Bidang Perencanaan

4.1. Bidang Perencanaan

Perencanaan kegiatan kehutanan dan pemantapan kawasan hutan akan selalu bersinggungan dengan berbagai pihak, termasuk kementerian/lembaga, yang berkepentingan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Badan pertanahan nasional (BPN) sebagai salah satu institusi pemerintah yang mengurusi kepemilikan dan penguasaan atas lahan (tanah)mempunyai posisi yang sangat strategis untuk ikut mewujudkan kesepakatan batas-batas kawasan hutan dengan peruntukan lainnya yang jelas dan sah ( legitimate). Konflik tenurial seringkali dimulai dengan ketidakjelasan batas kawasan hutan dan penggunaan serta peruntukan lahan yang dalam sejarah pertanahan memang membingungkan banyak pihak. Hal yang sama dijumpai dalam konflik areal pertanian, perkebunan, pertambangan, transmigrasi, masyarakat sebagai individu dan sebagai kelompok, institusi pemerintah dan swasta. Dengan demikian keterlibatan berbagai pihak terkait sangat diperlukan sehingga pemantapan kawasan hutan harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. Belum tercapainya koordinasi dan kesepakatan yang sempurna oleh semua pemangku kepentingan menjadikan luasan hutan tidak pernah sama dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu kepastian kawasan menjadi salah satu penyebab pengelolaan hutan menjadi tidak optimal.

Dalam tahap perencanaan, keberadaan kawasan hutan sangat terkait dengan proses penataan ruang, khususnya ruang darat dan pesisir. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang merupakan pengganti Undang-Undang terdahulu, yaitu Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 angka 1). Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 2, dinyatakan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang serta dalam Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Oleh karena itu, kawasan hutan yang merupakan salah satu bentuk ruang di dalam wilayah administratif akan sangat terkait dengan proses penataan ruang yang dilakukan di dalam wilayah yang bersangkutan. Permasalahan yang banyak timbul adalah dalam proses penataan ruang yang seringkali tidak menyesuaikan dengan keberadaan kawasan hutan karena adanya kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan sektor lain.

Penataan ruangadalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU 26/2007, Pasal 1 angka 5). Berkaitan dengan hal tersebut, pada awal tahun 1980an, Kementerian Kehutanan Penataan ruangadalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU 26/2007, Pasal 1 angka 5). Berkaitan dengan hal tersebut, pada awal tahun 1980an, Kementerian Kehutanan

2) hutan lindung; 3) hutan produksi terbatas; 4) hutan produksi (tetap); 5) hutan produksi konversi (yang dapat dikonversi); 6) hutan negara bebas; dan 7) areal penggunaan lain.Dalam perkembangannya, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka dilakukan padu serasi antara TGHK dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Berdasarkan hasil padu serasi menurut undang-undang tata ruang tersebut, fungsi kawasan hutan menjadi: 1) Hutan Suaka Alam, terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, dan cagar biosfir; 2) Hutan Pelestarian Alam, terdiri dari taman nasional, taman hutan raya (Tahura), taman wisata alam, hutan penelitian dan hutan pendidikan; 3) hutan lindung, terdiri dari hutan lindung (daratan) dan hutan lindung gambut; 4) hutan produksi, terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi (tetap), hutan produksi lainnya; dan 5) areal pertanian dan non pertanian. Dalam proses ini, banyak lahan kawasan hutan, terutama hutan produksi dan hutan lindung yang berubah peruntukannya menjadi bukan kawasan hutan, seperti lahan perkebunan dan pertanian.

Penataan kawasan hutan tidak hanya dilakukan terhadap wilayah daratan tetapi juga dilakukan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditunjuk sebagai kawasan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 3). Oleh karena itu, kawasan hutan juga mencakup wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang sebagian besar merupakan hutan lindung dan kawasan konservasi. Meskipun belum banyak kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditunjuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, namun dalam implementasinya di lapangan, perlu adanya keserasian, baik dalam tahap perencanaan maupun pengelolaan untuk menghindari terjadinya duplikasi atau tumpang tindih peruntukan. Dalam undang-undang ini, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (Pasal 1 angka 2) dan pulau

kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya (Pasal 1 angka 3).Salah satu

upaya penting yang dilaksanakan adalah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1 angka 19).

Upaya konservasi yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan adalah melalui penunjukan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dalam bentuk Kawasan

Suaka Alam Laut (Cagar Alam Laut dan Suaka Margasatwa Laut) dan Kawasan Pelestarian Alam Laut (Taman Nasional Laut dan Taman Wisata Alam Laut) berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Dalam konteks undang-undang konservasi keanekaragaman hayati ini, upaya konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Pasal 1 angka 2).Selanjutnya, kawasan konservasi yang dikategorikan sebagai kawasan suaka alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (Pasal 1 angka 9); dan kawasan pelestarian alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 1 angka 13). Sedangkan dalam undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Pasal 1 angka 20).

