlu direhabilitasi).

4. Kinerja industri berbasis kayu dan non kayu yang memberikan nilai tambah tinggi, ramah lingkungan seperti nir limbah dan emisi karbon minimum, efisien, dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.

a. Industri berbasis bahan baku kayu 10 sampai 20 tahun yang akan datang:

i. Industri pulp dan kertas dengan bahan baku sepenuhnya dari hutan tanaman (55% dari total produksi kayu hutan tanaman dialokasikan untuk bahan baku pulp) untuk memproduksi pulp 45 juta ton/tahun dan produksi kertas 40,5 juta ton/tahun

ii. Industri kayu gergajian dengan bahan baku dari hutan alam dan hutan tanaman (71% dari total produksi kayu hutan alam dan 20% produksi kayu hutan tanaman dialokasikan untuk bahan baku kayu gergajian)

untuk memproduksi kayu gergajian 41,25 juta m 3 /tahun.

iii. Industri wood working dan furniture proses hilir dari kayu gergajian di tingkatkan mencapai produksi wood working 21,75 juta m 3 /tahun dan

furniture 3,4 juta m 3 /tahun

iv. Industri kayu lapis dengan bahan baku dari hutan alam dan hutan tanaman (29% dari total produksi hutan alam dan 19% dari hutan tanaman dialokasikan bahan baku kayu lapis) untuk produksi kayu

lapis 37,2 juta m 3 /tahun v. Industri bio-energi bahan baku kayu dari hutan tanaman dan limbah

kayu hutan alam (5,5% dari produksi kayu hutan tanaman dan sekitar 1,4 juta ton dari limbah pemanenan hutan alam) untuk produksi bio- energi 5 juta ton/tahun.

b. Industri berbasis bahan baku non kayu

i. Industri pengolahan rotan dan furniture rotan, serta pengolahan jernang, dengan sumber bahan baku dari HL dan HP (khususnya dari restorasi ekositem hutan alam) penggunaan bahan baku rotan semula 250.000 ton meningkat 2,5 juta sampai 5 juta ton/tahun.

ii. Industri pengolahan minyak nabati tengkawang, dengan penggunaan bahan baku buah tengkawang 240.000 ton/tahun.

iii. Industri minyak kayu putih semula produksi 1.400 ton meningkat minimal 7.000 ton/tahun. iv. Industri terpentin meningkat dari 247 ton/tahun menjadi minimal 1.250 ton/tahun v. Industri pengolahan gaharu dengan bahan baku 770 kg dapat meningkat minimal 3.850 kg/tahun

c. Industri berbasis jasa lingkungan (jasa pengaturan) ekosistem hutan Potensi jasa lingkungan berupa stok karbon 2,96 gigaton, massa air 1.300

juta m 3 untuk industri pemanfaatan massa air baku dan air minum dalam kemasan, ataupun industri energi air untuk menghasilkan listrik kebutuhan

rumah tangga atau industri. Di samping itu potensi panas bumi mencapai 1.134 mega watt.

5. Ekonomi Kehutanan

a. Berdasarkan Roadmap Pembangunan Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman dan Taman Nasional (2011) dan Policy Paper Fakultas Kehutanan IPB (2013) diperlukan investasi pengelolaan atau pembangunan hutan alam dan hutan tanaman mencapai Rp 1.590,25 triliun, dengan investasi swasta Rp 1.562,40 triliun (98,2%), dan investasi publik Rp 27,85 triliun (1,8%).

b. Investasi kehutanan tersebut diestimasi akan memberikan dampak sosial penyerapan tenaga kerja 9,3 juta tenaga kerja.

c. Manfaat ekonomi produksi kehutanan menghasilkan nilai PDRB seluruh Indonesia sebesar Rp 56,59 triliun/ tahun (tahun 2011) estimasi kajian 61triliun. Diperhitungkan juga selain produksi barang dan jasa yang memiliki harga pasar juga dinilai seluruh hasil hutan dan jasa ekologis hutan, menggunakan angkanilai per unit barang dan jasa lingkungan hutan hasil valuasi Fakultas Kehutanan IPB (1999), Bahruni etal. (2006).Pada c. Manfaat ekonomi produksi kehutanan menghasilkan nilai PDRB seluruh Indonesia sebesar Rp 56,59 triliun/ tahun (tahun 2011) estimasi kajian 61triliun. Diperhitungkan juga selain produksi barang dan jasa yang memiliki harga pasar juga dinilai seluruh hasil hutan dan jasa ekologis hutan, menggunakan angkanilai per unit barang dan jasa lingkungan hutan hasil valuasi Fakultas Kehutanan IPB (1999), Bahruni etal. (2006).Pada

Tabel 5.1 Valuasi nilai ekonomi ekologis ekosistem hutan

Nilai kondisi saat kini (Rp triliun/thn)

