Bidang Pengelolaan

4.2. Bidang Pengelolaan

Dalam rangka padu serasi penataan ruang dan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan sektor lain yang berbasis lahan, telah dilakukan: 1) tukar menukar kawasan hutan dengan areal lain (bukan kawasan hutan) yang kemudian akan direpratiasi ke dalam/menjadi kawasan hutan; 2) pelepasan kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (hutan produksi konversi), untuk kepentingan pembangunan pertanian/perkebunan; 3) pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan transmigrasi; dan 4) pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan, yaitu untuk kepentingan pertambangan dan non tambang yang akan kembali menjadi kawasan hutan setelah ijin berakhir.

Tukar menukar kawasan hutan dengan areal bukan kawasan hutan dilakukan berdasarkan kepentingan kegiatan pembangunan yang dilakukan dan dalam periode 2007 – 2011 hanya terjadi di 5 (lima) wilayah provinsi, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Di Provinsi Lampung, pertukaran kawasan yang tercatat sampai dengan tahun 2007 adalah seluas 30 ha yang mendapat pengganti seluas 90 ha. Di Provinsi Jawa Barat, tukar menukar kawasan hutan terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2011. Pada tahun 2007, kawasan hutan yang dilepaskan adalah seluas 3 ha yang mendapat pengganti seluas 6,54 ha dan pada tahun 2011. Luas kawasan hutan dilepaskan adalah seluas 4.507,35 ha namun belum tercatat luas lahan penggantinya. Di Provinsi Jawa Tengah, pertukaran kawasan terjadi pada tahun 2009, yaitu dilepaskan seluas 1,69 ha dan mendapat pengganti dengan luas yang sama. Di Provinsi Jawa Timur, sampai dengan tahun 2007 tercatat terjadi pertukaran kawasan di dua lokasi, dengan luas kawasan yang dilepaskan 55,49 ha dan mendapat pengganti seluas 188,19 ha. Selanjutnya di Provinsi Kalimantan Selatan, tukar menukar kawasan hutan terjadi pada tahun 2011 dengan luas kawasan yang dilepaskan 578 ha dan mendapat lahan pengganti seluas 675,50 ha. Secara umum luas kawasan hutan tidak berkurang, bahkan bertambah karena lahan pengganti lebih luas daripada yang dilepaskan. Namun, sebagian besar lahan pengganti tersebut sudah diduduki oleh masyarakat sehingga menyisakan konflik lahan yang berkepanjangan dan banyak diantaranya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu. Di sisi lain, lahan pengganti banyak pula yang sudah dibebani hak (sebagai hak milik), sehingga tidak dapat diubah peruntukannya menjadi kawasan hutan, tetapi menjadi lahan yang merupakan aset Kementerian

Kehutanan. Kondisi ini menyebabkan luas efektif kawasan hutan sebenarnya berkurang.

Hutan produksi konversi adalah kawasan hutan yang memang sejak penyusunan Rencana Pengukuhan dan Penetapan Kawasan Hutan atau lebih dikenal dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dicadangkan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan. Perijinan pelepasan kawasan hutan dikategorikan sesuai dengan tahapannya, yaitu menjadi tahap ijin prinsip yang masih dalam proses dan tahap telah mendapatkan surat keputusan pelepasan. Pelepasan kawasan hutan produksi konversi ini tidak terjadi di beberapa wilayah provinsi yang tidak mempunyai kawasan dimaksud, yaitu Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Kawasan hutan produksi konversi yang telah dilepaskan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dalam periode 2007 – 2011 disajikan dalam Tabel 4.1.

Luas kawasan hutan produksi konversi tersebut akan bertambah karena terdapat usulan pelepasan untuk kegiatan pembangunan pertanian/perkebunan yang masih dalam proses, yaitu dalam tahap ijin prinsip, seluas 1,012,779.40 ha yang tersebar di 115 lokasi.

Tabel 4.1. Perkembangan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Pertanian/Perkebunan Tahap SK Pelepasan Tahun 2007-2011

Tahun

Unit

Luas areal

No. Keterangan Pelepasan

6. *) s/d 2011 5 76

5,253,774.75 Termasuk yang dilepaskan sebelum

tahun 2007

Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2011 Pembangunan areal transmigrasi di luar Pulau Jawa, sebagian besar berada di

dalam kawasan hutan yang merupakan hutan produksi yang telah diusahakan oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) atau dulu dikenal dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan telah habis masa berlakunya. Di dalam kawasan hutan produksi ini telah dilakukan kegiatan pembukaan kawasan hutan untuk kepentingan produksi kayu. Kondisi ini menyebabkan kawasan menjadi accessible akibat banyaknya jalan logging serta jalan cabang dan jalan sarad yang dibangun untuk penyaradan serta pengangkutan kayu. Namun demikian, juga dalam kawasan hutan yang merupakan hutan produksi yang telah diusahakan oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) atau dulu dikenal dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan telah habis masa berlakunya. Di dalam kawasan hutan produksi ini telah dilakukan kegiatan pembukaan kawasan hutan untuk kepentingan produksi kayu. Kondisi ini menyebabkan kawasan menjadi accessible akibat banyaknya jalan logging serta jalan cabang dan jalan sarad yang dibangun untuk penyaradan serta pengangkutan kayu. Namun demikian, juga