Dari sudut pandang konservasi, wilayah pesisr dan pulau-pulau kecil dipandang sebagai suatu ekosistem khas, yang perlu dikonservasikan sehingga banyak lokasi telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam yang pemanfaatan lebih lanjut tidak besifat ekstraktif. Hal ini seringkali dipandang sebagai tidak produktif oleh masyarakat sekitar dan terutama pemerintah daerah karena tidak memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Selain itu, banyak sektor pembangunan yang berbasis lahan, dalam perencanaan pembangunannya tidak memperhatikan status lahan sehingga seringkali terjadi tumpang tindih kepentingan yang berkepanjangan dan menyebabkan terhambatnya kegiatan pembangunan dimaksud. Hal ini seringkali menimbulkan dualisme pandangan masyarakat, yaitu lingkungan vs pembangunan, dan mendorong ke arah perhitungan ekonomi sesaat ( quick cash) yang akan lebih mementingkan keuntungan jangka pendek yang nyata dengan kerusakan jangka panjang dibandingkan dengan keuntungan yang bersifat intangible dan berjangka panjang. Pemberlakuan otonomi daerah juga telah mendorong pembentukan daerah

wilayah administrasi pemerintahan,baik kabupaten/kotamaupun provinsi. Pembentukan daerah otonom ini seringkali tidak memperhatikan status kawasan yang ada, sehingga terjadi konflik pemanfaatan lahan, sebagai contoh adalah pembangunan kabupaten Wakatobi di Provinsi Sulawesi Selatan yang tumpang tindih dengan Taman Nasional Wakatobi.Hal ini menyebabkan kepastian hukum pengelolaan ataupun pemanfaatan kawasan untuk kepentingan pembangunan dimaksud menjadi tidak jelas.

otonom

barudalam

bentuk

pemekaran

Wilayah daratan dan perairan Indonesia, dibagi habis ke dalam wilayah administrasi pemerintahan, yaitu provinsi dan kabupaten/kota.Sejalan dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 1, ayat (5) menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerahotonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahandan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturanperundang-undangan.Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuanmasyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yangberwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dankepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkanaspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (6)) diterjemahkan kedalam wilayah administrasi kabupaten/kota. Berdasarkan undang-undang ini, daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk diantaranya adalah melaksanakan dan menata wilayahnya.

Pengaturan penataan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi merupakan upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang (UU 26/2007, Pasal 1 angka 9). Oleh karena itu, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menata kawasan yang termasuk ke dalam wilayah administrasinya sesuai dengan kepentingan pembangunan daerah yang bersangkutan serta peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya, kawasan yang merupakan wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya (UU 26/2007, Pasal 1 angka 20), dikategorikan ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan(UU 26/2007, Pasal 1 angka 21), dan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (UU 26/2007, Pasal 1 angka 22). Oleh karena itu, dengan tujuan pembangunan wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pemerintah daerah dapat mengajukan perubahan tata ruang wilayah yang bersangkutan sehingga terjadi perubahan peruntukan lahan yang berujung pada ketidakpastian kawasan.

Menurut ketentuan Pasal 3, UU 26/2007, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap

lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Sesuai dengan tujuan penataan ruang ini, maka perlu adanya keterpaduan dan keserasian berbagai kepentingan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, termasuk pengalokasian kawasan hutan secara jelas dan tegas sehingga dapat diketahui kawasan hutan tetap di masing-masing wilayah administrasi kabupaten/kota maupun provinsi. Hal ini terkait dengan ketentuan Pasal 17 yang menyatakan bahwa: (1)muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola tata ruang; (2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana; (3) rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya; (4) peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan; (5) dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Ketentuan ini dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya perubahan status kawasan hutan yang telah ditunjuk sebagai hutan tetap di wilayah provinsi maupun kabupaten/kota, khususnya di luar Pulau Jawa yang masih mempunyai kawasan hutan lebih dari 30 persen, sekaligus membuat tata ruang wilayah yang bersangkutan menjadi tidak pasti ( unsecured land uses). Padahal dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dinyatakan bahwa rencana tata ruang sebagai hasil dari pelaksanaan perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan acuan bagi pemanfaatan ruang untuk seluruh kegiatan yang memerlukan ruang melalui kegiatan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah (PP 15/2010, Pasal 23).

Berkaitan dengan keberadaan kawasan hutan di wilayah administrasi yang bersangkutan, dinyatakan bahwa dalam hal terdapat bagian kawasan hutan dalam wilayah provinsi yang belum memperoleh persetujuan peruntukan ruangnya, terhadap bagian kawasan hutan tersebut mengacu pada ketentuan peruntukan kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi sebelumnya (PP 15/2010, Pasal 30 ayat (1)). Selanjutnya, bagian kawasan hutan dalam wilayah provinsi yang belum memperoleh persetujuan peruntukan ruangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi yang akan ditetapkan dengan mengacu pada ketentuan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi sebelumnya (PP 15/2010, Pasal 30 ayat (2)). Kurangnya keterpaduan dalam tahap perencanaan di tingkat daerah ini menyebabkan banyak kawasan hutan yang sudah berubah fungsi dan pemanfaatannya sebelum adanya ijin pelepasan kawasan hutan walaupun telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal

31 bahwa: (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; (2) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diintegrasikan 31 bahwa: (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; (2) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diintegrasikan

Dalam pelaksanaan Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), terdapat pengaturan lebih lanjut terhadap masalah kehutanan dan konservasi sumberdaya alam dalam bentuk Qanun, yaitu: 1) Qanun No. 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam; 2) Qanun No. 15 Tahun 2002 tentang Perizinan Kehutanan; dan 3) Qanun No. 20 Tahun 2002 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam Qanun No. 14 Tahun 2002 secara jelas dinyatakan bahwa Penyelenggaraan kehutanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bertujuan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dalam rangkapembangunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan pertimbangan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya, dalam kelompok-kelompok Daerah Aliran Sungai dengan (Pasal 2):

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang pasti dan sebaran proporsional;

b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa semua hutan di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Provinsi yang dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada dasarnya, pemerintah provinsi Aceh (NAD) melakukan perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah walaupun dalam Pasal 6 ayat (4) dinyatakan bahwa Hutan lindung, hutan produksi dan Taman Hutan Raya ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Dalam hal perizinan, Qanun No. 15 Tahun 2002 antara lain mengatur pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 4). Dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan didalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan Nanggroe Aceh Darussalam termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Provinsi yang dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada dasarnya, pemerintah provinsi Aceh (NAD) melakukan perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah walaupun dalam Pasal 6 ayat (4) dinyatakan bahwa Hutan lindung, hutan produksi dan Taman Hutan Raya ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Dalam hal perizinan, Qanun No. 15 Tahun 2002 antara lain mengatur pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 4). Dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan didalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan

Dalam kerangka konservasi sumber daya alam, Qanun No. 20 Tahun 2002 mencakup pengaturan terhadap kegiatan perlindungan, pengendalian, pengawasan, pemantauan, pemulihan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari dan rasional (Pasal 2). Unsur yang diatur meliputi: a) sistem penyangga kehidupan; b) tanah, air dan udara; c) keanekaragaman hayati; d) kelautan dan perikanan; e) bahan galian-galian energi; dan f) bentang alam (Pasal 3).Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, maka daerah aliran sungai, kawasan hutan lindung dan wilayah-wilayah lainnya yang memenuhi kriteria kawasan hutan yang harus dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditetapkan sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Hal ini menegaskan bahwa pada dasarnya, Qanun ini tidak merubah kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi yang telah ditetapkan, bahkan memasukan kawasan lain yang memenuhi kriteria kawasan yang harus dilindungi menjadi bagian dari sistem penyangga kehidupan. Dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, pemerintah daerah mengambil peran yang strategis sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16, bahwa: (1) Pemerintah Daerah dan masyarakat mempertahankan dan memelihara habitat

satwa liar baik berada di dalam maupun di luar kawasan suaka alam. (2) Pada habitat satwa liar yang mengalami fragmentasi akibat pembangunan, pemerintah dan masyarakat membangun dan menjaga lintasan/koridor untuk menghubungkan habitat tersebut.

(3) Pemerintah Daerah menata kembali kegiatan masyarakat yang ternyata berada pada lintasan/koridor satwa liar.

Dalam kerangka Otonomi Khusus sesuai Undang Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, masalah kehutanan diatur dalam Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Secara umum, Perdasus ini mengatur tentang: a) keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat; b) pembentukan kesatuan pengelolaan hutan; c) batasan, prinsip, criteria dan indikator pengelolaan hutan lestari; d) perizinan; e) perencanaan hutan; f) kelembagaan pengelolaan hutan; g) peredaran dan pengolahan hasil hutan; h) bagi hasil penerimaan kehutanan; i) pengawasan dan pengendalian; j) penyelesaian sengketa; dan k) sanksi. Dengan demikian, Perdasus ini mengatur hampir semua aspek. Namun yang menonjol dengan terbitnya Perdasus ini adalah pengakuan kepemilikan hutan alam oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing (Pasal 5). Oleh karena itu, dalam penataan hutan dan penglolaan dan pemanfaatannya lebih lanjut Dalam kerangka Otonomi Khusus sesuai Undang Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, masalah kehutanan diatur dalam Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Secara umum, Perdasus ini mengatur tentang: a) keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat; b) pembentukan kesatuan pengelolaan hutan; c) batasan, prinsip, criteria dan indikator pengelolaan hutan lestari; d) perizinan; e) perencanaan hutan; f) kelembagaan pengelolaan hutan; g) peredaran dan pengolahan hasil hutan; h) bagi hasil penerimaan kehutanan; i) pengawasan dan pengendalian; j) penyelesaian sengketa; dan k) sanksi. Dengan demikian, Perdasus ini mengatur hampir semua aspek. Namun yang menonjol dengan terbitnya Perdasus ini adalah pengakuan kepemilikan hutan alam oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing (Pasal 5). Oleh karena itu, dalam penataan hutan dan penglolaan dan pemanfaatannya lebih lanjut