HK

HL

HP Total

il a o n HHBK

11.99 18.68 9.25 39.9 N ko

E Ekowisata

Pelestarian biodiversitas

ko E Fungsi pengendalian erosi, banjir

i a il

Keberadaan flora fauna endemik

23.02 32.51 38.28 93.81 Nilai kondisi diharapkan (Rp triliun/tahun)

il n HHBK

68.98 263.55 N ko

E Ekowisata

Pelestarian biodiversitas

ko

E Fungsi pengendalian erosi, banjir

a i il

Keberadaan flora fauna endemik

Ada beberapa kebijakan yang perlu dibuat agar potensi sektor kehutanan yang sangat besar dapat mengejawantah menjadi kekuatan nyata.Beberapa kebijakan tersebut dikelompokkan menjadi (1) tata ruang dan kawasan hutan, (2) ekonomi kehutanan, mencakup (i) penguatan bahan baku, (ii) penguatan industri, (iii) penguatan perdagangan hasil hutan, (3) akses masyarakat, (4) konservasi dan lingkungan (5) kelembagaan dan sumberdaya manusia.

5.2.1 Kebijakan Tata Ruang dan Kawasan Hutan

1. Harmonisasi peraturan pemantapan kawasan hutan dengan berbagai peraturan perundangan terkait erat yaitu tata ruang, pertambangan dan perkebunan, dan keputusan MK terkait penunjukkan dan pengukuhan hutan.

2. Percepatan pemantapan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan di dalam tata ruang (RTRWP dan RTRK). Agar kepastian kawasan hutan ini memiliki legitimasi yang kuat, maka proses tata ruang harus berangkat dari kepentingan bersama, bukan kepentingan sektoral.

3. Penyelesaian konflik tumpang tindih perizinan di kawasan hutan, terutama izin tambang dan perkebunan, akibat keterlanjuran ketidaksinkronan tata ruang daerah menurut Perda dan Keputusan Menteri Kehutanan kawasan hutan dan perairan, serta kondisi politik lokal. Penyelesaian melalui penataan ulang atau proses hukum.

4. Penyelesaian konflik tenurial dengan masyarakat di seluruh fungsi hutan (HK, HL dan HP), dengan mengimplementasikan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang hutan adat.

5. Pemetaan alokasi hutan produksi milik negara untuk akses pengelolaan atau pemanfaatan oleh masyarakat (HTR, HD, HKm) di setiap provinsi dan kabupaten.

6. Penyepakatan satu peta di semua sektor berbasis lahan di dalam perencanaan penggunaan ruang, penataan ruang, pemberian izin usaha.

5.2.2 Kebijakan Ekonomi

5.2.2.1 Penguatan Bahan Baku

1. Proses pemantapan kawasan membutuhkan dukungan anggaran yang tidak kecil, oleh karena itu kebijakan pemantapan kawasan ini juga harus sinkron dengan kebijakan fiskal.

2. Meninjau ulang peraturan mengenai investasi di hutan alam. Selama aset hasil investasi di hutan alam masih menjadi milik pemerintah, maka dorongan untuk melakukan investasi di hutan alam tidak akan pernah terjadi.Adopsi teknologi SILIN yang penting bagi peningkatan riap di hutan alam yang umumnya sangat rendah menjadi tidak mungkin terjadi.

3. Menyederhanakan perizinan melalui deregulasi dan debirokratisasi di semua bentuk perizinan. Mendorong agar mekanisme pasar mempunyai ruang bekerja yang lebih leluasa dalam mengarahkan bisnis kehutanan, sehingga pemerintah tidak dituntut untuk membuat peraturan yang terlalu banyak dan biaya transaksi dapat ditekan.Khususnya untuk pengusahaan hutan tanaman baik untuk HTI maupun HTR.Perizinan yang berlaku saat ini sangat birokratis dan menimbulkan biaya tinggi.

4. Kebijakan pengembangan produksi hasil hutan kayu dan non kayu diarahkan ke penyesuaian dengan daya dukung lahan hutan sebagai penopang produksi lestari.Pemenuhan bahan baku industri kayu dan non kayu ditopang dengan perubahan bentuk perizinan. Melakukan perubahan peraturan perizinan dari berbasis komoditi (kayu, non kayu, hutan alam, 4. Kebijakan pengembangan produksi hasil hutan kayu dan non kayu diarahkan ke penyesuaian dengan daya dukung lahan hutan sebagai penopang produksi lestari.Pemenuhan bahan baku industri kayu dan non kayu ditopang dengan perubahan bentuk perizinan. Melakukan perubahan peraturan perizinan dari berbasis komoditi (kayu, non kayu, hutan alam,

5.2.2.2 Penguatan Industri Kehutanan

1. Mendorong tumbuhnya industri yang padat karya dan yang memberi nilai tambah tinggi, seperti industri woodworking.Selama ini, sebagian besar bahan baku kayu bulat lebih banyak mengalir ke industri yang padat modal tetapi rendah nilai tambah, seperti veneer dan pulp.