Peserta transmigrasi (transmigran) berasal dari Jawa (Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur) dan Bali, sehingga pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan transmigrasi ini hanya terjadi wilayah provinsi di luar Jawa dan Bali. Selain itu, pembangunan areal transmigrasi juga tidak dilakukan atau tidak tercatat di Provinsi Bangka Belitung. Berdasarkan Statistik Kehutanan Indonesia 2011, pembangunan transmigrasi yang tercatat adalah sampai dengan tahun 2006, yaitu sebanyak 256 unit dengan luas kawasan hutan yang dilepaskan sebesar 956.125,37 ha. Pada periode 2007 – 2010 tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan transmigrasi dan baru pada tahun 2011 beberapa provinsi mendapat ijin pelepasan kawasan hutan, yaitu: Sumatera Barat sebanyak 2 unit mencakup areal seluas 1.192 ha; Sumatera Selatan sebanyak 1 unit mencakup areal seluas 629,18ha; Kalimantan Tengah sebanyak 1 unit mencakup areal seluas 1.117,83 ha; dan Maluku sebanyak 1 unit yang mencakup areal seluas 700,58 ha. Luas kawasan hutan yang dilepaskan untuk kepentingan transmigrasi ini masih dapat bertambah mengingat terdapat areal transmigrasi yang masih berada dalam tahap persetujuan prinsip, yaitu sebanyak 442 unit yang mencakup areal seluas 606.451,75 ha.

Selain pelepasan kawasan hutan, Kementerian Kehutanan juga memberikan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan yang dapat mengembalikan yang bersangkutan setelah kegiatannya berakhir. Kegiatan pembangunan tersebut dikategorikan sebagai pinjam pakai kawasan untuk tambang dan non tambang. Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan kegiatan pertambangan dan non tambang dalam periode 2007 – 2011, menurut Statistik Kehutanan Indonesia 2011, tidak dilakukan di beberapa wilayah provinsi, yaitu Aceh, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Bali dan Sulawesi Barat. Perkembangan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan tambang dan non tambang dalam periode tersebut disajikan dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Perkembangan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Eksploitasi Tambang dan Non Tambang Tahun 2007-2011

No. Tahun Ijin

Keterangan 1. 2007

Unit lokasi

Luas area (ha)

4 248,21 Lampung (1), Jabar (2), Sulsel (1) 2. 2008

42 38.165,55 Kalsel (15)

3. 2009 90 63.228,55 Kaltim (19), Kalsel (15), Jambi (13) 4. 2010

68 60.073,60 Kalsel (16), Kaltim (12) 5. 2011

81 41.940,92 Jambi (12), Kalsel (12), Kaltim (12) Jumlah

Keterangan: (1) = jumlah unit/lokasi Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2011

Selain seluas sebagaimana Tabel tersebut di atas, pada tahun 2011 terdapat proses ijin pinjam pakai yang masih dalam tahap ijin prinsip untuk 183 unit dengan luas areal 97,874.71 ha. Jumlah ini belum ditambah dengan ijin prinsip yang masih belum selesai proses pinjam pakainya.

Bila pemantapan kawasan hutan yang dikelola oleh suatu unit kelola hutan (KPH) belum disepakati oleh semua pemangku kepentingan hutan, maka kinerja pengelolaan hutan tidak pernah baik. Hal ini disebabkan oleh habisnya energi, waktu dan pikiran untuk penyelesaian konflik yang selalu akan terjadi. Ini terbukti di seluruh Indonesia dimana konflik lahan banyak bermunculan dalam era reformasi sekarang ini. Oleh sebab itu pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi demokrasi saat ini adalah pengelolaan yang memenuhi aspek kredibel, akuntabel, transparan, dan melibatkan seluruh pemangku kehutanan baik secara penuh ataupun parsial.

Kebijakan otonomi daerah yang mempunyai kecenderungan bahwa hutan sebagai sumber pendapatan daerah sebaiknya didefinisikan ulang dengan tetap berprinsip pada pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Pendapatan asli daerah dapat diperoleh dari berbagai sumber yang lebih tinggi kontribusinya dibanding hutan seperti berbagai pajak yang proporsional, pariwisata, industri non kehutanan dan lain sektor.