Single product:

A. Single product:

B. products:

1 NTFPs

- - NTFPs + Wildlife &

- - Ecotourism

3. NTFPs + REDD

- - Wildlife &

4. Ecotourism, dan

- - REDD+ NTFPs + Wildlife &

- - Timber NTFPs + Wildlife &

- - Ecotourism + REDD

Sumber : Fakultas Kehutanan IPB, AFD & Burung Indonesia. 2009.

Bahruni (2011) mengungkapkan kinerja pemanfaatan hutan jika dinilai dengan prinsip dan kriteria pengelolaan hutan lestari, sampai saat kini hanya sebagian kecil yang mencapai kinerja baik, dan yang menggunakan sertifikasi skema voluntary masih sangat terbatas. Dari tahun 2002 sampai tahun 2011, hutan bersertifikat hanya 32% dari total hutan yang dikelola 22,710,256 ha. Ada 140 unit manajemen yang memiliki sertifikasi SFM, diantaranya 31 unit memiliki kinerja SFM kategori baik, 35 unit memiliki kategori sedang, sedangkan 74 unit masa berlaku sertifikasinya habis. Sertifikasi pengelolaan hutan alam secara voluntary, yaitu sebanyak 6 unit, seluas 1,102,053 ha. Pada unit manajemen usaha hutan tanaman, sertifikasi secara mandatory dilakukan pada 90 unit, dengan luas 4,914,301 ha, yaitu 49% dari luas total. Dari 90 unit itu, 19 unit dinyatakan memperoleh sertifikat kategori baik, dan sisanya 71 unit sertifikat yang dibuat sudah tidak berlaku. Unit manajemen hutan tanaman industri yang telah memiliki sertifikat voluntary 2 unit mencakup luas 419,829 ha. Pengelolaan hutan tidak lestari, yang saat kini mencakup areal konsesi cukup luas, menimbulkan kerugian kepada pemerintah dan masyarakat ( social cost) pada tahun 2011 berkisar Rp 6,8 triliun, lebih tinggi dari PNBP sektor kehutanan yang besarnya Rp 4 triliun.

Hasil kajian itu seharusnya sudah cukup memberikan gambaran kebutuhan perubahan kebijakan model pengelolaan hutan alam; multiple use dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, dan lebih tangguh terhadap goncangan Hasil kajian itu seharusnya sudah cukup memberikan gambaran kebutuhan perubahan kebijakan model pengelolaan hutan alam; multiple use dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, dan lebih tangguh terhadap goncangan

Penurunan kinerja ekonomi kehutanan ini disebabkan oleh beberapa kebijakan ekonomi dan pengelolaan hutan, dimana satu dan yang lain saling terkait berdampak pada penurunan kinerja ekonomi kehutanan, yaitu:

1. Kebijakan kehutanan pemanfaatan hasil hutan, masih berfokus pada pengelolaan hutan produk tunggal, khususnya kayu. Hal ini membawa sifat kelemahan bisnis hutan, yang rentan terhadap perubahan preferensi pasar (fleksibilitas searah antara keputusan produksi dan pemasaran), dan membawa kerusakan pada sumber produk yaitu pabriknya/hutannya sendiri.

2. Kebijakan pengelolaan hutan tidak mengadopsi sistem pengelolaan ekosistem ataupun sistem pengelolaan multiple use. Kebijakan pengelolaan di tingkat lapangan yang tereduksi menjadi hak pemanfaatan melalui mekanisme perizinan setiap komoditas (kayu HHBK), ataupun pemanfaatan kawasan, telah menghilangkan karakteristik ekosistem hutan yang memiliki ragam potensi hasil hutan yang saling terkait satu sama lain (interdependensi), sehingga menimbulkan over eksploitasi (degradasi hutan).

3. Paradigma pengelolaan hutan belum memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Kebijakan “era HTI” telah menghilangkan potensi eksositem hutan alam, karena HTI dibangun sebagai sekuensial dari kegagalan pengelolaan hutan alam, bukan di kawasan hutan yang tidak berhutan.

4. Kebijakan integrasi industri pengolahan kayu dengan sumber bahan bakunya secara teknis diharapkan meningkatkan efisiensi, tetapi karena tidak diiringi dengan kebijakan lain yang diperlukan untuk mendorong efisiensi di sektor produksi kayu bulat maupun industri maka industri perkayuan tidak kompetitif.

5. Kebijakan perizinan telah mematikan inovasi dan profesionalisme pengusahaan hutan, dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi, sehingga menguras tegakan, dan menggagalkan pencapaian pengelolaan hutan lestasi (PHL)

Pada saat ini masih pada tataran wacana bahwa perizinan pemanfaatan hasil hutan boleh mencakup beberapa macam usaha pemanfaatan pada satu unit pengusaha tanpa pengulangan proses izin. Tetapi model ini sesungguhnya masih memiliki beberapa kelemahan, karena konsepnya masih pemanfaatan gabungan komoditi, bukan pengelolaan multiple use. Agar intensitas pengelolaan dapat menjawab kebutuhan lapangan, KPH sebagai unit pengelola perlu dioperasionalisasikan secara efektif. Kegagalan kebijakan ekonomi kehutanan ini sudah saatnya dikoreksi dengan mengatasi hal-hal di atas, yang memungkinkan praktek pengelolaan hutan multiple use oleh unit pengelola (KPH) di lapangan secara utuh, dengan ukuran kinerja yang jelas sebagai bentuk pertanggungjawaban unit pengelola itu.

Dari segi aktivitas pelaku bisnis, penurunan industri kehutanan secara umum juga sulit dibantah. Informasi dari APHI menunjukkan bahwa jumlah pelaku usaha hutan alam semakin menurun dan jumlah yang aktif juga semakin menurun (Tabel 3.18). Keadaan yang sangat mirip juga terjadi pada hutan tanaman; hanya sekitar 39% unit manajemen yang masih aktif.

Tabel 3.18 Jumlah Unit Manajemen IUPHHK HA dan Persentase UM Aktif Tahun

Jumlah Unit Manajemen

Persentase UM Aktif (%)

Sumber: APHI 2012. Di sektor pengolahan, keadaan juga terlihat sangat suram. Kecuali industri pulp

dan kertas yang menunjukkan utilitas penggunaan mesin mencapai 71%, utilitas penggunaan mesin industri lainnya sangat rendah, yang berkisar dari 26% hingga 39%. Problem yang banyak disampaikan adalah sangat kurangnya pasokan bahan baku.