2. Membangun cluster industri kehutanan sehingga efisiensi pemanfaatan bahan baku dapat maksimal dan produk yang dihasilkan menjadi kompetitif. Hal ini akan tergantung kepada potensi kayu, non kayu dan jasa lingkungan di masing-masing wilayah, dan dapat dikelompokkan ke dalam cluster industri terkait, termasuk upaya mitigasi perubahan iklim (REDD+).

3. Mencegah timbulnya atau mengendalikan market power dalam industri kehutanan.Struktur pasar yang oligopolistik (dalam produksi pulp) atau oligopsonistik (dalam pengadaan bahan baku) akan menghambat persaingan usaha yang sehat dan pada akhirnya merugikan masyarakat secara keseluruhan.

4. Menghilangkan keharusan untuk membangun industri yang terkait bahan baku (integrasi vertikal), yang mendistorsi harga pasar.

5. Penyusunan sistem rantai nilai komoditas hasil hutan dengan industri sekunder dan tertier dan standar industri hijau.Industri kehutanan sebagai rantai nilai ( value chain) dikembangkan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan sehingga kontribusi kehutanan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih besar dibanding masyarakat di luar kawasan hutan.

6. Penyusunan sistem insentif teknologi bersih dan kinerja temuan pengembangan penelitian (R & D) di setiap unit industri pengolahan.

7. Industri kehutanan setempat atau lokal difokuskan kepada hasil hutan kayu dan non kayu komersial yang mampu dihasilkan oleh unit pengelolaan hutan setempat dengan membuka usaha industri pengolahan kepada masyarakat lokal untuk mendukung perekonomian daerah, penghasil asli daerah dan atau untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

5.2.2.3 Kebijakan Perdagangan Hasil Hutan

1. Menghilangkan berbagai faktor yang selama ini mendistorsi pasar kayu bulat dan hasil hutan lainnya.Kebijakan larangan ekspor kayu bulat, atau 1. Menghilangkan berbagai faktor yang selama ini mendistorsi pasar kayu bulat dan hasil hutan lainnya.Kebijakan larangan ekspor kayu bulat, atau

2. Membentuk pusat informasi pasar kayu, non kayu, dan jasa lingkungan untuk memfasilitasi perdagangan hasil hutandomestik dan ekspor serta pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan hutan.

3. Melakukan konektivitas antara lokasi produksi hasil hutan dan industri, serta dengan pasar, melalui pengembangan infrastruktur perhubungan (transportasi dan komunikasi) oleh kementerian terkait.

5.2.3 Kebijakan Akses Masyarakat untuk Pengelolaan Hutan

1. Akses Bagi Masyarakat untuk pengelolaan atau pemanfaatan secara legal. Memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan secara legal.Sejauh ini, pemanfaat kawasan hutan legal sangat didominasi oleh pemilik modal besar dan rakyat setempat terpinggirkan sehingga menimbulkan ketimpangan yang luar biasa.

2. Kebijakan ini dapat mengadopsi kearifan lokal yang terbukti mampu menjaga kelestarian hutan dengan didukung ilmu pengetahuan.

3. Pengembangan kapasitas masyarakat adat, lokal di dalam pengelolaan hutan dan indutri pengolahan kayu dan non kayu.

4. Kebijakan membuka kesempatan kepada tenaga terdidik seperti sarjana kehutanan (setiap tahun dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi) untuk bersama masyarakat lokal memiliki dan melakukan pengelolaan hutan, serta industri pengolahan hasil hutan. Insentif dari usaha pengelolaan hutan ini harus mampu mendorong motivasi kiprah ke kehutanan SDM terdidik kehutanan yang sangat dibutuhkan berkolaborasi dengan sarjana pertanian secara umum, serta teknologi pengolahan.

5.2.4 Kebijakan Konservasi, Rehabilitasi dan Lingkungan

1. Peningkatkan peran kelembagaan yang terintegrasi di tingkat lokal di dalam rehabiltasi lahan dan hutan pada unit DAS.

2. Perubahan pengertian hutan, memperhatikan tingkat kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga pengaturan komposisi pohon hutan 70% dan MPTS 30% tidak relevan lagi di dalam peningkatan fungsi ekosistem hutan hasil RHL untuk kepentingan masyarakat luas.

3. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif terhadap pelaku yang mencapai kinerja perbaikan kualitas lingkungan atau menurunkan kualitas lingkungan.

5.2.5 Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia

Kelembagaan kehutanan dipisahkan antara kewenangan pengambil kebijakan, di dalam kewenangan administratif dan kewenangan pengelolan di tingkat tapak. Pembagian sebagain kewenangan administratif (desentralisasi) ke pemerintah daerah, untuk meningkatkan arti peranan hutan untuk pembangunan daerah, dengan akuntabilitas yang terukur. Pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) mempunyai kewenangan administratif, mempunyai tugas merumuskan kebijakan kehutanan, norma, standar, pengawasan dan evaluasi. Pemda melaksanakan kebijakan administratif di dalam pengurusan kehutanan di daerah.

Kelembagaan pengelolaan di masa depan harus lebih berbasis insentif dan disinsentif dengan memberi ruang yang lebih besar kepada pelaku (pengelola) termasuk pelaku bisnis swasta untuk berkreasi dan berinovasi, dengan kepastian hak harus diperjelas dan dilindungi. Organisasi pengelolaan hutan di tingkat tapak berdiri sendiri berupa KPH, terlepas dari struktur pemerintahan daerah. Bentuk ideal KPH adalah Badan Layanan Umum Daerah. Peran kelembagaan pengelola (KPH) yang efektif diperlukan untuk memulihkan kondisi hutan dan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial. Kondisi ekosistem hutan yang memerlukan pemulihan pada berbagai fungsi hutan disajikan di Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Kondisi tutupan hutan di setiap fungsi hutan menurut hasil interpretasi citra landsat liputan 2011

Tutupan lahan (juta ha) No

39,61 80,342 a. Primer

14,379 40,689 b. Sekunder

22,85 36,802 c. Tanaman

2,373 2,844 2 Non Hutan

19,454 30,384 3 Tidak ada data

59,08 110,768 Ada pengelola

33,509 53,602 Tidak ada pengelola

25,571 57,166 Sumber: Statistik Kehutanan, 2012

Pergeseran pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan untuk memproduksi kayu atau komoditi tunggal lainnya menjadi pengelolaan ekosistem hutan berimplikasi pada bentuk perizinan. Perizinan berbasis komoditi tidak kompatibel dengan paradigma pengelolaan ekosistem hutan, karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih. Bentuk perizinan yang sesuai dengan paradigma pengelolaan ekosistem adalah perizinan ekosistem dengan multiproduk. Satu pemegang izin atas suatu ekosistem dapat memproduksi berbagai macam produk dari ekosistem tersebut.

Model perizinan ekosistem dengan output multiproduk belum mempunyai payung hukum yang aman. Sementara itu, payung hukum yang ada masih menganut pengelolaan hutan yang berorientasi komoditi, khususnya kayu. Oleh karena itu, peraturan perundangan yang ada perlu disesuaikan dengan pergeseran dari pendekatan pengelolaan hutan tersebut.

Organisasi dan tata kerja pemerintahan perlu disesuaikan dengan paradigma baru. Spesialisasi unit kerja berdasarkan komoditi, seperti kayu dan nonkayu, atau hutan alam dan hutan tanaman sudah tidak relevan lagi.

Kepemimpinan di Kementerian Kehutanan perlu mengedepankan integritas, untuk menjamin terjadinya perubahan birokrasi serta peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan. Untuk itu amanat UU Dasar 1945 untuk mensejahterakan rakyat dan integritas pemimpin untuk melaksanakan amanat tersebut adalah landasan utama dalam memilih pemimpin di Kementerian Kehutanan. Kepemimpinan menjadi syarat utama reformasi birokrasi di Kementerian Kehutanan, selanjutnya keberhasilan reformasi birokrasi akan mendorong tata kelola pengurusan hutan yang lebih baik. Mendorong peran serta kelembagaan masyarakat serta kerjasama dengan instansi lain untuk penanggulangan korupsi dan peningkatan integritas di Kementerian Kehutanan perlu menjadi landasan kebijakan aspek kelembagaan.

Melengkapi areal yang telah ditetapkan sebagai KPH dengan organisasi yang akan menjalankan fungsi KPH tersebut. Organisasi KPH ini yang akan bertindak sebagai pengelola hutan di lapangan.Permendagri Nomor 61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi mengamanatkan bahwa organisasi KPHP dan KPHL dibentuk melalui Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten. Keterbatasan daerah, terutama dari segi pendanaan, dapat menjadi faktor penghambat pembentukan organisasi KPHP dan KPHL.Ada 57,2 juta ha kawasan hutan yang belum memiliki pengelola yang hadir di lapangan, ini perlu diselesaikan.Untuk itu, pemerintah pusat dapat membuat terobosan dengan membantu pemerintah daerah agar segera membentuk organisasi KPHP dan KPHL prioritas pada KPH model dengan cara memberikan bantuan dana alokasi khusus kehutanan.